الباب الخامس
التّصريف
المشترك بين الأفعال والأسماء
Pada bab ini meliputi 3 pasal
۱ الإدغام
الإدغام[1] :masuknya huruf satu kedalam huruf lain dari jenisnya, sekiranya dua huruf itu menjadi satu dan di tasydid, contoh: مَدَّ يَمُدُّ مَدًّا asalnya مَدَدَ يَمْدُدُ مَدْدًا. Dalam idghom hukum kedua huruf itu adalah ketika huruf pertamanya sukun dan huruf keduanya hidup (berharokat) sedangkan antara keduanya tidak ada huruf pemisah.
Sukun pada huruf awal
adakalanya memang dari asalnya (mashdar) seperti: المَدُّ
الشَدُّ[2]. Dan adakalanya dengan membuang harokatnya seperti: [3]مدَّ شدَّ. Dan adakalanya dengan memindah harokat huruf awal idghom ke
huruf sebelumnya [4]يَمُدُّ
يَشُدُّ.
Adapun idghom itu terdapat dalam
dua huruf yang berdekatan makhrojnya (tempat keluarnya huruf), seperti dua
huruf yang sejenis (الإدغام
المتجانسين). Begitu juga dengan mengganti huruf awal supaya sejenis dengan
huruf yang kedua seperti: اِمْحَى
asalnya اِنْمَحَى
mengikuti wazan اِنْفَعَلَ
atau dengan mengganti huruf kedua agar sejenis dengan huruf awal seperti ادًّعَى
asalnya اِدْتَعَى
mengikuti wazan اِفْتَعَلَ.
أقسام الإدغام
إدغام صَغِيْر:
apabila huruf awal dari kedua huruf idghom sejak asalnya berharokat sukun.
إدغام كَبِيْر:
apabila kedua huruf idghom berharokat, kemudian huruf pertama di sukun dengan
membuang harokatnya, atau dengan memindah harokat huruf pertama ke huruf
sebelumnya.
Adapun disebut dengan إدغام كَبِيْر
karena didalamnya terdapat dua pengamalan yaitu menyukunkan (الإِسْكَان)
dan memasukkan الإِدْرَاج)).
Sedangkan إدغام صغير
tiada pengamalan didalamnya kecuali hanya memasukkan huruf awal kedalam huruf
yang kedua.
Idghom mempunyai 3 keadaan yaitu:
wajib, wenang (boleh) dan tercegah.
وجوب الإدغام
Wajib idghom berlaku pada dua huruf
sejenis ketika berada dalam satu kalimah[5],
sama juga apabila dua huruf itu berharokat seperti: مَرَّ يَمُرُّ
asalnya مَرَرَ يَمْرُرُ,
atau huruf yang awal mati dan yang kedua berharokat seperti مَدٍّ عَضٍّ
asalnya مَدْدٌ عَضْضٌ
atau seperti perkataan penya’ir اَلْحَمْدُ
لِلهِ الْعَلِيِّ الأَجْلَلِ hal itu dikarenakan dlorurot syi’ir, kiasnya الأَجَلِّ.
Kemudian apabila huruf awal dari
dua huruf idghom itu mati, maka
idghomkanlah huruf awal tadi kedalam
huruf kedua tanpa pergantian seperti شَدٍّ صَدٍّ
asalnya شَدْدٌ صَدْدٌ. Dan jika huruf awalnya hidup maka buanglah harokatnya dan
idghomkanlah tatkala huruf sebelum huruf pertama idghom hidup ataupun didahului
oleh huruf mad seperti رَدَّ رَادٍّ
asalnya رَدَدَ رَادِدٌ.
Adapun jika huruf sebelum huruf pertama idghom mati maka pindahkanlah harokat
huruf pertama ke harokat huruf sebelumnya seperti يَرُدُّ
asalnya يَرْدُدُ.
Dan wajib mengidghomkan dua huruf
yang berdampingan makhrojnya serta huruf pertama mati, ketika dua huruf itu
terdapat dalam dua kalimat, tetapi seakan-akan dalam satu kalimat, contoh: سَكَتُّ
سَكَنَّا عَنَّا عَلَيَّ asalnya سَكَتْتُ سَكَنْنَا عَنَّا عَلَيْيَ.
Kalimat tersebut merupakan contoh yang wajib idghom secara lafadz dan
tulisan, yaitu apabila huruf dari kalimat kedua berupa dlomir. Tetapi apabila
huruf dari kalimat kedua bukan dlomir maka hanya wajib idghom secara lafadz
saja, contoh: وَاكْتُبْ بِالْقَلَمِ , وَقُلْ لَهُ
, وَاسْتَغْفِرْ رَبَّكَ.
Dan sedikit sekali
(menyimpang dari qo’idah) yaitu meniadakan kewajiban idghom pada
lafadz-lafadz yang tidak ada ukuran/batasan atasnya, contoh: أَلِلَ السِّقَاءُ[6]
وَالْأَسْنَانُ (ketika bau keduanya menjadi tidak enak) وَدَبَبَ
الْإِنْسَانُ (ketika rambut tumbuh di dahi
manusia) [7]وَضَبِبَتِ
الْأَرْضُ (ketika banyak kabut di bumi). وَقَطِطَ
الشَّعْر (ketika rambut pendek dan
keriting). Lafadz قَطِطَ juga boleh diucapkan dengan
idghom yaitu قَطَّ. وَلَحِحَتْ
العَيْنُ (ketika kelopak matanya
melekat sebab kotoran/الرَّمْض[8]) وَلَخِخَتْ (ketika tetesan air mata
banyak dan kelopak matanya menjadi tebal/bintul). Lafadz لَحِحَتْ
لَخِخَتْ boleh juga diucapkan dengan
idghom yaitu لَحَّتْ لَخَّتْ. وَمَشَشَت الدَّابَّةُ (ketika nampak permusuhan/المَشَش[9] pada binatang) وعَزُزَت
النَّاقَةُ (ketika tempat mengalirnya
susu unta betina itu sempit).
Begitu pula terhukumi
syadz perkataan dalam kalimah isim seperti: رَجُلٌ ضَفِفُ
الْحَال yaitu seseorang yang keadaannya sempit, sengsara. Kalimat
tersebut juga diucapkan dengan idghom ضَفُّ الحَالِ.
وطَعَامٌ قَضِيْضٌ
yaitu didalam makanan itu ada seutas rambut ataupun debu, dan kalimat tersebut
juga diucapakan dengan idghom قَضٌّ dan
قَضِضٌ dalam
keadaan berharokat. Dalam hal ini proses pengidghoman di cegah, karena
kalimat-kalimat tersebut merupakan isim yang berwazan فَعِلٍ
yang akan diterangkan pada bab berikutnya.
جواز الإدغام
Boleh menggunakan
idghom dan meninggalkannya pada 4 tempat:
1.
Apabila huruf
awal dari kedua huruf idghom itu berharokat, dan huruf keduanya mati dengan
tanda sukun yang menunjukkan pada keadaan jazm atau [10]شبه الجزم
seperti لَمْ يَمُدَّ مُدَّ
dibaca dengan idghom, لَمْ يَمْدُدْ
dengan meninggalkan idghom. Sedangkan dalam hal
ini meninggalkan idghom itu lebih baik, seperti ayat al Qur-an يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِىءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ
QS An Nur: 35 dan وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوْبِهِمْ QS Yunus: 88.
Pada keadaan jazm atau syibh jazm kemudian dalam proses pengidghoman bertemu dengan alif tatsniyah, wawu jama’, ya’
mukhotobah atau nun taukid, maka wajib idghom untuk menghilangkan sukun huruf
kedua contoh: لَمْ يَمُدَّا مُدَّا, لَمْ يَمُدُّوا مُدُّوا, لَمْ تَمُدِّي مُدِّي, لَمْ يَمُدَّنْ مُدَّنْ, لَمْ يَمُدَّنَّ مُدَّنَّ
. Tetapi apabila bertemu dengan ضمير متحرك محل
رفع maka proses pengidghoman dicegah, sebagaimana keterangan yang
akan datang.
Pada keadaan
fi’il mudlori’ yang majzum dan pada fi’il amar sedangkan harokat huruf kedua
dalam proses pengidghoman tidak bersambung dengan sesuatu, maka harokat huruf
yang di idghom mengikuti harokat fa’ fi’ilnya. Dalam hal ini adalah qoul yang
paling banyak. Dan dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat dlomah serta huruf
idghom yang berharokat dlomah boleh juga memberi harokat fathah maupun kasroh
pada huruf idghomnya, seperti: رُدَّ لَمْ
يَرُدَّ , رَدَّ لَمْ يَرُدَّ.
Dan dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat fathah serta huruf idghom yang berharokat
fathah boleh juga memberi harokat kasroh pada huruf idghomnya, seperti: عَضِّ لَمْ
يَعَضِّ. Begitu pula dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat kasroh
serta huruf idghom yang berharokat kasroh boleh juga memberi harokat fathah pada
huruf idghomnya, seperti: فِرَّ لَمْ يَفِرَّ.
Haruslah kita
ketahui dari keterangan di atas bahwa sesungguhnya dalam keadaan fa’ fi’il yang
berharokat dlomah diperbolehkan memberi harokat dlomah, fathah maupun kasroh
pada huruf idghom. Adapun harokat kasroh pada keadaan tersebut sangatlah lemah,
sedangkan harokat fathah itu menyerupai
dengan dlomah dalam segi kekuatan dan banyak pemakaiannya. Dan bahwasanya dalam
keadaan fa’ fi’il yang berharokat fathah diperbolehkan memberi harokat fathah
maupun kasroh pada huruf idghom, adapun harokat fathah lebih utama dan lebih
banyak pemakaiannya. Begitu pula dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat kasroh
diperbolehkan memberi harokat kasroh dan fathah pada huruf idghom, adapun
harokat kasroh dan fathah itu sama saja dalam segi penggunaannya.
Dari
keterangan di atas fi’il mudlori’ yang jazm alamat I’robnya dengan sukun yang
dikira-kirakan pada akhirnya, yang mencegah tampaknya sukun adalah harokat
idghom. Begitu juga pada fi’il amar, alamat i’robnya yaitu sukun yang
dikira-kirakan, harokat idghom mencegah nampaknya sukun tersebut.
Dan ketahuilah
bahwa sesungguhnya hamzah washol pada fi’il amar dari fi’il tsulatsi mujarrod,
seperti: اُمْدُدْ hamzah washol tidak
di butuhkan lagi setelah proses idghom, kemudian hamzah washol dibuang,
seperti: مُدَّ
karena hamzah washol hanya didatangkan untuk menyelamatkan huruf awal dari
sukun. Maka sungguh telah hilang sebab-sebab mendatangkan hamzah washol karena
awal kalimat مُدَّ
telah berharokat.
2.
Apabila ‘ain
fi’il dan lam fi’il berupa huruf ياء
yang harus berharokat keduanya seperti: عَييَ حَييَ
maka diucapkan dengan idghom عَيَّ حَيَّ.
Apabila
harokat huruf kedua menunjukkan/dibutuhkan untuk alamat I’rob, seperti لَنْ يُحْيِيَ
رَأَيْتُ مَحْيِيًا maka proses idghom dicegah. Begitu pula jika sukun huruf kedua
menunjukkan alamat i’rob seperti: عَيَيْتُ
حَيَيْتُ.
3.
Apabila dua
huruf تاء bertempat pada permulaan fi’il madli, seperti: تَتَابَعَ
تَتَبَّعَ maka boleh diidghomkan bila fi’il madli tersebut bersambung
dengan hamzah washol, hal itu untuk mencegah huruf awal yang disukun karena
proses pengidghoman seperti اِتَّابَعَ اِتَّبَّعَ. Tetapi jika dua تاء
tersebut bertempat
pada fi’il mudlori’ maka tidak boleh mengidghomkannya, tetapi boleh
meringankannya dengan membuang salah satu dari dua تاء
seperti: تَتَجَلَّى تَتَلَظَّى
menjadi تَجَلَّى تَلَظَّى. Seperti
dalam firman Alloh SWT: تَنَزَّلُ الْمَلئِكَةُ وَالرُّوْحُ
فِيْهَا QS Al Qodr: 4, ناَرًا
تَلَظَّى QS Al Layl:14, asalnya adalah تَتَنَزَّلُ
تَتَلَظَّى. Dalam hal ini (membuang salah satu تاء)
adalah yang paling masyhur dan paling banyak pemakaiannya.
4.
Apabila ada
dua huruf sejenis yang berdampingan dan keduanya berharokat serta terletak
dalam dua kalimat, seperti: جَعَلَ لِىْ كَتَبَ بِالْقَلَمِ
maka boleh di idghomkan dengan memberi harokat sukun pada huruf awal, kemudian
menjadi: جَعَلْ لِىْ كَتَبْ بِالْقَلَمِ.
Dalam keadaan ini boleh idghom hanya pada lafadz, tidak secara
tulisannya.
امتناع الإدغام
Idghom
dilarang pada 7 tempat:
1.
Ketika dua
huruf berada pada pemulaan kalimat seperti: دَدَنٍ دَدًا
دَدٍ دَدَانٍ تَتَرٍ دَنَنٍ[11].
2.
Ketika ada dua
huruf pada kalimah isim yang mengikuti wazan فُعَلٍ
(dengan mendlomah fa’ fi’il dan memfathah ‘ain fi’il) seperti دُرَرٍ جُدَدٍ
صُفَفٍ[12].
Atau mengikuti wazan فُعُلٍ
(dengan mendlomah fa’ fi’il dan ‘ain fi’il) seperti سُرُرٍ ذُلُلٍ
جُدُدٍ[13].
Atau mengikuti wazan فِعَلٍ
(dengan mengkasroh fa’ fi’il dan memfathah ‘ain fi’il) seperti لِمَمٍ كِلَلٍ
حِلَلٍ[14].
Atau mengikuti wazan فَعَلٍ
(dengan memfathah fa’ fi’il dan ‘ain fi’il) seperti طَلَلٍ لَبَبٍ
خَبَبٍ[15].
3.
Apabila ada
dua huruf yang bertempat pada fi’il
ruba’i mulhaq, baik itu mulhaq mazid, seperti: جَلْبَبَ
atau mulhaq yang tidak mazid, seperti: هَيْلَلَ[16]
4.
Apabila bertemu
dua huruf yang mati sedangkan huruf yang pertama sudah idghom seperti: هَلَّلَ[17]
مُهَلِّلٌ شَدَّدَ مُشَدِّدٌ.
Pada hal ini dilarang karena apabila terjadi proses idghom pada huruf kedua
maka akan terjadi pengulangan idghom, sedangkan pengulangan idghom itu tidak
diperbolehkan.
5.
Apabila
terdapat dua huruf yang mengikuti wazan أَفْعَلَ
dan berkedudukan/ menunjukkan تَعَجُّب
contoh: أَعْزِزْ بِالْعِلْمِ! أَحْبِبْ بِهِ!
Maka tidak boleh mengucapkan lafadz tersebut dengan أَعَزَّ بِالْعِلْمِ!
أَحَبَّ بِهِ!.
6.
Apabila
harokat sukun pada salah satu huruf idghom menunjukkan ‘alamat I’rob karena
bersambung dengan dlomir متحرك محل رفع
contoh: مَدَدْتُ , مَدَدْنَا مَدَدْتَ مَدَدْتُمْ
مَدَدْتُنَّ.
7.
Apabila terdapat
kalimat yang syad (keluar dari qo’idah) orang ‘arob sedangkan kalimat itu tidak
dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu kalimat-kalimat yang telah
disebutkan pada pembahasan sebelumnya.
فائدة
Apabila terdapat فعل ماضى ثلاثى
مجرد yang dikasroh a’in fi’ilnya yang berbina’ مضاعف
serta disandarkan/ bertemu dengan ضمير متحرك محل
رفع maka dalam hal ini terdapat 3 hukum:
1.
Menggunakan
lafadz tersebut secara sempurna yaitu meninggalkan/ tidak menggunakan proses
pengidghoman, contoh pada lafadz ظَلَّ
dibaca ظَلِلْتُ.
2.
Membuang
‘ain fi’ilnya beserta tetapnya harokat fathah pada fa’ fi’il, contoh: ظَلْتُ.
3.
Membuang
‘ain fi’ilnya dan memindah harokat kasroh ’ain fi’il
ke fa’ fi’il setelah membuang harokat fathah fa’ fi’il tersebut, contoh: ظِلْتُ.
Alloh SWT berfirman:
وَانْظُرْ إِلَى إِلهِكَ الَّذِى ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا (طه:٩٧) , لَوْ نَشَاءُ لَجَعَلْنَاهُ حُطَامًا فَظَلْتُمْ تَفَكَّهُوْنَ[18]
(الواقعة:٦٥)
Kedua ayat tersebut
dibaca dengan memfathah huruf ظاء dengan tetapnya harokat ظاء tersebut, atau dengan memberi harokat kasroh pada huruf ظاء dikarenakan harokat huruf ظاء dibuang kemudian memindah harokat huruf لام
yang dibuang ke huruf ظاء.
Kemudian bila terdapat فعل مضارع
ثلاثى مجرد atau فعل أمر ثلاثى
مجرد yang berbina’ مضاعف yang dikasroh ‘ain fi’ilnya serta disandarkan/ bertemu dengan ضمير متحرك محل
رفع maka dalam hal ini terdapat dua hukum:
1.
Boleh dibaca
itmam (tidak menggunakan qo’idah idghom) contoh pada lafadz يَقِرُّ قِرَّ dibaca يَقْرِرْنَ اِقْرِرْنَ
2.
Boleh membuang
‘ain fi’ilnya kemudian memindah harokat ‘ain fi’il ke lam fi’il, contoh: يَقِرْنَ
قِرْنَ. Sebagian contohnya terdapat dalam Al Qur-an pada bacaan selain
إمام نافع dan
إمام عاصم
yaitu وَقِرْنَ فِى بُيُوْتِكُنَّ (الأحزاب ٣٣)
dengan member harokat kasroh pada qof.
Dalam hukum yang kedua ini tidak
diperbolehkan memberi harokat fathah pada ‘ain fi’il kecuali pada lafadz-lafadz
yang sima’I, contoh: وَقَرْنَ فِى بُيُوْتِكُنَّ
(dengan
memfathah qof) pada bacaan إمام نافع, إمام عاصم,
dan إمام حفص.
Sedangkan
pembacaan kasroh pada قِرْنَ itu asalnya adalah اِقْرِرْنَ dikarenakan lafadz قَرَّ bias menduduki dua tempat yaitu:
1.
Bab فَعَلَ يَفْعِلُ dengan memfathah ‘ain fi’ilnya pada f’il madli dan mengkasroh
‘ain fi’ilnya pada f’il mudlori’.
2.
Bab فَعِلَ
يَفْعَلُ dengan mengkasroh ‘ain
fi’ilnya pada fi’il madli dan memfathah ‘ain fi’ilnya pada fi’il mudlori’.
٢ الإعلال
الإعلال
adalah
membuang huruf ‘illat atau menggantinya atau menyukunnya (mematikannya).
Membuang huruf ‘illat seperti: يَرِثُ
asalnya يَوْرِثُ.
Mengganti huruf ‘illat seperti قَالَ
asalnya قَوَلَ. Menyukun huruf ‘illat seperti يَمْشِيْ asalnya يَمْشِيُ.
الإعلال بالحذف
Huruf ‘illat dibuang pada tiga tempat yaitu:
1.
Apabila
huruf ‘illat tersebut berupa huruf mad
dan sesudah huruf mad terdapat huruf yang mati (berharokat sukun) contoh: قُمْ خَفْ بِعْ
قُمْتُ خِفْتُ بِعْتُ يَقُمْنَ يَخَفْنَ يَبِعْنَ رَمَتْ تَرْمُوْنَ تَرْمِيْنَ قَاضٍ
فَتًى asalnya adalah قُوْمْ خَاْفْ
بِيْعْ قُوْمْتُ خِيْفْتُ بِيْعْتُ يَقُوْمْنَ يَخَاْفْنَ يَبِيْعْنَ رَمَاْتْ
تَرْمِيُوْنَ تَرْمِيِيْنَ قَاضِيُنْ فَتَاْنْ[19]. Adapun pembuangan huruf ‘illat disini dikarenakan untuk
mencegah bertemunya dua huruf yang mati
[3] Asal
kedua kalimat itu adalah مَدَدَ شَدَدَ, huruf دال yang pertama disukun
dengan membuang harokatnya (fathah), kemudian دال yang pertama diidghomkan
ke دال
yang kedua.
[4] Asal kedua kalimat itu adalah يَمْدُدُ يَشْدُدُ
harokat دال
yang pertama dipindah kehuruf sebelumnya yang mati yaitu ميم pada kalimat يَمْدُدُ dan ke ميم pada kalimat يَشْدُدُ, kemudian huruf دال yang berharokat sukun
diidghomkan ke دال
yang kedua.
[5] Kecuali pada lafadz yang dicegah untuk menggunakan idghom dan boleh
menggunakan maupun meninggalkan idghom. Kita akan tahu tempat-tempat dimana
hokum idghom itu dicegah dan diperbolehkan.
[9] المشش: suatu kejadian yang
nampak pada kebiasaan hewan sampai kemenangan diraih hewan yang paling kuat.
[11] الدَدَن والدَدَا والدَد: senda gurau dan
permainan. الددان:
orang yang tidak punya harta dan tidak bermanfaat. التتر:
الدنن: condongnya
matahari/baying-bayang pada waktu dhuhur.
[12] الجُدَد
bentuk jama’ dari lafadz جُدَةٌ: jalan dan petunjuk. الصُفَف bentuk jama’ dari صفة: rumah yang bersih,
bangunan yang mempunyai 3 pagar, rumah yang terlindung dari panas.
[13] السُرُر
bentuk jama’ dari سرير.
الذُلُل
bentuk jama’ dari ذَلُوْل:
unta yang tidak bekerja keras. الجُدُد bentuk jama’ dari جَدِيدٌ.
[14] اللِمَم bentuk jama’ dari لِمة: rambut yang tumbuh
malampaui cuping (tempat anting-anting). Ketika sampai pada bahu maka dinamakan
جُمَّة.
الكِلَل
bentuk jama’ dari كِلَّة:
satir/kain penutup yang tipis, tutup yang dijahit agar rumah bersih dari
nyamuk. Dalam pengetahuan kita dinamakan denagn kelambu (النَامُوسِيَّة). الحِلَل jama’ dari حِلَّة: tempat tinggal
sementara/pemukiman. Adapun الحُلَّة bentuk mufrod dari حُلَل berma’na: pakaian yang
dibuat dari dua baju seperti jubah dan selendang.
[15] الطلل: sesuatu yang tinggi
dari bekas rumah, tingginya setiap sesuatu dan tempat yang tinggi, bentuk
jama’nya adalah إطلال
dan طلول.
اللبب:
tempat kalung didada, dan sesuatu yang dibuat untuk mengikat leher hewan supaya
seseorang bisa menahannya dari berhenti (tali kendali binatang) dan sesuatu
yang lembut dari pasir, bentuk jama’nya adalah الألباب. الخبب: jenis/macam- macam cara
kuda berjalan yaitu untuk peristirahatan kuda antara kaki depan dan belakang/
jarak antara kaki depan dan belakang ketika kuda berjalan.
[16] هَيْلَلَ adalah kebanyakan berasal dari kalimat لاإله إلاالله yaitu salah satu kalimat manhut yang ditinjau susunan
kalimatnya, begitu juga seperti lafadz بَسْمَلَ
yaitu ketika mengucap بسم
الله الرحمن الرحيم.
0 komentar:
Posting Komentar
Guna Pengembangan Blog ini admin mohon komentarnya_terimakasih.