OPTIMALISASI
PENGGUNAAN INTUISI DAN METAKOGNISI DALAM BELAJAR
(Kiat sukses dalam belajar
matematika)
By: Muniri
Disajikan dalam
diskusi
Bagi Calon guru
matematika di STKIP PGRI Tulungagung
Tanggal 31 Januari
2009
A. Moqodimah
Mengawali ungkapan dalam tulisan ini, patut diingat kembali secara
bersama dan seksama tentang arti dan makna dari matematika. Banyak para ilmuan
memberikan penafsiran yang berbeda dari definisi matematika, atau bahkan sampai
saat ini belum ada kesepakatan yang pasti mengenai arti matematika. Ada
beberapa pakar yang memberikan definisi tentang matematika antara lain adalah
bahwa matematika disebut sebagai ilmu pasti, dikatakan sebagai ilmu pasti
karena matematika merupakan ilmu yang berhungan dengan bilangan-bilangan dan operasinya, ada juga yang mengatakan
bahwa matematika sebagai ilmu yang abstrak, karena matematika merupakan ilmu
tentang pola, bentuk dan struktur-struktur termasuk juga sistem-sistem yang ada
didalamnya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa matematika
merupakan kumpulan sistem, dimana setiap sistem dari matematika memiliki
struktur-struktur deduktif yang dimulai
dari sejumlah unsur yang tidak didefinisikan, aksioma-aksioma,
definisi-definisi yang selanjutnya menjadi dasar perumusan teorema-teorema
selanjutnya. Dengan demikian jika kita bicara hakekat matematika, akan terkait
dengan karakteristik matematika itu sendiri dan
yang menjadi objek pembicaraan adalah objek matematika yang berupa objek
abstrak.
Matematika sebagai ilmu mengenai struktur dan hubungan-hubungannya,
symbol-simbol yang diperlukan. Symbol tersebut sangatlah penting untuk membantu
manipulasi objek dan aturan-aturan operasi yang ditetapkan. Simbolisasi ini
akan menjamin adanya komunikasi dan mempu memberikan keterangan terhadap ide
atau suatu konsep, dan konsep terbentuk disebabkan adanya pemahaman terhadap
konsep yang terbentuk sebelumnya, artinya bahwa konsep-konsep matematika itu
tersusun secara hirarkis dan simbolisasi akan bermakna jikalau kita memahami
ide yang terkandung dalam symbol tersebut.
Lain halnya dengan ungkapan diatas, matematika merupakan ilmu universal yang
mendasari perkembangan teknologi modern yang mempunyai peran penting dalam
berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi
dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan,
aljabar, analisis, teori peluang, dan matematika diskrit. Oleh karena itu,
untuk menguasai dan memanfaatkan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan kuat
terhadap matematika sedini mungkin.
Dalam kurikulum matematika sekolah yang berbasis kompetensi (KBK) atau
dikenal dengan Kurikulum 2004 dikemukakan bahwa tujuan pembelajaran matematika
adalah (1) melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan,
misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan
kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonsisten; (2) mengembangkan aktivitas
kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan yang bersifat
divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta
mencoba-coba; (3) mengembangkan kemampuan memecahkan masalah; dan (4)
mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan
antara lain dengan lisan, grafik, peta, giagram dalam menjelaskan gagasan.
Kenyataan dewasa ini masih dihawatirkan, aktivitas guru dalam
pembelajaran matematika sering menuntut siswanya untuk dapat memahami materi
dengan baik (cepat dan tepat) namun jarang mengajarkan kepada siswa bagaimana
strategi-atrategi memahami materi dengan baik tersebut. Demikian pula guru
menuntut siswa untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah, namun jarang
mengajarkan bagaimana strategi memecahkan masalah tersebut dengan baik. Kiranya
belum disadari adanya perbedaan kemampuan individu siswa, atau bahkan
terlupakan bahwa kemampuan memahami dan memecahkan masalah dikelas hanya
mungkin dilakukan oleh siswa yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, tetapi
bagi siswa yang berkemampuan rendah sulit diharapkan untuk tercapai.
Soedjadi (2000)
menyatakan bahwa wujud dari mata pelajaran matematika di pendidikan dasar dan
menengah adalah matematika sekolah. Matematika sekolah adalah unsur-unsur atau
bagian-bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi kepada
kepentingan pendidikan dan kepentingan untuk menguasai dan memanfaatkan
teknologi di masa depan. Karena itu, mata pelajaran matematika yang diberikan
di pendidikan dasar dan menengah juga dimaksudkan untuk membekali siswa dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta
kemampuan bekerjasama. Kemampuan tersebut, merupakan kompetensi yang diperlukan
oleh siswa agar dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah,
tidak pasti, dan kompetitif.
Namun demikian,
seiring dengan perkembangan psikologi kognitif, maka berkembang pula cara guru dalam
menyampaikan informasi, berinteraksi dan mengevaluasi pencapaian hasil belajar,
lebih-lebih dalam ranah kognitif siswa. Dalam hal penyampaian informasi dan
interkasi guru perlu memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk
berpikir atau bernalar, atau bahkan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
merenungkan apa yang sajikan, kesempatan ini mungkin dapat dimanfaatkan oleh
siswa untuk melakukan aktivitas mental baik secara internal maupun eksternal,
sehingga dari proses interaksi internal dan eksternal akan menumbuhkan sikap
berpikir siswa secara intuitif/berpikir menggunakan suara hati (inner
voice). Demikian juga dalam hal mengevaluasi pencapaian hasil belajar siswa
guru hanya memberikan penekanan pada tujuan kognitif tanpa memperhatikan
dimensi proses kognitif, khususnya pengetahuan metakognitif dan keterampilan
metakognitif. Akibatnya upaya-upaya untuk memperkenalkan intuisi dan metakognisi
dalam menyelesaikan masalah matematika kepada siswa sangat kurang atau bahkan
cenderung diabaikan.
B.
Memahami Multiple
Intelegence dan Gaya Belajar
Gardner
menggunakan delapan multiple intelligence
untuk mendefinisikan kemampuan yang dimiliki manusia dalam tataran teoritik dan
pragmatik. Berikut ini dideskripsikan setiap
intelligence berikut contohnya (Amstrong, 2002).
1. Kecerdasan Lingustik/Verbal
Kecerdasan
linguistik adalah kapasitas untuk menggunakan kata-kata secara efektif melalui
komunikasi lisan dan tulisan. Secara
khusus, kecerdasan linguistik mengeksporasi penggunaan sintaks dan struktur
bahasa dan semantik dan makna bahasa.
Kecerdasan linguistik/verbal memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- Kemampuan menggunakan bahasa untuk meyakinkan (convince) orang lain dari suatu kegiatan pendidikan.
- Kapasitas menggunakan gambar untuk membantu seseorang mengingat informasi.
- Kemampuan menggunakan oral dan menulis bahasa dalam penjelasan , dan
- Kemampuan untuk menggunakan analisa bagaimana bahasa bekerja.
2. Kecerdasan Logika/matematika
Kecerdasan
logika/matematika adalah kemampuan untuk menggunakan dan mengetahui bilangan
dengan baik dan mengaplikasikan keahlian berlogika pada situasi yang meliputi
pola-pola, hubungan dan abstraksi. Kecerdasan logika/matematika memiliki ciri-ciri
a. Sensitivitas
pada pola logika dan hubungannya, pernyataan dan proposisi (jika-maka,
sebab-akibat), fungsi dan abstraksi terkait lainnya, dan
b. Keahlian
untuk menggunakan rantai pemikiran yang panjang.
3. Kecerdasan Spasial
Kecerdasan
spasial adalah kemampuan untuk mentransformasi persepsi tentang dunia
visual-spasial dalam bentuk, warna, ruang dan hubungan-hubungan. Kecerdasan spasial memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
4. Kecerdasan
gerak tubuh (bodily-kinestetik)
Kecerdasan bodily-kinestetik adalah keahlian dalam menggunakan seluruh
tubuh untuk mengekspresikan ide, perasaan dan keahliannya untuk mentransformasi
dan memproduksi segala sesuatu.
5. Kecerdasan musikal
Kecerdasan
musikal adalah kemampuan untuk merasakan, membedakan, mentransformasikan dan
mengeksprasikan bentuk-bentuk musikal dari ritme, titi nada dan melodi.
6. Kecerdasan interpersonal
Kecerdasan
interpersonal adalah kemampuan membuat persepsi dan kenyataan tentang kegairahan, tekanan,
motivasi dan perasaan manusia lain dengan perhatian khusus diberikan kepada
ekspresi wajah, pembatasan, kegairahan dan motivasi.
7. Kecerdasan
Intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan mengakses perasaan dan
kemampuannya untuk membedakan antara mereka dan menggambarkannya untuk memberi
petunjuk tentang perilaku seseorang denga detail dan akurat.
8. Kecerdasan
Naturalis
Kecerdasan
naturalis adalah kemampuan untuk membedakan, mengklasifikasi dan menggunakan
gambar alam dan lingkungan buatan (tumbuhan, bebatuan, lautan dan kekayaan
budaya.
Tabel berikut menunjukkan
tipe kecedarasan (intelligence) dan gaya belajar
terbaik siswa berdasarkan teori Gardner
diatas adalah:
Tabel 1.
Kecerdasan dan gaya belajar terbaik yang sesuai
No
|
Kecerdasan
|
Gaya belajar terbaik
|
1
|
Linguistik
|
Belajar dengan mengatakan, mendengarkan dan
melihat kata-kata
|
2
|
Logika/ matematika
|
Belajar dengan mengkategorikan, mengklasifikasi
dan bekerja dalam pola hubungan
abstrak
|
3
|
Spasial
|
Belajar dengan memvisualisasi, bermimpi,
menggunakan mata hati dan bekerja dengan warna / gambar
|
4
|
Musikal
|
Belajar dengan ritme, melodi dan musik
|
5
|
Bodily-Kinestetik
|
Belajar dengan sentuhan gerakan, interaksi dalam
proses dan ruang pengetahuan tubuh dan belajar bagaimana sesuatu benda
bekerja
|
6
|
Interpersonal
|
Belajar dengan diskusi, belajar kooperatif
|
7
|
Intrapersonal
|
Belajar dengan bekerja sendiri dan proyek
individu
|
8
|
Natural
|
Belajar dengan mempelajari fenomena alam, dalam
suasana alam
|
Sehingga, apabila seorang siswa memiliki lebih dari satu
kecerdasan dominan, maka gaya
belajar yang sesuai dapat merupakan kombinasinya. Sebagai contoh, apabila seseorang memiliki
kecerdasan dominan logika/matematika dan natural maka cara yang terbaik adalah
melalui proses mengkategorikan, mengklasifikasi dan bekerja dalam pola hubungan abstrak dari fenomena
alam, dalam suasana alam. Demikian juga dengan
kombinasi-kombinasi kecerdasan yang lain.
C.
Pengertian Intuisi dalam belajar
Matematika
Banyak filosof dan ahli
pendidikan memandang intuisi sebagai strategi mental atau metode yang
memungkinkan seseorang menyatakan esensi/intisari suatu fenomena (Spinoza,
1967). Bahkan Poincare (Tall, 1992) berargumentasi bahwa tidak ada aktivitas
yang benar-benar kreatif dalam sains dan matematika tanpa intuisi. Namun demikian
juga terdapat perfektif negatif mengenai penggunaan intuisi dalam
konseptualisasi. Filosof dan ahli pendidikan yang berlainan kutub dengan
penggunaan intuisi memandang bahwa penggunaan intuisi merupakan bentuk
elementer dan primitif pengetahuan.
Bruner (dalam Dahar 1989: 98)
menyatakan bahwa intuisi sebagai teknik-teknik intelektual untuk sampai pada
formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk
mengetahui apakah formulasi-formulasi
itu merupakan formulasi-formulasi yang sahih atau tidak.
Pengertian-pengertian tersebut digunakan sebagai acuan untuk memberikan
pengertian secara induktif dari intuisi
sehingga tidak terlalu jauh menyimpang dari pengertian yang sebenarnya. Intuisi secara
matematik memainkan peranan penting dalam memahami konsep pengetahuan
matematik, dan bahkan juga dibutuhkan
seperti halnya dalam masalah pembuktian. Biasanya kognisi intuitif
dipandang sebagai kognisi yang diterima secara langsung tanpa bukti yang ketat
(Fischbein, 1994). Jadi pemahaman intuitif diartikan sebagai kognisi secara
langsung terhadap suatu konsep tanpa harus melalui bukti terlebih dahulu.
Pada dasarnya, seorang
matematikawan sering menggunakan intuisinya dalam menyelesaikan masalah
(problem solving) sebelum merancang serangkaian langkah-langkah untuk membuktikannya.
Atau bahkan ide-ide intuitif sering membuka area baru dalam matematika dan
menyediakan petunjuk kearah pengembangan topik-topik matematika.
Meskipun demikian
Fischbein (1987) menyatakan dengan tegas bahwa ketika siswa menghadapi masalah
dalam menerima konsep secara intuitif, siswa tidak yakin terhadap penalarannya
sendiri, karena itu ia merasa sulit dalam menyelesaikan masalah (problem solving)
yang berkaitan dengan konsep tersebut. Sebagai contoh, untuk memiliki pemahaman
intuitif, adalah sangat penting memiliki pemahaman definisi terhadap konsep
lingkaran, segitiga, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman
matematika nampaknya sangat penting dalam mengembangkan intuisi yang baik dan
kompatibel dengan tujuan konsep matematika.
Secara umum, seorang matematikawan haruslah memiliki intuisi yang
dikembangkan secara matematik dengan baik. Fischbein (1987) menyatakan bahwa
siswa dapat mengembangkan intuisinya bergantung kepada jenis pengalaman yang
dimilikinya. Ini berarti bahwa intuisi yang kompatibel dengan definisi konsep
lingkaran, segitiaga atau atau bangun Geometri lainnya dapat dikembangkan
melalui pengalaman pribadi siswa yang cukup.
Karena itu diduga bahwa ada aktivitas mental
berbeda dari kognisi formal dalam mengoperasikan kegiatan matematik. Kita
menyebutnya kognisi intuitif (intuitive
cognition), atau intuisi (intuition).
Fischbein (1994) mendefinisikan intuisi sebagai kognisi segera yang disetujui
secara langsung tanpa jastifikasi.
Sejalan dengan itu Piaget (Tall, 1992) memandang intuisi sebagai kognisi yang
diterima langsung tanpa kebutuhan untuk menjastifikasi atau menginterpretasi
secara eksplisit.
Dapat kita bayangkan jika
sesorang tidak mampu megklasifikasikan atau mengelompokkan objek-objek dan
kegiatan-kegiatan yang dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Soedjadi
(1989/1999: 11) menyatakan bahwa konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan
untuk menggolongkan atau mengklasifikasikan sekumpulan objek. Dengan konsep
kita dapat menentukan apakah objek tertentu merupakan contoh konsep atau bukan.
Misalnya “persegi” merupakan merupakan nama suatu konsep abstrak. Dengan konsep
tersebut kita dapat menentukan dari sekumpulan objek yang diberikan apakah
suatu objek merupakan persegi atau bukan persegi? Atau contoh lain untuk
menyajikan konsep dua garis sejajar dengan menggunakan
dua kawat listrik yang terpasang sepanjang jalan. Kita tidak mungkin dapat
menunjukkan dengan kedua kawat listrik bahwa dua buah garis yang sejajar tidak
akan berpotongan walaupun terus diperpanjang. Dua garis sejajar sebagai dua
garis yang tidak akan berpotongan walaupun terus diperpanjang hanya dapat
diterima dalam pikiran dan diterima
menggunakan intuisi.
Salah satu penekanan dalam
matematika adalah bahwa matematika berkenaan dengan bukti logis dari
proposisinya. Setiap sistem logika pasti berawal dengan batasan yang tidak
didefinisikan, definisi dan aksioma. Kemudian dari padanya dapat dibuat
teorema-teorema yang harus dibuktikan dengan aturan logis. Sementara ide
pembuktian memerlukan waktu yang cukup banyak, perlu kiranya dipergunakan sifat
dari pembuktian. Perhatikan aktivitas
berikut (a) gambarlah berbagai ukuran dari bentuk segitiga (ukuran besar
dan ukuran kecil) (b) ukurlah ketiga sudut dengan menyertakan ukurannya (c) ulangi
pengukuran tersebut untuk segitiga tumpul, (d) ulangi kegiatan tersebut untuk
segitiga siku-siku, (e) buatlah suatu pernyataan umum tentang ukuran sudut
segitiga.
Hal tersebut menunjukkan tingkat kreatif dari matematika
yang melalui langkah eksperimentasi, menerka dan melihat pola. Akhirnya dapat
dibuat generalisasi, bahwa jumlah sudut-sudut suatu segitiga adalah 180o.
Selanjutnya masalah jumlah ukuran sudut segitiga dapat dibuktikan dengan aturan
logis. Pemahaman awal sangat diperlukan sebelum penarikan kesimpulan secara
deduktif fomal ditetapkan, sehingga kesimpulan tersebut memiliki alasan kuat,
logis dapat dimengeri dan dipahami oleh siswa. Pemahaman yang diperoleh secara
intuitif diperlukan sebagai pemahaman awal untuk menuju pemahaman secara
formal.
Dalam geometri konsep bangun ruang dapat diinterpretasi secara intuitif
diterima sebagai dimensi tiga, demikian
juga konsep bidang diinterpretasi sebagai dimensi dua. Namun demikian
Interpretasi intuitif dari bangun ruang pada dimensi dua adalah berupa gambar
bangun ruang pada bidang. Untuk dapat memahami gambar bangun ruang yang
berdimensi tiga pada bidang yang berdimensi dua diperlukan kemampuan intuisi
(kognisi intuisi). Dalam hal ini sering dipergunakan kesepakatan-kesepakatan
yang berupa definisi atau aksioma yang
tidak perlu menyertakan bukti-bukti, yang diterima begitu saja secara intuitif.
Atau bahkan terdapat suatu pernyataan apabila dibuktikan akan terkesan
merupakan pekerjaan yang sia-sia. Sebagai contohnya pernyataan “dua garis berlainan yang tidak
sejajar berpotongan pada satu titik.
Kebenaran pernyataan tersebut dapat dibuktikan secara deduktif, tetapi
kebenarannya telah diterima begitu saja dengan akal sehat kita atau secara
intuitif. Kita tidak memprotes ataupun
bertanya jika garis yang terlukis pada bidang ortogonal lebih pendek dari garis
yang sama panjangnya yang terlukis pada bidang frontal dan tetap menerima bahwa
garis–garis tersebut sama panjangnya. Dalam hal ini kondisi demikian telah
disepakati dan dapat diterima secara intuitif
atas dasar kondisi aktual yang memang kita alami. Dengan intuisi kita
dapat memahami suatu konsep kubus, balok
dalam matematika sebagai gambar kubus, balok dan juga benda-benda berbentuk kubus pada
kehidupan nyata. Dengan intuisi juga kita dapat memahami suatu konsep
matematika pada dimensi tiga berdasarkan bangun fisik ataupun gambarnya. Jika
pada bangun fisik kubus, dua garis dapat
terlihat bersilangan, dengan intuisi kita dapat menerima dua garis tersebut bersilangan walaupun
terlukis berpotongan dalam gambar.
Intuisi siswa tentang suatu konsep matematika (seperti garis, himpunan,
relasi, operasi, fungsi, matrik, vector dan sebagainya) amat diperlukan agar
konsep tersebut terlihat konkrit dan sesuai dengan yang dimaksudkan konsep
tersebut. Langkah-langkah intuitif yang dilakukan dengan koordinasi dan relasi terhadap gambar, bentuk fisik atau bentuk lainnya memungkinkan siswa
melihat sifat, dapat menerka, melihat pola, melakukan observasi untuk
mendapatkan pemahaman awal sebelum
pemahaman formar yang komplit dimiliki. Siswa akan bertindak aktif dan dapat
memberikan alasan yang aktual (secara intuitif) sebelum pembuktian secara
deduktif formal. Siswa dapat menghubungkan konsep matematika dengan dunia
nyata, melakukan pemahaman secara aktif dan berpikir produktif dan akhirnya
dapat mengaplikasikan konsep untuk penyelesaian masalah.
Berdasarkan contoh-contoh yang dikemukakan,
intuisi dalam hal ini diartikan sebagai teknik-teknik intelektual yang
digunakan dalam pemgambilan putusan melalui pengamatan atau percobaan terhadap
bentuk visual, bentuk fisik atau contoh-contoh, tanpa menyertakan bukti
terlebih dahulu.
Pengetahuan yang diambil secara intuitif belum
dijamin merupakan pengetahuan yang benar, untuk mengetahui kebenarannya perlu
dibuktikan secara deduktif Tidak semua pengetahuan yang diterima secara
langsung dengan pikiran dapat merupakan
intuisi. Contohnya jika kita melihat dua buah rumah yang satu
lebih tinggi dari yang lainnya, perbedaan tingginya dapat diterima dengan jelas
tapi hal tersebut bukan intuisi. Jika
kita tahu bahwa suatu benda merupakan logam dan langsung kita dapat mengetahui
benda tersebut sebagai pengantar listrik, tanpa mencobanya tetapi hanya secara
deduksi, hal tersebut juga bukan
intuisi.
D.
Menelaah Metakognisi Sebagai
Pemandu Sukses Belajar
Pengertian metakognisi yang dikemukakan para pakar
pada umumnya memberikan penekanan pada aktifitas individu dalam proses berpikir
seseorang. Pengertian yang paling umum dari metakognisi adalah berpikir tentang
berpikir (thinking about thinking) (Elaine &
Sheila, 1990; Huitt, 1997; NCREL,
1995; Kasper, 1993; O’Neil
& Brown, 1997; Livington, 1997). Namun untuk dapat
memahami lebih mandalam tentang pengertian metakognisi, maka berikut
dikemukakan pengertian metakognisi dari beberapa pakar beserta penjelasannya.
Schoenfeld
(1992) mengemukakan secara lebih spesifik bahwa terdapat tiga cara untuk
menjelaskan metakognisi dalam pembelajaran matematika, yaitu: (a) keyakinan dan
intuisi, (b) pengetahuan tentang proses berpikir, dan (c) kesadaran-diri
(regulasi-diri). Keyakinan dan intuisi menyangkut ide-ide matematika apa saja
yang disiapkan untuk menyelesaikan masalah matematika dan bagaimana ide-ide tersebut
membentuk jalan/cara untuk menyelesaikan masalah matematika. Pengetahuan
tentang proses berpikir menyangkut seberapa akurat seseorang dalam menyatakan
proses berpikirnya. Sedangkan kesadaran-diri atau regulasi-diri menyangkut
keakuratan seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang harus dilakukannya
ketika menyelesaikan masalah matematika, dan seberapa akurat seseorang
menggunakan input dari pengamatannya untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas menyelesaikan
masalah.
O’Neil dan Brown (1997) mengemukakan pengertian
metakognisi sebagai proses di mana seseorang berpikir tentang berpikir mereka
sendiri dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah. Sejalan
dengan pengertian di atas, Mohamad
Nur (2000)
mengemukakan bahwa metakognisi berhubungan dengan berpikir siswa tentang
berpikir mereka sendiri dan kemampuan mereka menggunakan strategi-strategi
belajar tertentu dengan tepat. Huitt
(1997) mendefinisikan
metakognisi sebagai pengetahuan
seseorang tentang sistem kognitifnya, berpikir seseorang tentang berpikirnya,
dan keterampilan esensial seseorang dalam belajar untuk belajar (learning to learn).
Pendapat
diatas sejalan dengan pendapat Imel, S (2002) mengungkapkan bahwa metakognisi
adalah suatu hal sangat esensial dalam kesuksesan pembelajaran, karena itu bisa
membuat seseorang dapat lebih baik dalam mengatur keterampilan atau kemampuan
kognitifnya dan dapat mengatur, mengarahkan kelemahan-kelemahan yang dimiliki
bisa dibenahi sehingga dapat membentuk keterampilan kognitif baru.
Flavell (Livington,
1997) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu (a)
pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan (b) pengalaman atau
regulasi metakognitif (metacognitive experiences or reguloation). Pendapat yang
serupa juga dikemuakan oleh Baker
& Brown, 1984; Gagne, E; 1993 dalam (Mohamad Nur,
2000) bahwa metakognisi memiliki
dua komponen, yaitu (a) pengetahuan tentang kognisi, dan (b) mekanisme
pengendalian diri dan monitoring kognitif. Sedangkan Huitt (1997)
mengemukakan dalam redaksi yang berbeda tentang dua komponen yang termasuk
dalam metakognisi, yaitu (a) apa yang kita ketahui atau tidak ketahui, dan (b)
regulasi bagaimana kita belajar.
Pengetahuan
metakognitif merujuk pada pengetahuan umum tentang bagaimana seseorang belajar
dan memproses informasi, seperti pengetahuan seseorang tentang proses
belajarnya sendiri. Anderson dan Krathwohl (2001) mengemukakan bahwa
pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognisi secara umum,
seperti kesadaran-diri dan pengetahuan tentang kognisi diri sendiri.
Pengetahuan kognitif cenderung diterima sebagai pengetahuan tentang proses
kognitif yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif. Sedangkan Mohamad Nur (2000) mengemukakan bahwa pengetahuan
tentang kognitif terdiri dari informasi dan pemahaman yang dimiliki seseorang
pebelajar tentang proses berpikirnya sendiri disamping pengetahuan tentang
berbagai strategi belajar untuk digunakan dalam situasi pembelajaran tertentu.
Misalnya, seseorang dengan tipe belajar visual mengetahui bahwa membuat suatu
peta konsep merupakan cara terbaik baginya untuk memahami dan meningat sejumlah
besar informasi baru.
Pengalaman
metakognitif meliputi penggunaan startegi-strategi metakognitif atau regulasi
metakognitif (Brown dalam
Livington, 1997). Sedangkan pemonitoran kognitif
adalah kemampuan pebelajar untuk memilih, menggunakan, dan memonitor
strategi-strategi belajar yang cocok, cocok dengan gaya belajar mereka sendiri maupun dengan
situasi tugas yang sedang dihadapi. Mengenai pentingnya kegiatan pemonitoran
kognitif ini, Winkel (1996) mengemukakan bahwa:
“Biarpun siswa diberikan
berbagai strategi kognitif yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah
tertentu, namun tidak berarti bahwa strategi-strategi itu dapat digunakan
terhadap segala macam permasalahan. Akhirnya siswa diharapkan menyerap
strategi-strategi tersebut, kemudian menentukan sendiri strategi mana yang
cocok dengan masalah A dan mana yang cocok dengan masalah B. Dengan kata lain,
fleksibelitas dalam berpikir siswa merupakan sasaran instruksional yang sangat
ideal.”
Berdasarkan
pengertian-pengertian yang dikemukakan beberapa pakar di atas, maka dapat
dijelaskan bahwa secara sederhana metakognisi merupakan pengetahuan seseorang
tentang proses berpikirnya sendiri, atau pengetahuan seseorang tentang
kognisinya serta kemampuan dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognisinya
dalam berpikir dan belajar.
Anderson dan
Krathwohl (2001)
mengemukakan tiga aspek dari pengetahuan metakognitif, yaitu (a) pengetahuan
strategi (strategic knowledge), (b) pengetahuan tentang tugas kognitif,
termasuk pengetahuan kontekstual dan kondisional, dan (c) pengetahuan-diri
(self-knowledge).
Noert Central Regional Educational Laboratory
(NCREL) (1995)
megemukakan tiga elemen dasar dari metakognisi secara khusus dalam mengahadapi
tugas, yaitu (1) mengembangkan rencana tindakan, (b) mengatur/memonitor
rencana, dan (c) mengevaluasi rencana. Lebih jauh NCREL memberikan petunjuk melaksanakan ketiga komponen
metakognisi tersebut sebagai berikut:
Sebelum: Ketika kamu
mengembangkan rencana tindakan,
tanyakan dirimu:
ü
Pengetahuan awal apa yang
membantu dalam tugas ini?
ü
Petunjuk apa yang dapat
digunakan dalam berpikir?
ü Apa yang pertama akan
saya lakukan?
ü Mengapa saya membaca
(bagian) pilihan ini?
ü Berapa lama saya
mengerjakan tugas ini secara lengkap?
Selama:
Ketika kamu mengatur/memonitor
rencana tindakan, tanyakan dirimu:
ü Bagaimana saya
melakukannya?
ü Apakah saya berada
pada jalur yang benar?
ü Bagaimana saya
meneruskannya?
ü Informasi apa yang
penting diingat?
ü Akankah saya pindah
pada petunjuk lain?
ü Akankah saya mengatur
langkah-langkah bergantung pada kesulitan?
ü Apa yang perlu
dilakukan jika saya tidak mengerti?
Sesudah: Ketika kamu mengevaluasi rencana tindakan, tanyakan dirimu:
ü Seberapa baik saya melakukannya?
ü Apakah saya
memerlukan pemikiran khusus yang lebih banyak atau yang lebih sedikit dari yang
saya perkirakan?
ü Apakah saya dapat
mengerjakan dengan cara yang berbeda?
ü Bagaimana saya dapat
mengaplikasikan cara berpikir ini pada proiblem yang lain?
ü Apakah saya perlu kembali
pada tugas itu untuk mengisi “kekosongan” pada ingatan saya?
Secara sederhana komponen-komponen metakognisi
yang akan dibahas dan menjadi fokus penelitian ini adalah: (a) pengetahuan
seseorang tentang strategi-strategi kognitif serta bagaimana mengatur dan
mengontrol strategi-strategi tersebut dalam berpikir, belajar, dan memecahkan
masalah, dan (b) pengetahuan-diri dan
bagaimana memilih serta menggunakan strategi berpikir, belajar, dan pemecahan
masalah yang sesuai dengan keadaan dirinya. Dengan kata lain bahwa pengajaran yang baik adalah meliputi
mengajarkan siswa bagaimana belajar, bagaimana mengingat, bagaimana berpikir,
dan bagaimana memotivasi diri mereka sendiri.
E. Metakognisi sebagai Kontrol
Kemampuan Siswa
Untuk menumbuhkan sikap siswa terhadap pentingnya belajar,
perlu dan bahkan mutlak ditanamkan dalam benak siswa tentang berbagai strategi
belajar (strategi kognitif) yang harus dimiliki siswa untuk menghadapi berbagai
permasalahan akademik atau non akademik. Permasalahan akademik berkaitan dengan
permasalahan memahami konsep-konsep matematika, sedangkan permasalahan non
akademik berkaitan dengan permasalahan siswa dalam kehidupannya. Akibatnya
apabila siswa memiliki strategi kognitif dengan baik, maka siswa akan mampu
bersaing secara secara sehat, dan mampu hidup bersanding dengan siapapun dan
dalam kondisi apapun. Hal inilah yang menjadi cita-cita luhur pendidikan kita
yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional.
Anderson & Krathwohl (2001)
mengemukakan tiga macam strategi kognitif yang sangat penting untuk
diajarkan kepada siswa adalah:
(a) strategi mengulang
(rehearsal)
Strategi mengulang adalah cara menghafal bahan-bahan pelajaran ke dalam
ingatan dengan cara mengulang-ulang bahan tersebut. Strategi mengulang ada dua
macam, yaitu mengulang sederhana, seperti menghafal nomor telepon dan mengulang
kompleks, misalnya menggarisbawahi dan membuat catatan pinggir.
(b) strategi elaborasi
(elaboration)
Strategi elaborasi adalah proses menambahkan rincian pada informasi
baru sehingga menjadi lebih bermakna. Strategi elaborasi membantu memindahkan
informasi baru dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang dengan
menciptakan gabungan dan hubungan antara informasi baru dengan apa yang telah
diketahui. Beberapa contoh strategi elaborasi yeng penting antara lain:
pembuatan catatan secara matriks, penggunaan analogi, menyeleksi ide utama dari
buku teks, dan penggunaan metode PQ4R
(preview, question, read, reflect, recite, dan review).
(c) strategi organisasi
(organizational)
Strategi organisasi adalah mengenali atau mengambil ide-ide pokok dari
kumpulan banyak informasi. Sedangkan Bentuk dari strategi organisasi dapat
berupa pengelompokkan ulang ide-ide atau istilah-istilah atau membagi ide-ide
atau istilah-istilah itu menjadi subset yang lebih kecil. Ada beberapa strategi
organisasi yang penting untuyk diajarkan kepada siswa antara lain outlining (membuat kerangka garis
besar), dan mapping
(menggambar peta konsep).
Variabel
lain yang terkait dengan metakognisi adalah variabel individu. Sebagai modal
dasar untuk menjadi seorang pebelajar mandiri (self-learner) yang baik, siswa
harus memiliki pengetahuan tentang kelemahan dan kelebihan dirinya dalam menghadapi
tugas-tugas kognitif. Bahkan lebih jauh siswa harus mampu memilih, menggunakan,
dan memonitor strategi-strategi kognitif
yang cocok dengan tipe belajar,
gaya berpikir, dan gaya kognitif yang dimiliki dalam mengahadapi tugas-tugas
kognitif. Misalnya, seseorang dengan tipe belajar visual harus sering
menggunakan strategi elaborasi peta konsep dalam memahami materi yang sedang
dipelajari. Kemampuan seperti ini merupakan salah satu komponen metakognisi
yang disebut pemonitoran kognitif.
F.
Peranan Intuisi dan Metakognisi
dalam Belajar Matematika
Matematika adalah ilmu pengetahuan yang memiliki
struktur yang ketat, terdiri atas aksioma, definisi, dan teorema, dengan suatu
struktur logika (Ervynck, 1991). Proses berpikir analitik dan logik memainkan
peranan penting dalam merepresentasekan struktur logika pengetahuan matematika.
Ini menunjukkan bahwa berpikir matematika diproduksi melalui proses mental yang
sadar, dimana merupakan hal yang esensial dalam matematika. Akan tetapi,
mengejar ketepatan dan formalisme hanyalah hasil akhir dari aktivitas
matematik.
Proses memformulasi pengetahuan matematik termasuk
membayangkan struktur matematik, tanpa disadari menghasilkan pengenalan tentang
kepastian atau ketak-pastian, verifikasi atau penyangkalan tanpa pembuktian
(Kossak, 1966). Karena itu diasumsikan bahwa aktivitas mental seseorang terdiri
atas kognisi formal (formal cognition)
dan kognisi intuitif (intuitive cognition)
dari pengetahuan matematika. Kognisi formal merujuk kepada kognisi yang
dikontrol oleh logika matematika dan pembuktian melalui induksi matematika atau deduksi
(Fischbein, 1994). Kognisi formal menyediakan cara yang tepat dan ketat
memahami pengetahuan matematika. Kognisi formal juga perlu bagi matematikawan
untuk berkomunikasi dengan sesama matematikawan dalam suatu asosiasi
matematika. Senada dengan hal tersebut, persepsi terhadap pengetahuan formal
sangat perlu bagi siswa untuk maju ke tingkat pengetahuan matematika yang lebih
tinggi. Akan tetapi kognisi formal tidak menjelaskan setiap step (langkah)
berpikir dalam aktivitas matematik.
Sedangkan kognisi intuitif merujuk pada pengalaman
jiwa atau fisik diluar kontrol logika. Kognisi intuisi sering muncul seiring
munculnya inspirasi seseorang, kognisi intuisi merujuk pada pengetahuan yang
amat dahsyat dan memberikan arah pikiran kita pada suatu permasalahan yang
secara kognisi formal tidak mampu lagi mengungkapkan.
Pengembangan kemampuan memahami dan menggunakan
pengetahuan formal adalah tidak sama dengan menjamin kreativitas matematik yang
sangat penting dalam “doing” mathematics, seperti membuat dugaan atau
klaim pengetahuan baru. Lebih jauh, adalah tidak jelas apakah kita dapat
mengembangkan kreativitas matematik hanya melalui pengembangan kognisi
formal. Siswa mungkin menjadi sangat
yakin akan kemampuan logika dan penalaran dalam pembuktian matematiknya. Akan
tetapi hanya sedikit siswa yang berhasil dengan baik dalam aktivitas
menggunakan pengetahuan formal mereka dan mungkin sekali menjadi kreatif dalam
berpikir matematik.
Blakey &
Spence (1990) mengemukakan
strategi-startegi atau langkah-langkah untuk meningkatkan keterampilan
metakognitif, yakni:
(a) Mengidentifikasi “apa yang kau ketahui” dan “apa yang kau tidak ketahui”
Memulai aktivitas
pengamatan, siswa perlu membuat keputusan yang disadari tentang pengetahuan
mereka. Pertama-tama siswa menulis “ apa yang sudah saya ketahui tentang ….”
dan “apa yang ingin saya pelajari tentang ….” Dengan menyelidiki suatu topik,
siswa akan menverifikasi, mengklarivikasi dan mengem-bangkan, atau mengubah
pernyataan awal mereka dengan informasi yang akurat.
(b) Berbicara tentang berpikir
(Talking about thinking)
Selama membuat perencanaan dan memecahkan masalah, guru boleh
“menyuarakan pikiran” (think aloud),
sehingga siswa dapat ikut mendemonstra-sikan proses berpikir. Pemecahan
masalah berpasangan merupakan strategi lain yang berguna pada
langkah ini. Seorang siswa membicarakan sebuah masalah, mendeskripsikan proses
berpikirnya, sedangkan pasangannya mendengarkan dan bertanya untuk membantu
mengklarifikasi proses berpikir.
(c) Membuat
jurnal berpikir (keeping thinking journal)
Cara lain
untuk mengembangkan metakognisi adalah melalui penggunaan jurnal atau catatan belajar. Jurnal ini berupa
buku harian dimana setiap
siswa merefleksi berpikir mereka, membuat catatan tentang kesadaran mereka
terhadap kedwiartian (ambiguities) dan ketidakkonsistenan, dan komentar tentang
bagaimana mereka berurusan/menghadapi kesulitan.
(d)
Membuat perencanaan dan regulasi-diri
Siswa harus mulai bekerja meningkatkan
responsibilitas untuk merencanakan dan meregulasi belajar mereka. Sulit bagi
pebelajar menjadi orang yang mampu mengatur diri sendiri (self-directed) ketika
belajar direncanakan dan dimonitori oleh orang lain.
(e) Melaporkan kembali proses
berpikir (Debriefing thinking process)
Aktivitas
terakhir adalah menfokuskan diskusi siswa pada proses berpikir untuk
mengembangkan kesadaran tentang strategi-strategi yang dapat diaplikasikan pada
situasi belajar yang lain. Metode tiga langkah dapat digunakan; Pertama: guru mengarahkan siswa
untuk mereviu aktivitas, mengumpulkan data tentang proses berpikir; Kedua: kelompok mengklasifikasi ide-ide yang
terkait, meng-identifikasi strategi yang digunakan; Ketiga: mereka mengevaluasi keberhasilan, membuang
strategi-strategi yang tidak tepat, mengindentifikasi strategi yang dapat
digunakan kemudian, dan mencari pendekatan alternatif yang menjanjikan.
(f) Evaluasi-diri
(Self-evaluation)
Mengarahkan
pengalaman-pengalaman evaluasi-diri dapat diawali melalui pertemuan individual
dan daftar-daftar yang berfokus pada proses berpikir. Secara bertahap,
evaluasi-diri akan lebih banyak diplikasikan secara independen.
G.
Penutup
Berdasarkan uraian
diatas, maka dikemukakan penutup sebagai kesimpulan dari makalah ini adalah
sebagai berikut.
a. Intuisi
diartikan sebagai teknik-teknik intelektual yang digunakan dalam pemgambilan keputusan
secara tentatif melalui pengamatan atau percobaan terhadap bentuk visual,
bentuk fisik atau contoh-contoh, tanpa menyertakan bukti terlebih dahulu. Agar
siswa dapat meningkatkan intuisinya dapat dilakukan aktifitas-aktifitas
refleksi diri, melakukan meditasi, dapat juga melalui aktifitas rasa
hati/perasaan untuk menjadi penunjuk arah dalam penyelesaian masalah.
b. Untuk
membantu ketajaman intuisi atau pikiran, selain banyak membaca, menelaah,
mengkaji, melihat pola atau relasi dari objek, mendiskusikan, mempertanyakan analisis,
juga hendaknya memperkuat mental kesadaran dan kesabaran, kejernihan pikiran
dan kesucian hati, hindari perbuatan, perkataan tak berarti atau tidak berguna
apalagi menentang hukum/aturan, baik hukum/aturan Tuhan maupun hukum/aturan yang dibuat manusia
(hukum negara atau aturan rumah tangga), bersikap positif terhadap semua mahluk
(antar sesama atau alam semesta), jagalah indra, akal, dan yang utama dan
pertama adalah hati kita, karena sesungguhnya hakekat belajar menggunakan dan
mengutamakan hati. Indra manusia sebagai
alat menangkap informasi (konsep/objek), dan otak/akal/pikiran sebagai pengolah
informasi (data/objek), sedangakan hati sebagai
alat yang dapat memberi makna informasi atau memahami konsep tersebut.
c.
Metakognisi siswa melibatkan
pengetahuan dan kesadaran siswa tentang aktivitas kognitifnya sendiri atau
segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas kognitifnya. Pengetahuan berkaitan dengan pengetahuan deklaratif,
procedural, dan kondisional, sedangkan aktivitas kognitif siswa berkaitan
perencanaan, prediksi, monitoring, dan mengevaluasi penyelesaian suatu tugas
tertentu. Oleh karena itu, metakognisi siswa memiliki peranan penting dalam menyelesaikan
masalah, khususnya dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognitif siswa dalam
menyelesaikan masalah, sehingga belajar dan berpikir yang dilakukan oleh siswa
dalam menyelesaikan masalah matematika menjadi lebih efektif dan efisien.
d.
Strategi
untuk meningkatkan kemampuan metakognisi siswa dapat dilakukan hal-hal sebagai
berikut:
Ø
Mintalah siswa untuk
memonitor belajar dan berpikir mereka sendiri.
Ø Mintalah siswa
mempelajari strategi-strategi belajar, seperti SQ3R dan SQ4R.
Ø Mintalah siswa
membuat prediksi tentang informasi yang akan dipresentasikan berdasarkan apa
yang telah mereka baca/atau mereka alami.
Ø Mintalah siswa
menghubungkan ide-ide untuk membentuk struktur pengetahuan.
Ø Mintalah siswa
membuat pertanyaan; bertanya pada diri mereka sendiri tentang apa yang terjadi
di sekeliling mereka.
Ø Bantulah siswa untuk
mengetahui kapan untuk bertanya.
Ø Tunjukkan siswa
bagaimana mentransfer pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan pada situasi
atau tugas lain.
DAFTAR BACAAN
Anderson, O.W. & Krathwohl, D.R. 2001. A
Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy
of Educational Objectives). New
York: Addision Wesley Longman, Inc.
Anonim. Metacognition.
Available: http://snow.utoronto.ca-/Learn2/mod2/ model. html.
Anonim. Metacognitve
Strategies. Available: http://coe.jmu.edu-/mathvidsr/
inststrat/ descrip/hms.htm
Anonim. What is Metacognition?
Available: http://www.usask.ca-/education/
802papers/ adkins/ sec1.htm.
Anonim. How Are Metcognitive
Strategies Transferd? Available: http://www. usask.ca-/education/802papers/adkins/sec2.htm.
Blakey, Elaine & Spence, Sheila. 1990. Developing
Metacognition. New York: ERIC
Clearinghouse on Information Resources Syracusa
NY.
Collins, Norma Decker. 1994. Metacognition and Reading To Learn. New
York: ERIC Clearinghouse on Information Resources Syracusa NY.
Fischbein, E. (1987). Intuition
in science and mathematics. Dordrecht,
The Netherlands: D. Reidel.
Fischbein, E. (1994). The interaction
between the formal, the algorithmic, and the intuitive components in a
mathematical activity. In R. Biehler, R. W. Scholz, R.
Fischbein, Efraim. 1980. Intuition
and Froof.Presented at the 4th Conference of International Group for
the Psychology of Mathematics Education. Berkeley.
Gadrner, 2006, Multiple Intelligence Inventory, diakses dari Learning Disabilities
Resource Community - Home - Projects - Multiple Intelligence Inventory.htm
Gagne, Robert M. 1988. Prinsip-Prinsip
Belajar Untuk Pengajaran (Essential of learning for Instruction). (Terjemaha oleh
Hanafi & Manan). Surabaya: Usaha Nasional.
Kossak, R. (1996). What
are infinitesimals and why they cannot be seen. American Mathematical
Monthly, 103, 864-853.
Livingston, Jennifer A. Metacognition:
An Overview. Available: http://www.gse. buffalo.edu/fas/shuell/cep564/metacog.htm.
Mohamad Nur. 2000. Strategi-Strategi
Belajar. Surabaya: Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah.
…………. 2002. Butir-Butir
Penting Teori Pemrosesan Informasi (Edisi 2). Surabaya: Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah
Meserve, Robert. E. 1973. “ Geometry as Gateway to Mathematics”.
Hawson, A.G. Editor. Developments in
Mathematical Education. New York: Cambridge University Press.
Meier, Herman. 1985. Kompedium
Didaktik Matematika. Bandung:
Remaja Karya CV.
Marpaung, Y. 1999. Mengejar Ketertinggalan Kita dalam
Pendidikan Matematika. Disampaikan dalam Upacara Pembukaan Program S3
Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya.
NCREL. 1995. Metacognition.
Available: http://www.ncrel.org/sdrs-/areas/issues/
students/learning/lrlmetn.htm
Nelson, T.O. 1992. Metacognition (Core Reading). Boston: Allyn and Bacon.
O’Neil & Brown. 1997. Differential
Effects of Question Formats in Math Assessment on Metacognition and Affect.
Los Angeles: National Center
for Research on Evaluation.
Rucker, Rudolf v.B. 1977. Geometry,
Relativity and The Forth Dimension. Canada:
General Publishing Company.
Ruseffendi, E .T. 1979. Pengajaran
Matematika Moderen. Bandung:
Tarsito.
Shoenfeld. 1987. What’s All The Fuss About
Metacognition. Available: http:// mathforum.org/~sarah/Discussion.Sessions/Schoenfeld.html.
Slavin. Robert E. Educational Psychology
(Theory and Practice). Boston:
Allyn and Bacon.
Smith, R.R dan J.F.Ulrich. 1956. Plane
Geometry. New York:
Harcourt, Brace & World, Inc.
Soedjadi, R dan Masriah.
1994. Hand Out Dasar Matematika.
Surabaya: IKIP Surabaya.
Soedjadi. R. 1998/1999. Kiat
Pendidikan Matematika di Indonesia. Depdikbud Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi.
Sumadi, H dan Masriyah.
1999. Sistem Geometri. Surabaya:
Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP.
Wellman, H., (1985). The Origins of Metacognition. In
D.L.Forrest-Pressley, G.E. MacKinnon, and T.G. Waller (eds.), Metacognition, Cognition, and Human
Performance, volume 1 – Theoretical Perspectives, chapter 1. Academic
Press, Inc.
0 komentar:
Posting Komentar
Guna Pengembangan Blog ini admin mohon komentarnya_terimakasih.