DALIL AMALAN WARGA NAHDLIYIN (NU)
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis
panjatkan atas kehadirat Allah SWT sang Pencipta alam semesta, manusia, dan
kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat,
taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Elektronik
Book (E-BOOK) ini dengan judul “DALIL AMALAN WARGA NAHDLIYIN (NU)’ ini
dapat terselesaikan tidak kurang dari pada waktunya.
dapat terselesaikan tidak kurang dari pada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan
E-BOOK ini tidak lain sebagai informasi dan “meluruskan” dari tuduhan golongan
yang tidak sepaham dengan amalan-amalan warga nahdliyin, sehingga mudahnya
mereka mengatakan banyak amalan warga NU berbau Tahayul, Bid’ah dan Churafat
(TBC) .Sebenarnya penulis pun tidak mempermasalahkan sebuah perbedaan pendapat
namun penulis sangat merasa prihatin sebagai warga nahdliyin ketika orang-orang
dari golongan lain mempermasalahkan amalan-amalan yang juga merupakan amalan
yang penulis lakukan sebagai warga nahdliyin.
Pada kesempatan ini, penulis juga
ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian e-book ini baik secara langsung maupun tidak langsung..
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulispun sadar
bawasanya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wa’jalla sehingga
dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran
yang konstruktif akan senantiasa penulis harapkan dalam upaya untuk
mengevaluasi diri penulis pribadi ^_^. Akhirnya penulis hanya bisa berharap,
bahwa dibalik ketidaksempurnaan penulisan dan penyusunan e-book ini ditemukan
sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca,
dan bagi seluruh warga nahdliyin khususnya.
Kepanjen,12 Maret 2011
M. Imam Nawawi, S.PdI
DAFTAR ISI
Halaman Judul
…………………………………………………………………………….. 1
Kata Pengantar
…………………………………………………………………………….. 2
Daftar Isi
……………………………………………………………………………………. 3
1. Makna ”KULLU BID’AH DHOLALAH”
…………………………………………. 4
2. Mengenal Makna Bidah
………………………………………………………………. 7
3. Pertanyaan dan jawaban seputar
bidah ……………………………………………. 11
4. Bid’ah sebuah kata sejuta makna
……………………………………………………15
5. Contoh-contoh bid’ah yang
diamalkan para sahabat .............................................. 26
6. Qadha (penggantian) Sholat yang
ketinggalan dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya
......................................................................................................................
42
7. Dalil Sholat sunnah Qabliyah
(sebelum) sholat Jum’at ............................................ 45
8. Dalil mengangkat tangan waktu
berdo’a ................................................................... 48
9. Menyebut nama Rasulullah saw.
dengan awalan kata sayyidina atau maulana… 50
10. Penggunaan Tasbih bukanlah
bid’ah sesat ………………………………………… 58
11. Bagaimana hukum menyuguhkan
makanan baik kepada para jamaah yang datang membacakan tahlil bagi si mayit
maupun bagi para pentakziah? ………………... 63
12. Hukum Duduk Bersama Untuk
Berdzikir …………………………………………. 65
13. Dalil Nyekar Bunga Di Kuburan ……………………………………………………. 66
14. Dalil Tentang Bolehnya
Bertabaruk ………………………………………………... 68
15. Bagaimana hukumnya membaca
manaqib? ……………………………………….. 71
16. Dalil Bolehnya Bertawasul
………………………………………...………………… 77
17. Hukum Maulid Nabi
…………………………………………………………………. 80
18. Dalil Membaca dzikir dan syair
sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah ………. 82
19. Berzikir dengan pengeras suara
…………………………………………………….. 83
20. Hukum Meng-Hadiah-kan Fatihah ………………………………………………….
84
21. Hukum Bacaan al-Qur’an, Doa
(Tahlil) dan Jamuan makan untuk orang mati ... 85
22. Tahlilan/Kenduri Arwah, Mana
dalilnya? …………………………………………. 87
23. Hukum Membaca Al-Barzanji
………………………………………………………. 98
1. Makna “KULLU BID’AH DHOLALAH”
Pada firman Allah yang berbunyi :
Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah
diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan
dari air sperma, SEBAGIAN makhluk hidup.Karena Allah juga berfirman
menceritakan tentang penciptaan jin dan Iblis yang berbunyi: Khalaqtanii min
naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api.
Dengan demikian, ternyata lafadl
KULLU, tidak dapat diterjemahkan secara mutlak dengan arti : SETIAP/SEMUA,
sebagaimana umumnya jika merujuk ke dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal
itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Demikian juga dengan arti hadits
Nabi saw. : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah,. Maka harus diartikan:
Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak
dapat diartikan SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat, karena Hadits ini juga muqayyad
atau terikat dengan sabda Nabi saw., yang lain: Man sanna fil islami sunnatan
hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha. Artinya : Barangsiapa
memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan
pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya.
Jadi jelas, ada perbuatan baru yang
diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh Nabi
saw. dan dijanjikan pahala bagi pencetusnya, serta tidak dikatagorikan BID`AH
DHALALAH.
Sebagai contoh dari man sanna
sunnatan hasanah (menciptakan perbuatan baik) adalah saat Hajjaj bin Yusuf
memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta pembagiannya pada juz,
ruku`, maqra, dll yang hingga kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh
umat Islam.
Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah
itu dapat diklasifikasi sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU
BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang
contohnya :
1. Adanya sebagian masyarakat yang
secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla.
2. Adanya kalangan umat Islam yang
menghadiri undangan Natalan.
3. Adanya beberapa sekelompok muslim
yang memusuhi sesama muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam
masalah-masalah ijtihadiyah furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah),
padahal sama-sama mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya
karena merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi
sebagai BID`AH DHALALAH).
Ada pula pemahaman yang mengatakan,
bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di dalam Islam dan tidak
bertentangan dengan syariat Islam yang sharih, maka disebut SANNA (menciptakan
perbuatan baik). Contohnya:
- Adanya sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., tetapi dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanakan shalat sunnah malam
hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan, adalah masalah
ijtihadiyah yang tidak didapati tuntunannya secara langsung dari Nabi saw.
maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi tradisi yang baik di Arab Saudi.
Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya dalil-dalil dari Alquran-Hadits
yang dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara langsung/sharih,
melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya ayat Alquran-Hadits yang
memerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan adanya perintah menghidupkan
malam di bulan Ramadhan.
Tetapi mengkhususkan shalat sunnah
malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah shalat tarawih dengan berjamaah di
masjid, adalah jelas-jelas perbuatan BID`AH yang tidak pernah dilakukan oleh
Nabi saw. dan ulama salaf. Sekalipun demikian masih dapat dikatagorikan sebagai
perilaku BID`AH HASANAH.
Demikian juga umat Islam yg
melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa untuk mayyit, melaksanakan perayaan
maulid Nabi saw. mengadakan isighatsah, dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun
amalan-amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. namun masih terdapat
dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara ma’nawiyah.
Contoh mudah, tentang pembacaan
tahlil (tahlilan masyarakat), bahwa isi kegiatan tahlilan adalah membaca surat
Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini jelas-jelas adalah perintah
Alquran-Hadits. Dalam kegiatan tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah,
Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi saw. yang jelas-
jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan doa yang disabdakan oleh Nabi
saw. : Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah.
Yang jelas, bahwa menghadiri majelis ta`lim atau majlis dzikir serta memberi
jamuan kepada para tamu, adalah perintah syariat yang terdapat di dalam
Alquran-Hadits.
Hanya saja mengemas amalan-amalan
tersebut dalam satu rangkaian kegiatan acara tahlilan di rumah-rumah penduduk
adalah BID`AH, tetapi termasuk bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH
HASANAH. Hal itu, karena senada dengan shalat sunnah malam berjamaah yang
dikhususkan di bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi
Arab Saudi.
Nabi saw. dan para ulama salaf, juga
tidak pernah berdakwah lewat pemancar radio atau menerbitkan majalah dan
bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang, Nabi saw. pernah melarang
penulisan apapun yang bersumber dari diri beliau saw. selain penulisan Alquran.
Sebagaiman di dalam sabda beliau saw. : La taktub `anni ghairal quran, wa man
yaktub `anni ghairal quran famhuhu. Artinya: Jangan kalian menulis dariku
selain alquran, barangsiapa menulis dariku selain Alquran maka hapuslah.
Sekalipun pada akhir perkembangan Islam, Nabi saw. menghapus larangan tersebut
dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah.
Meskipun sudah ada perintah Nabi
saw. untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi
batasan-batasan yang sangat ketat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
para muhadditsin. Fenomena di atas sangat berbeda dengan penerbitan majalah
atau bulletin.
Dalam penulisan artikel untuk
majalah atau bulletin, penulis hanyalah mencetuskan pemahaman dan pemikirannya,
tanpa ada syarat-syarat yang mengikat, selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi
standar jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun isi kandungannya jauh
dari standar kebenaran syariat.
Contohnya, dalam penulisan artikel,
tidak ada syarat tsiqah (terpercaya) pada diri penulis, sebagaimana yang
disyaratkan dalam periwayatan dan penulisan Hadits Nabi saw. Jadi sangat
berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama
untuk diterima-tidaknya Hadits yang diriwayatkannya.
Namun, artikel majalah atau bulletin
dan yang semacamnya, jika berisi nilai-nilai kebaikan yang sejalan dengan
syariat, dapat dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat
majalah atau bulletin ini, tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. maupun oleh
ulama salaf manapun. Namun karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan
dalam ajaran Islam, selagi tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.
2. Mengenal Makna Bidah
Ada sekelompok golongan yg suka
membid’ah-bid’ahkan (sesat) berbagai kegiatan yang baik di masyarakat, seperti
peringatan Maulid, Isra’ Mi’raj, Yasinan mingguan, Tahlilan dll. Kadang mereka
berdalil dengan dalih “Agama ini telah sempurna” atau dalih “Jika perbuatan itu
baik, niscaya Rasulullah saw. telah mencontohkan lebih dulu” atau mengatakan
“Itu bid’ah” karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Atau
“jikalau hal tersebut dibenarkan,
maka pasti Rasulullah saw. memerintahkannya. Apa kamu merasa lebih pandai dari
Rasulullah?”
Mem-vonis bid’ah sesat suatu amal
perbuatan (baru) dengan argumen di atas adalah lemah sekali. Ada berbagai amal
baik yang Baginda Rasul saw. tidak mencontohkan ataupun memerintahkannya.
Teriwayatkan dalam berbagai hadits dan dalam fakta sejarah.
1. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan
Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata kepada Bilal ketika shalat
fajar (shubuh), “Hai Bilal, ceritakan kepadaku amalan apa yang paling engkau
harap pahalanya yang pernah engkau amalkan dalam masa Islam, sebab aku
mendengar suara terompamu di surga. Bilal berkata, “Aku tidak mengamalkan
amalan yang paling aku harapkan lebih dari setiap kali aku berssuci, baik di
malam maupun siang hari kecuali aku shalat untuk bersuciku itu”.Dalam riwayat
at Turmudzi yang ia shahihkan, Nabi saw. berkata kepada Bilal,
‘Dengan apa engkau mendahuluiku
masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak mengumandangkan adzan melainkan aku
shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melaikan aku bersuci dan aku
mewajibkan atas diriku untuk shalat (sunnah).” Maka Nabi saw. bersabda “dengan
keduanya ini (engkau mendahuluiku masuk surga).
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh
Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih berdasarkan syarat keduanya (Bukhari
& Muslim).” Dan adz Dzahabi mengakuinya.
Hadis di atas menerangkan secara
mutlak bahwa sahabat ini (Bilal) melakukan sesuatu dengan maksud ibadah yang
sebelumnya tidak pernah dilakukan atau ada perintah dari Nabi saw.
2. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan
para muhaddis lain pada kitab Shalat, bab Rabbanâ laka al Hamdu,
Dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia
berkata, “Kami shalat di belakang Nabi saw., maka ketika beliau mengangkat
kepala beliau dari ruku’ beliau membaca, sami’allahu liman hamidah (Allah maha
mendengar orang yang memnuji-Nya), lalu ada seorang di belakang beliau membaca,
“Rabbanâ laka al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi (Tuhan kami,
hanya untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta
diberkahi).
Setelah selesai shalat, Nabi saw.
bersabda, “Siapakah orang yang membaca kalimat-kalimat tadi?” Ia berkata,
“Aku.” Nabi bersabda, “Aku menyaksikan tiga puluh lebih malaikat berebut
mencatat pahala bacaaan itu.”
Ibnu Hajar berkomentar, “Hadis itu
dijadikan hujjah/dalil dibolehannya berkreasi dalam dzikir dalam shalat selain
apa yang diajarkan (khusus oleh Nabi saw.) jika ia tidak bertentang dengan yang
diajarkan. Kedua dibolehkannya mengeraskan suara dalam berdzikir selama tidak
menggangu.”
3. Imam Muslim dan Abdur Razzaq ash
Shan’ani meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata,
Ada seorang lali-laki datang
sementara orang-orang sedang menunaikan shalat, lalu ketika sampai shaf, ia
berkata:
اللهُ
أكبرُ كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و أصِيْلاً.
Setelah selesai shalat, Nabi saw.
bersabda, “Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi?
Orang itu berkata, “Aku wahai
Rasulullah saw., aku tidak mengucapkannya melainkan menginginkan kebaikan.”
Rasulullah saw. bersabda, “Aku
benar-benar menyaksikan pintu-pintu langit terbuka untuk menyambutnya.”
Ibnu Umar berkata, “Semenjak aku
mendengarnya, aku tidak pernah meninggalkannya.”
Dalam riwayat an Nasa’i dalam bab
ucapan pembuka shalat, hanya saja redaksi yang ia riwayatkan: “Kalimat-kalimat
itu direbut oleh dua belas malaikat.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar
berkata: “Aku tidak pernah meningglakannya semenjak aku mendengar Rasulullah
saw. bersabda demikian.”
Di sini diterangkan secara jelas
bahwa seorang sahabat menambahkan kalimat dzikir dalam i’tidâl dan dalam
pembukaan shalat yang tidak/ belum pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh
Rasulullah saw. Dan reaksi Rasul saw. pun membenarkannya dengan pembenaran dan
kerelaan yang luar biasa.
Al hasil, Rasulullah saw. telah
men-taqrîr-kan (membenarkan) sikap sahabat yang menambah bacaan dzikir dalam
shalat yang tidak pernah beliau ajarkan.
4. Imam Bukhari meriwayatkan dalam
kitab Shahihnya, pada bab menggabungkan antara dua surah dalam satu raka’at
dari Anas, ia berkata,
“Ada seorang dari suku Anshar
memimpin shalat di masjid Quba’, setiap kali ia shalat mengawali bacaannya
dengan membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad sampai selesai kemudian membaca surah
lain bersamanya. Demikian pada setiap raka’atnya ia berbuat. Teman-temannya
menegurnya, mereka berkata, “Engkau selalu mengawali bacaan dengan surah itu
lalu engkau tambah dengan surah lain, jadi sekarang engkau pilih, apakah
membaca surah itu saja atau membaca surah lainnya saja.” Ia menjawab, “Aku
tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku kerjakan. Kalau kalian tidak
keberatan aku mau mengimami kalian, kalau tidak carilah orang lain untuk
menjadi imam.” Sementara mereka meyakini bahwa orang ini paling layak menjadi
imam shalat, akan tetapi mereka keberatan dengan apa yang dilakukan.
Ketika mereka mendatangi Nabi saw.
mereka melaporkannya. Nabi menegur orang itu seraya bersabda, “hai fulan, apa
yang mencegahmu melakukan apa yang diperintahkan teman-temanmu? Apa yang
mendorongmu untuk selalu membaca surah itu (Al Ikhlash) pada setiap raka’at? Ia
menjawab, “Aku mencintainya.”
Maka Nabi saw. bersabda,
“Kecintaanmu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga.”
Demikianlah sunnah dan jalan Nabi
saw. dalam menyikapi kebaikan dan amal keta’atan walaupun tidak diajarkan
secara khusus oleh beliau, akan tetapi selama amalan itu sejalan dengan ajaran
kebaikan umum yang beliau bawa maka beliau selalu merestuinya. Jawaban orang
tersebut membuktikan motifasi yang mendorongnya melakukan apa yang baik kendati
tidak ada perintah khusus dalam masalah itu, akan tetapi ia menyimpulkannya
dari dalil umum dianjurkannya berbanyak-banyak berbuat kebajikan selama tidak
bertentangan dengan dasar tuntunan khusus dalam syari’at Islam.
Kendati demikian, tidak seorangpun
dari ulama Islam yang mengatakan bahwa mengawali bacaan dalam shalat dengan
surah al Ikhlash kemudian membaca surah lain adalah sunnah yang tetap! Sebab
apa yang kontinyu diklakukan Nabi saw. adalah yang seharusnya dipelihara, akan
tetapi ia memberikan kaidah umum dan bukti nyata bahwa praktik-prakti seperti
itu dalam ragamnya yang bermacam-macam walaupun seakan secara lahiriyah berbeda
dengan yang dilakukan Nabi saw. tidak berarti ia bid’ah (sesat).
5. Imam Bukhari meriwayatkan dalam
kitab at Tauhid,
dari Ummul Mukminin Aisyah ra. bahwa
Nabi sa. Mengutus seorang memimpin sebuah pasukan, selama perjalanan orang itu
apabila memimpin shalat membaca surah tertentu kemudian ia menutupnya dengn
surah al Ikhlash (Qulhu). Ketika pulang, mereka melaporkannya kepada nabi saw.,
maka beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukannya?” Ketika
mereka bertanya kepadanya, ia menjawab “Sebab surah itu (memuat) sifat ar
Rahman (Allah), dan aku suka membacanya.” Lalu Nabi saw. bersabda, “Beritahukan
kepadanya bahwa Allah mencintainya.” (Hadis Muttafaqun Alaihi).
Apa yang dilakukan si sahabat itu
tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., namun kendati demikian beliau
membolehkannya dan mendukung pelakunya dengan mengatakan bahwa Allah
mencintainya.
3. Pertanyaan dan Jawaban Seputar
Bidah
Orang-orang yang tidak sependapat
dengan amalan warga NU biasanya membidahkan amalan warga Nahdliyin dengan dalil
sebagai berikut:
- Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari)
- Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim)
- Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bid'ah sesudah aku (Rasulullah Saw.) tiada maka tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bid'ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat. (HR. Ath-Thahawi)
- Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani." (HR. Bukhari)
- Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku setelah aku tiada: kesesatan sesudah memperoleh pengetahuan, fitnah-fitnah yang menyesatkan, dan syahwat perut serta seks. (Ar-Ridha)
- Barangsiapa menipu umatku maka baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan, "Ya Rasulullah, apakah pengertian tipuan umatmu itu?" Beliau menjawab, "Mengada-adakan amalan bid'ah, lalu melibatkan orang-orang kepadanya." (HR. Daruquthin dari Anas).
Setelah kita membaca hadits-hadits
di atas Coba saudara cermati lagi. Telah kami terangkan bahwa kami umat Islam
Ahlussunnah Wal Jamaah sangat menolak bid'ah dhalalah, persis dengan hadits2 di
atas, yaitu menolak perilaku menciptakan ibadah baru yang bertentangan dengan
ajaran Syariat Islam, contohnya pelaksanaan Doa Bersama Muslim non Muslim,
karena perilaku itu bertentangan dengan Alquran, falaa taq'uduu ma'ahum hatta
yakhudhuu fi hadiitsin ghairih (janganlah kalian duduk dengan mereka -non
muslim dalam ritualnya- hingga mereka membicarakan pembahasan lain -yang bukan
ritual). Serta dalil lakum diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku
agamaku. Jadi jelaslah, perilaku “Doa Bersama Muslim non Muslim” ini ini
jelas-jelas bid'ah dhalalah, tidak ada tuntunannya sedikitpun di dalam Islam.
Tetapi tentang bid'ah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk
mayit, pasti tetap kami laksanakan, karena tidak bertentangan dengan syariat
Islam,
bahkan ada perintahnya baik dari
Alquran maupun Hadits. Perlu diketahui, yang dimaksud ritual Tahlilan itu,
adalah dimulai dengan
- Mengumpulkan masyarakat untuk hadir di majlis dzikir dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi? Hadits masyhur : idza marartum bi riyaadhil jannah farta'uu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya rasulullah? Qaala hilaqud dzikr (Jika kalian mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka bertanya, apa itu (riyadhul jannah) taman sorga, wahai Rasulullah? Beliau menjawab : majlis dzikir).
- Membaca surat Alfatihah, tidakkah baca Alfatihah ini perintah syariat ?
- Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah syariat ?
- Baca Al-ikhlas, Al-alaq-Annaas, tidakkah Allah berfirman faqra-u ma tayassara minal quran (bacalah apa yang mudah/ringan dari ayat Alquran).
- Baca subhanallah, astaghfirullah, shalawat Nabi, kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah.
- Doa penutup.
- Lantas tuan rumah melaksanakan ikramud dhaif, menghormati tamu sesuai dengan kemampuannya.
Tentunya dalam masalah ini sangat
bervariatif sesuai dengan tingkat kemampuannya, tak ubahnya saat Akhi/keluarga
Akhi melaksnakan pernikahan dengan suguhan untuk tamu, yang disesuaikan dengan
kemampuan tuan rumah.
Nah, jika amalan2 ini dikumpulkan
dalam satu tatanan acara, maka itulah yang dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi
tidak pernah mengamalkan tahlilan model Indonesia ini, namun setiap komponen
dari ritual tahlilan adalah mengikuti ajaran Nabi saw. maka yang demikian
inilah yang dinamakan dengan BID'AH HASANAH.
Siapa kira-kira yang memulai Bid’ah
Hasanah ini? Tiada lain adalah Khalifah ke dua, Sahabat Umar bin Khatthab,
tatkala beliau tahu bahwa Nabi mengajarkan shalat sunnah Tarawih 20 rakaat di
bulan Ramadhan. Namun Nabi saw. melaksanakannya di masjid dengan sendirian,
setelah beberapa kali beliau lakukan, lantas ada yang ikut jadi makmum,
kemudian Nabi melaksnakan 8 rakaat di masjid, selebihnya dilakukan di rumah
sendirian. Demikian pula para sahabatpun mengikuti perilaku ini, hingga pada
saat kekhalifahan Sahabat Umar, beliau berinisiatif mengumpulkan semua
masyarakat untuk shalat Tarawih dengan berjamaah, dilaksanakan 20 rakaat penuh
di dalam masjid Nabawi, seraya berkata : Ni'matil bid'atu haadzihi (sebaik-baik
bid’ah adalah ini = pelaksanaan tarawih 20 rakaat dengan berjamaah di dalam
masjid sebulan penuh). Bid'ahnya sahabat Umar ini terus berjalan hingga saat
ini, malahan yang melestarikan adalah tokoh-tokoh Saudi Arabia seperti kita
lihat sampai saat ini bahwa di Masjidil Haram tarawih berjama’ah 20 rokaat
sebulan penuh, sekaligus dengan mengkhatamkan Qur’an. Hal ini sama lestarinya
dengan bid'ahnya para Wali songo yang mengajarkan tahlilan di masyarakat Muslim
Indonesia. Jadi baik Sahabat Umar dan pelanjut shalat tarawih di masjid-masjid
di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan para pengikutnya umat Islam
Indonesia, adalah pelaku BID'AH HASANAH, yang dalam hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut : Man sanna fil Islami sunnatan
hasanatan, fa lahu ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an
yangkusha min ujurihim syaik (Barangsiapa yang memberi contoh sunnatan
hasanatan (perbuatan baru yang baik) di dalam Islam (yang tidak bertentangan
dengan syariat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan kiriman pahala dari
orang yang mengamalkan ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya
sedikit pun.
Jadi sangat jelas baik sahabat Umar
maupun para Wali songo telah mengumpulkan pundi-pundi pahala yang sangat banyak
dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalkan ajaran Bid'ah Hasanahnya
beliau-beliau itu. Baik itu berupa Bid'ahnya Tarawih Berjamaah maupun Bid'ahnya
Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya.
CONTOH-CONTOH BID’AH HASANAH
Setelah baginda Nabi saw. wafat pun
amal-amal perbuatan baik yang baru tetap dilakukan. Umat islam mengakuinya
berdasar dalil-dalil yang shahih. Simak berbagai contoh berikut,
1. Pembukuan al Qur’an. Sejarah
pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al
Qur’an. Hal ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid
bin Tsabit ra. Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra. Jauh setelah itu
kemudian penomoran ayat/ surat, harakat tanda baca, dll.
2. Sholat tarawih seperti saat ini.
Khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat
tarawih berma’mum pada seorang imam. Pada perjalanan berikutnya dapat
ditelusuri perkembangan sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa
3. Modifikasi yang dilakukan oleh
sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaan sholat Jum’at. Beliau memberi
tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at.
4. Pembukuan hadits beserta
pemberian derajat hadits shohih, hasan, dlo’if atau ahad. Bagaimana sejarah
pengumpulan dari hadits satu ke hadits lainnya. Bahkan Rasul saw. pernah
melarang menuliskan hadits2 beliau karena takut bercampur dengan Al Qur’an.
Penulisan hadits baru digalakkan sejak era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar abad ke
10 H.
5. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan
berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa Arab, dll. Penulisan kitab Maulid.
Kitab dzikir, dll
6. Saat ini melaksanakan ibadah haji
sudah tidak sama dengan zaman Rasul saw. atau para sahabat dan tabi’in. Jamaah
haji tidur di hotel berbintang penuh fasilitas kemewahan, tenda juga diberi
fasiltas pendingin untuk yang haji plus, memakai mobil saat menuju ke Arafah,
atau kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya.
7. Pendirian Pesantren dan Madrasah
serta TPQ-TPQ yang dalam pengajarannya dipakai sistem klasikal.
dan masih banyak contoh-contoh lain.
4. Bidah sebuah kata sejuta makna
Setelah adanya uraian singkat tapi
cukup jelas pada halaman sebelum ini mengenai faham Salafi/Wahabi dan
pengikutnya, marilah kita teruskan mengupas apa yang dimaksud Bid’ah
menurut syari’at Islam serta wejangan/ pandangan para ulama pakar tentang
masalah ini. Dengan demikian insya Allah buat kita lebih jelas bidáh mana yang
dilarang dan yang dibolehkan dalam syari’at Islam.
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling
berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulullah saw. sebagai
Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah
masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika
yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang
yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu
batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam
pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka
terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri
tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu
tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan.
Umpamanya dalam hadits berikut ini
tampak jelas bahwa Rasulullah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu,
baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. bila berkhutbah
tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du,
sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan
petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan
persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang
diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan
juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan
kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah
dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis
jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah
dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim VII hal.61). Selain
hadits ini masih beredar lagi hadits-hadits yang semakna yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah [ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan
dengan soal shadaqah namun kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para
ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasar kan keumuman lafadh, bukan
berdasarkan kekhususan sebab’.
Dari hadits Jabir yang pertama
diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulullah
saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang
menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw. Dari hadits berikutnya kita
melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan
kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah,
sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an
Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah
.Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulullah saw. Berarti Jalan
Rasulullah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah
dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. Contoh
firman Allah SWT. dalam Surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah
berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah
itu’ .
Penjelasannya ialah bahwa
cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan
maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan
mengantarkan kepada keridhoan Allah SWT. Demikianlah menurut penjelasan
Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us
Shiratul Mustaqim hal.76 mengata- kan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat
kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah
dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang
berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang
dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam
Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah.
Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah
sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan.
Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah
(jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami
sunnah Rasulullah saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada
zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan
tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh
orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan
tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita juga harus mengikuti dan
menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah
yang ditempuh Rasulullah saw. dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu
yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu
kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw.
mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulullah saw. Mana yang baik
dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan
mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw.,
itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui
setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan
mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan
bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh
Rasulullah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi
kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi
kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan atau
menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali
kejadian yang dibiarkan Rasulullah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak
ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan
dilakukan oleh beliau saw. Pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak
diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau
dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak
menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan
tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan
para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik yang
bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak
dilakukan dan tidak diperintah- kan secara khusus oleh Rasulullah saw.!
Mengenai persoalan itu banyak sekali
hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. sering
membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain
sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan baca halaman
selanjutnya). Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakan- nya
berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukan- nya itu
merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan
oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka berpedoman
pada firman Allah SWT. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat
kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan
atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat
mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan
pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang
prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad
dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulullah saw. jika amal kebajikan
itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan
syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan
yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah saw., dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak
dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat
adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulullah
saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat
disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja
yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah
bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulullah saw. “Setiap
bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada
istilah bid’ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang
dikategorikan sebagai bid’ah, maka hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan
mereka adalah sesuatu yang haram dikerja-kan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau
berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan lebih mendetail baca halaman
selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulullah saw. yang membenarkan dan
meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’) yang dilakukan
oleh para sahabat- nya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari
beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal
kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulullah saw. umpamanya oleh
isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat
lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari
Rasulullah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid’ah
(baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang
mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan
tidak ada kata bid’ah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya
kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih
memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang
pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة
ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ
السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji
dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah
yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ
ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ
سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا
اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ
غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara baru itu ada dua
macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar
atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara
baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari
yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Menurut kenyataan memang demikian,
ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela.
Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i
itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam
Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-‘Arabiy, Imam
Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Ada sebagian ulama yang mengatakan
bahwa bid’ah itu adalah segala praktek baik termasuk dalam ibadah ritual maupun
dalam masalah muamalah, yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski
namanya bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum syari’at,, hukumnya tetap
terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Ada bid’ah yang
hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam
kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti
sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’
bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka
jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara
sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia
termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi
jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang
bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang
diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam
risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya
Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ;
Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ;
Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari
Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan
Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap
semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh
hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa
macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan
bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh
mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau
seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid
Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam
makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar
Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama (diantaranya Imam Nawawi
dalam Syarah Muslim jilid 6/154—pen.) bid’ah itu dibagi menjadi lima bagian
yaitu :
1. Bid’ah wajib;
seperti menyanggah orang yang menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab,
khususnya ilmu Nahwu bagi siapapun yang ingin memahami Qur’an dan Hadits dengan
baik dan benar.
2. Bid’ah mandub/baik;
seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah,
mengumandangkan adzan diatas menara dan memakai pengeras suara, berbuat
kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam belum pernah dilakukan.
3. Bid’ah makruh;
menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan
kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak
semestinya.
4. Bid’ah mubah;
seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama
tidak mengganggu kesehatan), memakai kopyah, memakai pakaian batik dan lain
sebagainya.
5. Bid’ah haram;
semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan
tidak mengandung kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua bid’ah (masalah yang
baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para
sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan
Rasulullah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a).
Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya
(kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar,
Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka
untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah.
Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena
orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b).
Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam
shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu
beliau sendiri berkata : ‘Ni’matul Bid’ah Hadzihi/Bid’ah ini sungguh
nikmat’.
c).
Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai-
nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulullah saw. cukup
banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari
mereka memakai titel dibelakang namanya.
d).
Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti
asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang
bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun
besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi
hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e).
Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah
Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at
baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam
lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat
Islam.
f).
Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer
pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan
sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat
dan sebagainya.
g).
Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah SWT. kepada
ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa
dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau
melarang penggunaan pesaw.at-pesaw.at tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru
kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh
bid’ah/masalah yang baru seperti mengada kan syukuran waktu memperingati hari
kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah
negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka
sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan
pada masa hidup- nya Rasulullah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau.
Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai
dengan zamannya Rasulullah saw. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya;
pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full ac
sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup
(beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik
Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid’ah (masalah baru)
tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para
pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan
berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut
dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama,
terutama pada zaman sekarang teknologi yang sangat maju sekali, tapi
alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal
itu.
Sebagaimana telah penulis cantumkan
sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam,
Imam Nawawi dan Ibnu Katsir ra. serta para ulama lainnya menerangkan:
“Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang
dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal
kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan
para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulullah saw. telah diteliti para ulama
dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw. dan kaidah-kaidah hukum
syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik
dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal
tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya
Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan
sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad
permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah
dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu
Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang
mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas,
Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan
oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya
: Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung ’Arafah
sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah
, mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain
sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat
kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam
masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah
menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya
hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka
sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti
oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu,
dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal
itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman
sebelum- nya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak
disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul
(doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulullah saw. ‘Aisyah ra. yaitu
ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat
mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah,
padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu
hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada
sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan
oleh Imam Bukhori dalam shohihnya juz 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra.,
bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak
pernah menyaksikan Rasulullah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku
ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid
yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi
saw.
Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin
Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang
sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair
(mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw.
yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan
Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar)
mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang
mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan
dimasukkan ke neraka!
Dengan demikian masalah baru yang
dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah. Karena
sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang
tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah
tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at
bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan
berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin
Alawiy Al-Maliki Al-Hasani yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin
Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan: Yang dikatakan oleh orang fanatik
(extrem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah
mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab
bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar’i
(Rasulullah saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan
petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala
bagi pelakunya.
Firman Allah SWT. ‘Dan hendaklah
ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung’. (Ali Imran (3) :
104).
Allah SWT. berfirman : ‘Hendaklah
kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru
Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulullah saw.;
وَعَنْ
أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله .صَ.
: مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ(رواه مسلم)
‘Siapa yang menunjukkan kepada
kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. ( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim
Rasulullah saw. bersabda:
‘Barangsiapa menciptakan satu
gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala
orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa
menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan
juga dosa orang-orang yang mengamalkannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun” .
Masih banyak lagi hadits yang
serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi takwil
bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa
yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan
gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulullah saw. dan
Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud
dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang
diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang
diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam pembatasan mereka diatas
ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk
pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits
tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan
tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu
menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh
yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara
agama!!
Kami perlu tambahkan mengenai makna
atau keterangan hadits Rasulullah saw. berikut ini:
“Hendaklah kalian berpegang pada
sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan
Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam
hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya),
cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para
penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku
bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulullah saw. saja, tetapi dapat
diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama
adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan
berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari
zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya;
dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an
surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu)
kepada Rasulullah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan
ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan kaum awamyang
mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab,
mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu
Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi
dan Rasulullah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah “ .
Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan
dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian penakwilan kalimat
sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan
mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah
adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash
dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk
kata bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi
(secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman
yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu
setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at. Jadi
bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang
diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi
dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan
dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah,
sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak
bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat
diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang memasukkan semua
perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw., para sahabat
dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka
dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus)
untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian
itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya
yang lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama
halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman
Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf
(kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah SWT.
dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan
kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian
didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada
kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah SWT. pahala yang sama dengan orang
yang mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada
satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah dan kita buang
ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat
kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang
pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta
tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif
setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulullah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini
satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas
sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan
adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama
muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita),
antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para
ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak
asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan,
sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.
Manusia manapun tidak pernah
diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam
konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya.
Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi
manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni
pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah
memberi maaf.
5. Contoh-contoh bid’ah yang
diamalkan para sahabat
Marilah kita sekarang rujuk
hadits-hadits Rasulullah saw. mengenai amal kebaikan yang dilakukan oleh para
sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah SWT. atau
Nabi saw., dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah
dengan adanya beberapa hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal
yang baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan,
diajarkan atau diperintah- kan oleh Rasulullah saw. selama hal ini tidak
merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah boleh
diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama dan
mendapat pahala.
- Hadits dari Abu Hurairah: “Rasulullah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengahkan
oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan
Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulullah saw.
meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat
setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air
wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah SWT. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath
mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad
menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal
kepada Rasulullah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata
dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
- Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita mengetahui
jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar
prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulullah saw. tidak memerintahkan hal itu dan
tidak pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum
muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang,
bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
- Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat
dibelakang Rasulullah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw.
mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul
ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran
thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya
dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulullah saw.
bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab:
Aku, ya Rasul- Allah. Rasulullah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30
malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath
II:287 mengatakan: ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan
membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw.
(ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau
bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi
Muhammad saw.. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya
mengeraskan suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath
mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang
berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan
maknanya tidak berlawanan dengan kebiasa- an yang telah ditentukan
(diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu
shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan
Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam
Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk mengetahui makna al-bid’ah
- Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulullah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
- Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada suatu saat Rasulullah saw. menugas- kan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulullah saw. Beliau saw.menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulullah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainya’ “.
Apa yang dilakukan oleh orang tadi
tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah saw. Itu
hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulullah saw.
tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya
dengan ucapan “Allah menyukainya”.
- Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau meng- imami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulullah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulullah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulullah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam
Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang
itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh
kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulullah saw. menggembirakan orang
itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa
beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat
atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’. Selanjutnya ia
menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal
Surah yang lain, mungkin Rasulullah saw. akan menyuruhnya supaya belajar menghafal
Surah-surah selain yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia
mengemukakan alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas),
Rasulullah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik
dan tujuan yang sehat’.
Lebih jauh Imam Nashiruddin
mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan, bahwa orang boleh membaca
berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya.
Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang bersangkutan tidak
menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut kenyataan, baik para ulama
zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan
perbuatan seperti itu merupa- kan suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang
mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang
tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang
dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulullah saw. Sedangkan sunnah-sunnah yang
tidak pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. bila tidak
keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan
yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan
berdzikir kepada Allah SWT.
- Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulullah saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari;
bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man.
Hadits tersebut diriwayat- kan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang
mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul
huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu
(dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali
dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin
Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam
hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.
- Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulullah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulullah saw. bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a
yang mendapat tanggapan sangat meng- gembirakan dari Rasulullah saw. itu disusun
atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang
diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepadanya. Karena susunan
do’a itu sesuai dengan ketentu- an syari’at dan bernafaskan tauhid, maka
beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.
- Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulullah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab sese- orang dari kaum; Wahai Rasulullah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah bukti yang berkaitan
dengan pembenaran dan keridhaan Rasulullah saw. terhadap
prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam
sholat, walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau
memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena
anjuran dari Rasulullah saw. tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai
bacaan itu.
Yang lebih mengherankan lagi ialah
ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a
qunut waktu sholat shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal
dari hadits Rasulullah saw. sendiri yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi,
Nasa’i dan selain mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al
Baihaqi dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat
berdirinya untuk membaca do’a qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga
berdasarkan hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas bin Malik; Awam bin
Hamzah; Abdullah bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang diriwayatkan oleh sekolompok
huffaz dan mereka juga ikut menshahih-kannya serta para ulama lainnya
diantaranya Hafiz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu Abdillah,
Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni dan lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut yang
berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan bid’ah sedangkan
tambahan-tambahan kalimat dalam sholat yang tersebut diatas atas prakarsanya
para sahabat sendiri tidak dipersalahkan oleh Nabi saw. malah diridhoi dan diberi
kabar gembira bagi yang membaca nya ?
- Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah SWT. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat
Nabi seraya berkata: Siapa diantara
kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa?
Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau
memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut.
Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah
al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka
segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan
perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap
Rasulullah saw. Setiba dihadapan Rasulullah saw., mereka menceriterakan apa
yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulullah saw. bertanya ; ‘Bagaimana
engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulullah saw.
membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing
tersebut “. (HR.Bukhori)
- Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulullah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang
meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan ijtihadnya
sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulullah saw. Semuanya itu
diridhoi oleh Rasulullah saw. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka.
Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulullah
saw. sebelum atau sesudahnya. Karena semua itu bertujuan baik, tidak
melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan mereka diberi kabar gembira.
Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan sunnah
mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau
hasil ijtihad. Dengan demikian hadits-hadits diatas bisa dijadikan dalil
untuk setiap amal kebaik- an selama tidak keluar dari garis-garis yang
ditentukan syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut
bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-hadits
diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu
suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulullah saw.
telah bersabda :
صَلُُوْا
كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana
kalian melihat aku sholat’. (HR
Bukhori).
Sekalipun demikian beliau saw. dapat
membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a dan bacaan
surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan
surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh
syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu
melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti akan
ditegur dan dilarang oleh Rasulullah saw.
Mungkin ada orang yang
bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang penetapan sesuatu
yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh
masyarakat muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang dikatakan
sunnah atau mustahab itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang benar, bahwa masyarakat yang
hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi berikutnya, banyak
menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali
para ulama yang menurut kesanggupannya masing-masing dalam menguasai ilmu
pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan
hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk menerangkan hal ini baiklah
kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya telah
dimengerti oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat
suci Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal sekarang ini. Para sahabat
Nabi saw. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau saw. berpendapat bahwa
pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka
khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian
agama Allah SWT., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut
kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya
para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukakan kekhawatirannya itu
kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan
pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak
usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu
yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu
merupakan hal yang baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah SWT.
membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada
pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi
itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid
bin Tsabit dan diperintahkan supaya melaksana- kan pengitabatan ayat-ayat
Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana
mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.?
Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu pekerjaan yang baik! Untuk lebih
detail keterangannya silahkan membaca riwayat hadits ini yang dikemukakan oleh
Imam Bukhori dalam Shohih-nya juz 4 halaman 243 mengenai pembukuan ayat-ayat
suci Al-Qur’an.
Jelaslah sudah, baik Abu Bakar,
‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan suatu cara yang
tidak pernah dikenal pada waktu Rasulullah saw. masih hidup. Bahkan sebelum
melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit
sendiri masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka
dibukakan dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik
prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak pernah
dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah
sesat karena berada diluar perintah Allah SWT. dan Rasul-Nya. Akan tetapi
banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi saw. membenarkan dan meridhoi banyak
persoalan yang telah kami kemuka kan yang berada diluar perintah Allah dan
perintah beliau saw. Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah
hasanah, karena Rasulullah saw. membenarkan serta meridhoi atas
kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk kebajikan yang diamalkan para
sahabat walaupun Nabi saw. belum menetapkan atau memerintahkan amalan-amalan
tersebut. Begitu juga prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil kesimpulan
bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada
masa Rasulullah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak
melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat mendekatkan diri untuk
mendapatkan ridha Allah SWT. dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada
Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulullah saw.:
اِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ
الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ (رواه البخاري
‘Sesungguhnya segala perbuatan
tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang
diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya)
karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’.
(HR. Bukhori).
Sekiranya orang-orang yang gemar
melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap
Rasulullah saw. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para
sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu
mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham
dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar
ini tetap sering mencela dan mensesatkan para ulama yang tidak sepaham
dengannya. Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang
memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu
selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian
mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah
dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah
SWT. atas pemahaman mereka semacam ini.
Dalil-dalil
yang membantah dan jawabannya
Hanya orang-orang egois, fanatik dan
mau menangnya sendiri sajalah yang mengingkari hal tersebut. Seperti yang telah
kemukakan sebelum ini bahwa golongan pengingkar ini selalu menafsirkan
Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual oleh karenanya sering mencela semua amalan
yang tidak sesuai dengan paham mereka.
Misalnya, mereka melarang semua
bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulullah saw. berikut ini :
كُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adakan
(muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.
Juga hadits Nabi saw.:
مَنْ
أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
‘Barangsiapa yang didalam agama kami
mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits tersebut oleh mereka
dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah yang
bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari
agama ia tertolak, yakni dholalah/ sesat. Dengan adanya kata Kullu
(setiap/semua) pada hadits diatas ini tersebut mereka menetapkan apa saja
yang terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw. serta sebelumnya tidak pernah
dikerjakan oleh Rasulullah saw. adalah bi’dah dholalah.
Mereka tidak memandang apakah hal
yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang dikehendaki oleh
agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh
hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan
dalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan
Rasulullah saw. Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan
adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah
memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah yang dipegang dan
sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah
mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasulullah saw. tidak pernah
memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada
satupun diantara mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para tabi’in
dan tabi’ut-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu
tidak dilakukan oleh Rasulullah, sahabat dan para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita kaum
muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala perbuatan
Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang
melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak
pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan
sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang
sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan
pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk
melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru
termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw. dan sebagainya. Terhadap
semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik
dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan
penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini
adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau
awalnya shohih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan
Nabi saw. atau para sahabat yang tidak pernah mengamal- kannya (umpamanya;
berkumpul untuk tahlilan, peringatan keagamaan dan lain sebagainya). Sedangkan
yang batil/salah atau fasid adalah penghukum- an mereka terhadap semua
perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik,
mungkar dan sebagainya.
Yang demikian itu karena Nabi saw.
atau salafus sholih yang tidak mengerja- kan satu perbuatan bukanlah termasuk
dalil, bahkan penghukuman dengan berdasarkan kaidah diatas tersebut adalah
penghukuman tanpa dalil/nash. Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan
haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits
yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak bisa suatu
perbuatan diharam- kan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak
pernah melakukannya.
Telitilah lagi hadits-hadits diatas
yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang belum pernah dikerjakan atau
diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapinya.
Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama mengatakan’
bahwa amalan ibadah itu bila tidak ada keterangan yang valid dari
Rasulullah saw., maka amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada beliau
saw. !!
Jelas disini para ulama tidak mengatakan
bahwa suatu amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada
keterangan dari beliau saw., mereka hanya mengatakan amalan itu tidak
boleh dinisbahkan kepada Rasulullah saw. bila tidak ada dalil
dari beliau saw. !
Kalau kita teliti perbedaan paham
setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan.
Sebagaimana yang sering kita baca dikitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu Satu
hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa
dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok
ulama ini sama-sama ber- pedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.
tetapi berbeda cara penguraiannya.
Tidak lain semuanya, karena
status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang mengatakannya. Dari
sini saja kita sudah bisa ambil kesimpul an; Kalau hukum atas derajat suatu
hadits itu masih berbeda-beda diantara para ulama, tentu saja ketika para ulama
mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah
saw. pun berbeda juga !!
Para ulama pun berbeda pandangan
ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan. Umpamanya
mereka berbeda dalam meng- ambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun
amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shohih. Para ulama juga mengenal
beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulullah saw., umpama-
nya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjur-kan
atau mensarankan suatu amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil
bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjakannya secara langsung. Jadi sunnah
Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulullah saw. yang dalilnya/riwayat- nya sampai
kepada kita bukan dengan cara dicontohkan, melainkan dengan diucapkan saja oleh
beliau saw. Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi’il amr (kata
perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya.
Contoh sunnah qauliyyah yang mudah
saja: Ada hadits Rasulullah saw. yang menganjurkan orang untuk belajar
berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. atau para
sahabat telah belajar atau kursus berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah yang ada
dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulullah saw. Misalnya
ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan
dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Para shahabat melihat langsung beliau
saw. melakukannya, kemudian meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah
ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung,
juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya
mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah
taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami
kemukakan sebelumnya.
Begitu juga dengan amalan-amalan
ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabatnya,
tetapi diamalkan oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf
(ulama belakangan) misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis
tahlilan/ yasinan dan lain sebagainya (baca keterangannya pada bab Maulid Nabi
saw.dan bab Ziarah kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil
dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. yang menganjurkan
agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang pahala-pahala
bacaan dan amalan ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya
semuanya mustahab asalkan tidak tidak bertentangan dengan apa yang telah
digariskan oleh syari’at.
Apalagi didalam majlis-majlis
(maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighotsah) yang sering diteror oleh
golongan tertentu, disitu sering didengungkan kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir
dan Sholawat kepada Rasulullah saw. yang semuanya itu dianjurkan oleh Allah
SWT. dan Rasul-Nya. Semuanya ini mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah SWT.!!
Mari kita rujuk ayat al-Qur’an:
وَمَا
اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
‘Apa saja yang didatangkan oleh
Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang
daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah
untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas
larangannya dari Rasulullah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak
dikatakan :
وَماَلَمْ
يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah
dikerjakannya (oleh Rasulullah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatkan
oleh Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu
melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu
melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulullah saw. tidak
mengatakan:
وَاِذَا
لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak
pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang
melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami
kemukakan Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah… dan hadits Barangsiapa
yang didalam agama… adalah tidak benar, karena adanya beberapa keterangan
dari Rasulullah saw. didalam hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui
banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw.
sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik
kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang
mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah SWT. (QS
Asy-Syura :21) serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang
telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah
Rasulullah saw., contohnya yang mudah ialah:
Sengaja sholat tidak menghadap
kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir ;
Melakukan sholat dengan satu sujud saja;
Melaku kan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain
sebagai- nya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan
apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulullah saw. diatas
yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu…. adalah masalah pokok-pokok
agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh
dirubah atau ditambah. Saya ambil perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang
mengatakan bahwa sholat wajib itu setiap harinya dua kali,
padahal agama menetapkan lima kali sehari. Atau orang yang sanggup tidak
berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa wajib pada bulan
Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa
diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan menambah dan
mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya
yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut
ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا
تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا
يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا
أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ
اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي
يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ
سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatkan diri
kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan
kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil
(amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku
telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia
mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan
Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi
kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan
bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah SWT.
mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang
ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap,
tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah SWT dalam Al-Kahfi: 79,
kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah
miliknya orang orang miskin yang bermata pencaharian dilautan dan aku bertujuan
merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua
perahu”.
Ayat ini menunjukkan tidak semua
perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih dalam
kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja
membocorkan perahu orang-orang miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang
cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu. Dengan demikian
maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah hasanah
atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat umum
dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan
safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah
(semua/setiap perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah
SWT.berfirman : “Angin taufan itu telah menghancurkan segala sesuatu
atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak
terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah
SWT.berfirman : “Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman
pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana
dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah SWT.
berfirman : “Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah
diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup
semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian
amal yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah SWT. tidaklah
termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Aali ‘Imran : 173 Allah
SWT. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di
Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang….” Yang dimaksud semua
orang (an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi
hanya untuk kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin
Harb yang memerangi Rasulullah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud,
jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguhnya
kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..”.
Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa as dan bundanya
yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka. Begitu juga
para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan
mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159
: “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”. Kalimat dalam suatu
urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan
urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan
duniawi. Allah SWT. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan
soal-soal keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan
ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami
bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini
terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir
durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu
bermaksud khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan seterusnya “. Firman
Allah ini bersifat umum, sebab Allah SWT. juga telah berfirman, bahwa ada
manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah,
mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan
Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengarkan
firman-firman Allah; mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih
sesat lagi (QS.Al-A’raf : 179).
Jadi jelaslah, bahwa secara umum
manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi secara khusus banyak manusia yang
setaraf dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat
Ilahi yang walaupun didalamnya terdapat keumuman namun ternyata keumumannya itu
tidak terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang
menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak
akan masuk neraka”. Hadits ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara
harfiah. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim
cukup dengan sholat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat
wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya !
Ibnu Hajar mengatakan; ‘
Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoalan2 harus dihubungkan satu sama
lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang muqayyad.
Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat
dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga
dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulullah saw. yang menyatakan
bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu
‘Abdul Birr rh. dalam At-Tamhid mengatakan: Hadits mengenai itu menurut
lahirnya dan menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam
hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulullah saw. menegaskan pula,
bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan dimakan tanah
(hancur) !
Masih banyak contoh seperti diatas
baik didalam nash Al-Qur’an maupun Hadits. Banyak sekali ayat Ilahi yang
menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang lain dikhususkan maksud
dan maknanya, demikian pula banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya
sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; ‘Hal yang umum hendaknya tidak
diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga halnya dengan hadits
Nabi ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan
dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa)
itu dholalah/sesat ! Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya
masalah peribadatan saja. Allah SWT. menetapkan agama Islam bagi umat manusia
mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa
dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk.
Banyak kenyataan membuktikan, bahwa
Rasulullah saw. membenarkan dan meirdhoi macam-macam perbuatan yang berada
diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Silahkan baca kembali
hadits-hadits yang telah kami kemukakan diatas. Bagaimanakah cara kita memahami
semua persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni
kalimat: semua bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan
hadits-hadits yang lain yang lebih jelas uraiannya (yang menganjurkan manusia
selalu berbuat kebaikan) ? Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada
semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama. Untuk itu
tidak ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam
dan ulama Fiqih, yaitu sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan
lain-lain.
Insya Allah dengan keterangan
singkat tentang hadits-hadits Rasulullah saw. masalah Bid’ah, akan bisa membuka
pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan bid’ah yang
Hasanah/baik. Untuk lebih lengkapnya keterangan yang saya kutip dalam hal
bid’ah ini, silahkan membaca buku Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah oleh
H.M.H Al-HAMID – AL-HUSAINI.
6. Qadha (penggantian) Sholat yang
ketinggalan dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya
Sebagian golongan muslimin telah
membid’ahkan, mengharamkan/mem batalkan mengqadha/mengganti sholat yang sengaja
tidak dikerjakan pada waktunya. Mereka ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm
dan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan tidak sah orang yang ketinggalan
sholat fardhu dengan sengaja untuk menggantinya/qadha pada waktu sholat
lainnya, mereka harus menambah sholat-sholat sunnah untuk menutupi kekurangan-
nya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah ini telah terbantah oleh
hadits-hadits dibawah ini dan ijma’ (kesepakatan) para ulama pakar diantaranya
Imam Hanafi, Malik dan Imam Syafi’i dan lainnya tentang kewajiban qadha bagi
yang meninggalkan sholat baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Mari
kita ikuti beberapa hadits tentang qadha sholat berikut ini
:
- HR.Bukhori, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksanakan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah melakukannya jika dia ingat”. Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II:71 ketika menerangkan makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja meninggalkannya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah) untuk melaksanakan sholat, dan dia harus melakukannya…’.
Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau
perintah Rasulullah saw. bagi orang yang ketinggalan sholat karena lupa dan
tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk sholat yang disengaja
ditinggalkan itu malah lebih utama/wajib untuk menggadhanya. Maka bagaimana dan
darimana dalilnya orang bisa mengatakan bahwa sholat yang sengaja
ditinggalkan itu tidak wajib/tidak sah untuk diqadha ?
Begitu juga hadits itu menunjukkan
bahwa orang yang ketinggalan sholat karena lupa atau tertidur tidak berdosa
hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang meninggalkan sholat dengan
sengaja dia berdosa besar karena kesengajaannya meninggalkan sholat,
sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku baginya.
- Rasulullah saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-bagikan harta, kemudian sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar beliau saw. sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/qadha sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhori, Muslim dari Ummu Salamah).
- Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa tertidur atau terlupa dari mengerjakan shalat witir maka lakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’. (HR.Tirmidzi dan Abu Daud).(dikutip dari at-taj 1:539)
- Rasulullah saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantikannya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539)
Nah kalau sholat sunnah muakkad
setelah dhuhur, sholat witir dan sholat malam yang tidak dikerjakan pada
waktunya itu diganti/diqadha oleh Rasulullah saw. pada waktu setelah sholat
Ashar dan waktu-waktu lainnya, maka sholat fardhu yang sengaja
ketinggalan itu lebih utama diganti dari- pada sholat-sholat sunnah ini.
- HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan bahwa ia teringat waktu safar pernah Rasulullah saw. ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari punggungnya. Kami terbangun dengan terkejut. Rasulullah saw. bersabda: Naiklah (ketunggangan masing-masing) dan kami menunggangi (tunggang- an kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun. Kemudian beliau saw. berwudu dan Bilal adzan utk melaksanakan sholat (shubuh yang ketinggalan). Rasulullah saw. melakukan sholat sunnah sebelum shubuh kemudian sholat shubuh setelah selesai beliau saw. menaiki tunggangannya.
Ada sementara yang berbisik pada
temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan) terhadap apa yang kita lakukan dengan
mengurangi kesempurnaan shalat kita (at-tafrith fi ash-sholah)? Kemudian
Rasulullah saw. bersabda: ’Bukankah aku sebagai teladan bagi kalian’?, dan
selanjutnya beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berarti
tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaan
ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang dinamakan kekurangan dalam
pelaksanaan ibadah (tafrith) yaitu orang yang tidak melakukan
(dengan sengaja) sholat sampai datang lagi waktu sholat lainnya….’.
(Juga Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Imaran bin Husain dengan
kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori dari Imran bin Husain).
Hadits ini tidak lain berarti bahwa
orang yang dinamakan lalai/meng- gampangkan sholat ialah bila meninggalkan
sholat dengan sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur
atau lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duanya wajib menggadha sholat
yang ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits ini tidak menyebutkan bahwa
orang tidak boleh/haram menggadha sholat yang ketinggalan kecuali selain dari
yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini menyebutkan tidak ada kelalaian
(berdosa) bagi orang yang meninggal- kan sholat karena tertidur atau lupa.
Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits larangan untuk menggadha sholat
!
- Jabir bin Abdullah ra.meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari (peperangan) Khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulullah, aku masih melakukan sholat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulullah saw. menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bith-han. Beliau saw. berwudu untuk (melaksanakan) sholat dan kami pun berwudu untuk melakukannya. Beliau saw. (melakukan) sholat Ashar setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanakan sholat Maghrib. (HR.Bukhori dalam Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang lain secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631, meriwayatkannya juga, didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘meng- gadha sholat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
- Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab 25 sholat Qadha’ menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menggantinya/menggadhanya. Baik shalat itu ditinggal- kannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
Memang terdapat perselisihan antara
imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan lainnya), perselisihan antara mereka
ini ialah apakah ada kewajiban qadha atas orang gila,
pingsan dan orang mabuk.
- Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Sholat diterangkan: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalkan sholat itu berdosa dan ia tetap wajib meng- gadhanya. Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini membatalkan (tidak sah) untuk menggadha sholat !! Dalam buku ini diterangkan panjang lebar alasan dua imam ini. (Tetapi alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-hadits diatas dan ijma’ para ulama pakar termasuk disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama pakar lainnya yang mewajibkan qadha atas sholat yang sengaja ditinggal- kan. Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan madzhab jumhur—pen.).
Kesimpulan :
Kalau kita baca hadits-hadits diatas
semuanya masalah qadha sholat, dengan demikian buat kita insya Allah sudah
jelas bahwa menggadha/meng- gantikan sholat yang ketinggalan baik secara
disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib,
sebagaimana yang diutarakan oleh ulama-ulama pakar yang telah diakui oleh
ulama-ulama dunia yaitu Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya
perbedaan antara yang disengaja dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi
bukan masalah qadhanya.
Semoga dengan adanya dalil-dalil
yang cukup jelas ini bisa menjadikan manfaat bagi kita semua. Semoga kita semua
tidak saling cela-mencela atau merasa pahamnya/anutannya yang paling benar.
7. Dalil Sholat sunnah Qabliyah
(sebelum) sholat Jum’at
Sebagian orang telah membid’ahkan
sholat sunnah qabliyah jum’at ini. Menurut pandangan mereka hal ini tidak
pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabat. Padahal kalau kita
teliti cukup banyak hadits serta wejangan ulama pakar ahli fiqih dalam madzhab
Syafi’i dan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan
dengan sunnah- nya sholat qabliyah jum’at ini. Mari kita ikuti hadits-hadits
yang berkaitan dengan sholat sunnah diantaranya :
Hadits riwayat Bukhori dan
Muslim : “Dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzanni, ia berkata; Rasulullah
saw. bersabda: ‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama
yang dimaksud antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.
Mengenai hadits ini tidak ada
seorang ulamapun yang meragukan keshohih- annya karena dia disamping
diriwayatkan oleh Bukhori Muslim juga diriwayat kan oleh Ahmad dan Abu Ya’la
dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja kita sudah dapat memahami bahwa
Nabi saw. menganjurkan supaya diantara adzan dan iqamah itu dilakukan sholat
sunnah dahulu, termasuk dalam katergori ini sholat sunnah qabliyah jum’at.
Tetapi nyatanya para golongan pengingkar tidak mengamalkan amalan sunnah ini
karena mereka anggap amalan bid’ah.
Riwayat dalam sunan Turmudzi II/18: “Diriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya beliau melakukan shalat sunnah qabliyah
jum’at sebanyak empat raka’at dan sholat ba’diyah (setelah) jum’at
sebanyak empat raka’at pula”.
Abdullah bin Mas’ud merupakan
sahabat Nabi saw. yang utama dan tertua, dipercayai oleh Nabi sebagai pembawa
amanah sehingga beliau selalu dekat dengan nabi saw. Beliau wafat pada tahun 32
H. Kalau seorang sahabat Nabi yang utama dan selalu dekat dengan beliau saw.
mengamal- kan suatu ibadah, maka tentu ibadahnya itu diambil dari sunnah Nabi
saw.
Penulis kitab Hujjatu Ahlis
Sunnah Wal-Jama’ah setelah mengutip riwayat Abdullah bin Mas’ud tersebut
mengatakan: “Secara dhohir (lahiriyah) apa yang dilakukan oleh
Abdullah bin Mas’ud itu adalah berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad
saw.”
Dalam kitab Sunan Turmudzi itu
dikatakan pula bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri dan Ibnul Mubarak beramal
sebagaimana yang diamalkan oleh Abdullah bin Mas’ud ( Al-Majmu’ 1V/10).
Hadits riwayat Abu Daud: “Dari
Ibnu Umar ra. bahwasanya ia senantiasa memanjangkan shalat qabliyyah jum’at.
Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jum’at dua raka’at. Ia menceriterakan
bahwasanya Rasulullah saw. senantiasa melakukan hal yang demikian”.(Nailul
Authar III/313).
Penilaian beberapa ulama mengenai
hadits terakhir diatas ialah : Imam Syaukani berkata: ‘Menurut Hafidz
al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya shohih’. ; Hafidz Ibnu Mulqin dalam
kitabnya yang berjudul Ar-Risalah berkata: ‘Isnadnya shohih tanpa ada
keraguan’. ; Imam Nawawi dalam Al-Khulashah mengatakan : ‘Hadits
tersebut shohih menurut persyaratan Imam Bukhori. Juga telah dikeluarkan oleh
Ibnu Hibban dalam shohihnya’.
Hadits riwayat Ibnu Majah : “Dari
Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari Jabir, keduanya berkata; Telah datang Sulaik
al-Ghathfani diketika Rasulullah saw. tengah berkhutbah (khotbah jum’at). Lalu
Nabi saw. bertanya kepada- nya: ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum
datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum. Nabi saw. bersabda; ‘Shalatlah
kamu dua raka’at dan ringkaskan shalatmu itu’ “. (Nailul Authar III/318).
Jelas sekali dalam hadits ini
bagaimana Rasulullah saw. menganjurkan (pada orang itu) shalat sunnah qabliyyah
jum’at dua raka’at sebelum duduk mendengarkan khutbah. Juga dalam menerangkan
hadits ini Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi wafat 1070H mengatakan; bahwa hadits
ini nyata dan jelas berkenaan dengan shalat sunnah qabliyah jum’at, bukan
shalat tahiyyatul masjid. Hal ini dikarenakan tahiyyatul masjid
tidak boleh dikerjakan dirumah atau diluar masjid melainkan harus dikerjakan di
masjid.
Syeikh Umairoh berkata: Andai ada
orang yang mengatakan bahwa yang disabdakan oleh Nabi itu mungkin sholat
tahiyyatul masjid, maka dapat dijawab “Tidak Mungkin”. Sebab shalat
tahiyyatul masjid tidak dapat dilaku- kan diluar masjid, sedangkan nabi saw.
(waktu itu) bertanya; Apakah engkau sudah sholat sebelum (dirumahnya)
datang kesini ? (Al-Qalyubi wa Umairoh 1/212).
Begitu juga Imam Syaukani ketika
mengomentari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut mengatakan dengan tegas :
Sabda Nabi saw. ‘sebelum engkau
datang kesini’ menunjukkan bahwa sholat dua raka’at itu adalah sunnah
qabliyyah jum’at dan bukan sholat sunnah tahiyyatul masjid“.(Nailul Authar
III/318)
Mengenai derajat hadits riwayat Ibnu
Majah itu Imam Syaukani berkata ; ‘Hadits Ibnu Majah ini perawi-perawinya
adalah orang kepercayaan’. Begitu juga Hafidz al-Iraqi berkata: ‘Hadits
Ibnu Majah ini adalah hadits shohih’.
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan
Thabrani: “Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulullah saw.
bersabda : ‘Tidak ada satupun sholat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya
shalat dua raka’at’ “. Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa disunnahkan
juga shalat qabliyyah jum’at sebelum sholat fardhu jum’at dikerjakan.
Mengenai derajat hadits ini Imam Hafidz
as-Suyuthi mengatakan : ‘Ini adalah hadits shohih’ dan Ibnu
Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah shohih’. Sedang- kan Syeikh
al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pegang- an dalam
hal disyariatkannya sholat sunnah dua raka’at qabliyyah jum’at adalah
hadits yang dipandang shohih oleh Ibnu Hibban yakni hadits Abdullah bin Zubair
yang marfu’ (bersambung sanadnya sampai kepada Nabi saw.) yang artinya: ‘Tidak
ada satupun shalat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua
raka’at’ “.
Demikianlah beberapa hadits yang
shohih diatas sebagai dalil disunnah- kannya sholat qabliyyah jum’at.
Sedangkan kesimpulan beberapa ulama
ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang hukum sholat sunnah
qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kitab mereka ialah :
Hasiyah al-Bajuri 1/137 :
“Shalat jum’at itu sama dengan
shalat Dhuhur dalam perkara yang disunnahkan untuknya. Maka disunnahkan sebelum
jum’at itu empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Al-Majmu’ Syarah Muhazzab 1V/9 :
“Disunnahkan shalat sebelum dan
sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at qabliyyah dan dua raka’at
ba’diyyah (setelah sholat jum’at). Dan yang lebih sempurna adalah empat raka’at
qabliyyah dan empat raka’at ba’diyyah’.
Iqna’ oleh Syeikh Khatib Syarbini
1/99 :
“Jum’at itu sama seperti shalat
Dhuhur.Disunnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Minhajut Thalibin oleh Imam Nawawi :
“Disunnahkan shalat sebelum Jum’at
sebagaimana shalat sebelum Dzuhur”.
Begitu juga masih banyak pandangan
ulama pakar berbagai madzhab mengenai sunnahnya sholat qabliyyah jum’at ini.
Dengan keterangan-keterangan singkat
mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita akan memahami bahwa ini semua
adalah sunnah Rasulullah saw., bukan sebagai amalan bid’ah. Semoga kita semua
diberi hidayah oleh Allah SWT.
8. Dalil mengangkat tangan waktu
berdo’a
Sebagian golongan ada yang membid’ahkan
mengangkat kedua tangan waktu berdo’a. Sebenarnya ini sama sekali tidak ada
larangan dalam agama, malah sebaliknya ada hadits bahwa Rasulullah saw.
mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga ulama-ulama pakar dari berbagai
madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain sebagainya) selalu mengangkat tangan
waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab atau tata tertib cara
berdo’a kepada Allah SWT.
Dalam kitab Riyaadus Shalihin jilid
2 terjemahan bahasa Indonesia oleh Almarhum H.Salim Bahreisj cetakan keempat
tahun 1978 meriwayatkan sebuah hadits berikut ini:
Sa’ad bin Abi Waqqash ra.berkata:
Kami bersama Rasulullah saw. keluar dari Makkah menuju ke Madinah, dan ketika
kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulullah saw. turun dari kendaraannya,
kemudian mengangkat kedua tangan berdo’a sejenak lalu
sujud lama sekali, kemudian bangun mengangkat kedua tangannya berdo’a,
kemudian sujud kembali, diulanginya perbuatan itu tiga kali. Kemudian berkata: ‘Sesungguhnya
saya minta kepada Tuhan supaya di-izinkan memberikan syafa’at (bantuan)
bagi ummat ku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku, kemudian saya mengangkat kepala
dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan untuk sepertiga, maka saya sujud
syukur kepada Tuhan, kemudian saya mengangkat kepala berdo’a minta untuk
ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku’. (HR.Abu
Dawud).
Dalam hadits ini menerangkan bahwa
Rasulullah saw. tiga kali berdo’a sambil mengangkat tangannya setiap berdo’a,
dengan demikian berdo’a sambil mengangkat tangan adalah termasuk sunnah
Rasulullah saw.
Dalam Kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq
(bahasa Indonesia) jilid 4 cetakan pertama tahun 1978 halaman 274-275
diterbitkan oleh PT Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini ditulis sebagai
berikut :
Berdasarkan riwayat Abu Daud dari
Ibnu Abbas ra., katanya :
“Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah SWT.) hendaklah dengan mengangkat
kedua tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira setentangnya, dan jika
istiqhfar (mohon ampunan) ialah dengan menunjuk dengan sebuah
jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemari tangan”.
Malah dalam hadits ini, kita diberi
tahu sampai dimana batas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a, dan
waktu mengangkat tangan tersebut disunnahkan dengan menunjuk sebuah jari waktu
mohon ampunan, melepas semua jari-jari tangan (membuka telapak tangannya) waktu
berdo’a selain istighfar.
Diriwayatkan dari Malik bin Yasar
bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Jika kamu meminta Allah, maka
mintalah dengan bagian dalam telapak tanganmu, jangan dengan punggungnya !” Sedang dari Salman, sabda Nabi saw. : “Sesungguhnya
Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia
merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia menadahkan tangan (untuk
berdo’a) kepada-Nya, akan menolaknya dengan tangan hampa”.
Lihat hadits ini Allah SWT. tidak
akan menolak do’a hamba-Nya waktu berdo’a sambil menadahkan tangan kepadaNya,
dengan demikian do’a kita akan lebih besar harapan dikabulkan oleh-Nya!
Sedangkan hadits yang diriwayatkan
Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. menuturkan :
“Aku pernah melihat Rasulullah saw. mengangkat
dua tangan keatas saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-putihan pada
ketiak beliau”.
Masih ada hadits yang beredar
mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a. Dengan hadits-hadits diatas ini,
cukup buat kita sebagai dalil atas sunnahnya mengangkat tangan waktu
berdo’a kepada Allah SWT. Bagi saudaraku muslim yang tidak mau angkat tangan
waktu berdo’a, silahkan, tapi janganlah mencela atau membid’ahkan saudara
muslim lainnya yang mengangkat tangan waktu berdo’a !. Karena mengangkat tangan
waktu berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun cara berdo’a kepada
Allah SWT. dan hal ini diamalkan oleh para salaf dan para ulama pakar (Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyallahu ‘anhum– dan para imam
lainnya).
Janganlah kita cepat membid’ahkan
sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan mengenyampingkan hadits lainnya.
Semuanya ini amalan-amalan sunnah, siapa yang mengamalkan tersebut akan dapat
pahala, dan yang tidak mengamalkan hal tersebut juga tidak berdosa. Karena membid’ahkan
sesat sama saja mengharamkan amalan tersebut.
9. Menyebut nama Rasulullah saw.
dengan awalan kata sayyidina atau maulana
Sebagian orang membid’ahkan
panggilan Sayyidinaa atau Maulana didepan nama Muhammad
Rasulullah saw., dengan alasan bahwa Rasulullah saw. sendiri yang menganjurkan
kepada kita tanpa mengagung-agungkan dimuka nama beliau saw. Memang golongan
ini mudah sekali membid’ahkan sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang
dimaksud Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits
Rasulullah saw. yang berkaitan dengan kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam
risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam
Fis-Shalati Was-Salam ‘AN Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut
nama Rasulullah saw. dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita)
didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim yang mencintai
beliau saw. Sebab kata tersebut menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian
kedudukan beliau. Allah SWT.memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi
martabat Rasulullah saw., menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang
kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita menyebut
nama orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali
untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulullah saw. Allah SWT.berfirman :
“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara
kalian”. (QS.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas
ini Ash-Shawi mengatakan: Makna ayat itu ialah janganlah kalian
memanggil atau menyebut nama Rasulullah saw. cukup dengan nama beliau saja,
seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim.
Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat, dengan
menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud oleh ayat
tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau saw.tanpa
menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau saw., baik dikala
beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah SWT.
Yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut
berarti tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap demikian bukanlah
sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir, dalam
menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu (An-Nur:63)
Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan mengagungkan Rasulullah
saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi
Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut
Allah melarang ummat Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau hanya
dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya
Rasulullah atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan
demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari syarh
Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas, dengan
tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang
diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin
memanggil Rasulullah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai
Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah SWT.
melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulullah saw. dengan ucapan-ucapan
tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya
Nabiyallah.
Hampir seluruh ulama Islam dan para
ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat yang sama mengenai soal
tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan sebutan
atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas
turun.
Didalam Al-Qur’an banyak terdapat
ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas. Antara lain firman Allah
SWT. dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain
sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah SWT. memuji kaum muslimin yang bersikap
hormat dan memuliakan Rasulullah saw., bahkan menyebut mereka sebagai
orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah SWT. mengajarkan kepada kita
tatakrama yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut
Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan
kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman Allah SWT. tersebut
cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah SWT. mengangkat dan menjunjung
Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau
junjungan kita Muhammad Rasulullah saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali
dengan kata yang menunjuk- kan penghormatan, seperti sayyidina tidak
sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imran:39 Allah
SWT. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira
kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran
seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari)
Allah, seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan
diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.
Para penghuni neraka pun menyebut
orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah saadat (jamak dari
kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah
SWT.dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya
kami telah mentaati para pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami,
lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (S.Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat disebut
dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah SWT. dalam
surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian
kedua-duanya memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”.
Dalam kisah ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang
berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya. Banyak terdapat
didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat Ad-Dukhan: 41
Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana seorang maula (pelindung) tidak
dapat memberi manfaat apa pun kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka
tidak akan tertolong”.
Juga dalam firman Allah SWT. dalam
Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah SWT., Rasul dan orang
yang beriman.
Jadi kalau kata sayyid itu dapat
digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera Zakariya, dapat digunakan untuk
menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga digunakan untuk menyebut pemimpin yang
semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseorangalasan apa yang dapat digunakan
untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad saw.
Demikian pula soal penggunaan kata maula
. Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang Nabi yang diimani dan
dicintainya dengan awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa orang yang menyebut nama
seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada para president, para raja atau menteri,
atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak dituduh
berbuat bid’ah? Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap
menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali
penyebutan nama Rasulullah saw. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan
kedudukan dan martabat beliau saw. Atau sekurang-kurang hendak menyamakan
kedudukan dan martabat beliau saw. dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana kita ketahui, dewasa ini
masih banyak orang yang menyebut nama Rasulullah saw. tanpa diawali dengan kata
sayyidina dan tanpa dilanjutkan dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw.).
Menyebut nama Rasulullah dengan cara demikian menunjukkan sikap tak kenal
hormat pada diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan
oleh orang-orang diluar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain
sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh kita tiru.
Banyak hadits-hadits shohih yang
menggunakan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid.
Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah
bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR
Bukhori dan Adz-Dzahabi).
Jadi kalau setiap anak Adam saja
dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang paling tinggi martabatnya dan
paling mulia kedudukannya disisi Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw.
tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam shohih Muslim terdapat
sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw. memberitahu para sahabatnya, bahwa
pada hari kiamat kelak Allah SWT. akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah
engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usaw.widuka?)
Makna hadits itu ialah, bahwa Allah
SWT. telah memberikan kemuliaan dan kedudukan tinggi kepada setiap manusia.
Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah manusia
pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan
lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya ? Kalau
manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulullah
saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula ?
Dalil-dalil
orang yang membantah dan jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui
oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii
fis-shalah” artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad saw.) sayyid didalam
sholat”. Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulullah saw.
untuk mempertahankan pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa
didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu. Tidak
ada kemungkinan sama sekali Rasulullah saw.mengucapkan kata-kata dengan bahasa
Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu
tersebut. Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas
kepalsuannya. Namun untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits
tersebut baiklah kami kemukakan beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para
ulama.
Dalam kitab Al-Hawi , atas
pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjawab tegas :
“Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi dalam
kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan
sumbernya ! “
Imam Jalaluddin Al-Muhli, Imam
As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih
madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan :
“Hadits itu sama sekali tidak benar”.
– Selain hadits palsu diatas
tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La
tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ; “Jangan mengagungkan aku (Nabi
Muhammad saw.) di masjid”.
Dalam kitab Kasyful Khufa Imam
Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengata- kan: “Itu bathil !”. Demikian pula
Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah menyatakan
tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau ada orang
yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungkan aku di masjid kepada
para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’
(rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan
oleh Rasulullah saw. atau sebagai hadits beliau saw., jelas hal itu suatu pemalsuan
yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang
hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulullah saw.bersabda : “Aku
sayyid anak Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti
pemimpin ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling
sempurna dalam segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi
ummat yang dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, bahwa
makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling mulia disisi
Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulullah saw. adalah seorang sayyid
yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulullah saw.
bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada
hari kiamat”. Surmber riwayat lain yang
diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim,
mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Aku sayyid semua manusia pada
hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna oleh
Rasulullah saw. sendiri dengan penjelas- annya: ‘Pada hari kiamat, Adam dan
para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih
tegas lagi, yaitu bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Aku sayyid dua alam”.
– Riwayat yang berasal dari Abu
Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah mengatakan
bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka
dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits lain yang diriwayatkan oleh
Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku Imam kaum
muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang dengan terang
mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulullah saw. diawali dengan kata sayyidina
diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai
isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai
berikut:
“Pada suatu hari kulihat Rasulullah
saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah saw.
beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulullah !
Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami
menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi
Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.”
Riwayat hadits ini menjelaskan
kepada kita bahwa Rasulullah saw. lebih suka kalau para sahabatnya menyebut
nama beliau dengan kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukkan
perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan
dari semua manusia sejagat.
Semua hadits tersebut diatas
menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw. adalah sayyid anak Adam, sayyid
kaum muslimin, sayyid dua alam (al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak
diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama
Rasulullah saw. merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang
mencintai beliau saw.
– Demikian pula soal kata Maula, Imam
Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu
Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun
maulahu” artinya : “Barangsiapa aku menjadi maula-nya (pemimpinnya).
‘Ali (bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”
– Dari hadits semuanya diatas
tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulullah saw. adalah sayyidina
dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga para ahlu-baitnya
(keluarganya), semua adalah sayyidina. Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw. pernah berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa Fathimah amaa tardhiina an
takuunii sayyidata nisaail mu’minin au sayyidata nisaai hadzihil ummati”
artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum
mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat
ini ?”
– Dalam shohih Muslim hadits
tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail
mu’mininat au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah,
apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya
orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Sa’ad, Rasulullah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :
“Amaa tardhiina an takuunii
sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah
engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum
wanita sedunia ?”
Demikianlah pula halnya terhadap dua
orang cucu Rasulullah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Imam
Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shohih bahwa
pada suatu hari Rasulullah saw. bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu sayyida
asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid
pemuda ahli surga”.
Berdasarkan hadits-hadits diatas itu
kita menyebut puteri Rasulullah saw. Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna.
Demikianlah pula terhadap dua orang cucu Rasulullah saw. Al-Hasan dan
Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika Sa’ad bin Mu’adz ra.
diangkat oleh Rasulullah saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah
(setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah saw.
mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya datang menghadap beliau. Sa’ad datang
berkendaraan keledai, saat itu Rasulullah saw. berkata kepada orang-orang yang
hadir: “Guumuu ilaa sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirilah
menghormati sayyid (pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara
kalian”.
Rasulullah saw. menyuruh mereka
berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit
sementara fihak menafsirkan mereka
disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya, karena dalam
keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulullah saw. tidak
menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh
beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun –misalnya– Rasulullah saw.
melarang para sahabatnya berdiri menghormati beliau saw., tetapi beliau sendiri
malah memerintahkan mereka supaya berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah
artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang
dikehendaki oleh Rasulullah saw. dengan larangan dan perintahnya mengenai
soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara
terang-terangan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak,
si adik dan si murid harus merasa dirinya wajib menghormati ayahnya,
ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian juga Rasulullah saw. sekalipun beliau
menyadari kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah SWT,
beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan
beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulullah saw., harus merasa wajib
menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau saw.
Allah SWT. berfirman dalam Al-Ahzab:
6 : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad saw.) lebih utama
daripada diri mereka sendiri, dan para isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas ra. menyatakan: Beliau
adalah ayah mereka’ yakni ayah semua orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas
maknanya, tidak memerlukan penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulullah saw. lebih
utama dari semua orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang
sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas
ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina
atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah SWT. memberi
hidayah kepada kita semua. Amin
– Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada
orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat
Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak
tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada beliau saw., karena itu
ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu
kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulullah) dan Imamul-Muttaqin
(Panutan orang-orang bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga menggunakan
kata sayyid untuk saling menyebut nama masing-masing, sebagai tanda
saling hormat-menghormati dan harga-menghargai. Didalam Al-Mustadrak
Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah
ra. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan “Alaikassalam
ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar
sendiri Rasulullah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah
mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai
berikut: “Hendak- nya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina
dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak
jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan
para ulama pakar cara sebaik-baiknya membaca sholawat pada Rasulullah saw. yang
tidak tercantum disini.
Nah, kiranya cukuplah sudah uraian
diatas mengenai penggunaan kata sayyidina atau maulana untuk mengawali
penyebutan nama Rasulullah saw. Setelah orang mengetahui banyak hadits Nabi
yang menerangkan persoalan itu yakni menggunakan kata awalan sayyid, apakah
masih ada yang bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut
nama beliau saw.?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang yang demikian itu
hendak mengingkari martabat Rasulullah saw. sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu
para Rasulullah) dan Habibu Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya orang yang
berani membid’ahkan penyebutan sayyidina atau maulana dimuka nama beliau
saw.? Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara golongan pengingkar ini
sendiri yang memanggil nama satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta
juga agar mereka dipanggil sayyid dimuka nama mereka !
10. Penggunaan Tasbih bukanlah
bid’ah sesat.
Sering yang kita dengar dari
golongan muslimin diantaranya dari madzhab Wahabi/Salafi dan pengikutnya yang
melarang orang menggunakan Tasbih waktu berdzikir. Sudah tentu
sebagaimana kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan sampai-sampai
berani membid’ahkan sesat karena menurut paham mereka bahwa Rasulullah saw.
para sahabat tidak ada yang menggunakan tasbih waktu berdzikir !
‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama ‘Subhah’
adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk menghitung jumlah banyaknya dzikir
yang diucapkan oleh seseorang, dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa
Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama Jibmala yang berarti hitungan
dzikir.
Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul
penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang Arab,
tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari
kebiasaan orang-orang Hindu. Ada pula orang yang mengatakan bahwa pada mulanya
kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India. Setelah
Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih menurut hitungan Wisnuisme,
yaitu 108 butir. Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani
juga menggunakan tasbih, meniru biksu-biksu Budha. Semuanya ini terjadi pada
zaman sebelum islam.
Kemudian datanglah Islam, suatu
agama yang memerintahkan para pemeluk nya untuk berdzikir (ingat) juga kepada
Allah SWT. sebagai salah satu bentuk peribadatan untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT.. Perintah dzikir bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan
tidak terikat juga oleh keadaan-keadaan tertentu. Banyak sekali firman Allah
SWT. dalam Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau
situasi, umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan itu terdapat
banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu berdzikir, misalnya seusai
sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga kali dengan ucapan Subhanallah, tiga
puluh tiga kali Alhamdulillah dan tiga puluh tiga kali Allahu Akbar,
kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha
illallahu wahdahu….’. Kecuali itu terdapat pula hadits-hadits lain yang
menerangkan keutamaan berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus
kali. Dengan adanya hadits-hadits yang menetapkan jumlah dzikir seperti itu
maka dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui jumlahnya yang
pasti.
Hadits-hadits
yang berkaitan dengan cara menghitung dzikir
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra. yang
mengatakan:
“Rasulullah saw. menghitung
dzikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para sahabatnya supaya mengikuti
cara beliau saw.”. Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatkan sebuah
hadits berasal dari Bisrah, seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang
mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata:
“Hendaklah kalian senantiasa
bertasbih (berdzikir), bertahlil dan
bertaqdis (yakni berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an Allah
SWT.). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid.
Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh
Allah dan akan diminta berbicara” .
Perhatikanlah: Anjuran menghitung dengan jari dalam hadits itu tidak
berarti melarang orang menghitung dzikir dengan cara lain !!!. Untuk
mengharamkan atau memunkarkan suatu amalan haruslah mendatangkan nash yang
khusus tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja!!
Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan
Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shofiyyah yang
mengatakan: “Bahwa pada suatu saat Rasulullah saw. datang kerumahnya. Beliau
melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan oleh
Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay,
apakah itu ?‘ Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk
menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi; ‘Sesungguhnya engkau dapat
berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya Rasulullah,
ajarilah aku’. Rasulullah saw. kemudian berkata; ‘Sebutlah, Maha Suci Allah
sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shohih).
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan
sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi
Waqqash ra. yang mengatakan:
“Bahwa pada suatu hari Rasulullah
saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil
yang biasa dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau
bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih
afdhal/utama ?’ Sebut sajalah kalimat-kalimat sebagai berikut :
‘Subhanallahi ‘adada maa kholaga fis
samaai, subhanallahi ‘adada maa kholaga fil ardhi, subhanallahi ‘adada maa
baina dzaalika, Allahu akbaru mitslu dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu
dzaalika, wa laa ilaaha illallahu mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi
mitslu dzaalika’ ”.
Yang artinya : ‘Maha suci Allah
sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang
dibumi, Maha suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah
Maha Besar, seperti tadi, Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada
Tuhan selain Allah, seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah,
seperti tadi !’ “.
Lihat dua hadits diatas ini,
Rasulullah saw. melihat Shofiyyah menggunakan biji kurma untuk
menghitung dzikirnya, beliau saw. tidak melarangnya atau tidak
mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan jari-jarinya, malah beliau saw.
berkata kepadanya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu !! Begitu
juga beliau saw. tidak melarang seorang wanita lainnya yang menggunakan batu
kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak
mengatakan kepada wanita itu, buanglah batu kerikil itu dan hitunglah
dzikirmu dengan jari-jarimu !
Beliau saw. malah mengajarkan kepada
mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca. Sedangkan
berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak ditentukan oleh Rasulullah saw.
jadi terserah kemampuan mereka.
Banyak riwayat bahwa para sahabat
Nabi saw. dan kaum salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma,
batu-batu kerikil, bundelan-bundelan benang dan lain sebagainya untuk
menghitung dzikir yang dibaca. Ternyata tidak ada orang yang menyalahkan atau
membid’ahkan sesat mereka !!
Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya
meriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shofiyyah
menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan
juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jamus Shahabah; ”‘bahwa Abu
Shofiyyah, maula Rasulullah saw. menghamparkan selembar kulit kemudian
mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir
hingga tengah hari. Setelah itu ia menyingkirkannya. Seusai sholat dhuhur ia
mengambilnya lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.
Abu Dawud meriwayatkan; ‘bahwa Abu
Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu kerikil. Ia duduk
bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita
berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu
kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis dipergunakan,
hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya’.
Abu Syaibah juga mengutip hadits
‘Ikrimah yang mengatakan; ‘bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan
seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya
bab Zuhud mengemukakan; ‘bahwa Abu Darda ra. mempunyai sejumlah biji
kurma yang disimpan dalam kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu
dikeluarkan satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’
.
Abu Syaibah juga mengatakan; ‘bahwa
Sa’ad bin Abi Waqqash ra menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji
kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri.
Dalam kitab Al-Manahil
Al-Musalsalah Abdulbaqi mengetengahkan sebuah riwayat yang mengatakan;
‘bahwa Fathimah binti Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelannya
untuk menghitung dzikir.
Dalam kitab Al-Kamil ,
Al-Mubarrad mengatakan; “bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110
H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung
raka’at-raka’at sholat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang
menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat’ “.
Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya
mengatakan: ‘Banyak sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih
untuk menghitung dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani dan
lain-lain’.
Menurut riwayat bentuk tasbih yang
kita kenal pada zaman sekarang ini baru dipergunakan orang mulai abad ke 2
Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’ belum digunanakan untuk menyebut alat
penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi yang mengutip
keterangan dari gurunya didalam kitab Tajul-‘Arus . Sejak masa itu
tasbih mulai banyak dipergunakan orang dimana-mana. Pada masa itu masih ada
beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai
hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah
bertanya pada seorang Waliyullah yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah orang
semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab: ‘Jalan yang
mendekatkan diriku kepada Allah SWT. tidak akan kutinggalkan’.(Ar-Risalah
Al-Qusyariyyah).
Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan
tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang
tekun beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf
maupun dari kaum Khalaf (generasi muslimin berikutnya) yang menyebutkan
adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang memandang
penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!
Pada zaman kita sekarang ini bentuk
tasbih terdiri dari seratus buah butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai
dengan jumlah banyaknya dzikir yang disebut-sebut dalam hadits-hadits shohih.
Bentuk tasbih ini malah lebih praktis dan mudah dibandingkan pada masa
zaman nya Rasulullah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu juga
untuk menghitung jumlah dzikir agama Islam tidak menetapkan
cara tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang
berdzikir.
Cara apa saja untuk menghitung
bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat menghitung yang tidak yang dilarang
menurut Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. itu mustahab/baik untuk
diamalkan. Berdasarkan riwayat-riwayat hadits yang telah dikemukakan diatas
jelaslah, bahwa menghitung dzikir bukan dengan jari adalah sah/boleh.
Begitu juga benda apa pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung
dzikir, tidak bisa lain, orang tetap menggunakan tangan atau jarinya juga,
bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga digunakan untuk
kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar maupun kaum muslimin
lainnya sering menggunakan tasbih bila berdzikir.
Jadi masalah menghitung dengan
butiran-butiran tasbih sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi kalau ada
orang yang menganggapnya sebagai ‘bid’ah dholalah’. Yang perlu kita
ketahui ialah : Manakah yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari
tanpa menggunakan tasbih ataukah dengan menggunakan tasbih ?
Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung
dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil, biji kurma dll) lebih
afdhal/utama. Akan tetapi Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang
berdzikir tidak akan salah hitung dengan menggunakan jari, itulah yang afdhal.
Jika tidak demikian maka mengguna- kan tasbih lebih afdhal.
Perlu juga diketahui, bahwa
menghitung dzikir dengan tasbih disunnahkan menggunakan tangan kanan,
yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut dalam
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dalam soal dzikir
yang paling penting dan wajib diperhatikan baik-baik ialah kekhusyu’an, apa
yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati mengikutinya. Maksudnya bila lisan
mengucapkan Subhanallah maka dalam hati juga memantapkan kata-kata yang sama
yaitu Subhanallah. Allah SWT. melihat apa yang ada didalam hati orang yang
berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung
dzikir!! Wallahu a’lam.
Insya Allah dengan keterangan
singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar yang dikatakan
golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar, bid’ah
dholalah/sesat dn lain sebagainya ??? Semoga Allah SWT. memberi hidayah kepada
semua kaum muslimin. Amin.
Semoga dengan keterangan sebelumnya
mengenai akidah golongan Wahabi/Salafi serta pengikutnya dan keterangan bid’ah
yang singkat ini insya-Allah bisa membuka hati kita masing-masing agar tidak
mudah mensesatkan, mengkafirkan dan sebagainya pada saudara muslim kita sendiri
yang sedang melakukan ritual-ritual Islam begitu juga yang berlainan madzhab
dengan madzhab kita.
11. Bagaimana hukum menyuguhkan
makanan baik kepada para jamaah yang datang membacakan tahlil bagi si mayit
maupun bagi para pentakziah?
Ada dua pendapat di kalangan ulama
berkaitan dengan hukum menyuguhkan makanan dari pihak keluarga si mayit kepada
para jamaah tahlilan maupun orang-orang yang datang bertakziyah.
a. Pendapat yang menyatakan makruh.
Hal ini didasarkan pada dua hadits:
Pertama, hadits Jarir bin Abdullah
al-Bajali yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Majah dengan sanad yang shahih.
Jarir bin Abdullah berkata: "Kami menganggap berkumpul pada keluarga mayit
dan penyuguhan makanan dari pihak keluarga mayit bagi mereka (yang berkumpul)
termasuk niyahah (ratapan)." Berdasarkan hadits ini, para ulama madzhab
Hanafi berpendapat makruh memberikan makanan pada hari pertama, kedua, ketiga dan
setelah tujuh hari kepada pentakziyah sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam Ibn
Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar juz 2 hlm. 240.
Kedua, Hadits riwayat al-Tirmidzi,
al-Hakim dan lain-lainnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Buatkan
makanan bagi keluarga Ja'far, karena mereka sekarang sibuk mendengar kematian
Ja'far." Para ulama berpendapat, bahwa yang disunnatkan sebenarnya adalah
tetangga keluarga mayit atau kerabat-kerabat mereka yang jauh membuatkan
makanan bagi keluarga mayit yang sedang berduka, yang cukup bagi kebutuhan
mereka dalam waktu selama sehari semalam. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas
fuqaha, dan mayoritas ulama madzahib al-arba'ah. Dan ini juga merupakan praktek
warga Nahdliyin, saat ada tetangga meninggal, maka para tetangga takziyah dengan
membawa beras, uang serta membantu memasak untuk keluarga musibah dan memasak
bagi yang bertakziah yang mana makanan itu berasal dari tetangga2 sekitar dan
sama sekali tidak mengambil harta dari keluarga musibah.
b. Ulama yang lain berpendapat
bolehnya menyuguhkan makanan dari pihak keluarga mayit bagi para jamaah
tahlilan maupun para pentakziyah, meskipun pada masa-masa tiga hari hari
pertama pra meninggalnya si mayit. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil
antara lain:
Pertama, Ahmad bin Mani' meriwayatkan
dalam Musnad-nya dari jalur al-Ahnaf bin Qais yang berkata: "Setelah
Khalifah Umar bin al-Khaththab ditikam, maka beliau menginstruksikan agar
Shuhaib yang bertindak sebagai imam shalat selama tiga hari dan memerintahkan
menyuguhkan makanan bagi orang-orang yang datang bertakziyah." Menurut
al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini bernilai hasan. (Lihat al-Hafizh Ibn
Hajar, al-Mathalib al-'Aliyah fi Zawaid al-Masanid al-Tsamaniyah, juz 1, hlm.
199, hadits no. 709).
Kedua, al-Imam Ahmad bin Hanbal
meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd dari al-Imam Thawus (ulama salaf dari generasi
tabi'in), yang berkata: "Sesungguhnya orang-orang yang meninggal dunia itu
diuji oleh di dalam kubur mereka selama tujuh hari. Mereka (para generasi
salaf) menganjurkan mengeluarkan sedekah makanan untuk mereka selama tujuh hari
tersebut." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini kuat (shahih).
(Lihat, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib al-'Aliyah, juz 1, hlm. 199, hadits
no. 710).
Ketiga, “Kami keluar bersama
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah, maka aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berada diatas kubur berpesan kepada
penggali kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga luaskanlah
pada bagian kepalanya”, Maka tatkala telah kembali dari kubur, seorang wanita
(istri mayyit, red) mengundang (mengajak) Rasulullah, maka Rasulullah datang
seraya didatangkan (disuguhkan) makanan yang diletakkan dihadapan Rasulullah,
kemudian diletakkan juga pada sebuah perkumpulan (qaum/sahabat), kemudian
dimakanlah oleh mereka. Maka ayah-ayah kami melihat Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan bersabda:
“aku mendapati daging kambing yang
diambil tanpa izin pemiliknya”. Kemudian wanita itu berkata : “wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengutus ke Baqi’ untuk membeli kambing
untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus kepada tetanggaku untuk
membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka
aku mengutus kepada istinya (untuk membelinya) dan ia kirim kambing itu
kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “berikanlah
makanan ini untuk tawanan”. (Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra
lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits ini shahih ; Misykaatul Mafatih [5942] At-Tabrizi
dan Mirqatul Mafatih syarh Misykah al-Mashabih [5942] karangan al-Mulla
‘Alial-Qari, hadits tersebut dikomentari shahih. Lebih jauh lagi, didalam kitab
tersebut disebutkan dengan lafadz berikut :
(استقبله
داعي امرأته) ، أي: زوجة المتوفى
“Rasulullah menerima ajakan
wanitanya, yakni istri dari yang wafat”.)
12. Hukum Duduk Bersama Untuk
Berdzikir
Alhamdulillah, di bumi Sunni
Syafi`i, Indonesia ini masih banyak umat Islam yang mengamalkan ajaran Nabi
saw., antara lain yang disebutkan dalam hadits hasan riwayat Imam Tirmidzi dari
Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda : Maa qa`ada qaumun lam yadzkurullaha fiihi
walam yushallu `alan nabiyyi shallallahu alaihi wasallam, illaa kaana alaihim
hasratan yaumal qiyaamah, (tidaklah suatu kaum yang duduk di suatu tempat, dan
tidak berdzikir kepada Allah dan tidak pula bershalawat untuk Nabi saw.,
kecuali mereka akan ditimpa penyesalan pada hari kiamat). Yang dinamakan kaum
dalam hadits di atas adalah sekelompok orang yang duduk bersama dalam suatu majelis.
Jika saja yang dimaksudkan adalah perorangan, maka Nabi saw. cukup mengatakan
maa qa`ada rajulun (tidaklah seseorang yang duduk), tetapi Nabi saw. mengatakan
qaumun (suatu kaum).
Artinya baik mereka membacanya
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, bahkan pemahaman yang lebih dekat
dengan kebenaran, adalah secara bersama-sama, baik dengan suara pelan dan
lirih, yang hanya dapat didengarkan oleh dirinya sendiri, maupun dengan
mengangkat suara secara wajar sehingga terdengar suara lantunan-lantunan dzikir
yang menentramkan jiwa, hal ini sama seperti yang dilakukan umat Islam di saat
menggemakan takbiran di malam Hari Raya secara bersama-sama dengan suara keras.
Semua cara dalam menghidupkan majelis dzikir dan shalawat yang dilakukan oleh
suatu kaum secara bersama-sama, tidak ada larangan secara spesifik baik dari
Alquran maupun hadits shahih manapun.
Karena itu, kegiatan masyarakat
Indonesia yang marak dilakukan di pedesaan, perkampungan, maupun perkotaan
dalam mengadakan majelis dzikir kepada Allah, majelis shalawat untuk Nabi saw.,
maupun majelis ta`lim untuk memahami ajaran syariat Islam adalah sudah sesuai
dengan ajaran Nabi Muhammad saw.
Jadi mari kita bersama-sama
lestarikan majelis dzikir, majelis shalawat dan majelis ta`lim di wilayah kita
masing-masing, agar tidak ada penyesalan pada hari Qiyamat nanti.
13. Dalil Nyekar Bunga Di Kuburan
Barangkali telinga masyarakat
Indonesia tidaklah asing dengan istilah nyekar. Adapun arti nyekar adalah
menabur beberapa jenis bunga di atas kuburan orang yang diziarahinya, seperti
menabur bunga kamboja, mawar, melati, dan bunga lainnya yang beraroma harum.
Ada kalanya yang diziarahi adalah kuburan sanak keluarga, namun tak jarang pula
kuburan orang lain yang dikenalnya. Nabi saw. sendiri pernah berziarah kepada
dua kuburan muslim yang sebelumnya tidak dikenal oleh beliau saw.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, bahwasannya suatu saat Nabi SAW. melewati dua kuburan muslim, lantas
beliau SAW. bersabda: Sesungguhnya kedua orang ini sedang disiksa, keduanya
disiksa bukanlah karena suatu masalah yang besar, tetapi yang satu terbiasa
bernamimah (menfitnah dan mengadu domba), sedangkan yang satu lagi terbiasa
tidak bersesuci (tidak cebok) jika habis kencing. Kemudian beliau saw.
mengambil pelepah kurma yang masih segar dan memotongnya, untuk dibawa saat
menziarahi kedua kuburan tersebut, lantas beliau saw. menancapkan potongan
pelepah kurma itu di atas dua kuburan tersebut pada bagian kepala
masing-masing, seraya bersabda : Semoga Allah meringankan siksa dari kedua
mayyit ini selagi pelepah korma ini masih segar. Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Imam Muslim pada Kitabut Thaharah (Bab Bersuci).
Berkiblat dari hadits shahih inilah
umat Islam melakukan ajaran Nabi saw. untuk menziarahi kuburan sanak famili dan
orang-orang yang dikenalnya untuk mendoakan penduduk kuburan. Dari hadits ini
pula umat Islam belajar pengamalan nyekar bunga di atas kuburan.
Tentunya kondisi alam di Makkah dan
Madinah saat Nabi saw. masih hidup, sangat berbeda dengan situasi di Indonesia.
Maksudnya, Nabi saw. saat itu melakukan nyekar dengan menggunakan pelepah
kurma, karena pohon kurma sangat mudah didapati di sana, dan sebaliknya sangat
sulit menemui jenis pepohonan yang berbunga. Sedangkan masyarakat Indonesia
berdalil bahwa yang terpenting dalam melakukan nyekar saat berziarah kubur,
bukanlah faktor pelepah kurmanya, yang kebetulan sangat sulit pula ditemui di
Indonesia , namun segala macam jenis pohon, termasuk juga jenis bunga dan
dedaunan, selagi masih segar, maka dapat memberi dampak positif bagi mayyit
yang berada di alam kubur, yaitu dapat memperingan siksa kubur sesuai sabda
Nabi saw.
Karena Indonesia adalah negeri yang
sangat subur, dan sangat mudah bagi masyarakat untuk menanam pepohonan di mana
saja berada, ibarat tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Maka masyarakat
Indonesia-pun menjadi kreatif, yaitu disamping mereka melakukan nyekar dengan
menggunakan berbagai jenis bunga dan dedaunan yang beraroma harum, karena
memang banyak pilihan dan mudah ditemukan di Indonesia, maka masyarakat juga
rajin menanam berbagai jenis pepohonan di tanah kuburan, tujuan mereka hanya
satu yaitu mengamalkan hadits Nabi SAW., dan mengharapkan kelanggengan
peringanan siksa bagi sanak keluarga dan handai taulan yang telah terdahulu menghuni
tanah pekuburan. Karena dengan menanam pohon ini, maka kualitas kesegarannya
pepohonan bisa bertahan relatif sangat lama.
Memang Nabi SAW. tidak mencontohkan
secara langsung penanaman pohon di tanah kuburan. Seperti halnya Nabi SAW. juga
tidak pernah mencontohkan berdakwah lewat media cetak, elektronik, bahkan lewat
dunia maya, karena situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan Nabi SAW.
melakukannya. Namun para ulama kontemporer dari segala macam aliran pemahaman,
saat ini marak menggunakan media cetak, elektronik, dan internet sebagai
fasilitas penyampaian ajaran Islam kepada masyarakat luas, tujuannya hanya satu
yaitu mengikuti langkah dakwah Nabi SAW., namun dengan asumsi agar dakwah
islamiyah yang mereka lakukan lebih menyentuh masyarakat luas, sehingga
pundi-pundi pahala bagi para ulama dan da’i akan lebih banyak pula dikumpulkan.
Yang demikian ini memang sangat memungkinkan dilakukan pada jaman modern ini.
Jadi, sama saja dengan kasus nyekar
yang dilakukan masyarakat muslim di Indonesia, mereka bertujuan hanya satu,
yaitu mengikutijejak nyekarnya Nabi SAW., namun mereka menginginkan agar
keringanan siksa bagi penghuni kuburan itu bisa lebih langgeng, maka
masyarakt-apun menanam pepohonaan di tanah pekuburan, hal ini dikarenakan
sangat memungkinkan dilakukan di negeri yang bertanah subur ini, bumi Indonesia
dengan penduduk muslim asli Sunny Syafii.
Ternyata dari satu amalan Nabi dalam
menziarahi dua kuburan dari orang yang tidak dikenal, dan memberikan solusi
amalan nyekar dengan penancapan pelepah korma di atas kuburan mayyit, dengan
tujuan demi peringasnan siksa kubur yang tengah mereka hadapi, menunjukkan
bahwa keberadaan Nabi SAW. adalah benar-benar rahmatan lil alamin, rahmat bagi
seluruh alam, termasuk juga alam kehidupan dunia kasat mata, maupun alam kubur,
bahkan bagi alam akhirat di kelak kemudian hari.
(Literatur tunggal: Kitab Tahqiiqul
Aamal fiima yantafiul mayyitu minal a`maal, karangan Abuya Sayyid Muhammad Alwi
Almaliki Alhasani, Imam Ahlussunnah wal Jamaah Abad 21)
14. Dalil Tentang Bolehnya
Bertabaruk
Bertabarruk yang dimaksud di sini,
adalah seseorang yang sengaja mencari (Jawa : ngalap) barakah dari sesuatu yang
diyakini baik, dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.Adakalanya dengan
mengambi sesuatu, atau mengusap sesuatu, atau meminum sesuatu, atau sesuatu,
bahkan melakukan sesuatu dengan tujuan mencari barakah.Ada seseorang yang
menjalankan bisnis milik orang lain tanpa meminta sedikitpun bayaran atau
keuntungan dari bisnisnya itu, sebab ia hanya ingin mencari barakah, karena si
pemilik modal tiada lain adalah kiai/ustadz/guru agama-nya. Ada juga yang
sengaja mencium tangan atau bahkan dada seseorang yang dianggap shaleh maupun
`alim dengan tujuan mencari barakah. Atau mendatangi seorang yang shaleh dengan
membawa air lantas minta dibacakan surat Alfatihah atau doa kesembuahan dan
sebagainya, senuanya itu bertujuan mencari barakah. Demikian dan seterusnya.
Adapun amalan-amalan yang tertera di
atas adalah menirukan perilaku para shahabat Nabi saw. sebagaimana yang ditulis
para ulama salaf dalam buku-buku mereka, antara lain :
(1). Imam Ibnu Hajar Alhaitsami
menulis dalam kitab Majma`uz zawaid, 9:349 yang disebutkan juga dalam kitab
Almathaalibul \`Aaliyah, 4:90 : Diriwayatkan dari Ja`far bin Abdillah bin
Alhakam, bahwa shahabat Khalid bin Walid RA, Panglima perang tentara Islam,
pada saat perang Yarmuk kehilangan songkok miliknya, lantas beliau meminta
tolong dengan sangat agar dicarikan sampai ketemu. Tatkala ditemukan, ternyata
songkok tersebut bukanlah baru, melainkan sudah hampir kusam, lantas beliau
mengtakan : Tatkala Rasulullah saw. berumrah, beliau saw. mencukur rambutnya
saat bertahallul, dan orang-orang yang mengetahuinya, mereka berebut rambut
Rasulullah saw., kemudian aku bergegas mengambil rambut bagian ubun-ubun, dan
aku selipkan pada songkokku ini, dan sejak aku memakai songkok yang ada rambut
Rasulullah saw. ini, maka tidak pernah aku memimpim peperangan kecuali selalu
diberi kemenangan oleh Allah.
(2). Imam Bukhari dalam Kitabus
syuruuth, babus syuruuthu fil jihaad, meriwayatkan dari Almasur bin Makhramah
dan Marwan, mengatakan bahwa Urwah (tokoh kafir Quraisy) memperhatikan perilaku
para shahabat Nabi SAW., lantas mengkhabarkan kepada kawan-kawannya sesama
kafir Quraisy : Wahai kaumku, demi tuhan, aku sering menjadi delegasi kepada
para raja, aku menjadi delegasi menemui Raja Kaisar, Raja Kisra, dan Raja
Najasyi, tetapi demi tuhan belum pernah aku temui para pengikut mereka itu
dalam menghormati para raja itu, seperti cara para shahabat dalam menghormati
Muhammad (SAW.), demi tuhan, setiap Muhammad meludah, pasti telapak tangan
mereka dibuka lebar-lebar untuk menampung ludah Muhammad, lantas bagi yang
mendapatkan ludah itu pasti langsung diusapkan pada wajah dan kulit
masing-masing (tabarrukan). Jika Muhammad memrintahkan sesuatu, mereka bergegas
menjalankannya. Jika Muhammad berwudlu mereka berebut bahkan hampir berperang
hanya untuk (bertabarruk) mendapatkan air bekas wudlunya. Jika mereka berbicara
di depan Muhammad pasti merendahkan suaranya, mereka tidak berani memandang
wajah Muhammad dengan lama-lama karena rasa hormat yang sangat dan lebih
daripada umumnya.
(3). Imam Muslim dalam kitab
Shahihnya meriwayatkan dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi saw. datang ke Mina,
lantas melaksanakan lempar Jumrah, kemudian mencukur rambutnya, dan meminta
kepada si pencukur untuk mengumpulkan rambutnya, dan beliau saw. membagikannya
kepada masyarakat muslim.
(2). Riwayat serupa di atas juga
terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi, yang mengatakan bahwa Nabi saw.
menyerahkan potongan rambutnya kepada Abu Thalhah dan beliau saw. memerintahkan
: Bagikanlah kepada orang-orang.
(3). Imam Muslim meriwayatkan juga
dari shahabat Anas RA berkata, bahwa suatu saat Nabi saw. beristirahat tidur di
rumah kami sehingga beliau saw. berkeringat, lantas ibu kami mengambil botol
dan menampung tetesan keringat Nabi saw., kemudian Nabi saw. terbangun dan
bersabda : Wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau lakukan ? Ummu Sulaim menjawab :
Kami jadikan keringatmu ini sebagai parfum, bahkan ia lebih harum dari semua
jenis parfum.
(4). Sedangkan dalam riwayat Ishaq
bin Abi Thalhah, bahwa Ummu Sulaim istrinya Abu Thalhah menjawab : Kami
mengharapkan barakahnya untuk anak-anak kami. Lantas Nabi saw. bersabda :
Engkau benar.
(5). Imam Thabarani meriwayatkan
dari Safinah RA, berkata : Tatkala Rasulullah saw. berhijamah (canthuk), beliau
saw. bersabda kepadaku: Ambillah darahku ini, dan tanamlah jangan sampai
ketahuan binatang liar, burung, maupun orang lain..! Lantas aku bawa menjauh
dan aku minum, kemudian aku ceritakan kepada beliau saw., maka beliau tertawa.
(6). Imam Thabarani juga
meriwayatkan hadits penguat, Nabi saw. bersabda : Barangsiapa yang darah
(daging)-nya bercampur dengan darahku, maka tidak bakal disentuh api neraka.
(7). Imam Ahmad bin Hanbal
meriwayatkan dari Anas RA, bahwa suatu saat Nabi saw. mampir ke rumah Ummu
Sulaim, yang dalam rumah itu ada qirbah (tempat air minum) menggantung, lantas
beliau saw. meminumnya secara langsung dari bibir qirbah itu dengan berdiri,
kemudian Ummu Sulaim menyimpan qirbah tersebut untuk bertabarruk dari sisa
bekas tempat minum Nabi saw.
(8). Ibnu Hajar Alhaitsami menulis
riwayat hadits dari Yahya bin Alharits Aldzimaari berkata : Aku menemui
Watsilah bin Al-asqa` RA lantas aku tanyakan : Apa engkau membaiat Rasulullah
dengan tanganmu ini ? Beliau menjawab : Ya.. ! Aku katakan : Sodorkanlah
tanganmu untukku, dan aku akan menciumnya. Kemudian beliau memberikan tangannya
kepadaku, dan akupun menciumnya. (HR. Atthabarani).
(9). Imam Bukhari meriwayatkan dari
Abdurrahman bin Razin, mengatakan ; Kami melintas di Arrabadzah, lantas
diinfokan kepada kami : Di situ ada Shahabat Salamah bin Al-aqwa` RA, lantas
kami menjenguk beliau RA, dan kami ucapkan salam. Lantas beliau RA menjulurkan
tangannya seraya berkata : Aku membaiat Nabi saw. dengan kedua tanganku ini...!
Kemudian beliau membuka telapak tangannya yang gemuk besar, kemudian kami
berdiri dan kami menciumnya.
(10). Imam Bukhari meriwayatkan dari
Asmaa binti Abu Bakar RA, beliau sedang mengeluarkan baju jubbahnya Nabi SAW.
dan berkata : Ini jubbahnya Rasulullah saw., yang dulunya disimpan oleh
`Aisyah, hingga `aisyah wafat, sekarang aku simpan...! Dulu Nabi saw.
mengenakan jubbah ini, sekarang sering kami cuci (dan airnya khusus kami
berikan) kepada orang yang sakit untuk penyembuhan (dengan bertabarruk dari air
bekas cucian jubbah tersebut).
(11). Ibnu Taimiyyah dalam kitab
karangannya, Iqtidhaaus shiraathil mustaqiim, hal 367, meriwayatkan dari Imam
Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau memperbolehkan amalan mengusap mimbar masjidnya
Nabi SAW. dan ukirannya, untuk tabarrukan, karena Shahabat Ibnu Umar RA serta
para Tabi`in seperti Sa`id bin Musayyib dan Yahya bin Sa`id yang tergolong ahli
fiqih kota Madinah juga mengusap mimbar Nabi saw. tersebut.
Masih banyak bukti hadits-hadits
Nabi saw. tentang bolehnya bertabarruk kepada barang-barang milik Nabi saw.,
serta milik orang-orang shalih, dengan berbagai macam bentuk dan cara termasuk
mencium makam kuburan Nabi saw. dan para wali serta orang-orang shalih, selama
tidak melanggar syariat Islam. Namun jika sampai menyembah karena
mempertuhankan barang-barang tersebut, tentunya diharamkan oleh syariat Islam.
Termasuk diharamkan juga adalah perilaku orang awwan yang menyembah dan memberi
sesajen kepada tempat-tempat maupun kuburan-kuburan angker yang diyakini ada
jin penunggu untuk dimintai banyak hal, padahal tempat-tempat tersebut bukanlah
tempat yang berbarakah dalam standar syariat Islam.
15. Bagaimana hukumnya membaca
manaqib?
Mengertikah saudara arti kata-kata manaqib?
Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah,
yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji
seseorang.
Jadi membaca manaqib, artinya
membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang. Oleh sebab itu
kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik mulia:manaqib Umar bin
Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani,
manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau ada
orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain
sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap
menanyakan hukumnya manaqib?
Betul tetapi cerita di dalam manaqib
Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk
akal. Misalkan umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu keluar menjadi
darah, tulang-tulang ayam yang berserakan, diperintah berdiri lalu bisa berdiri
menjadi ayam jantan.
Kalau saudara melanjutkan cerita-cerita
yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya berhenti sampai ceritanya Syeikh
Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi teruskanlah. Misanya cerita tentang sahabat
Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khottob
memberi komando dari Madinah kepada prajurut-prajurit yang sedang bertempur di
tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang
tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari unta yang
besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa menghidupkan orang
yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang semuanya itu sama sekali tidak
masuk akal.
Kalau keluar dari Nabi Allah itu
sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa
menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?Baik Nabi Allah maupun Syeikh Abdul
Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob, kesemuanya itu masing-masing
tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala
membisakan itu, apakah saudara tidak dapat menghalang-halangi?
Apakah selain Nabi Allah juga
mempunyai mukjizat?
Hal-hal yang menyimpang dari adat
itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat, dan kalau timbul dari
wali Allah namanya karomah.Adakah dalil yang menunjukkan bahwa selain nabi
Allah dapat dibisakan menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak
masuk akal?
Silahkan saudara membaca cerita
dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman yang dapat dibisakan
memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)
قَالَ
اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ أَنَا آتِيِكَ
بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا
عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَنِى أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ.
وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى
غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.
Tetapi di dalam manaqib Abdul Qodir
al-Jilani ada juga kata-kata memanggil kepada para roh yang suci atau kepada
wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolongan, apakah itu tidak
menjadikan musyrik?
Memanggil-manggil untuk dimintai
pertolongan baik kepada wali yang sudah mati atau kepada bapakc ibu saudara
yang masih hidup dengan penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau pribadi bapak ibu
saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat memberikan pertolongan yang
terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik. Akan tetapi kalau
dengan i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak
ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan kepada para
wali itu maksudnya adalah bertawassul minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.
Manakah yang lebih baik, berdoa
kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan perantaraan (tawassul)?
Langsung boleh, dengan perantaraan
pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Saudara
jangan mengira bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau
wali itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan
perantaraan Kepala Kantor saudara. Pengertian tawassul yang demikian itu
tidak benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan (pihak
atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai
kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga percaya kepada
kekuasaan pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak seperti
itu.
Kalau saudara ingin contoh tawassul
kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang yang
sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al
Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.
Bukankah Allah ta’ala berfirman
dalam al Quran al Karim
وَقَالَ
رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah aku maka akan Aku sambut
kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو
اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah
ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ
لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ
Dan orang-orang yang tidak menyambut
bersama Allah akan tuhan yang lain.
(Al Furqon: 68)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat
serupa itu.
Betul akan tetapi kesemuanya itu
sama sekali tidak melarang tawassul dengan pengertian sebagaimana yang telah
saya terangkan tadi. Coba saja perhatikan contoh di bawah ini:
Saudara mempunyai majikan yang kaya
raya mempunyai perusahaan besar, saudara sudah kenal baik dengan beliau, bahkan
termasuk buruh yang dekat dengannya. Saya ingin diterima bekerja di
perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap
kepadanya bersama-sama, dan saya berkata, “Bapak pimpinan perusahaan yang
mulia. Kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang ingin saya
sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan bapak. Saya
ajak guru saya menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang
yang baik hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”.
Coba perhatikan! kepada siapa saya
memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap majikan besar
itu?Ada dua orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan
membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan
yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana
yang lebih mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang membawa
anak yang kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau begitu adakah
gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada
siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih kecil-kecil jugakah
pengemis itu meminta?
Salah satu budaya mengenang sejarah
dan autobiographi wali adalah manaqib. Manaqiban atau membaca manaqib dipercaya
sebagai jalinan untuk terus-menerus menyambung tali silaturahmi dengan Syekh
Abdul Qadir al Jailany yang dikenal dengan sultanul aulia. Bagaimana dan apa
seputar manaqib itu. Tulisan ini sekedar pendapat pribadi.
Ayat di bawah ini bisa dijadikan
landasan mengapa kita harus berada di belakang orang-orang yang selalu berada
dalam jalan kembali kepada Allah SWT.
واتبع
سبيل من أناب إلي ثم إلي مرجعكم فأنبئكم بما كنتم تعملون...
"Dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan
kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan." (QS Luqman: 15)
Bersyukur kepada Allah atas nikmat
besar dimana kita masih bisa mendengar tausiah atau nasehat para ulama yang
tidak bosan-bosannya mendorong manusia agar meningkatan kualitas iman
ruhaninya. Bukan sekedar kata-kata, prilaku dan contoh kehidupannya merupakan
pelajaran yang amat berharga yang semestinya dijadikan teladan bagi para
murid-muridnya atau para simpatisannya. Semoga upaya para ulama ini dapat kita
ikuti baik yang mengaku murid-muridnya atau yang menyukai perjalan ruhani
menuju Mahabbah kepada Allah.
Salah satu tradisi yang dilakukan
oleh dunia pesantren adalah mengamalkan manaqib. Manaqib yang dibaca adalah
seputar prikehidupan Syeikh Abdul Qodir al Jilany q.s.a yang dikenal dengan
Sulthanul Auliya. Karenanya manaqib yang dibaca adalah Manaqib Syeikh Abdul
Qadir al Jilany.
Dalam pembacaan manaqib ini biasanya
salah seorang memimpin bacaan yang terdapat dalam kitab manaqib. Sementara yang
lainnya dengan khusu’ mendengarkan secara aktif dengan memuji Allah dengan
kalimat-kalimat yang terdapat dalam Asmaul Husna. Bagi yang mengerti bacaannya
dapat menye¬lami lebih dalam maksud dan pelajaran-pelajaran dari isi kitab
tersebut. Sebab di dalamnya berisi perikehidupan, kebiasaan dan
kelebihan-kelebihan dari Wali Allah. Bagi yang tidak mengerti akan diterangkan
oleh gurunya.
Pembacaan manaqib ini mempengaruhi
tingkat kerohanian para pengamal thareqah. Karena dengan membaca manaqib
diharapkan dapat menda¬patkan limpahan kebaikan dari Allah SWT (berkah).
Mengapa? Sebab di dalam kitab manaqib Syeikh Abdul Qadir Al Jilani terdapat
autobiographi (catatan perjalanan kehidupan) tentu saja di dalamnya terdapat
sejarah, nasihat, prilaku yang bisa dijadikan teladan dari Syeikh Abdul Qoadir
q.s.a
Pengertian dan Manfaat Manaqib
Menurut kamus Munjib dan Kamus
Lisanul ‘Arab, Manaqib adalah ungkapan kata jama’ yang berasal dari kata
Manqibah artinya Atthoriqu fi al jabal jalan menuju gunung atau dapat diartikan
dengan sebuah pengetahuan tentang akhlaq yang terpuji, akhlaqul karimah. Dari
pengertian ini manaqib dapat diartikan sebuah upaya untuk mendapatkan limpahan
kebaik¬an dari Allah SWT dengan cara memahami kebaikan-kebaikan para kekasih
Allah yaitu para Aulia. Sebab Para wali dicintai oleh Allah dan para wali
sangat cinta kepada Allah. (Yuhibbuunallah wayubibbuhum).
Sebagaimana ditulis dalam quran:
"Hai orang-orang yang beriman,
barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al Maidah (5): 54)
Ensiklopedi Islam mengartikan
manakib sebagai sebuah sejarah dan pengalaman spiritual seorang wali Allah SWT.
yang di dalamnya terdapat cerita-cerita, ikhtisar hikayat, nasihat-nasihat
serta peristiwa-peristiwa ajaib yang pernah dialami seorang syekh. Semuanya
ditulis oleh pengikut tarekat atau para pengagumnya dan dirangkum dari cerita yang
bersumber dari murid-muridnya, orang terdekatnya, keluarga dan
sahabat-sahabatnya (Ensiklopedi Islam: 152).
Jadi, manakib adalah kitab sejarah
atau autobiographi yang bersifat hagiografis (menyanjung) karena manaqib dibaca
bertujuan dijadikan teladan bagi pembacanya disamping juga tujuan tabarruk
(mengharap berkah) dan tawassul (membuat perantara pembaca dengan Allah).
Manaqib adalah Tawasul
Mengenai masalah tawasul dan
tabarruk, Said Ramdhan al-Buthi menyampaikan bahwa tawassul dan tabarruk adalah
dua kalimat dengan satu arti yang kalau dalam Ushul Fiqh disebut dengan
tanqihul ma¬nath, dengan menjadikan bagian-bagian kecil (tabarruk) dari satu
induk (tawassul) dimasukkan ke dalam induk tersebut. Namun, al-Buthi dengan
tegas mengata¬kan bahwa tawassul adalah tindakan sunnah dengan bukti banyaknya
dalil nash hadits yang shahih. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa
beliau pernah menyimpan beberapa helai rambut Nabi. Rambut tersebut beliau
simpan sebagai obat bagi sahabat yang sakit dengan mengharap barokah Nabi (Fiqh
al-Sirah:177-178).
Pada masa Rasulullah saw. seperti
tertulis dalam kitab Al Hikam dimana Rasulullah saw. pernah menyuruh Sahabat
Ali kw untuk menemui Uways al Qarny r.a untuk memintakan ampunan kepada Allah
SWT. Karena uways ini menurut Nabi saw. akan menjadi salah satu raja di surga.
Tawasul berupa Amal
Hadits tentang wasilah berupa amal
yang bersumber dari Ibnu Umar ra. . bahwa Rasulullah saw. bercerita dalam
hadits ini yang cukup panjang salah satu intinya adalah ada tiga orang yang
tersesat di dalam gua, lalu tiba-tiba sebuah batu besar menutupi mulut gua.
Namun tiada harapan kecuali berdoa kepada Allah agar batu bisa tersingkir.
Ketika satu demi satu orang berdoa, mereka berwasilah dengan amal sholeh
masing-masing; orang pertama berwasilah pada amal dimana ia pernah memberikan
susu kepada ibudanya padahal anaknya sangat membutuhkan; “Aku lebih
menguta¬makan ibu terlebih dahulu dari pada anak-anakku meskipun anaku merengek
meminta.” Adapun wasilah amal orang kedua adalah kemampuan orang kedua ini
menghentikan niat hendak mau menggauli sepupu perem¬puannya padahal sudah
memberikan uang 100 dinar, namun tidak jadi karena sepupu perempuan¬nya meminta
menikahkannya, akhirnya membatal¬kan niat jahat tersebut. Sedangkan orang ketiga
memiliki wasilah amal dima¬na dia memakan hak gaji pegawai. Ketika ditegur
“takutlah kepada Allah dan janganlah mendzalimi aku.” Karena merasa takut
kepada Allah, setelah sekian lama orang ini memberikan ganti uang hak pegawai
itu berupa peternakan lembu dan anak-anaknya yang telah berkembang biak yang
modalnya diambil dari hak pekerja tersebut. Dari ketiga wasilah orang tersebut
Allah mengge¬rakkan batu besar yang menutupi gua sehingga mereka bertiga bisa
lepas dari musibah. (HR. Bukhari-Muslim)
Dari hadits tersebut di atas, maka
sebuah amal adalah wasilah yang dapat mengantarkan kita kepada Allah SWT.
Dengan amal ini juga boleh jadi dapat memberikan pertolongan terhadap derita
seorang hamba karena tertimpa musibah seperti derita tiga orang yang terjebak
di dalam gua.
Dalil Manaqib
Mendekati Allah dengan cara
mendekati orang-orang yang dicintai Allah adalah sesuai dengan firman Allah SWT
dalam Surat Luqman: 15: “.... dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku,
kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan.”
Tafsir al Qurthuby mengartikan
“anaba ilayya” kembali kepada-Ku (Allah SWT) yaitu kembali kepada jalan para
Nabi dan orang-orang sholeh. Dengan demikian maka mengikuti jalan orang-orang
sholeh apalagi para ulama dan aulia merupakan anjuran Allah dan Rasul-Nya.
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekha¬watiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)
Jadi dengan mengikuti pembacaan
manaqib Insya Allah meru¬pakan salah satu jalan tempuh untuk memperoleh rakhmat
dan karunia Allah dengan cepat. Sebab dengan manaqib ini kita dapat mengenal,
memahami, serta menyelami karakter serta sifat-sifat wali Allah yang tujuan
akhirnya dalah untuk diteladani.
Kalau Uwais ra hidup pada zaman
Rasulullah saw. maka para Waliullah yang hidup setelahnya patut kita contoh.
Salah satu¬nya adalah Syeikh Abdul Qadir al Jilany (Allah telah mensuci¬kan sir
nya) yang dikenal dengan sultanul auliaa (Penghulu para wali).
Diantara para pembaca manakib ada
yang mengamalkan pembacaan manaqib ini secara berkala mingguan, bulanan tahunan
atau kapan saja jika dikehendaki. Atau dalam moement-moment berkumpul seperti
dalam acara syukuran lahir anak atau acara walimahan. Tentu saja harapannya adalah
agar memperoleh keberkahan dalam kehidupan jasmani dan rohani dunia wal
akhirat. Jadi tunggu apalagi, makiban yuks! Wallahu ‘alam (MK)
Semoga kiranya risalah yang kecil
ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama.
Semoga risalah ini bermanfaat.
16. Dalil Bolehnya Bertawasul
Banyak pemahaman saudara-saudara
kita muslimin yang perlu diluruskan tentang tawassul, tawassul adalah berdoa
kepada Allah dengan perantara amal shalih, orang shalih, malaikat, atau orang-orang
mukmin.
Tawassul kepada Rasulullah
disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya, firman Allah dalam surat
An-Nisa’ ayat 64, “Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk
ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya
dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.” Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah SWT
mengampuni dosa-dosa orang yang dhalim, disamping do’a mereka tetapi ada juga
wasilah (do’anya) Rasulullah SAW.
Soal tawassul seperti itu,
disebutkan pula dalam tafsir Ibnu Katsir, “Berkata Al-Imam Al-Hafidz As-Syekh
Imaduddin Ibnu Katsir, menyebutkan segolongan ulama’ di antaranya As-Syekh Abu
Manshur As-Shibagh dalam kitabnya As-Syaamil dari Al-Ataby; berkata: saya duduk
di kuburan Nabi SAW. maka datanglah seorang Badui dan ia berkata:
Assalamu’alaika ya Rasulullah! Saya telah mendengar Allah berfirman;
Walaupun sesungguhnya mereka telah
berbuat dhalim terhadap diri mereka kemudian datang kepadamu dan mereka meminta
ampun kepada Allah, dan Rasul memintakan ampun untuk mereka, mereka pasti
mendapatkan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang; dan saya telah datang kepadamu (kekuburan Rssulullah)
dengan meminta ampun akan dosaku dan memohon syafa’at dengan wasilahmu (Nabi)
kepada Allah, kemudian ia membaca syair memuji Rasulullah, kemudian orang Badui
tadi pergi, maka saya ketiduran dan melihat Rasulullah dalam tidur saya, beliau
bersabda, “Wahai Ataby temuilah orang Badui tadi sampaikan kabar gembira
bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”
Tawassul merupakan hal yang sunnah,
dan tak pernah ditentang oleh Rasul saw., tak pula oleh Ijma Sahabat
radhiyallahuanhum, tak pula oleh Tabiin, dan bahkan para Ulama dan Imam-Imam
besar Muhadditsin, mereka berdoa tanpa perantara atau dengan perantara, dan tak
ada yang menentangnya, apalagi mengharamkannya, atau bahkan memusyrikkan orang
yang mengamalkannya.Pengingkaran hanya muncul pada abad ke 20 ini, dengan
munculnya sekte Wahabi Salafi sesat yang memusyrikkan orang-orang yang
bertawassul, padahal Tawassul adalah sunnah Rasul saw., sebagaimana hadits
shahih dibawah ini :
"Wahai Allah, Demi orang-orang
yang berdoa kepada Mu, demi orang-orang yang bersemangat menuju (keridhoan) Mu,
dan Demi langkah-langkahku ini kepada (keridhoan) Mu, maka aku tak keluar
dengan niat berbuat jahat, dan tidak pula berniat membuat kerusuhan, tak pula keluarku
ini karena Riya atau sumah.. hingga akhir hadits. (HR Imam Ahmad, Imam Ibn
Khuzaimah, Imam Abu Naiem, Imam Baihaqy, Imam Thabrani, Imam Ibn Sunni, Imam
Ibn Majah dengan sanad Shahih).
Hadits ini kemudian hingga kini
digunakan oleh seluruh muslimin untuk doa menuju masjid dan doa safar.
Tujuh Imam Muhaddits meriwayatkan
hadits ini, bahwa Rasul saw. berdoa dengan Tawassul kepada orang-orang yang
berdoa kepada Allah, lalu kepada orang-orang yang bersemangat kepada keridhoan
Allah, dan barulah bertawassul kepada Amal shalih beliau saw. (demi langkah2ku
ini kepada keridhoan Mu). Siapakah Muhaddits?, Muhaddits adalah seorang ahli
hadits yang sudah hafal minimal 40.000 (empat puluh ribu) hadits beserta hukum
sanad dan hukum matannya, betapa jenius dan briliannya mereka ini dan betapa
Luasnya pemahaman mereka tentang hadist Rasul saw., sedangkan satu hadits
pendek, bisa menjadi dua halaman bila disertai hukum sanad dan hukum matannya.
Lalu hadits diatas diriwayatkan oleh
tujuh Muhaddits, apakah kiranya kita masih memilih pendapat madzhab sesat yang
baru muncul di abad ke 20 ini, dengan ucapan orang-orang yang dianggap
muhaddits padahal tak satupun dari mereka mencapai kategori Muhaddits , dan
kategori ulama atau apalagi Imam Madzhab, mereka hanyalah pencaci, apalagi
memusyrikkan orang-orang yang beramal dengan landasan hadits shahih. Masih
banyak hadits lain yang menjadi dalil tawassul adalah sunnah Rasululloh saw.,
sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Abu Nu'aim, Thabrani dan Ibn Hibban
dalam shahihnya, bahwa ketika wafatnya Fathimah binti Asad (Bunda dari
Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, dalam hadits itu disebutkan Rasul saw.
rebah/bersandar dikuburnya dan berdoa : "Allah Yang Menghidupkan dan
mematikan, dan Dia Maha Hidup tak akan mati, ampunilah dosa Ibuku Fathimah
binti Asad, dan bimbinglah hujjah nya (pertanyaan di kubur), dan luaskanlah
atasnya kuburnya, Demi Nabi Mu dan Demi para Nabi sebelum Mu, Sungguh Engkau
Maha Pengasih dari semua pemilik sifat kasih sayang.",Maka jelas sudah
dengan hadits ini pula bahwa Rasululloh saw. bertawassul di kubur, kepada para
Nabi yang telah wafat, untuk mendoakan Bibi beliau saw. (Istri Abu Thalib).
Demikian pula tawassul Sayyidina
Umar bin Khattab ra. Beliau berdoa meminta hujan kepada Allah : Wahai Allah..
kami telah bertawassul dengan Nabi kami (saw.) dan Engkau beri kami hujan, maka
kini kami bertawassul dengan Paman beliau (saw.) yang melihat beliau (saw.),
maka turunkanlah hujan".
maka hujanpun turun. (Shahih Bukhari
hadits no.963 dan hadits yang sama pada Shahih Bukhari hadits no.3508).Umar bin
Khattab ra melakukannya, para sahabat tak menentangnya, demikian pula para
Imam-Imam besar itu tak satupun mengharamkannya, apalagi mengatakan musyrik
bagi yang mengamalkannya, hanyalah pendapat sekte sesat ini yang memusyrikkan
orang yang bertawassul, padahal Rasululloh saw. sendiri bertawassul.
Apakah mereka memusyrikkan
Rasululloh saw.?, dan Sayyidina Umar bin Khattab ra bertawassul, apakah mereka
memusyrikkan Umar?, Naudzubillah dari pemahaman sesat ini.
Mengenai pendapat sebagian dari
mereka yang mengatakan bahwa tawassul hanya boleh pada orang yang masih hidup,
maka entah darimana pula mereka mengarang persyaratan tawassul itu, dan mereka
mengatakan bahwa orang yang sudah mati tak akan dapat memberi manfaat lagi, pendapat
yang jelas-jelas datang dari pemahaman yang sangat dangkal, dan pemikiran yang
sangat buta terhadap kesucian tauhid. Jelas dan tanpa syak bahwa tak ada satu
makhlukpun dapat memberi manfaat dan mudharrat terkecuali dengan izin Allah
SWT, lalu mereka mengatakan bahwa makhluk hidup bisa memberi manfaat, dan yang
mati mustahil?, lalu dimana kesucian tauhid dalam keimanan mereka?Tak ada
perbedaan dari yang hidup dan yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan
izin Allah,
Yang hidup tak akan mampu berbuat
terkecuali dengan izin Allah, dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat
bila dikehendaki Allah. karena penafian kekuasaan Allah SWT atas orang yang
mati adalah kekufuran yang jelas.Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta
kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan
seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah
manfaat dari manusia, tetapi dari Allah Robbil alamin, yang telah memilih orang
tersebut hingga ia menjadi shalih, hidup atau mati tak membedakan Kudrat ilahi
atau membatasi kemampuan Allah, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka
kepada Allah tetap abadi walau mereka telah wafat.Contoh lebih mudah nya sbb,
anda ingin melamar pekerjaan, atau mengemis, lalu anda mendatangi seorang
saudagar kaya, dan kebetulan mendiang tetangga anda yang telah wafat adalah
abdi setianya yang selalu dipuji oleh si saudagar, lalu anda saat melamar
pekerjaan atau mungkin mengemis pada saudagar itu, anda berkata : "Berilah
saya tuan.. (atau) terimalah lamaran saya tuan, saya mohon.. saya adalah
tetangga dekat fulan.
Bukankah ini mengambil manfaat dari
orang yang telah mati?, bagaimana dengan pandangan bodoh yang mengatakan orang
mati tak bisa memberi manfaat??, jelas-jelas saudagar akan sangat menghormati
atau menerima lamaran pekerjaan anda, atau memberi anda uang lebih, karena anda
menyebut nama orang yang ia cintai, walau sudah wafat, tapi kecintaan si
saudagar akan terus selama saudagar itu masih hidup., pun seandainya ia tak
memberi,
Namun harapan untuk dikabulkan akan
lebih besar, lalu bagaimana dengan Arrahmaan Arrhiim, Yang Maha Pemurah dan
Maha Menyantuni?? dan tetangga anda yang telah wafat tak bangkit dari kubur dan
tak tahu menahu tentang lamaran anda pada si saudagar,
Semoga kiranya risalah yang kecil
ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama.
Semoga risalah ini bermanfaat.
17. Hukum Maulid Nabi
Tradisi merayakan maulid Nabi SAW.
12 Rabiul Awwal (sebagian ada yang mengatakan 9 Rabiul Awwal, juga ada yang
mengatakan 17 Rabiul Awwal) tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir
semua belahan dunia Islam.
Kalangan awam di antara mereka
barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka yang sedikit
mengerti hukum agama akan tahu bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang
sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau ritual peribadatan dalam
syariat.
Alasan di atas dapat dilihat dari
bentuk isi acara maulid Nabi yang sangat bervariasi tanpa ada aturan yang baku.
Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan gairah ke-Islaman. Mereka
yang melarang peringatan maulid Nabi SAW. sulit membedakan antara ibadah dengan
syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang
datang dari Allah SWT, tetapi syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat
Islam dan situasional serta mubah. Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak
semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Imam as-Suyuthi mengatakan dalam
menananggapi hukum perayaan maulid Nabi SAW., “Menurut saya asal perayaan
maulid Nabi SAW., yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah
teladan Nabi SAW. sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian
dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya
itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah (sesuatu
yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat
Nabi SAW., menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad
saw. yang mulia.” (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252)
Terkait dengan bid’ah, Imam Syafi’i
menjelaskan, “Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu
yang diada-adakan (dalam agama) bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi
SAW., prilakuk sahabat, atau kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat;
adapun sesuatu yang diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi
ketentuan (al Qur’an, Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu
tidak tercela (baik).” (Fathul Bari, juz XVII: 10)
Membaca Sholawat
Membaca shalawat adalah salah satu
amalan yang disenangi orang-orang NU, disamping amalan-amalan lain. Ada
shalawat “Nariyah”, ada sholawat Badr, ada “Thibbi Qulub”. Ada shalawat
“Tunjina”, dan masih banyak lagi. Belum lagi bacaan “hizib” dan “rawatib” yang
tak terhitung banyaknya. Semua itu mendorong semangat keagamaan dan cita-cita
kepada Rasulullah sekaligus ibadah.
Salah satu hadits yang membuat kita
rajin membaca shalawat ialah sabda Rasulullah, “Siapa membaca shalawat
untukku, Allah akan membalasnya 10 kebaikan, diampuni 10 dosanya, dan ditambah
10 derajat baginya. Makanya, bagi orang-orang NU, setiap kegiatan keagamaan
bisa disisipi bacaan shalawat dengan segala ragamnya.
Hadits Ibnu Mundah dari Jabir, ia
mengatakan Rasulullah SAW. bersabda, “Siapa membaca shalawat kepadaku 100
kali maka Allah akan mengabulkan 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan
30 di dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang mengatakan: Perbanyaklah
shalawat kepadaku karena dapat memecahkan masalah dan menghilangkan kesedihan.
Demikian seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.
Rasulullah di alam barzakh mendengar
bacaan shalawat dan salam dan dia akan menjawabnya sesuai jawaban yang terkait
dari salam dan shalawat tadi. Seperti tersebut dalam hadits. Rasulullah SAW.
bersabda: Hidupku, juga matiku, lebih baik dari kalian. Kalian membicarakan
dan juga dibicarakan, amal-amal kalian disampaikan kepadaku; jika saya tahu
amal itu baik, aku memuji Allah, tetapi kalau buruk aku mintakan ampun kepada
Allah. (Hadits riwayat Al-hafizh Ismail Al-Qadhi, dalam bab shalawat
‘ala an-Nabi). Imam Haitami dalam kitab Majma’ az-Zawaid meyakini
bahwa hadits di atas adalah shahih. Hal ini jelas bahwa Rasulullah memintakan
ampun umatnya (istighfar) di alam barzakh. Istighfar adalah doa, dan doa Rasul
untuk umatnya pasti bermanfaat.
18. Dalil Membaca dzikir dan syair
sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah
Amalan ini adalah baik dan
dianjurkan, dengan alasan.
1. Dari sisi dalil, membaca syair di
dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Diriwayatkan
dari Abu Dawud, Nasai, dan Ahmad, pada masa Rasulullah SAW., para sahabat juga
membaca syair di Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar
berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan
syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah
melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia
darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan
perkataannya.‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah saw.,
jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh
al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah
mendengarnya). ” Mengomentari hadits ini, Syaikh Isma’il az-Zain
menjelaskan adanya kebolehan melantunkan syair yang berisi puji-pujian,
nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyadul
Mu'minin ila Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin, hlm. 16).
2. Dari sisi syiar dan penanaman
akidah umat. Selain menambah syiar agama, amaliah ini merupakan strategi yang
sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat.
19. Berzikir dengan pengeras suara
Dzikir adalah perintah Allah SWT
yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. Oleh karena
itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan
khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu
diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-masing orang memiliki cara
tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara
duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika
wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara
mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara
untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara dzikir yang lebih
utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan
ke-khusyu’-an.
Imam Zainuddin al-Malibari
menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat.
Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang
shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan
tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka."
(Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar
dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.
Memang ada banyak hadits yang
menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda
Nabi saw. yang menganjurkan untuk berdzikir dengan suara yang pelan. Namun
sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya
sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Contoh hadits
yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini,
"Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara
keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan
masjid.” (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Adra’ berkata, "Pernah Saya
berjalan bersama Rasulullah saw. lalu bertemu dengan seorang laki-laki di
Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai
Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah saw.
menjawab, "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan." Hadits
lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik
meriwayatkan Rasulullah saw. bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang
pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi."
Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut
penjelasan Imam Nawawi:
Imam Nawawi menkompromikan (al
jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara
dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa
memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya',
mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih
utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu
bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang
yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan
pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul
Bayan, Juz III: h. 306).
20. Hukum Meng-Hadiah-kan Fatihah
Di antara tradisi umat Islam adalah
membaca surat al-Fatihah dan menghadiahkan pahalanya untuk Rasulullah sallallahu
alaihi wasallam. Para ulama mengatakan bahwa hukum perbuatan ini adalah
boleh. Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali mengatakan,
"Disunnahkan menghadiahkan bacaan Al-Qur'an kepada Nabi saw.”
Bukankah seorang yang kamil (tinggi
derajatnya) memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan
kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah
tahshilul hashil (percuma) karena semua semua amal umatnya otomatis masuk dalam
timbangan amal Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah.
Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Ia
bershalawat terhadap Nabi saw. kemudian Allah memerintahkan kita untuk
bershalawat kepada Nabi.
Al Muhaddits Syekh Abdullah
al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam al-Matin, hhm. 270,
mengatakan, "Menurut saya boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan
Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi saw., meskipun beliau selalu
mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang
tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya,
hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang.”
21. Hukum Bacaan al-Qur’an, Doa (Tahlil) dan Jamuan makan untuk
orang mati
Dalam hal ini ada segolongan yang
yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai
pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut, “Dan
tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm
53: 39). Juga hadits Nabi Muhammad SAW., “Jika anak Adam mati, putuslah
segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang
dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”
Mereka sepertinya, hanya secara
parsial memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil
lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh
dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan
banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW. beberapa di antaranya, “Dan
orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami
dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.”
(QS Al-Hasyr 59: 10) Dalam hadith dijelaskan, “Bertanya seorang laki-laki
kepada Nabi saw.; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah
berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab;
yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9
juz 27 dijelaskan bahwa surat Al-Najm ayat 39 di atas diturunkan tatkala Walid
ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi
berkata, “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada
kami, kami yang menanggung siksaanmu di akhera.t” Maka Allah SWT menurunkan
ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang
lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan
pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan
lain-lainnya.
Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’
Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada
orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka
itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at
dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.
Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar
pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini wal Hayaah
juz 1 : 442, sebagai berikut, “Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi
atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal
dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya
kepada Rasulullah saw., seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk
mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai
kepada mereka? Rasulullah saw. bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu
benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar
bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu
sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan
kepadanya!"
Sedangkan Memberi jamuan yang biasa
diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut
mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan
dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang
dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal.
Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud
dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak
menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
22. Tahlilan/Kenduri Arwah, Mana
dalilnya?
Acara tahlilan, biasanya berisikan
acara pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dzikir(Tasbih, tahmid, takbir,
tahlil, istighfar, dll), Sholawat dan lain sebagainya yg bertujuan supaya
amalan tsb, selain untuk yang membacanya juga bisa bermanfaan bagi si mayit.
Berikut kami sampaikan beberapa
dalil yang menerangkan sampainya amalan tsb (karena keterbatasan ruang &
waktu maka kami sampaikan sementara dalil yg dianggap urgen saja, Insya Alloh
akan disambung karena masih ada beberapa dalil hadits & pendapat ulama
terutama ulama yang sering dijadikan sandaran sodara kita yg tidak menyetujui
adanya acara tahlilan diantaranya pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Imam
Ibnul Qoyyim, Imam As-Saukani dll..
DALIL SAMPAINYA AMALIYAH BAGI MAYIT
1. Dalil Alqur’an:
Artinya:” Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a :” Ya Tuhan kami,
beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari
kami” (QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung
orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk
orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah
meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
2. Dalil Hadits
a. Dalam hadits banyak disebutkan
do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur.
Tentang do’a shalat jenazah antara
lain, Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya:” Dari Auf bin Malik ia
berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW. – setelah selesai shalat
jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia,
sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya,
mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan
sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal
yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari
keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari
siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Tentang do’a setelah mayyit
dikuburkan, Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: Dari Ustman bin ‘Affan ra
berkata:” Adalah Nabi SAW. apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri
lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati
untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur
antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW.:
Artinya:” bagaimana pendapatmu kalau
saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW. menjawab, “Ucapkan: (salam
sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan
semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang
dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya
pahala shadaqah kepada mayyit
Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra
bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu
ia datang kepada Nabi SAW. unntuk bertanya:” Wahai Rasulullah SAW. sesungguhnya
ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah
untuknya bermanfaat baginya ? Rasul saw. menjawab: Ya, Saad berkata:”
saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR
Bukhari).
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya
Pahala Saum
Artinya: Dari ‘Aisyah ra bahwa
Rasulullah SAW. bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai
kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya”(HR Bukhari dan
Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya
Pahala Haji
Artinya: Dari Ibnu Abbas ra bahwa
seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi saw. dan bertanya:”
Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia
meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana
pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah
hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
3. Dalil Ijma’
a. Para ulama sepakat bahwa do’a
dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit.
b. Bebasnya hutang mayyit yang
ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu
Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak
dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi saw. bersabda:
Artinya:” Sekarang engkau telah
mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
4. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang
beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu
tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang
lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya.
Islam telah memberikan penjelasan
sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya
diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang
membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika
demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan
dan niat.
Adapun dalil yang menerangkan
shadaqah untuk mayit pada hari-hari tertentu seperti hari ke satu, dua sampai
dengan ke tujuh bahkan ke-40 yaitu hadits marfu’ mursal dari tiga orang tabi`ien
yaitu Thaus, Ubaid bin Umair dan Mujahid yang dapat dijadikan qaid kepada
hadits-hadits mutlak (tidak ada qaid hari-hari untuk bershadaqah untuk mayit)
di atas:
a. Riwayat Thaus :
Bahwa orang-orang mati itu akan
mendapat fitnah (ujian) di dalam alam kubur mereka tujuh hari. Maka mereka
(para sahabat) itu menganjurkan untuk memberi shadaqah makanan atas nama mereka
selama hari-hari itu.
b. Sebagai tambahan dari riwayat
Ubaid bin Umair:
Terjadi fitnah kubur terhadap dua
golongan orang yaitu orang mukmin dan orang munafiq. Adapun terhadap orang
mukmin dilakukan tujuh hari dan terhadap orang munafiq dilakukan 40 hari.
c. Ada lagi tambahan dalam riwayat
Mujahid yaitu
Ruh-ruh itu berada diatas pekuburan
selama tujuh hari, sejak dikuburkan tidak memisahinya.
Kemudian dalam beberapa hadits lain
menyatakan bahwa kedua malaikat Munkar dan Nakir itu mengulangi
pertanyaan-pertanyaan tiga kali dalam satu waktu. Lebih jelas dalam soal ini
dapat dibaca dalam buku “Thulu’ ats-tsuraiya di izhaari makana khafiya” susunan
al Imam Suyuty dalam kitab “ Al-Hawi lil fatawiy” jilid II.
Tambahan:
Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an
untuk mayyit (Orang Mati)
A. Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar
tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :
“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya
Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan
awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga
adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad,
padaha imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya
pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar
dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut
pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).
Oleh karena itulah, maka ada riwayat
dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit
(pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang dating padanya dan juga
karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap
negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka
yang sudah meninggal, maka jadialah ia ijma . (Yasaluunaka fid din wal hayat
oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan
isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar
dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan akhirnya”
Hadits ini agak semakna dengan
hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah wasiat sedangkan ini adalah
pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni
“Barangsiapa masuk kepekuburan lalu
membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan
pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan
diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz
as-salafi
“ Barangsiapa melewati pekuburan
lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian
menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu),
maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
(Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan
Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah
SAW. bersabda: “Jika mati salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya
dan segeralah membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping
kepalanya”.
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I,
Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi
SAW., Beliau bersabda: “Bacakanlah surat yaasin untuk orang yang telah mati
diantara kamu”.
B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya
Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata Muhammad bin ahmad
al-marwazi :
“Saya mendengar Imam Ahmad bin
Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab,
al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni
kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik
adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah,
sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan…” (Hujjatu
Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad
Bin abil lz :
“Adapun Membaca Al-qur’an dan
menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah,
maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan
haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata Ibnu taymiyah :
“sesungguhnya mayyit itu dapat
beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan
seumpamanya”. (yas alunka fiddin wal hayat jilid I/442).
Di atas adalah kitab ibnu taimiah
berjudul majmuk fatawa jilid 24 pada hal. 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai
seseorang yang bertahlil, bertasbih,bertahmid,bertakbir dan menyampaikan pahala
tersebut kepada simayat muslim lantas ibnu taimiah menjawab amalan tersebut
sampai kepada si mayat dan juga tasbih, takbir dan lain-lain zikir sekiranya
disampaikan pahalanya kepada si mayat maka ianya sampai dan bagus serta baik.
Mengapa Wahhabi menolak dan
menyesatkan amalan ini.
Di atas adalah kitab ibnu tamiah
berjudul majmuk fatawa juz 24 hal. 324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang
yang bertahlil 70000 kali dan menghadiahkan kepada si mayat muslim lantas ibnu
taimiah mengatakan amalan itu adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta
mulia.
4. Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah:
“sesuatu yang paling utama
dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan
berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya
kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya
sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin
wal hayat jilid I/442)
Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah
dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas
bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin
Muhammad ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan
kepada kami Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’
bin al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang
lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-baqarah disamping
kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.
Ibnu qayyim dalam kitab ini pada
halaman yang sama : “Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad bin al-warraq,
menceritakan kepadaku Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat
jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin
Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang
lelaki kurus duduk disamping kubur (sambil membaca al-qur’an). Melihat ini
berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-qur’an disamping
kubur adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam
Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin Hanbal : “Wahai abu abdillah,
bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi?. Imam Ahmad menjawab :
“Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau meriwayatkan
sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarkan kepadaku
Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin al-laj-laj dari bapaknya bahwa dia
berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan
surat al-baqarah dan akhirnya dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar
berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata :
“Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab
ar-ruh, ibnul qayyim al jauziyah).
5. Berkata Sayaikh Hasanain Muhammad
makhluf, Mantan Mufti negeri mesir : “ Tokoh-tokoh madzab hanafi berpendapat
bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-qur’an
atau selain demikian daripada macam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan
pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.
6. Imam sya’bi ; “Orang-orang anshar
jika ada diantara mereka yang meninggal, maka mereka berbondong-bondong ke
kuburnya sambil membaca al-qur’an disampingnaya”. (ucapan imam sya’bi ini juga
dikutip oleh ibnu qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal. 13).
7. Berkata Syaikh ali ma’sum :
“Dalam madzab maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada
mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutakhirin
berpendapat boleh dan dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala
bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa pendapat
inilah yang kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).
8. Berkata Allamah Muhammad
al-arobi: Sesungguhnya membaca al-qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggak
hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut
jumhur fuqaha islam Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan
berdasarkan pendapat yang tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).
9. Berkata imam qurtubi : “telah
ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang yang sudah mati, maka
seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan al-qur’an, doa dan istighfar
karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits :
“Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan adalah sedekah)”. (Tadzkirah
al-qurtubi halaman 26).
Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama
ahlussunnah yang menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang dihadiahkan
untuk mayyit (muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam
risalah ini karena khawatir akan terlalu panjang.
C. Dalam Madzab Imam syafii
Untuk menjelaskan hal ini marilah
kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal
sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur
dari madzab Syafii dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam
ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafii berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka
lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan
yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522
: “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafii menurut qaul
yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar,
adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan
tersebut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka
jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si
pendoa, maka kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa
adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala
bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar yakni pahala
bacaan sampai.
Dalam menanggapai qaul masyhur
tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari
mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai qaul
yang masyhur dalam madzhab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an
itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan
untuknya”.
Dan mengenai syarat-syarat sampainya
pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul
Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai
pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan
dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an
yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan samapainya
pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh
Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan Bahwa jika seseorang
meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala
bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping
kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula
pahala bagi orang yang membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih
baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan
dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan
dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk si mayyit juga disertai dengan
doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat
oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab
I’anatut Tahlibin Jilid III/24).
D. Dalil-dalil orang yang membantah
adanya hadiah pahala dan jawabannya
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya
kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang
selalu mendoakan orang tuanya”
Jawab : Tersebut dalam syarah
Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk
menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits
tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk
memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu
(terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq)
dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala
orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit
itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain,
maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai
membayar hutang itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah
memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.
2. Firman Allah surat an-najm ayat
39 :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya
apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi
kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya
tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
Jawab : Banyak sekali jawaban para
ulama terhadap digunakannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya
hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455
diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan
pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak
anak, menikahi beberapa isteri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan
menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya. Maka banyaklah orang-orang itu
yang menyayanginya.
Merekapun berdoa untuknya dan
mengahadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka
itu adalah bekas dari usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama
golongan kaum muslimin yang lain didalam ikatan islam adalah merupakan sebab
paling besar dalam hal sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin
kepada yang lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan
doa kaum muslimin yang lain.
Dalam satu penjelasan disebutkan
bahwa Allah SWT menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan
dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah
berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan
menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang
dihadiahkan kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya bagian dari usahanya
sendiri).
2. Ayat al-qur’an itu tidak
menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain.
Ayat al-qur’an itu hanya menafikan “kepemilikan seseorang terhadap usaha orang
lain”. Allah SWT hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu
tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri).
Adapun usaha orang lain, maka itu
adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh
memberikannya kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya
untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah
“lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianlah dua jawaban yang dipilih
pengarang kitab syarah thahawiyah.
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum
Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam (umat Nabi Muhammad SAW.), maka mereka
bias mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat itu menerangkan hokum yang
terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi
Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya
apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi
kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya
tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang
utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh
(dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami
hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam
sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh
Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur
ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan
anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu
mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka.
Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat
an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan
sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata
: “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min
thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi
seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah penafsiran dari surat
An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak
kepada pengamalan denganzhahir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan,
maka akan banyak sekali dalil-dalil baik dari al-qur’an maupun hadits-hadits
shahih yang ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias
dipakai sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat
al-baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang
kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada
kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.
Jawab : Kata-kata “laha maa
kasabat” menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan).
Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang ia
usahakan”. Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungannya tidaklah
menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan
ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini
tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan memperoleh harta dari pusaka orang
tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para
sahabatnya. Lain halnya kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr
(pembatasan) seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang
dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin
ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan
kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan
hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak
akan didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali
terhadap apa yang mereka kerjakan”
Jadi dengan memperhatikan konteks
ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya
seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap
seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal.
456).
(ringkasan dari Buku argumentasi
Ulama syafi’iyah terhadap tuduhan bid’ah,Al ustadz haji Mujiburahman, halaman
142-159, mutiara ilmu)
Semoga menjadi asbab hidayah bagi
Ummat
23. Hukum Membaca Al-Barzanji
Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi
(orang banjar menyebutnya *Ba-Mulud’an*)
sudah melembaga bahkan ditetapkan
sebagai hari libur nasional. Setiap
memasuki Rabi’ul Awwal, berbagai
ormas Islam, masjid, musholla, institusi
pendidikan, dan majelis taklim
bersiap memperingatinya dengan beragam cara
dan acara; dari sekadar menggelar
pengajian kecil-kecilan hingga seremoni
akbar dan bakti sosial, dari sekadar
diskusi hingga ritual-ritual yang sarat
tradisi (lokal).
Di antara yang berbasis tradisi
adalah:
*Manyanggar Banua, Mapanretasi di
Pagatan, Ba’Ayun Mulud (Ma’ayun anak) di Kab. Tapin, Kalimantan Selatan
*Sekaten, di Keraton Yogyakarta dan
Surakarta,
*Gerebeg Mulud di Demak,
*Panjang Jimat *di Kasultanan
Cirebon,
*Mandi Barokah *di Cikelet Garut,
dan sebagainya.
Tradisi lain yang tak kalah populer
adalah pembacaan Kitab al-Barzanji. Membaca Barzanji seolah menjadi sesi yang
tak boleh ditinggalkan dalam setiap peringatan
Maulid Nabi. Pembacaannya dapat
dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengan
notasi apa pun, karena memang tidak
ada tata cara khusus yang mengaturnya.
Al-Barzanji adalah karya tulis
berupa prosa dan sajak yang isinya bertutur
tentang biografi Muhammad, mencakup
*nasab*-nya (silsilah), kehidupannya
dari masa kanak-kanak hingga menjadi
rasul. Selain itu, juga mengisahkan
sifat-sifat mulia yang dimilikinya,
serta berbagai peristiwa untuk dijadikan
teladan manusia.
Judul aslinya adalah *’Iqd
al-Jawahir *(Kalung Permata). Namun, dalam
perkembangannya, nama
pengarangnyalah yang lebih masyhur disebut, yaitu
Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul
Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Dia seorang
sufi yang lahir di Madinah pada 1690
M dan meninggal pada 1766 M.
*Relasi Berjanji dan Muludan
*Ada catatan menarik dari Nico
Captein, seorang orientalis dari Universitas
Leiden, dalam bukunya yang berjudul
*Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad
saw. *(INIS, 1994).
Menurutnya, Maulid Nabi pada mulanya
adalah perayaan kaum Syi’ah
Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk
menegaskan kepada publik bahwa dinasti
tersebut benar-benar keturunan Nabi.
Bisa dibilang, ada nuansa politis di
balik perayaannya.
Dari kalangan Sunni, pertama kali
diselenggarakan di Suriah oleh Nuruddin
pada abad XI. Pada abad itu juga
Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan
seluruh penjuru Islam. Kendati
demikian, tidak sedikit pula yang menolak
memperingati karena dinilai *bid’ah
*(mengada-ada dalam beribadah).
Di Indonesia, tradisi Berjanjen
bukan hal baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin
*(sebutan untuk warga NU). Berjanjen
tidak hanya dilakukan pada peringatan Maulid Nabi, namun kerap diselenggarakan pula
pada tiap malam Jumat, pada upacara kelahiran, *akikah *dan potong rambut,
pernikahan, syukuran, dan upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar
pesantren, Berjanjen telah menjadi kurikulum wajib.
Selain al-Barzanji, terdapat pula
kitab-kitab sejenis yang juga bertutur tentang kehidupan dan kepribadian Nabi.
Misalnya, kitab
*Shimthual-Durar, karya al-Habib Ali
bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (Syair Maulud Al-Habsy),
*al-Burdah, karya al-Bushiri dan
*al-Diba, karya Abdurrahman
al-Diba’iy.
Inovasi Baru
Esensi Maulid adalah penghijauan
sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai satu-satunya idola teladan yang
seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola menjadi miniatur dari idealisme,
kristalisasi dari berbagai falsafah hidup yang diyakini. Penghijauan sejarah
dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di bulan
Rabi’ul Awwal.
Kaitannya dengan kebangsaan,
identitas dan nasionalisme seseorang akan lahir
jika ia membaca sejarah bangsanya.
Begitu pula identitas sebagai penganut
agama akan ditemukan (di antaranya)
melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya
Kitab al-Barzanji merupakan salah
satu sarana untuk mencapai tujuan esensial
itu, yakni ‘menghidupkan’ tokoh
idola melalui teks-teks sejarah.
Permasalahannya sekarang, sudahkah pelaku
Berjanjen memahami bait-bait indah
al-Barzanji sehingga menjadikannya
inspirator dan motivator keteladanan?
Barangkali, bagi kalangan santri,
mereka dapat dengan mudah memahami makna
tiap baitnya karena (sedikit banyak)
telah mengerti bahasa Arab. Ditambah
kajian khusus terhadap referensi
penjelas *(syarh) *dari al-Barzanji, yaitu
kitab *Madarij al-Shu’ud *karya
al-Nawawi al-Bantani, menjadikan pemahaman
mereka semakin komprehensif.
Bagaimana dengan masyarakat awam?
Tentu mereka tidak bisa seperti itu.
Karena mereka memang tidak menguasai
bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab
itu bertutur tentang sejarah Nabi
tanpa mengerti detail isinya. Akibatnya,
penjiwaan dan penghayatan makna
al-Barzanji sebagai inspirator dan motivator
hidup menjadi tereduksi oleh
rangkaian ritual simbolik yang tersakralkan.
Barangkali, kita perlu berinovasi
agar pesan-pesan profetik di balik bait
al-Barzanji menjadi tersampaikan
kepada pelakunya (terutama masyarakat awam)
secara utuh menyeluruh. Namun, ini
tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah
yang andal dan sastrawan-sastrawan
ulung untuk mengemas bahasa al-Barzanji
ke dalam konteks bahasa kekinian dan
kedisinian. Selain itu, juga
mempertimbangkan kesiapan masyarakat
menerima inovasi baru terhadap
aktivitas yang kadung tersakralkan
itu.
Inovasi dapat diimplementasikan
dengan menerjemahkan dan menekankan aspek
keteladan. Dilakukan secara gradual
pasca-membaca dan melantunkan syair
al-Barzanji. Atau mungkin dengan
kemasan baru yang tidak banyak menyertakan
bahasa Arab, kecuali lantunan
shalawat dan ayat-ayat suci, seperti
dipertunjukkan W.S. Rendra, Ken
Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawan pada
Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14
Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor,
Senayan, Jakarta.
Sebagai pungkasan, semoga Barzanji
tidak hanya menjadi ‘lagu wajib’ dalam upacara, tapi (yang penting) juga mampu
menggerakkan pikiran, hati, pandangan hidup serta sikap kita untuk menjadi
lebih baik sebagaimana Nabi.
Dan semoga, Maulid dapat
mengentaskan kita dari keterpurukan sebagaimana Shalahuddin Al-Ayubi sukses
membangkitkan semangat tentaranya hingga menang
dalam pertempuran.
Garis Keturunan Syekh al-Barzanji :
Sayyid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul
Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Syed ibn Abdul Rasul ibn Qalandar
ibn Abdul Syed ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali
ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa
Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam
Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a. dan Sayidatina Fatimah
binti Rasulullah saw.
Dinamakan Al-Barjanzy karena
dinisbahkan kepada nama desa pengarang yang terletak di Barjanziyah kawasan
Akrad (kurdistan). Kitab tersebut nama aslinya ‘Iqd al-Jawahir (Bahasa Arab,
artinya kalung permata) sebagian ulama menyatakan bahwa nama karangannya adalah
“I’qdul Jawhar fi mawlid anNabiyyil Azhar”. yang disusun untuk meningkatkan
kecintaan kepada Nabi Muhammad saw., meskipun kemudian lebih terkenal dengan
nama penulisnya.
Beliau dilahirkan di Madinah Al
Munawwarah pada hari Kamis, awal bulan Zulhijjah tahun 1126 H (1960 M) (1766
beliau menghafal Al-Quran 30 Juz kepada Syaikh Ismail Alyamany dan Tashih Quran
(mujawwad) kepada syaikh Yusuf Asho’idy kemudian belajar ilmu naqliyah (quran
Dan Haditz) dan ‘Aqliyah kepada ulama-ulama masjid nabawi Madinah Al Munawwarah
dan tokoh-tokoh qabilah daerah Barjanzi kemudian belajar ilmu nahwu, sharaf,
mantiq, Ma’ani, Badi’, Faraidh, Khat, hisab, fiqih, ushul fiqh, falsafah, ilmu
hikmah, ilmu teknik, lughah, ilmu mustalah hadis, tafsir, hadis, ilmu hukum,
Sirah Nabawi, ilmu sejarah semua itu dipelajari selama beliau ikut duduk
belajar bersama ulama-ulama masjid nabawi. Dan ketika umurnya mencapai 31 tahun
atau bertepatan 1159 H barulah beliau menjadi seorang yang ‘Alim wal ‘Allaamah
dan Ulama besar.
Kitab “Mawlid al-Barzanji” ini telah
disyarahkan oleh al-’Allaamah al-Faqih asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin
Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299H dengan
satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan “al-Qawl
al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji” yang telah banyak kali diulang cetaknya di
Mesir.
Di samping itu, kitab Mawlid Sidi
Ja’far al-Barzanji ini telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat
ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad
‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari dengan kitab “al-Qawl
al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji”. Beliau ini adalah seorang ulama besar
keluaran al-Azhar asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan
Thoriqah asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217H (1802M) dan wafat pada
tahun 1299H (1882M).
Selain itu ulama kita kelahiran
Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif
dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, an-Nawawi ats-Tsani,
Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah
bagi “Mawlid al-Barzanji” dan karangannya itu dinamakannya “Madaarijush Shu`uud
ila Iktisaa-il Buruud”. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid
Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami
kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, telah juga menulis syarah
bagi “Mawlid al-Barzanji” tersebut yang dinamakannya “al-Kawkabul Anwar ‘ala
‘Iqdil Jawhar fi Mawlidin Nabiyil Azhar”.
Sayyid Ja’far ini juga adalah
seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang
Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul
Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaa-il Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala
Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhau-il Wahhaaj fi Israa` wal
Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan
hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far al-Barzanji dalam kitabnya
“ar-Raudhul A’thar fi Manaqib as-Sayyid Ja’far”.
Kembali kepada Sidi Ja’far
al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di
Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal
bukan sahaja kerana ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan
kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdoa untuk hujan
pada musim-musim kemarau. Diceritakan bahawa satu ketika di musim kemarau,
sedang beliau sedang menyampaikan khutbah Jumaatnya, seseorang telah meminta
beliau beristisqa` memohon hujan. Maka dalam khutbahnya itu beliau pun berdoa
memohon hujan, dengan serta merta doanya terkabul dan hujan terus turun dengan
lebatnya sehingga seminggu, persis sebagaimana yang pernah berlaku pada zaman
Junjungan Nabi s.a.w. dahulu. Menyaksikan peristiwa tersebut, maka sebahagian
ulama pada zaman itu telah memuji beliau dengan bait-bait syair yang berbunyi:-
سقى
الفروق بالعباس قدما * و نحن بجعفر غيثا سقينا
فذاك
و سيلة لهم و هذا * وسيلتنا إمام العارفينا
Dahulu al-Faruuq dengan al-’Abbas
beristisqa` memohon hujan
Dan kami dengan Ja’far pula
beristisqa` memohon hujan
Maka yang demikian itu wasilah
mereka kepada Tuhan
Dan ini wasilah kami seorang Imam
yang ‘aarifin
Sidi Ja’far al-Barzanji wafat di
Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari
kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi s.a.w. Karangannya membawa umat
ingatkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat kasihkan Junjungan Nabi s.a.w.,
membawa umat rindukan Junjungan Nabi s.a.w. Setiap kali karangannya dibaca,
pasti sholawat dan salam dilantunkan buat Junjungan Nabi s.a.w. Juga umat tidak
lupa mendoakan Sayyid Ja’far yang telah berjasa menyebarkan keharuman pribadi
dan sirah kehidupan makhluk termulia keturunan Adnan. Allahu … Allah.
اللهم
اغفر لناسج هذه البرود المحبرة المولدية
سيدنا
جعفر من إلى البرزنج نسبته و منتماه
و
حقق له الفوز بقربك و الرجاء و الأمنية
و
اجعل مع المقربين مقيله و سكناه
و
استرله عيبه و عجزه و حصره و عيه
و
كاتبها و قارئها و من اصاخ إليه سمعه و اصغاه
Ya Allah ampunkan pengarang jalinan
mawlid indah nyata
Sayyidina Ja’far kepada Barzanj
ternisbah dirinya
Kejayaan berdamping denganMu
hasilkan baginya
Juga kabul segala harapan dan
cita-cita
Jadikanlah dia bersama muqarrabin
berkediaman dalam syurga
Tutupkan segala keaiban dan
kelemahannya
Segala kekurangan dan kekeliruannya
Seumpamanya Ya Allah harap dikurnia
juga
Bagi penulis, pembaca serta
pendengarnya
و
صلى الله على سيدنا محمد و على اله و صحبه و سلم
و
الحمد لله رب العالمين
Dalam bukunya, Dan Muhammad adalah
Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi SAW. dalam Islam (1991), sarjana
Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel, menerangkan bahwa teks asli karangan
Ja’far al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para
penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk
eulogy bagi Sang Nabi.
Untaian syair itulah yang tersebar
ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak
tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa
Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu,
semisal hasil terjemahan HAA Dahlan atau Ahmad Najieh, meski kekuatan puitis
yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam
bahasa kita sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat
mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi
Muhammad SAW. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: “Natsar” dan
“Nadhom”. Bagian “Natsar” terdiri atas 19 subbagian yang memuat 355 untaian
syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya
menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW., mulai dari saat-saat menjelang paduka
dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara,
bagian “Nadhom” terdiri atas 16 subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan
mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak
prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan
akhlak Sang Nabi. Dalam bagian “Nadhom”, misalnya, antara lain diungkapkan
sapaan kepada Nabi pujaan: Engkau mentari, engkau bulan/ Engkau cahaya di atas
cahaya.
Di antara idiom-idiom yang terdapat
dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan,
purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah
sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga
melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri,
misalnya, dilukiskan sebagai “untaian mutiara”.
Namun, bahasa puisi yang gemerlapan
itu, seringkali juga terasa rapuh. Dalam karya Ja’far al-Barzanji pun, ada
bagian-bagian deskriptif yang mungkin terlampau meluap. Dalam bagian “Natsar”,
misalnya, sebagaimana yang diterjemahkan oleh HAA Dahlan, kita mendapatkan
lukisan demikian: Dan setiap binatang yang hidup milik suku Quraisy
memperbincangkan kehamilan Siti Aminah dengan bahasa Arab yang fasih.
Betapapun, kita dapat melihat teks
seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok
tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang
erat pada Alquran, hadis, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian
mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi,
diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang
indah.
Salah satu hal yang mengagumkan
sehubungan dengan karya Ja’far al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis
ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya,
karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan
sehubungan dengan cara umat Islam di berbagai negeri menghormati sosok dan
perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Sifatnya:
Wajahnya tampan, perilakunya sopan,
matanya luas, putih giginya, hidungnya mancung,jenggotnya yang tebal,Mempunyai
akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat
berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa
bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan sangat pemurah.
Seorang ulama besar yang berdedikasi
mengajarkan ilmunya di Masjid Kakeknya (Masjid Nabawi) SAW. sekaligus beliau
menjadi seorang mufti Mahzhab Syafiiyah di kota madinah Munawwarah.
“Al-’Allaamah al-Muhaddits al-Musnid
as-Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanji adalah MUFTI ASY-SYAFI`IYYAH di Kota
Madinah al-Munawwarah. Banyak perbedaan tentang tanggal wafatnya, sebagian
menyebut beliau meninggal pada tahun 1177 H. Imam az-Zubaidi dalam “al-Mu’jam
al-Mukhtash” menulis bahwa beliau wafat tahun 1184 H, dimana Imam az-Zubaidi
pernah berjumpa dengan beliau dan menghadiri majelis pengajiannya di Masjid
Nabawi yang mulia.
Maulid karangan beliau ini adalah
kitab maulid yang paling terkenal dan paling tersebar ke pelosok negeri ‘Arab
dan Islam, baik di Timur maupun di Barat. Bahkan banyak kalangan ‘Arab dan
‘Ajam (luar Arab) yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam waktu-waktu
tertentu. Kandungannya merupakan khulaashah (ringkasan) sirah nabawiyyah yang
meliputi kisah lahir baginda, perutusan baginda sebagai rasul, hijrah, akhlak,
peperangan sehingga kewafatan baginda.
Wafat:
Beliau telah kembali ke rahmatullah
pada hari Selasa, setelah Asar,4 Sya’ban, tahun 1177 H (1766 M). Jasad beliau
makamkan di Baqi’ bersama keluarga Rasulullah saw.
Kitab maulid Barzanji sendiri telah
disyarah (dijelaskan) oleh ulama-ulama besar seperti Syaikh Muhammad bin Ahmad
‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari yang mengarang kitab
“al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al- Barzanji” dan Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz,
Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi “Madaarijush Shu`uud ila Iktisaa-il
Buruud”.
0 komentar:
Posting Komentar
Guna Pengembangan Blog ini admin mohon komentarnya_terimakasih.