MATERI
ASWAJA UNTUK MA / MU
BAB I
FIRQOH-FIRQOH DALAM ISLAM
Dalam sejarah
islam telah tercatat adanya firqoh-firqoh ( golongan ) di lingkungan umat
Islam, yang antara satu dengan lainnya bertentangan pahamnya secara tajam yang
sulit untuk didamaikan.
Hal ini sudah
menjadi fakta dalam sejarah yang tidak dirubah lagi, dan sudah termaktub dalam
kitab-kitab agama, terutama kitab ushuluddin. Dan juga banyak terdapat
hadits-hadits yang bertalian adanya firqoh-firqoh yang berselisih paham dalam
lingkungan umat Islam. Diantara hadits-hadits itu adalah [1]:
A. Dalil
1.
عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال تفرقت
اليهود على إحدى وسبعين أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى مثل ذلك وتفترق أمتي ثلاث
وسبعين فرقة (سنن الترمذي)
Artinya : Dari Abi
Hurairah, Rasulullah SAW bersabda " Telah berfirqoh-firqoh orang Yahudi
atas 71 atau 72 golongan dan orang Nashara sepeti itu pula dan umatku
berfirqoh atas 73 firqoh".
2.
إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على
ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله قال ما
أنا عليه وأصحابي( رواه الترمذي)
"Bahwasanya Bani Israil
telah berfirqoh-firqoh sebanyak 72 millah (firqoh) dan umatku akan berfirqoh
sebanyak 73 firqoh, semuanya masuk neraka kecuali satu" para sahabat
bertanya " siapakah yang satu itu Ya Rasul. ?, Nabi menjawab "
yang satu itu ialah orang yang berpegang(beri'tiqad) sebagai peganganku
(i'tiqadku) dan pegangan sahabat-sahabatku"
3.
عن أنس بن مــالك قال : قال رســول الله صــلى الله عليه
وســلم : " ان بني اســرائيل افترقت على احدى وســبعين فرقة , وان أمتي
ستفترق على ثنــتين وسبعين فرقــة كلها في النار الا واحدة, وهي الجمــاعة "
—
Artinysa: Dari Anas bin Malik berkata, rasulullah SAW
bersabda; “ Sesungguhnya bani Israil akan berkelompok menjadi 71 golongan
dan sesungguhnya umatku akan berkelompok
menjadi 72 golongan, semua di neraka kecuali satu, yaitu al-jamaah”. ( HR.Ibn Majah, Ahmad, al-lakai
dan lain. Hadits sanad baik)
B. SEJARAH TIMBULNYA FIRQOH
Yang teramat
mulia Nabi Muhammad SAW wafat pada tanggal 12 Rabi' Awwal 11 H / 8 juni 632 .
Pada hari
wafat beliau, sekumpulan kaum Anshar dan Muhajirin berkumpul di balairung bernama SAQIFAH BANI
SA'IDAH untuk mencari khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW. Kaum Anshar ini
dipimpin oleh Sa'ad bin Ubadah dan kaum muhajirin dipimpin oleh Abu Bakar
Shiddiq Rda. Setelah terjadi perdebatan diantara kedua golongan tersebut,
akhirnya Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pertama. Dalam perdebatan ini
belum menimbulkan firqoh dalam usuluddin
karena terpilihnya Abu Bakar secara aklamasi ( suara sepakat ).
Pada tahun 30
Hijriyah timbul paham Syi'ah ( kaum yang beri'tiqad bahwa saidina Ali Kw
adalah orang yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad ) yang
diapi-apikan oleh Abdullah bin Saba' yang beroposisi terhadap
khalifah Ustman bin Affan[2].
Ketika
terjadi perang "siffin" tahun 37 H diantara khalifah Ali bin Abi
Thalib dengan pihak Muawiyah bertempat di Irak bernama Siffin. Perang ini
menimbulkan korban yang sangat banyak yaitu dipihak Ali gugur 25.000 orang dan
dipihak Mu'awiyah 45.000 orang.
Jalannya
peperangan menguntungkan pihak Ali Kw. Hampir seluruh pasukan Mu'awiyah lari
kucar-kacir, akan tetapi mereka mengangkat mushaf pada ujung tombak dan
menyerukan penghentian peperangan ( cease fire ).
Mula –mula
saidina Ali tidak mau menerima ajakan ini, karena beliau tahu bahwa hal itu
hanyalah siasat orang yang hampir kalah, tetapi saidina Ali didesak oleh
sebagian tentaranya, sehingga ada yang mengatakan " Mengapa kita tidak mau
berhukum kepada al-Qur'an ?" .
Akhirnya
saidina Ali menerima tawaran penghentian peperangan dan pulang ke Bagdad,
sedang pasukan Mu'awiyah pulang ke Damaskus. Kemudian kedua belah pihak
melanjutkan perundingan dengan mengirimkan delegasi. Pihak saidina Ali menyusun
delegasi dipimpin Abu Musa al-Asy'ari dan pihak Mu'awiyah di bawah pimpinan
'Amru bi 'Ash.
Tetapi
disayangkan, ketika itu ada sebagian pasukan saidina Ali yang berbalik. Mereka
tidak suka berhukum kepada al-Qur'an yang diserukan pasukan Mu'awiyah. Mereka
keluar dari saidina Ali dan Mu'awiyah serta membenci keduanya. Mereka menamakan
dirinya kaum Khawarij dengan membawa slogan " La Hukma illa
Lillah " (tidak ada hukum kecuali pada Allah )[3].
Harun
Nasution melihat bahwa persoalan kalam yang pertama muncul adalah siapa yang
kafir dan siapa yang bukan kafir. Khawarij sebagaimana telah disebutkan
memandang bahwa orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim ( arbitrase ), yakni
Ali , Mu'awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy'ari adalah kafir berdasarkan
firman Allah Al-Maidah ayat 44.
Persoalan ini
menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu :
1.AliranKhawarij . menegaskan bahwa orang yang berdosa
besar adalah kafir. Dalam arti telah keluar dari islam dan wajib dibunuh.
2.Aliran Murji'ah, menegaskan bahwa bahwa orang yang
berdosa besar masih mu'min dan bukan kafir. Adapun dosa yang telah dilakukan
terserah Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3.Aliran Mu'tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat
di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula
mu'min. Mereka mengambil posisi diantara mu'min dan kafir ( al-Manzilah bain
al-manzilataini ).[4]
C. FIRQOH-FIRQOH
YANG BERPENGARUH DALAM ISLAM
Ketika kita
melihat sejarah perkembangan Islam dari abad pertama, kedua dan ketiga sampai
zaman kita sekarang, apa yang dikatakan Nabi Muhammad SAW sudah nyata
kebenarannya.
Dalam kitab
Bughyatul Murtasyidin, karangan mufti Syaikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin
Husein bin Umar, yang dimasyhurkan dengan gelar Ba'lawi, pada pagina 398,
cetakan Mathba'ah Amin Abdul Majid Cairo (138 H ), bahwa 72 firqoh yang sesat
itu berpokok pada 7 firqoh, yaitu :
1. Kaum
Syi'ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Sayidina Ali Kw. Mereka tidak
mengakui kahalifah-khalifah Abu Bakar, Umar, Ustman RA. Kaum syiah ini terpecah
menjadi 22 aliran.
2. Kaum
Khawarij yaitu kaum yang berlebih-lebihan membenci Sayidina Ali Kw. Bahkan ada
diantaranya yang mengkafirkan Sayidina Ali Kw. Firqoh ini berfatwa bahwa
orang-orang yang berbuat dosa besar menjadi kafir.
3. Kaum
mu'tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa
manusia membuat pekerjannya sendiri, bahwa tuhan tidak bisa dilihat dengan mata
dalam surga, dan mi'roj Nabi Muhammad hanya dengan ruh saja. Kaum Mu'tazilah
ini berpecah menjadi 20 aliran.
4. Kaum
Murji'ah, yaitu kaum yang mengfatwakan bahwa membuat maksiat (kedurhakaan)
tidak memberi madlorot kalau sudah beriman, sebagai keadaannya membuat
kebajikan tidak memberi manfaat kalau kafir. Kaum murji'ah ini terpecah menjadi
5 aliran.
5. Kaum
Najariyah, yaitu keum yang mengfatwakan bahwa perbuatan manusia adalah mahluk,
yakni dijadikan Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat tuhan tidak ada.
Kaum Najariyah ini terpecah menjadi 3 aliran.
6. Kaum
Jabariyah, kaum yang mengfatwakan bahwa, manusia "majbur" ,
artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini
hanya ada 1 aliran.
7. Kaum
Musyabbihah, yaitu kaum yang mengfatwakan bahwa ada keserupaan Tuhan dengan
manusia, umpamanya bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik tangga, turun
tangga dan lain-lain. Kaum ini hanya 1 aliran.
Jumlah dari semua perpecahan 7 golongan di atas adalah 72 golongan, kalau ditambah 1 paham kaum Ahlus
Sunnah wal Jama'ah maka menjadi 73 firqoh, sebagaimana yang ditarangkan
Nabi Muhammad dalam hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi.
Adapun kaum Qodariyah termasuk golongan kaum Mu'tazilah, kaum
Bahaiyah dan Ahmadiyah Qadyan masuk golongan Syi'ah. Kaum Ibnu Taimiyah masuk
golongan kaum Musyabbihah dan kaum wahabi termasuk kaum pelaksana dari paham
Ibn Taimiyah[5].
BAB II
MENGENAL TEOLOG AHLUSSUNNAH WA AL-JAMA'AH (Abu Hasan Al-Asy`ari dan Abu Mansur Al-Maturidi)
Pada zaman Rasululloh SAW masih ada perbedaan pendapat diantara
kaum muslimin ( sahabat ) langsung dapat diselesaikan oleh Nabi Muhammad.
Tetapi sesudah beliau wafat, perbedaan sering mengendap lalu terjadi permusuhan
dan pertentangan diantara mereka. Sesungguhnya pada mulanya, persengketaan
akibat pertentangan imamah, bukan aqidah. Dari situ, kemudian merambah
pada persoalan aqama, terutama seputar hukum seorang yang berbuat dosa besar
dan setatusnya masih islam atau kafir.
Di tengah pertentangan itu, lahirlah dua kelompok moderat yang
berusaha mengkompromikan keduanya. Kelompok ini kemudian dinamakan Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah (Aswaja). Dua kelompok itu adalah Asy'ariyah (Imam Abu
Hasan al-Asy'ari) dan Maturidiyah ( Imam Abu Mansur al-Maturidi )[6].
A .Abu
Hasan Al-Asy`ari
1.Biografi Abu Hasan Al-Asy`ari
Nama lengkap Al-Asy'ari adalah Abu al-Hasan
Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal
bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy'ari. Menurut beberapa riwayat, al-Asy'ari
lahir di Bashrah pada tahun 260 H / 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia
hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/ 935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Abu Hasan Al-Asy`ari adalah
seseorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Abu Hasan Al-Asy`ari masih
kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama
Zakaria bin Yahya As-saji agar mendidik Abu
Hasan Al-Asy`ari. Ibu Abu
Hasan Al-Asy`ari sepeninggal ayahnya menikah lagi dengan seorang tokoh
Mu'tazilah yang bernama Abu Ali al-Juba'I ( w.303 H/915 M ). Berkat didikan ayah
tirinya itu, Abu Hasan Al-Asy`ari kemudian menjadi tikoh Mu'tazilah. Ia sering
menggantikan Al-Juba'I dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu'tazilah.
Selain itu, ia juga banyak menulis buku yang membela alirannya.
Abu Hasan Al-Asy`ari
menganut paham Mu'tazilah hanya sampai berusia 40 tahun. Setelah itu secara
tiba-tiba ia mengumumkan kepada jama'ah masjid Bashrah bahwa
dirinya telah meninggalkan faham Mu'tazilah dan menunjukkan keburukannya.
Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Abu Hasan Al-Asy`ari meninggalkan
faham Mh'tazilah adalah pengakuan Abu Hasan Al-Asy`ari yang telah sebanyak tiga
kali, yaitu malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadan. Dalam tiga mimpinya
itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham mu'tazilah dan
membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau[7].
2. Doktrin-doktrin teologi Abu Hasan Al-Asy`ari
Pemikiran Abu Hasan Al-Asy`ari
yang terpenting adalah sebagai berikut ini :
Aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth)
di antarakelompok-kelompok keagamaan
yang berkembang pada masa itu.Yaitu kelompok Jabariyah dan Qodariyah yang
dikembangkan oleh Mu’tazilah. Dalam membicarakan perbuatan manusia, keduanya
saling bersebrangan.Kelompok Jabariyah berpendapat bahwa seluruh perbuatan
manusia diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki peranan apapun. Sedang
kelompok Qodariyah memandang bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia
itu sendiri terlepas dari Allah. Dengan begitu, bagi Jabariyah kekuasaan Allah
adalah mutlak dan bagi Qodariyah kekuasaan Allah terbatas.
Sikap tawasuth
ditunjukkan oleh Asy’ariyah dengan konsep al-kasb (upaya).
MenurutAsy’ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki
peranan dalam perbuatannya. Kasb memiliki makna kebersamaan kekuasaan
manusia dengan perbuatan Tuhan. Kasb juga memiliki makna keaktifan dan
bahwa manusia bertanggungjawab atas perbuatannya.
Dengan konsep kasb tersebut,
aqidah Asy’ariyah menjadikan manusia selalu berusaha secara kreatif dalam kehidupannya,
akan tetapi tidak melupakan bahwa Tuhanlah yang menentukan semuanya. Dalam konteks
kehidupan sekarang, aqidah Asy’ariyah paling memungkinkan dijadikan landasan memajukan
bangsa. Dari persoalan ekonomi, budaya, kebangsaan sampai memcahkan persoalan-persoalan
kemanusiaan kekinian, seperti HAM, kesehatan, gender, otonomi daerah dan sebagainya.
Sikap tasammuh
(toleransi) ditunjukkan oleh Asy’ariyah dengan antara lain ditunjukkan dalam konsep
kekuasaan mutlak Tuhan. Bagi Mu’tazilah Tuhan wajib berlaku adil dalam memperlakukan
makhluk-Nya. Tuhan wajib memasukkan orang baik kedalam surga dan memasukkan
orang jahat kedalam neraka. Hal ini ditolak oleh Asy’ariyah. Alasannya,
kewajiban berarti telah terjadi pembatasan terhadap kekuasaan Tuhan, padahal Tuhan
memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang bisa membatasi kehendak dan kekuasaan Tuhan. Meskipun dalam
al-Quran Allah berjanji akan memasukkan orang yang baik dalam surga dan orang
yang jahat kedalam neraka, namun tidak berarti kekuasaan Allah terbatasi.
Segala keputusan tetap ada pada kekuasaan Allah.
Jika dalam faham Mu’tazilah
posisi akal di atas wahyu, Asy’ariyah berpendapat wahyu di atas akal. Moderasi ditunjukkan
oleh Asy'ariyah, Ia berpendapat bahwa meskipun wahyu di atas akal, namun akal tetap
diperlukan dalam memahami wahyu. Jika akal tidak mampu memahami wahyu maka akal
harus tunduk dan mengikuti wahyu. Karena kemampuan akal terbatas, maka tidak semua
yang terdapat dalam wahyu dapat dipahami oleh akal dan kemudian dipaksakan sesuai
dengan pendapat akal.
Dengan demikian, bagi Asy’ariyah
rasionalitas tidak ditolak. Kerja-kerja rasional dihormati sebagai penerjemahan
dan penafsiran wahyu dalam kerangka untuk menentukan langkah-langkah kedalam pelaksanaan
sisi kehidupan manusia. Yakni bagaimana pesan-pesan wahyu dapat diterapkan oleh
semua umat manusia. Inilah pengejawantahan dari pesan al-Quran bahwa risalah islam
adlah rahmatan li al-alamin. Namun agar aspek-aspek rasionalitas itu tidak
menyimpang dari wahyu, manusia harus mengembalikan seluruh kerja rasio di bawah control akal.
Masalah adanya sifat Allah,
Mu'tazilah hanya mengakui sifat wujud Allah. Sementara Asy’ariyah berpendapat bahwa
Allah memiliki sifat. Walaupun sifat tidak sama dengan dzat-Nya, tetapi sifat adalah
qadim dan azali. Allah mengetahui, misalnya, bukan dengan pengetahuan-Nya,
akan tetapi dengan sifat ilmu-Nya. Dalam memahami sifat Allah yang qadim ini
Asy’ariyah berpendapat bahwa kalam satu misal adalah sifat Allah yang qadim
dan azali, karena itu al-Quran sebagai kalam Allah adalah qadim,
al-Quran bukan mahkluk. Jadi ia tidak diciptakan.
A.
Abu Mansur Al-Maturidi
1.Biografi Abu Mansur Al-Maturidi
Abu Mansur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil
di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang
disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya
diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333
H/944M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasir Bin Yahya
Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Al Maturidi hidup pada masa khalifah
Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M.
Karir pendidikdn Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk
menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat
pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada
masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar
menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam karya
tulis, di antaranya ialah kitab Tauhid, Ta'wil Al-Quran, Makhaz Asy-Syarai,
Al-jadl, Ushul fi Ushul Ad-Din, Maqalat fi Al-Ahkam Radd Awa'il Al-Abdillah Li
Al Ka'bi, Radd A-Ushul Al-Khamisah Li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah Li
Al-Ba'ad Ar-Rawafid, Dan Kitab Radd 'Ala Al-Qaramatah. Selain itu ada pula
karangan-karangan yang diduga ditulis oleh al-maturidi, yaitu risalah fi
al-aqaid dan syarh fiqh al-akbar.
2. Doktrin-doktrin Abu Mansur Al-Maturidi
Pada prinsipnya, aqidah Maturidiyah memiliki keselarasan dengan
aqidah Asy'ariyah. Itu ditunjukkan oleh cara memahami agama yang tidak secara ekstrem
sebagaimana dalam kelompok Mu'tazilah. Yang sedikit membedakan keduanya, bahwa Asy’ariyah
fiqhnya menggunakan mazhab Imam Syafi’I dam Imam Maliki, sedang Maturidiyah menggunakan
mazhab Imam Hanafi.
Asy’ariyah berhadapan langsung
dengan kelompok Mu’tazilah, tapi Maturidiyah menghadapi berbagai kelompok yang
cukup banyak. Diantara kelompok yang muncul pada waktu itu adalah Mu’tazilah,
Mujassimah, Qaramithah dan Jahmiyah. Juga kelompok agama lain seperti Yahudi,
Majusi dan Nasrani.
Sikap tawasuth yang
ditunjukkan oleh Maturidiyah adalah upaya perdamaian antara al-naqli dan
al-‘aqli (nashdanakal). Maturidiyah berpendapat bahwa suatu kesalahan apabila
kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql), sama juga salah
apabila kita larut tidak terkendali dalam menggunakan rasio (‘aql).
Menggunakan‘aql sama pentingnya dengan menggunakan naql. Sebab akal
yang dimiliki oleh manusia juga berasal dari Allah, karena itu dalam al-Quran
Allah memerintahkan umat islam untuk menggunakan akal dalam memahami tanda-tanda
(al-ayat) kekuasaan Allah yang terdapat di alam raya. Dalam al-Quran misalnya ada
kalimat liqauminyatafa-karun, liqauminya’qilun, liqauminyatadzakkarun,
la’allakumtasykurun. La’allakum tahtadun dan sebagainya. Artinya bahwa penggunaan
akal itu semuanya diperuntukkan agar manusia memperteguh iman dan takwanya kepada
Allah SWT.
Yang sedikit membedakan dengan
Asy’ariyah adalah pendapat Maturidiyah tentang posisi akal terhadap wahyu. Menurut
Maturidiyah wahyu harus diterima penuh. Tapi jika terjadi perbeda anantara wahyu
dan akal maka akal harus berperan mentakwilkannya.Terhadap ayat-ayatt ajsim
(Allah bertubuh) atau tasybih (Allah serupa makhluk) harus ditafsirkan dengan
arti majazi (kiasan). Contoh seperti lafal yadullah yang arti aslinya
“tangan Allah” ditakwil menjadi “kekuasaan Allah”
Tentang sifat Allah, Maturidiyah dan Asy’ariyah sama-sama
menerimanya. Namun sifat-sifat itu bukan sesuatu yang berada di luarzat-Nya. Sifat
tidak sama dengan zat, tetapi tidak dari selain Allah. Misalnya, Tuhan Maha Mengetahui
bukanlah dengan Zat-Nya, tetapi dengan pengetahuan (ilmu)-Nya (ya’lamuhubi’ilmihi).
Dalam persoalan “kekuasaan” dan “kehendak” (qudrah
dan irodah) Tuhan, Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan dibatasi oleh Tuhan itu sendiri. Jadi tidak mutlak. Meskipun demikian,
Tuhan tidak dapat dipaksa atau terpaksa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Misalnya
Allah menjanjikan orang baik masuk surga, orang jahat masuk neraka, maka Allah akan menepati janji-janji tersebut.
Tapi dalam hal ini manusia diberikan kebebasan oleh Allah menggunakan daya untuk
memilih antara yang baik dan yang buruk. Itulah keadilan Tuhan.
Karena manusia biberi kebebasan
untuk memilih dalam berbuat, maka-menurut Maturidiyah-perbuatan itu tetap diciptakan
olehTuhan. Sehingga perbuatan manusia sebagai perbuatan bersama antara manusia dan
Tuhan. Allah yang mencipta dan manusia yang meng-kasb-nya. Dengan begitu
manusia yang dikehendaki adalah manusia yang selalu kreatif, tetapi kreativitas
itu tidak menjadikan makhluk sombong karena marasa mampu menciptakan dan mewujudkan.
Tetapi manusia yang kreatif dan pandai bersyukur. Karena kemampuannya melakukan
sesuatu tetap dalam ciptaan Allah.
BAB III
MENGENAL IMAM-IMAM MADZHAB
Jam'iyah NU
mengenal ulama'-ulama' madzhab untuk mengikuti fatwa dan hasil ijtihatnya. Para
imam madzhab dalam bidang fiqih banyak sekali karena mujtahidnya juga banyak,,
baik mujtahid dari kalangan sahabat sampai tabi'in. Akan
tetapi pada akhir abad ke-12 H, madzhab-madzhab yang mempunyai pengikut
tinggal 11 madzhab[8],
yaitu :
1. Madzhab
imam Abu Hanifah
2. Madzhab
imam Malik
3. Madzhab
imam Syafi'i
4. Madzhab
imam Ahmad ibn Hanbal
5. Madzhab
imam Shofyan al-Tsauri
6. Madzhab
imam Shofyan bin Uyainah
7. Madzhab
imam Al-Laits bin Sa'ad
8. Madzhab
imam Ishaq ibn Rohayah
9. Madzhab
imam Ibn Jabir
10. Madzhab
imam Dawudz al-Dlohiri
11. Madzhab
imam Al-Auza'i
Nahdlatul Ulama' dengan Qanun Asasy-nya mewajibkan umatnya
untuk mengikuti madzhab 4
(empat), yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
I. Madzhab Hanafi
a. Biografi Imam Abu Hanifah
Beliau
dilahirkan di Kuffah pada tahun 80 H / 699 M. Nama lengkap beliau adalah Nu'man
bin Tsabit bin Tsauta bi Mah. Beliau tidak termasuk keturunan bangsa Arab asli,
tetapi dari bangsa 'Ajam (selain Arab ). Dikalangan kalangan ulama' fiqih
beliau dikenal dengan Abu Hanifah. Disebut demikian karena berbagai alas an,
antara lain ;(1) Abu Hanifah tergolong rajin ibadah dan bersungguh-sungguh
dalam mengerjakan kewajibannya. (2) Abu Hanifah senantiasa condong pada islam
yang benar, sebab dalam bahasa Arab " Hanif " berarti
condong.(3). Abu Hanifah termasuk orang yang cinta dengan tinta. Kata "hanifah"
dalam bahasa Irag berarti dawat atau tinta.
Sejak
kecil Abu Hanifah sangat suka pada ilmu pengetahuan. Ia pernah bertemu dan
beguru langsung dengan 7 (tujuh) sahabat Nabi SAW, yakni Anas ibn Malik,
Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abi Aufa, Watsilah bin al-Asqa' , Ma'qil bin
Yasar, Abdullah bin Anas, dan Abu Wafa'ir (Amir bin Watsilah ).
Menurut
ahli riwayat Abu Hanifah berguru kepada para ulama' yang masih tergolong
tabi'in, antara lain ; Atha' bin Abi Rabah (w.144 H), Nafi' maula ibn Umar
(w.177 H). Dibidang fiqih ia berguru kepada imam Hammad bin Abi Sulaiman (w.120
H) selama 18 tahun. Ia juga berguru kepada imam Muhammad al-Baqir, Adi bin
Tsabit, Abdurrahman bin Harmas, Amr bin Dinar, Mansur bin Mu'tamir, Syu'ba bin
Hajjaj, Ashim bin Najwad, Salamah bin Khufa'il, Imam Qatadhah, Rabi'ah bin Abi
Abdurrahman, dan lain-lain.
b. Karya Imam Abu Hanifah
Para
ulama' Hanafiyah membagi kitab-kitab imam Abu Hanifah menjadi 3 (tiga)
tingkatan. Pertama, Masail al-Ushul , Kadua,Masail al-Nawadir,
dan yang ketiga, Al-Fatawa wa al-Waqi'at .
Tingkatan
Masail al-Ushul, mencakup 6 kitab yang kemudian terkenal dengan kitab Al-Kafi. Selanjutnya disyarah oleh Imam Muhammad bin
Muhammad bin Sahal al-Sarkhasy (w. 490H) diberi nama "Al-Mabsuth" .Sedangkan
yang termasuk Masail al-Nawadir merupakan kumpulan dari kitab Hamniyyat,
Jurjaniyyat,Kaisaniyyat,ketiganya disusun oleh Imam Muhammad bin
Hasan.ditambah kitab Al-Mujarrat, oleh imam Hasan bin Ziyad. Adapun
kitab Fatawi wa al-Waqi'at tersebut merupakan modifikasi ulama' hanafiyah yang
dating kemudian, isinya merupakan pertanyaan yang berkembang saat itu.
c. Dasar
istinbath imam Abu Hanifah
1.Al-Qur'an
2.Sunnah Rasulullah dan Atsar yang masyhur.
3.Fatwa-fatwa sahabat
4.Qiyas
5.Istihsan
6.Adat yang berlaku dalam masyarakat Islam
Imam
Abu Hanifah wafat pada bulan Rajab, tahun 150 H/ 767 M dalam usia 70 tahun
dengan tidak meninggalkan keturunan, kecuali anak laki-laki bernama Hammad.
Madzhab
Hanafi tersebar dan berkembang di Syam, Iraq, India, Afganistan, Kaukaus,
Turki, Balkan,dan sebagian penduduk aturki Usmany dan Albania[9].
II. Madzhab Maliki
a.Biografi Imam Malik
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah, Hijaz pada tahun 93 H/
712 M. Nama beliau sejak kecil adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi 'Amir
al-Ashbahy. Beliau keturunan bangsa Arab. Nama Anas bin Malik ini bukanlah nama
Anas bin Malik yang terkenal sebagai sahabat Rasulullah SAW. Ayah Imam Malik
tergolong tabi'in, sedang kekeknya tergolong sahabat.
Para Ulama' yang menjadi guru Imam Malik yang paling terkenal
dan lama adalah Abdurrahman bin Harmas. Bidang fiqh beliau berguru kepada
Rabi'ah al-Ra'yi (w.136 H). Ilmu hadits berguru kepada Imam Nafi' maula Ibn
Umar (w.117 H), dan juga berguru kepada Imam Ibn Syaibah al-Zuhry (w.124 Imam
MalikH), dan lain sebagainya.
b.Karya Imam Malik
Kitab karangan Imam Malik yang sangat terkenal hingga saat ini
adalah Al-Muwattha' yang berisi hadits-hadits
dan riwayat-riwayat[10].
Kitab hadits ini dinilai sebagai kitab hadits ahkam yang paling shahih sebelum
adanya kitab shahih Bukhari dan Muslim (
dua kitab yang menjadi rujukan ulama' Ahlussunnah wa al-Jama'ah[11].
c.Dasar Istinbath Hukum
Imam Malik
Dasar-dasar hukum yang dijadikan rujukan oleh Imam Maliki
adalah sebagai berikut:
1. Al-Quran.
2. Sunnah Rasul yang dia pandang sah.
3. Ijma' para ulama ahli Madinah
4. Qiyas
5. Istislah
atau Mashalihul Mursalah (mengekallkan apa yang telah
ada karena ketiadaan yang mengubahkan hukum, atau karena sesuatu hal yang belum
diyakini. Adapun Mashalihul Mursalah
ialah memelihara tujuan syara' (agama) dengan cara menolak sesuatu yang merusak
makhluk.
Imam maliki wafat pada hari Ahad tanggal 10 Rabi'ul al-Awwal
tahun 179 H (798 M), dalam usia 87 tahun. Dimakamkan di Baqi' Madinah.
Mazhabnya tersebar dan berkembang di Maroko, Algers Tunisia, Tripoli, Libya,
juga sebagian di Irak, Palestina, Hijaz dan lain-lain.
III. Madzhab Syafi'i
a.Biografi Imam syafi'i
Imam Syafi'i dilahirkan
di Ghuzah daerah Palestina-Syam-Asqalan bulan Rajab tahun 150 H (767 M). Saat
kelahiran beliau di tahun yang sama bertepatan wafatnya Imam Hanafi di Baghdad.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi'
bin Saib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf. Beliau
keturunan bangsa Arab Quraisy dan satu marga dengan Rasulullah pada Abdul
Muththalib (kakek Nabi Saw)[12].
Imam syafi'I mempunyai
latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-Hadits dan Ahl al-Ra'yi,
karena cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan cukup belajar kepada
Imam Muhammad bin Hasan di Baghdad. Dia adalah murid senior Imam Abu Hanifah.
Metodologi istinbath
Imam Syafi'I ditulis dalam buku pertama tentang ushul fiqh berjudul Al-Risalah.
Pendapat dan fatwa fiqh Imam Syafi'I ada dua macam, yang disampaikan di Baghdad
disebut " Qaul al-Qadim" dan yang disampaikan di Masir disebut
"Qaul al-Jadid " , tentang ini semua telah ditulis dalam kitab
Al-Um [13].
Para guru imam syafii
yang terkenal di Makkah yaitu: Imam Muslim bin Khalid, Imam Ibrahim bin Sai'id,
Sufyan bin Uyainas. Di Madinah yaitu, Malik bin Anas, ditambah yang lain seperti
Ibrahim bin Muhammad, Yahya bin Hasan, Fudhail bin Tyadh dan Muhammad bin
Syafi'.
b.Karya Imam syafi'i
Kitab-kitab karangan Imam Syafi'i di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Al-Risalah berisi
tentang ushul al-fiqh
2. Al-Um
3. Ikhtilaf al-Hadis
4. Al-Musnad
5. Al-Fiqih
6. Al-Mukhtasharu al-Kabir/Shagir/al-Fara'idl
7. Al-Jami'u al-Kabir
dan lain-lain.
c.Dasar-dasar Istinbath
hukum mazhab Syafi'i.
1. Al-Quran
2. As-Sunnah
3. Ijma'
4. Qiyas
5. Istidlal
(mencari alasan berdasarkan kaidah-kaidah agama meskipun dari agama ahli kitab/
Yahudi dan Nasrani).
Imam Syafi'i wafat pada hari Kamis 29 Rajab tahun 204
H (820 M). dimakamkan di pekuburan bani Zahrah, tepatnya Qarafah Shughra di
bawah kaki gunung "Al-Muqaththam" Mesir.
Mazhab Imam Syafi'i tersebar dan berkembang di Mesir,
Palestina, Armenia, Ceylon,Persia, Tingkok, Philipina, Indonesia, Australia,
Hijaz, Kurdi, Yaman, Hadramaut, Aden dan lain-lain[14].
IV. Mdzhab Hambali
a.
Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal
Ahmad ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad bulan Rabi' al-Awwal 164
H / 780 M. Nama lengkapnya ialah Ahmad bin Muhammad al-Syaibani ( Ahmad bin
Hanbal bin Hilal al-Dzahabi al-Syaibani al-Maruzi al-Baghdadi). Nasabnya
bersambung dengan Rasulullah SAW, baik dari garis ayah ataupun ibu(yaitu pada
Nizar bin Ma'ad bin Adnan).
Ahmad ibn Hanbal belajar dan mencari ilmu agama dari guru dan
para ulama' di Baghdad, sebagai pusat para intelektual Islam. Ia berguru kepada
Ismail bin Aliyah, Hasyim bin Basyir, Hammad bin Khalid, Manshur bin Salamah,
Mudaffar bin Mudrik[15].
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ahmad ibn Hanbal belajar hadits dan fiqih
kepada Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) dan kepada Imam Syafi'i[16].
Keteguhan Ahmad ibn Hanbal memegang prinsip dan keyakinan
keagamaan menjadikan beliau mengalami hukuman penjara dan siksan dari khalifah
Al-Ma'mun yang menganut faham Mu'tazilah selama dua tahun, karena menolak
konsep filosofis Mu'tazilah bahwa Al-Qur'an adalah mahluk. Sesudah dibebaskan,
Ahmad ibn Hanbal melanjutkan kegiatannya mengajar di Baghdad sampai Al-Watsiq
menjadi khalifah (842-846 M)[17].
b.
Karya Ahmad ibn Hanbal
Kitab karangan Ahmad ibn Hanbal yg
terkenal hingga saat ini adalah, Al-Musnad Ibn Hanbal' , Tafsir
al-Qur'an, Kitab Nasikh Mansukh, Kitab al-Muqaddam wa al-Muakhkhar fi
al-Qur'an, Kitab Jawabatu al-Qur'an, Kitab al-Tarikh, Kitab Manasik al-Kabir,
Kitab al-Illah, Kitab al-Wara' , dan
Kitab al-Shalah.
c.
Dasar Istinbath Hukum Imam
Ahmad ibn Hanbal
1. Al-Qur'an
2. Sunnah
3. Ijma' Sahabat
4. Hadits-hadits Mursal dan
dlo'if
5.Istihsan
6. Sadd al-Dara'i.
7. Istishab
8. Ibthal al-Ja'l.
9.Maslahah al-Mursalah.
Ahmad ibn Hanbal wafat pada hari Jum'at 12 Rabi' alAwwal 241 H /
855 M, dalam usia 77 tahu . Ia dimakamkan di pekuburan Bab Harb di kota
Baghdad. Madzhabnya berkembang di Mesir, Bahrain, Dailam dan Rahab, sedikit berkembang
di Hijaz[18].
BAB IV
MENGENAL TASAWWUF ASWAJA AL-NAHDLIYAH
Di
dalam shariat Islam dikenal adanya penyembahan kepada Allah berupa ibadah
salat, puasa, haji, dan lain-lain. Namun menurut Harun Nasution ada segolongan
umat Islam yang belum puas dengan pendekatan diri kepada tuhan melalui ibadah
salat, puasa, dan haji. Mereka ingin lebih dekat dengan tuhan, jalan itu diberikan
oleh tasawuf.[19]
A. Pengertian
Tasawwuf
Secara harfiyah
(etimologi) tasawwuf dapat dilihat dari bebrapa macam asal usul, dibawah ini
1.
Tasawwuf berasal dari kata اهل
الصفة , yang
berarti sekelompok orang masa Rasulullah yang berdiam diri di serambi masjid,
dan mereka mengabdikan dirinya untuk ibadah pada Alloh.
2.
Berasal dari kata صفاء
, yang berarti "besih atau suci".
Maksudnya adalah orang yang mensucikan diri kepada Alloh.
3.
Berasal dari kata صف
, yang berarti " shaf ".
maksudnya orang yang ketika salat selalu berada di shaf paling depan.
4.
Kata tasawwuf dinisbatkan pada
orang-orang dari Bani Shuffah.
5.
Tasawwuf dinisbatkan dengan
kata dari bahasa Grik atau Yunani, yakni saufi ( سوفي ). Istilah ini disamakan
dengan makna kata " الحكمة " yang berarti
kebijaksanaan.
6.
Tasawwuf berasal dari kata
shaufanah, yaitu buah-buahan kecil berbulu banyak yang berada dipadang pasir.
Maksudnya orang-orangnya berpakaian sufi berbulu banyak dalam kesederhanaan.
Dalam segi shara' atau termenologi,
tasawuf adalah usaha seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat
mungkin, dengan melalui pensucian diri dan memperbanyak ibadah di bawah
bimbingan guru/syekh. Sedangkan ajaran-ajaran tasawuf yang merupakan jalan yang
harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah itu disebut Thariqah.[21]
Aswaja al-Nahdliyah mengikuti tasawwuf yang
moderat, yaitu tasawwuf Al-Ghazali dan Tasawwuf Junaidi al-Baghdadi. Hal ini
bertujuan untuk tetap bersikap tawasuth dan tetap menjalankan shariah islam
dalam kehidupan, dan tidak terjebak oleh taswwuf yang melepas diri dari
kewajiban shariah, seperti yang terdapat dalam tasawwuf al-Hallaj (al-hulul
) dengan pernyataan " ana al-haq " atau tasawwuf Ibn 'Arabi ( ittihad : Manuggaling kawulo
Gusti ).[22]
B. Tasawwuf
Ahlusunnah wa al-Jama'ah al-Nahdliyah.
1. Al-Ghozali.
Al-Ghazali, lengkapnya bernama Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, yang dilahirkan pada tahun 450
H/1058 M di Thus, wilayah Khurasan Iran yang diwarnai oleh perbedaan paham
keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami oleh mayoritas umat Islam
Sunni, juga banyak dihuni oleh orang-orang Kristen dan Islam Syiah.
Ayahnya seorang yang saleh, pecinta ilmu pengetahuan yang
sangat menyenangi ulama dan sangat rajin menghadiri majelis-majelis pengajian,
bahkan sering memberikan sesuatu dari hasil jerih payahnya kepada para ulama
sebagai ungkapan rasa simpatiknya. Ayahnya menginginkan agar putranya bisa
menimba banyak ilmu pengetahuan. Karena itu sang ayah inipun menjelang akhir
hayatnya menyerahkan kedua putranya, al-Ghozali dan Ahmad kepada salah seorang
sahabatnya, seorang sufi yang hidup sangat sederhana, sehingga rumah tangga
sufi ini menjadi lingkungan kedua yang turut membentuk kesadaran al-Ghozali.
Kedua
anak itu itu kemudian mendapat bimbingan
dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berlangsung sampai harta warisan
dari ayah mereka tiada yang tertinggal. Ketika sang sufi yang mengasuh mereka
merasa tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, ia menyarankan
agar mereka dimasukkan ke sekolah untuk memperoleh selain ilmu pengetahuan, juga santunan kehidupan sebagaimana
lazimnya ketika itu. Saat itulah al-Ghozali mulai memasuki pendidikan awal di
daerahnya di bawah asuhan Ahmad Muhammad al-Radzakani.
Sesudah
dirasa cukup, ia pergi ke Jurjan untuk menuntut ilmu pada Imam Abu Nashr
al-Isma’ili. Setelah selesai belajar di Jurjan, ia kembali lagi ke Thus untuk
menetap selama tiga tahun. Waktu itu ia memanfa’atkan kesempatan untuk
mempelajari tasawuf dan mempraktikkan ajaran-ajarannya di bawah bimbingan Yusuf
al-Nassaj.
Pengetahuan-pengetahuan
yang diperoleh di Thus belum memuaskan bagi al-Ghozali, karena itu ia pergi
untuk belajar ke Naisabur berguru pada salah seorang teolog aliran Asy’ariyyah
yang terkenal, Abu al-Ma’ali Abd al-Malik Ibn Abi Muhammad al-Juwaini yang
bergelar Imam al-Haramain. Dari madrasah di Naisabur yang al-Juwaini
bertindak sebagai tenaga pengajarnya,
al-Ghzali memperoleh ilmu kalam, mantik, hukum, retorika, ilmu
pengetahuan alam dan tasawuf.
Selama
di Naisabur al-Ghozali tidak saja belajar dengan Imam al-Haramain, akan tetapi
juga mempergunakan kesempatan belajar untuk menjadi pengikut sufi bersama Abu
al-Fadlil bin Muhammad bin ‘Ali al-Farmadi, seorang murid pamannya,
al-Qusyairi, yang ahli tasawuf. Sesudah dari Naisabur al-Ghozali lalu pergi ke
al-Askar, dengan mendapat sambutan hangat dari Perdana Menteri, karena Nizham
al-Mulk telah mengetahui kedudukan al-Ghozali yang tinggi.
Di
al-Askar ia pernah diundang untuk berdiskusi ilmiah dengan sekelompok ulama di
hadapan Perdana Menteri. Di dalam diskusi itu, Perdana Menteri melihat keluasan
dan kedalaman ilmu al-Ghozali bila dibanding dengan ulama yang lain. Setelah
penampilannya berhasil baik, Perdana Menteri menaruh simpatik kepadanya, dan
segera menawarinya untuk mengajar di Universitas yang didirikan oleh Nizham
al-Mulk di Baghdad yang lebih dikenal dengan Universitas Nizhamiyah.
Al-Ghozali kemudian berangkat ke Baghdad tahun 484 H untuk mengajar sebagai
dosen di Universitas tersebut.
Sekalipun demikian besar nikmat dan sukses
yang didapat al-Ghozali di bidang keduniaan, namun semuanya itu tidak mampu
mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan baginya. Dari segi agama dan batin, ia
gelisah dan menderita serta mengalami perasaan syak, lebih-lebih setelah
menguji pengetahuan atas dasar inderawi dan akal.
Menurut
pengakuan al-Ghozali sendiri, hampir dua bulan ia mengalami kekacauan
psikologis tanpa kemampuan menyelesaikannya. Namun melalui nur yang
diberikanoleh Allah pada hatinya, ia merasa sehat dan tenang, serta dapat
menerima kebenaran pengetahuan yang bersifat aksiomatis ( al-’adillah
al-muharrarah ), melainkan melalui nur yang disebut miftah
al-ma’arif ( kunci ma’rifat ).
Sesudah
menemukan ketenangan psikologis dan merasa ada sumber pengetahuan di atas akal,
yaitu nur yang dilimpahkan Allah secara langsung ke dalam hatinya, ia
mulai menempuh jalan tasawuf, setelah ia meyakini metode falsafah, ilmu kalam
dan kebatinan tidak mampu mengantarkannya kepada pencapaian tujuannya.
Sebaliknya ia hanya berkeyakinan bahwa jalan tasawuflah yang dapat
mengantarkannya kepada tujuan yang dimaksudkannya, yakni Allah dan kebahagiaan
akhirat
Kesan
tersebut dapat dibuktikan melalui karya intelektualnya di bidang kalam, seperti
Qawa’id al-‘Aqa’id yang kini termasuk salah satu bab dari kitab Ihya’
‘Ulum al-Din, kitab al-Arba’in fi Usul al-Din, kitabal Risalah
al-Qudsiyyah,Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Iljam al-A’wam ‘an Ilm
al-Kalam.
Di sela-sela kegiatan mengajarnya al-Ghozali juga
mempelajari filsfat dan melakukan pengujian terhadap kebenaran dalam filsafat.
Sebelum melakukan pengujiannya terhadap filsafat ia menyatakan “bahwa menentang
satu aliran (filsafat) tanpa memahami dan mengkajinya secara baik adalah
bantahan yang tidak mendasar (radd fi ‘imayah)”. Karena itu ia
bersungguh-sungguh mencari buku-buku filsafat dan mempelajarinya secara
mendalam. Dalam tempo kurang dari dua tahun secara otodidak dia sudah dapat
menguasai segala aspek filsafat, dengan dibuktikan adanya sebuah karya
intelektualnya yang berjudul “Tahafut al-Falasifah”
Selain bidang filsafat al-Ghozali juga mengkaji
doktrin-doktrin Bathiniyah yang kemudian diwujudkan dalam bentuk karyanya yang
berjudul Fadla’ih al-Bathiniyyah wa Fadla’il Mustazhhiriyyah, (kejelekan
paham Bathiniyyah dan keutamaan paham Mustazhhiriyyah). Terhadap pahan
Bathiniyyah, kritik al-Ghozali yang paling pokok adalah mengenai otoritas imam
yang ma’shum sebagai sumber pengetahuan tentang kebenaran. Al-Ghozali
sependapat dengan mereka bahwa pemberi informasi (al-mu’allim) itu perlu
bersifatma’shum, tetapi hanya sebatas pada tingkat Nabi, sesudah Nabi
orang tidak memerlukan imam yang ma’shum lagi, sebab Tuhan melalui kitab
suci telah memberi kepada manusia ukuran (mizan) dan alat
untukmengetahui kebenaran, yang oleh al-Ghozali disebutnya sebagai al-qisthas
al-mustaqim.
Selanjutnya
dalam kontek wawasan intelektual, al-Ghozali juga mendalami bidang fiqh
dan kalam. Hal ini dapat dibuktikan melalui karya tulisnya yang berjudul
Al-Wajiz (ringkasan), al-Wasith(pertengahan) dan al-Basith
(sederhana) dalam bidang fiqh, dan al-Iqtishad fi al-I’tiqad (moderasi
dalam aqidah) di bidang kalam.[23]
2. Junaidi al-Baghdadi
Dalam
kitab tadzkiratul 'Auliya', Syeikh Fariduddin ‘Aththar menjelaskan,
bahwa Syeikh Abul Qasim Al-Junayd ibnu Muhammad al-Zujaj (Junayd al-Baghdadi)
adalah putera dari seorang pedagang barang pecah belah (kaca) dari Nahawand dan
keponakan Sarri as-Saqathi, Ia juga dekat dengan Al-Muhasibi. Beliau lahir dan
besar di Irak.
Abul Qasim Al-Junayd
merupakan tokoh paling terkemuka dari mazhab Tasawuf, bahkan kelak beliau
mendapat gelar sebagai Sayyidush Shufiyah (Pangeran Kaum Sufi). Ia memerinci
sebuah doktrin teosofikal yang menentukan seluruh rangkaian latihan sufisme
ortodoks dalam Islam.
Abul Qasim Al-Junaid
merupakan pemimpin sebuah mazhab yang besar dan berpengaruh. Beliau juga
dikenal sebagai seorang mufti dalam mazhab Abu Tsaur,murid Imam Syafi’i.
Al-Junaid wafat di Baghdad pada hari Sabtu tahun 297H/910M.
Selama empat puluh
tahun, Junayd sibuk menekuni latihan sufi. Selama tiga puluh tahun, ia
mendirikan salat malam, lalu berdiri dan mengulang-ulang lafadz
"Allah" hingga fajar, kemudian ia mendirikan shalat subuh dengan
wudlu yang ia lakukan pada malam sebelumnya.
Dalam perkembangan
berikutnya, ada orang yang benci dan irihati kepada Junaidi al-Baghdadi, hingga
dia mengfitnah Junaidi dihadapan Khalifah, tetapi Khalifah tidak bias menghukum
Junaidi tanpa adanya bukti kesalahan. Kemudian sang khalifah mengirimkan seorang budak wanita yang kecantikannya tak
ada duanya. Sang Khalifah sangat mencintainya, ia membeli budak wanita itu
seharga tiga ribu dinar. Khalifah
memerintahkan agar budak wanita itu didandani dengan pakaian bagus dan
perhiasan-perhiasan mahal. Khalifah memberikan instruksi kepada budak wanita
itu, “Pergilah ke suatu tempat. Berdirilah di dekat Junaid dan perlihatkan
wajahmu. Biarkan ia melihat perhiasan dan pakaianmu. Katakan padanya, ‘Aku
memiliki harta benda yang berlimpah namun hatiku telah lelah dengan
urusan-urusan duniawi. Aku datang ke sini untuk memintamu melamarku, agar
dengan bimbinganmu aku dapat mengabdikan diriku untuk beribadah pada-Nya.
Hatiku tidak menemukan ketenangan kecuali dalam dirimu.
Budak wanita itu pergi menemui Junayd dengan
ditemani oleh seorang pelayan. Ia lalu mendekati dan menjalankan apa-apa yang
telah diinstruksikan kepadanya. Tanpa sengaja, Junaid memandang budak wanita
itu. Junayd tetap diam dan tidak menjawab. Budak wanita itu mengulangi
ceritanya. Junayd menundukkan kepalanya, lalu ia mendongak, “Ah,” seru
al-Junaidi sambil menghembuskan napasnya
ke arah budak wanita itu. Seketika budak wanita itu jatuh ke tanah dan mati.
Pelayan yang menemaninya kembali menemui Khalifah dan melaporkan apa yang telah
terjadi.
Mendengar kejadian
itu, Khalifah bangkit dan memerintah pembantunya untuk memanggil Junaidi.
Setelah Junaidi datang, Khalifah bertanya, “Wahai Syeikh, bagaimana engkau tega
membunuh seseorang yang begitu cantik?”
Junayd menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kasih sayangmu kepada orang-orang mukmin begitu besarnya, sampai-sampai engkau ingin meleyapkan empat puluh tahun kedisiplinanku yang ku isi dengan wara’ dan penyangkalan diri. Memangnya siapa aku ini? Janganlah melakukan apa yang engkau tidak sukai bagi dirimu sendiri!”
Junayd menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kasih sayangmu kepada orang-orang mukmin begitu besarnya, sampai-sampai engkau ingin meleyapkan empat puluh tahun kedisiplinanku yang ku isi dengan wara’ dan penyangkalan diri. Memangnya siapa aku ini? Janganlah melakukan apa yang engkau tidak sukai bagi dirimu sendiri!”
Setelah peristiwa itu,
urusan-urusan Junayd berjalan dengan baik. Kemasyhurannya tersebar keseluruh
penjuru dunia. Seberapapun seringnya ia disiksa, reputasinya meningkat seribu
kali lipat. Ia mulai berkhutbah. Suatu kali ia menjelaskan, “Aku tidak
berkhotbah di muka umum sampai tiga puluh wali besar mengatakan padaku bahwa
aku telah pantas untuk menyeru manusia kepada Allah.”
Dan juga Ia berkata, “Selama
empat puluh tahun aku duduk menjaga hatiku. Kemudian selama sepuluh tahun
hatiku menjagaku. Kini telah genap duapuluh tahun dimana aku tidak mengetahui
apa pun tentang hatiku dan hatiku pun tidak mengetahui apapun tentang aku.”
BAB V
MENGENAL THARIQAH AL-MU'TABARAH
Pada
abad ke-5 Hijriyah atau 13 Masehi barulah muncul thariqah sebagai kelanjutan
kegiatan kaum sufi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah thariqah
selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada
abad itu. Setiap thariqah mempunyai syaikh, kaifiyah zikir dan
upacara-upacara ritual masing-masing.Biasanya syaikh atau mursyid
mengajar murid-muridnya di asrama latihan rohani yang dinamakan rumah suluk
atau ribath.
Mula-mula
muncul Thariqah Qodiriyah yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qodir al-Jilani
di Asia Tengah Tibristan tempat kelahiran dan oprasionalnya, kemudian
berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand, India, Tiongkok. Muncul pula Thariqah Rifa’iyah di Maroko
dan Aljazair. Di susul Thariqah Suhrawardiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah,
Sudan dan Nigeria.Thariqah-thariqah itu kemudian berkembang dengan cepat
melalui murid-murid yang diangkat menjadi khalifah, mengajarkan dan menyebarkan
ke negeri-negeri Islam, bercabang dan beranting sehingga banyak sekali.[24]
Di Asia
Tenggara khususnya di Nusantara terjadi proses Islamisasi. Di duga keras bahwa
dalam proses tersebut, thariqah mempunyai peranan yang cukup penting meski
belum ada bukti yang mendukung keterlibatan pada proses awal[25].
A. Pengertian
Kata
thariqah berasal dari bahasa arab ( (طريقةyang mempunyai bentuk
prural طرق dan طرايق yang mengandung arti jalan, metode, sistem, mazhab, aliran,
haluan, keadaan.[26]
Pengertian ini membentuk dua ma'na istilah yaitu : " metode bagi ilmu jiwa
akhlak yang mengatur praktek suluk individu " dan " kumpulan sisitim
pelatihan ruh yang berjalan sebagai persahabatan pada kelompok-kelompok
persaudaraan Islam.[27]
Di Indonesia terutama di
kalangan Nahdlatul Ulama' ada kumpulan thariqah yang mu’tabarah, yaitu
thariqah yang memiliki silsilah yang bersambung sampai ke Nabi Muhammad SAW.
B. Thariqah
al-Mu'tabarah Dalam Islam
Dalam
kitab "jami' usul al-Auliya' " hal 187, disebutkan bahwa thariqah mu'tabarah ada 44
macam, yaitu :[28]
No
|
Nama Thariqah
|
No
|
Nama Thariqah
|
No
|
Nama Thariqah
|
1
|
'Umariyah
|
16
|
Rumiyah
|
31
|
Buhuriyyah
|
2
|
Naqsabandiyyah
|
17
|
Sa'diyyah
|
32
|
Haddadiyyah
|
3
|
Qadiriyah
|
18
|
Gistiyyah
|
33
|
ghaibiyyah
|
4
|
Syadziliyyah
|
19
|
Sya'baniyyah
|
34
|
Khadhiriyyah
|
5
|
Rifa'iyah
|
20
|
Kalsyaniyah
|
35
|
Syathariyyah
|
6
|
Ahmadiyyah
|
21
|
Hamzawiyyah
|
36
|
Bayumiyyah
|
7
|
Dasuqiyyah
|
22
|
Bairumiyyah
|
37
|
Malawiyyah
|
8
|
Akhbariyyah
|
23
|
Usysyaqiyyah
|
38
|
Uwaisiyyah
|
9
|
Maulawiyyah
|
24
|
Bakriyyah
|
39
|
Idrisiyyah
|
10
|
Kubrawiyyah
|
25
|
Idrusiyyah
|
40
|
Akabiral Auliya'
|
11
|
Syahrawardiyyah
|
26
|
Utsmaniyyah
|
41
|
Matbuliyyah
|
12
|
Khalwatiyyah
|
27
|
Alawiyyah
|
42
|
Sunbuliyyah
|
13
|
Jalwatiyyah
|
28
|
Abbasyiyyah
|
43
|
Tijaniyyah
|
14
|
Bakdasyiyyah
|
29
|
Zainiyyah
|
44
|
Samaniyyah
|
15
|
Ghazaliyyah
|
30
|
Isawiyyah
|
|
|
Dalam
perkembangan thariqah di atas, yang bisa sampai dan berkembang pesat di
Indonesia ada 8 thariqah , yaitu : 1. Thariqah Qadiriyah, 2. Syadziliyyah, 3.
Naqsabandiyyah, 4. Khalwatiyyah, 5. Syathariyyah, 6. Sammaniyyah, 7.
Tijaniyyah, dan 8. Thariqah Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah ( TQN )[29].
C. Thariqat al-Mu'tabarah di Indonesia
1. Thariqah Qadiriyah
a. Sejarah Thariqat
Qodiriyah
Thariqat
Qodiriyah adalah nama Thariqah yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Syekh
Muhyi al-Din Abd al-Qodir Jilani, yang terkenal dengan sebutan Syaikh Abd
al-Qodir Jilani al-ghowsts atau quthb al-awliya’.Thariqah ini
menempati posisi yang amat penting dalam sejara spiritulitas Islam karena tidak
saja sebagai pelopor lahirnya organisasi thariqah, tetapi juga cikal bakal
munculnya berbagai cabang thariqah di dunia Islam. Kendati struktur
organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah kematiannya, semasa hidup
sang Syaikh telah memberikan pengaruh yang amat besar pada pemikiran dan sikap
umat Islam. Dia dipandang sebagai sosok ideal dalam keunggulan dan pencerahan
spiritual.Namun, generasi selanjutnya mengembangkan sekian banyak legenda yang
berkisar pada aktivitas spiritualnya, sehingga muncul berbagai kisah ajaib
tentang dirinya.
Syeh
Abdul Qadir al-Jilani lahir di desa Naif, kota Gilan tahun 470 H / 1077 M.
yaitu wilayah yang terletak 150 km timur laut kota Baghdad. Ibunya bernama
Fatimah binti 'Abdullah al-Sama'I al-Husaini, ketika melahirkan Syeh Abdul Qadir al-Jilani ibunya berumur 60
tahun, suatu kelahiran yang tak lazim di jamannya. Syeh Abdul Qadir al-Jilani
meninggal di Baghdad pada tahun 561 H / 1166 M. makamnya sejak dulu hingga
sekarang tetap diziarahi khalayak ramai dari penjuru dunia.
Menurut Hujwiri, klasifikasi dan hierarki para
penerima pencerahan Ilahi terbagi pada enam tingkatan. Tingkat dasar adalah Akhyar
berjumlah 300 orang, tingkat Abdal berjumlah 40 orang, tingkat Abrar
7 orang, tingkat Autad 4 orang, Nuqoba’ 3 orang, dan yang
tertinggi adalah Quthb atau Ghawts 1 orang. Syaikh Abd al-Qodir
adalah quthbawliya’. Ibn al-A’rabi menyebut Syaikh Abd al-Qodir sebagai
wali quthb pada zamannya.
Nama
lengkap dan silsilah Syaikh Abd al-Qodir sampai ke Nabi Muhammad SAW. Adalah
Abu Muhammad Abd al-Qodir Jilani ibn Abi Shalih ibn Musa ibn Janki Dausat
(Janka Dausat) ibn Abi Abdillah ibn Yahya al-Zahid ibn Muhammad ibn Dawud ibn
Musa ibn Abd Allah al-Mahdi ibn Hasan al-Musanna ibn Hasan al-Sibthi ibn Ali
ibn Abi Thalib dan Fatimah al-Zahra’ al-Batul binti Rosulullah SAW. Silsilah
ini amat penting artinya dalam tradisi thariqah karena ‘darah biru’ spiritual
harus bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Di samping itu, bersambungnya
silsilah tersebut merupakan indikator bahwa Thariqah Qadiriyah tersebut
dianggap muktabar.
Masa
Abd al-Qodir al-Jilani hidup, dunia Islam berada dalam kekacauan dan
peperangan. Setelah Sultan Malik Syah yang meninggal tahun 485/1091, perebutan
kekuasaan berkecamuk di Bani Saljuk, sehingga muncul anarki dan kekacauan.
Peperangan antara kelompok di kalangan Bani Saljuk memperlemah kesultanan
tersebut.Di samping itu factor yang memperparah keadaan adalah berkembangnya
kelompok Assasin di bawah pimpinan Hasan ibn Sabbah.Ribuan orang yang sangat
fanatik mendukung Sabbah.Sabbah dikenal selaku pemimpiin yang bengis dan
mengobarkan peperangan terhadap lawannya. Faktor lain adalah mulainya perang
Salib I 489/1095-493/1099. Pasukan Kristen berhasil menduduki Jerussalem tahun
492/1099, yang menimbulkan kematian ribuan kaum Muslim dan Yahudi. Berita
tentang bencana dan gelombang pengungsi membanjiri Baghdad, yang penduduknya
sedang bermusuhan juga. Di sisi lain, para pemimpin Saljuk sibuk dengan
perebutan kekuasaan di kalangan mereka sendiri, sedangkan kaum Kristiani bebas
merampas dan merusak negeri. Waktu itu tidak ada ketenangan dan keamanan.[30]
b. Perkembangan Thariqat
Qodiriyah.
Thariqat Qodiriyah sangat mungkin berkembang dan bahkan
membuat cabang baru karena seorang mursyid diberi wewenang untuk
mengembangkan amalan wirid tersendiri dan tidak lagi terikat metode riadloh yang diberikan oleh mursyid
terdahulu. Karena itu tidak heran kemudian thariqah ini berkembang pesat
diberbagai wilayah. Bahkan tidak jarang juga didapati para mursyid dan
pengikutnya memakai namanya sendiri sebagai identitas thariqah yang
dikembanhkannya, seperti thariqah Khalwatiyyah dan Naqsabandiyyah.
2. Thariqat Syadliliyah
a. sejarah Thariqah
Syadziliyah
Thariqah
Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu
al-Hasan al-Syadzili. Selanjutnya nama thariqah ini dinisbahkan kepada namanya.
Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan thariqah-thariqah
yang lain.
Secara
lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin Abd al-Jabbar Abu al-
Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang
garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan dengan demikian berarti juga
keturunan Siti Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad SAW. Al-Syadzili sendiri
pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut : ‘Ali bi Abdullah bin
Abd Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa bin
Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Menurut
Ibn Atha’illah, ada perbedaan pendapat mengenai nasab Abu al-Hasan al-Syadzili.
Murid-murid dan para pecintanya menasabkannya kepada orang-orang terhormat dan
menyatukan nasabnya kepada al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, meskipun mereka
masih berbeda pendapat tentang nama nenek moyangnya apakah al-Hasan atau
al-Husain? , Ada yang menasabkannya bukan kepada al-Hasan. Al-Jami’ misalnya,
menasabkan al-Syadzili kepada al-Husain bin Abi Thalib, dan bukan kepada
al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Dia
dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun
573 H, pada saat dinasti al-Muwahhidun mencapai titik nadinya. Adapun mengenai
tahun kelahiran al-Syadzili sebenarnya masih belum ada kesepakatan. Beberapa
penulis berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut : Siraj al-Din Abu Hafsh
menyebut tahun kelahirannya pada 591 H/1069 M, Ibn Sabbagh menyebut tahun
kelahirannya pada 583 H/ 1187 M, dan J. Spencer Trimingham mencatat tahun kelahiran
al-Syadzili pada 593 H/ 1196 M.
Orang-orang
yang pernah bertemu menerangkan bahwa al-Syadzili mempunyai perawakan badan
yang menarik, bentuk muka yang menunjukkan keimanan dan keikhlasan, warna
kulitnya yang sedang, serta bentuk badannya agak panjang dan begitu pula bentuk
mukanya agak panjang juga. Jari-jarinya langsing seakan seperti jari-jari orang
Hijaz.
Orang
bertanya mengapa ia dinamakan al-Syadzili padahal ia bukan lahir di desa
Syadzili. Ia menjawab bahwa pertanyaan seperti itu pernah ditanyakan pada Tuhan
dalam fananya. Konon Tuhan mengatakan, “Ya Ali, Aku menamakan engkau
dengan nama al-Syadz yang artinya jarang, karena keistimewaannya dalam
berhidmat kepada-Ku”.
Pendidikannya dimulai dari kedua orang tuanya, dan kemudian
dilanjutkan ke pendidikan lebih lanjut, yang mana di antara guru kerohaniannya
adalah ulama besar ‘Abd al-Salam ibn Masyisy (w. 628 H/1228 M) yang juga
dikenal sebagai “Quthb dari Quthb paraWali”, seperti halnya
Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani (w.561 H/1166 M).
Setelah al-Syadzili belajar beberapa lamanya di Tunis, ia
pergi ke Negara-negara Islam sebelah Timur. Di antaranya mengunjungi Makkah dan
melaksanakan ibadah haji beberapa kali, kemudian dari sana ia bertolak ke Irak.
Al-Syadzili menceritakan “Tatkala aku masuk ke Irak, pertamakali aku bergaul
dengan Abu Fath al-Wasithi. Di Arab terdapat banyak Syaikh yang bersedia
mengajar. Ketika aku minta ditunjukkan guru yang berkedudukan quthb, Abu
Fath al-Wasithi mengatakan kepadaku
bahwa guru yang aku cari itu ada di negeriku sendiri. Maka aku kembali ke
Maghribi. Setelah itu, aku bertemu dengan guruku Abd al-Salam ibn Masyisy, yang
sedang bertapa di sebuah gunung. Aku segera mandi pada suatu mata air di bawah
gunung itu. Ketika aku keluar dari dalam telaga mata air itu, aku merasa ilmu
dan amalku sudah bertambah. Aku segera mendaki gunung itu untuk menemui guruku.
Ia lalu berkata, “Marhaban ya Ali”. Kemudia ia mencerikan panjang lebar tentang
silsilahku sampai kepada Rosulullah SAW".
Dengan demikian al-Syadzili mempunyai dua guru spiritual,
karena sebelumnya telah mendapatkan pendidikan dari Abu Abdillah M. Ibn
Kharazim (w.633 H/ 1236 M). Baik Abd al-Salam ibn Masyisy maupun Abu Abdullah
M. Ibn Kharazim adalah murid dari Abu
Madyan. Beliau adalah Abu Madyan Syu’aib ibn al-Husain (1116-1198), lahir di
desa Seville. Kemudian pergi ke Fez, Maroko dan mendalami tasawuf di sana.
Hampir seluruh sufi Maghribi terpengaruh olehnya dan mempunyai jalur silsilah
kepadanya. Madyan pernah mempelajari dan menghafal, antara lain kitab Ihya’
‘Ulum al-Din karya al-Ghozali, dan kemudian berikutnya ia mewajibkan kepada
para muridnya untuk mempelajari kitab
tersebut. Pada saat pergi haji ke Makkah ia bertemu dengan Syaikh Abd al-Qodir
al-Jilani kemudian belajar kepadanya, dan memandangnya sebagai Syaikh yang luar
biasa.
Adapun kitab-kitab tasawuf yang pernah dikaji oleh
al-Syadzili dan di kemudian hari ia ajarkan kepada muridnya, antara lain :Ihya’
‘Ulum al-Din karya Abu Hamid al-Ghozali, Qutb al-Qulub karya Abu
Thalib al-Makki, Khatm al-Auliya’ karya al-Hakim al-Tirmidzi, al-Mawaqif
wa al-Mukhathabah karya Muhammad ‘Abd al-Abbar, an-Nafri al-Syifa’
karya Qodhli ‘Iyadh, al Risalah karya al-Kusyairi, dan al-Muharrar
al-Wajiz karya Ibn Athiah..
Al-Syadzili dipandang sebagai seorang wali yang keramat. Di
antara ceritanya bahwa pada suatu mimpi pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW
yang berkata kepadanya. “Hai Ali ! Pergilah engkau masuk ke negeri Mesir di
sana engkau akan mendidik empat puluh orang shiddiqin”.Oleh karena hari
sangat panas Al-Syadzili konon mengeluh dengan berkata “Ya Rasulullah! Hari sangat panas dan
terik”.Nabi berkata “Ada awan yang akan memayungi kamu!’ aku berkata pula Aku
takut akan kehausan” Nabi menjawab “Langit akan menurunkan hujan untukmu setiap
hari”.Kemudian menjanjikanku dalam perjalanan dalam tujuh puluh keramat.
b.
Perkembangan Thariqah Syadziliyah.
Thariqah Syadziliyah memulai
keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahhidun, yakni hafsiyyah di
Tunisia. Kemudian tumbuh subur di Mesir dan timur dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk.
Sepeninggal al-Syadzili, kepemimpinan Thariqah Syadziliyah diteruskan oleh Abu
al-Abbas al-Mursi ( Ahmad ibn Umar ibn Ali al-Anshari al-Mursi, lahir di
Mursia, Sepanyol pada 616 H/ 1219 M ) yang ditunjuk langsung oleh al-Syadzili.
Para tokoh Thariqah Syadziliyah pada
awal tidak hanya menaruh perhatian pada pengajaran dan praktik tasawuf saja,
tetapi juga pada masalah-masalah aqidah dan hukum Islam. Hal ini karena
al-Syadzili sangat menekankan pentingnya pengetahuan agama bagi para pengikutnya.
Dalam bidang hukum, para pengikut
Thariqah Syadziliyah awal mengikuti madzhab Malikiyah, hal ini bukan hanya
al-Syadzili bermadzhab Maliki, akan tetapi juga karena daerah Maghrib memang
diwarnai oleh madzhab Maliki. Ketika pusat penyebaran Thariqah Syadziliyah
berpindah ke Alexandria Mesir, di daerah ini juga penduduknya berpaham
Malikiyah.
Dalam perkembangan berikutnya muncul
cabang dari Thariqah Syadziliyah. Pada abad ke-8 H/14 M di Mesir muncul sebuah
cabang yang Thariqah Syadziliyahdiberi nama Wafaiyyah yang didirikan oleh Syams
al-Din Muhammad bin Ahmad Wafa' ( w. 760 H/ 1359 M) yang juga terkenal dengan bahr
al-Shafa'.
Di samping itu, muncul cabang
lainnya yaitu Hanafiyyah, Jazuliyyah, Nashiriyyah, 'Isawiyyah, Tihamiyyah,
Darqawiyyah, dan sebagainya. Mereka muncul akibat penyesuaian dan adaptasi
kembali pesan-pesan asli Thariqah Syadziliyah. Contoh saja munculnya Thariqah
Jazuliyyah yang berasal dari imam terkenal, al-Jazuli (w. 875 H/ 1470 M) salah
satu wali utama di Marakesh. Jazuliyah tampaknya memunculkan diri sebagai
pengejawantahan dari ketaatan yang sangat kuat terhadap Nabi Muhammad. Hal ini
terlihat dalam lantunan salawat Nabi ciptaannya yang terkenal dengan
sebutan Dalail al-Khairat. Saat itu substansi spiritual Maroko
amat membutuhkan simbol yang kuat untuk membuatnya kembali mendedikasikan diri
pada akar kesejarahan, dan sumber yang sanggup menggugah kebangkitan itu adalah
kecintaan kepada Nabi.
Diantara murid dan penyebar Thariqah
Syadziliyah yang terkenal adalah Ibn 'Atha'illah al-Iskandari (al-Sukandari)
yang juga sebagai musannif dari kitab al-Hikam, lahir di Mesir
sekitar abad 7 H/ 13 M dan meninggal tahun 709 H/ 1309 M.
Murid Syadziliyah lain adalah Ibn Abbad al-Randa, ia
mengenal tasawuf dari guru-guru hukumnya yang juga sufi yang mengajarkan
karya-karya klasik seperti Qut al-Qulub al-Makki dan ihya' ulum
al-Din al-Ghazali. Dan akhirnya ia memutuskan bergabung dan mendukung
Thariqah Syadziliyah. Diantar karyanya adalah kitab Tanbih, syarh
al-Hikam ibn 'Athaillah, rasail al- Kubra dan rasail al-Sughra.[31]
3.
Thariqat Naqsyabandiyah.
a.
Sejarah Thariqah Naqsyabandiyah
Pendiri Thariqah Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka
tasawuf terkenal yakni Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhori
Naqsyabandi (717H/1318M-791H/1389M), dilahirkan di sebuah desa Qoshru Arifah,
kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. Ia berasal dari
keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar "syah"
yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual.
Setelah ia lahir segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi yang
menerimanya dengan gembira. Ia belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika
berusia 18 tahun. Kemudian ia belajar ilmu thariqah pada seorang quthb
di Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w 771/1371). Kulal adalah seorang
khalifah Muhammad Bab al-Samasi. Dari Kulal inilah ia pertama belajar thariqah
yang didirikannya. Selain itu Naqsyabandi pernah juga belajar pada seorang arif
bernama al-Dikkirani selama sekitar satu tahun. Ia pun pernah bekerja untuk
Khalil penguasa Samarkand, kira-kira selama dua belas tahun. Ketika sang
penguasa digulingkan pada tahun 748 H/1347 M ia pergi ke Ziwartun. Di sana ia
menggebalakan binatang ternak selama tujuh tahun, dan tujuh tahun berikutnya
dalam pekerjaan perbaikan jalan. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pendidikan
dan pembinaan mistisnya untuk memperdalam sumber-sumber rasa kasih sayang dan
cinta kepada sesama manusia serta membangkitkan perasaan pengabdian dalam
memasuki lingkungan mistis.
b.
perkembangan Thariqah Naqsyabandiyah
Thariqah Naqsyabandiyah pertamakali
berdiri di Asia Tengah, kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan
India. Baha'uddin Naqsabandi sebagai pendiri thariqah ini, dalam penyebarannya
,mempunyai 3 khalifah utama, yaitu : Ya'kub Carkhi, 'Ala'uddin Aththar dan
Muhammad Parsa.
Penyebaran Thariqah Naqsyabandiyah
memasuki wilayah India (yang kemudian berpengaruh ke Indonesia ) sekitar tahun
abad 10 H/ 16 M tepatnya pada tahun 1526 pada waktu India ditaklukkan oleh
Babur, pendiri kekaisaran Mongol.
Penyebaran Thariqah Naqsyabandiyah di
Nusantara mengalami pasang surut, hal ini disebabkan oleh beberapa factor,
diantaranya adalah gerakan pembaharuan dan pilitik. Penaklukan Makkah oleh
'Abdul Aziz bin Sa'ud pada tahu 1924 berakibat besar terhambatnya perkembangan
Thariqah Naqsyabandiyah karena sejak saat itu kepemimpinan Makkah dipegang oleh
Wahabi.
Syekh Yusuf al-makasari (1626-1699)
merupakan orang pertama yang memperkenalkan Thariqah Naqsyabandiyah di
Nusantara[32],
ia menerima ijazah dari 'Abd al-Baqi' di Yaman, kemudian mempelajari thariqah
ketika di Madinah di bawah bimbingan Syekh Ibrahim al-Kurani. Kemudian Thariqah
Naqsyabandiyah menyebar ke pelosok-pelosok nusantara seperti di Riau yang di
bawa oleh Muhammad Yusuf, Pontianak, Madura, Minagkabau, Jawa Tengah dan
kemudian tersebar ke beberapa daerah Jawa yang lain seperti Rembang, Blora,
Banyu Mas-Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur bagian utara, Kediri, Blitar, Dll.
4.Thariqah Khalwatiyah
Thariqah Khalwatiyah di Indonesia banyak dianut oleh suku
Bugis dan Makasar di Sulawesi Selatan, atau di tempat-tempat lain di mana suku
itu berada, seperti di Riau, Malaysia, Kalimantan Timur, Ambon dan Irian Barat.
Nama Khalawatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang
Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf al-Khalwati (tabarruk terhadap Muhammad (Nur)
al-Khalwati al-Khawarizmi (w 751 H / 1350 M)) yang sampai sekarang masih sangat
dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tharekat ini yang hadir
bersama. Keduanya dikenal dengan nama Tharekat Khalwatiyah Yusuf dan
Khalwatiyah Samman. Pengikut kedua cabang tharekat ini secara keseluruhan
mencakup 5 % dari penduduk provinsi yang berumur di atas 15 tahun, pengikut
yang berada di Maros mencapai dua pertiga dari jumlah penduduk dewasa di daerah
tersebut.
Thariqah Khalwatiyah Yusuf didasarkan kepada nama Syaikh
Yusuf al-Makassari dan Thariqah Khalwatiyah Samman diambil dari nama seorang
sufi Madinah abad ke-18 Muhammad al-Samman. Kedua cabang Tharekat Khalwatiyah
ini muncul sebagai thariqah yang sama sekali berbeda, masing-masing berdiri
sendiri, tidak terdapat banyak kesamaan selain kesamaan nama. Terdapat berbagai
perbedaan dalam hal amalan, organisasi dan komposisi sosial
pengikutnya.Tharekat Khalwatiyah Yusuf dalam berdzikir mewiridkan nama-nama
Tuhan dan kalimat-kalimat singkat lainnya secara sirr dalam hati,
sedangkan Thariqah Khalwatiyah Samman melakukan dzikir dan wiridnya
dengan suara keras dan ekstratik. Tharekat Khalwatiyah Samman sangat terpusat,
semua gurunya tunduk kepada pimpinan pusat di Maros, sedangkan Thariqah
Khalwatiyah Yusuf tidak mempunyai pimpinan pusat.
Cabang-cabang lokal Thariqah Khalwatiyah Samman sering kali
memiliki tempat ibadah sendiri (mushalla, langgar) dan cenderung mengisolasi
diri dari pengikut tharekat lain, semantara pengikut Khalwatiyah Yusuf tidak
mempunyai tempat ibadah khusus dan bebas bercampur dengan masyarakat yang tidak
menjadi anggota tharikah. Anggota Tharikah Khalwatiyah Yusuf banyak berasal
dari kalangan bangsawan Makasar termasuk penguasa kerajaan Gowa terakhir Andi
Ijo Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidid (berkuasa 1940-1960). Thariqah
Khalwatiyah Samman lebih merakyat baik dalam hal gaya maupun komposisi sosial,
sebagian besar pengikutnya orang desa.
b.Perkembangan
Thariqah Khalwatiyah
Al-Makasari ketika di Banten mulai
mengajarkan thariqah di kalangan istana Banten terutama kepada putra mahkota (
Sultan Haji)serta kalangan prajurit dari Sulawesi Selatan. Tetapi di Banten
thariqat Khalwatiyah tidak berkembang karena al-Makasari dianggap sebagai lawan
politik oleh Sultan Haji.
Penyebaran thariqah Khalwatiyah
Yusuf di Sulawesi Selatan dilakukan oleh seorang buta yang merupakan salah satu
murid dari al-Makasari bernama 'Abd al-Basyir al-Dharir al-Khalwati, lebih
dikenal sebagai Tuang Rappang I Wodi.[33]
5.
Thariqah Syattariyah
a.
Sejarah Thariqah Syattariyah
Nama Syattariyah dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abd Allah
al-Syattari (w 890H / 1485 M) seorang ulama yang masih memiliki hubungan
kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu
Hafsh, ‘Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M) ulama sufi yang mempopulerkan
Thariqat Suhrawardiyah, sebuah thariqah yang awalnya didirikan oleh pamannya
sendiri. Diya' al-Din Abu Najib al-Suhrawardi (490-563 H / 1079-1168 M).
Jika
ditelusuri lebih awal lagi, thariqah ini sesungguhnya memiliki akar keterkaitan
dengan tradisi Transixiana, karena silsilahnya terhubungkan kepada Abu Yazid al-‘Isyqi,
yang terhubungkan lagi kepada Abu Yazid al-Bustami (w.260H / 873 M) dan Imam
Ja’far al-Shadiq (w.146 H / 763 M). Tidak mengherankan kemudian jika thariqah
ini dikenal dengan nama Thariqah ‘Isyqiyah di Iran, atau Thariqah Bistimiyah di
Turki Utsmani, yang sekitar abad ke-5 cukup populer di wilayah Asia Tengah,
sebelum akhirnya memudar dan pengaruhnya digantikan oleh Thariqah
Naqsyabandiyah.
Thariqah
‘Isyqiyah atau Bistamiyah tersebut mengalami kebangkitannya kembali setelah
Syah Abd Allah al-Syattar mengembangkannya di India, dan menyebutnya sebagai
Thariqah Syattariyah. Sejak itu Thariqah Syattariyah selalu dihubungkan dengan
jenis tasawuf India, kendati nama Abu Yazid al-‘Isyqi dan Abu Yazid al-Bustami
tetap menjadi sandaran dalam tradisi silsilahnya untuk menghubungkan sampai
kepada Imam Ja’far al-Shadiq dan akhirnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam
konteks India sendiri, Thariqah Syattariyah – seperti halnya juga thariqah lain
yang berakar di India, yaitu Thariqah Khisytiyah, Thariqah Suhrawardiyah,
Thariqah Firdausiyah dan Thariqah Qadiriyah –muncul ketika berbagai gerakan
keagamaan lebih menfokuskan misinya untuk melakukan ekspansi dakwah Islam
kepada kalangan non muslim. Di India gerakan ekspansi keagamaan semacam ini
merupakan periode awal dari keseluruhan gerakan keagamaan, yang oleh para
sarjana umumnya dibagi ke dalam empat kategori: pertama, gerakan
“ekspansi” keagamaan dan kemasyarakatan, yang terjadi sekitar abad 6 H/ 12 M
hingga abad 10 H/16 M., kedua, gerakan “reformasi” keagamaan dan
kemasyarakatan, yang terjadi sekitar abad 11 H/17 M, ketiga, masa
“regenarasi” yang terjadi pada abad 12 H/18 M, dan terakhir
adalah masa “reorentasi” yang terjadi pada abad -19.
Sebagai
sebuah gerakan ekspansi keagamaan, Thariqah Syattariyah pada periode ini lebih
diarahkan pada perjuanag untuk meningkatkan nilai moral dan spiritual melalui
penyebaran berbagai ajaran Islam. Dan dalam upayanya ini, Syah Abd Allah
al-Syattar beserta para pengikutnya mengembangkan kecenderungan untuk
beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat
setempat yang masih banyak dipengaruhi ajaran atau ritual Hindu.
b.
Perkembangan Thariqah Syattariyah
Awal perkembangan Thariqah Syattariyah di wilayah
Melayu-Indonesia tidak dapat dipisahkan dari masa kembalinya Abdul Rauf
al-Sinkili dari Haramain pada tahun 1661 M, setahun setelah guru utamanya
al-Qusyasyi wafat. Di Aceh al-Sinkili segera menjadi pusat perhatian, baik dari
kalangan masyarakat maupun istana, bahkan ia dipercaya oleh Sultanah Safiyatuddin
( 1645-1675) untuk menjadi Qadli Malik al-Adil.
Diantara murid al-Sinkili yang paling terkemuka
diantaranya adalah Syekh Burhan al-Din dari Ulakan, Pariaman Sumbar dan Syekh
Abd al-Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya Jabar. Kedua murid al-Sinkili ini berhasil
melanjutkan dan mengembangkan silsilah Thariqah Syattariyah, dan menjadi
sentral di daerahnya masing-masing.[34]
6. Thariqah Sammaniyah.
a. sejarah Thariqah
Sammaniyah
Thariqah
Sammaniyah didirikan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Karim al-Madani al-Syafi’I
al-Samman (1130-1189/1718-1775). Ia lahir di Madinah dari keluarga Quraisy. Di
kalangan murid dan pengikutnya ia lebih dikenal dengan nama al-Sammani atau
Muhammad Samman (dalam tulisan ini akan disebut sebagai Syaikh Samman). Sambil
mengajar di Sanjariyah, tampaknya Syaikh Samman banyak menghabiskan hidupnya di
Madinah dan tinggal di rumah bersejarah milik Abu Bakar al-Shiddiq.[35]
Syaikh
Samman sebenarnya tidak hanya menguasai bidang thariqah saja tetapi
bidang-bidang ilmu Islam lainnya.Ia belajar hukum Islam kelima ulama fiqih
terkenal : Muhammad al-Daqqaq, Sayyid ‘Ali Al-Aththar, ‘Ali al-Kurdi, ‘Abd
al-Wahhab al-Tanthawi (di Makkah) dan Said Hilal al-Makki. Ia juga pernah
berguru ke Muhammad Hayyat, seorang muhaddits dengan reputasi lumayan di
Haramayn dan diinisiasi sebagai penganut Thariqah Naqsyabandiyah. Selain Samman
yang berguru ke Muhammad Hayyat ada juga Muhammad bin Abd al-Wahhab, seorang
penentang bid’ah dan prakti-praktik syirik serta pendiri wahabiyah.
b. Perkembangan Thariqah
Sammaniyah
Pengikut Thariqah Sammaniyah yang paling banyak sampai
sekarang ada di Sulawesi Selatan. Pembawa Thariqah Sammaniyah ini adalah
Abdullah al-Munir dan dikembangkan oleh putranya Muhammad Fudlail (w.1859 M) di
kabupaten Barru. Penyebaran lebih lanjut dilakukan oleh Abdul Razaq (w.1902) di
kabupaten Maros, serta oleh keturunannya hingga sekarang.
Selain di Sulawesi selatan, Thariqah Sammaniyah juga
dikembangkan di Kalimantan Selatan. Daerah yang merupakan asal dari M.Arsyad
al-Banjari yang menjadi murid Syekh Samman.
7. Thariqah Tijaniyah
a.Sejarah Thariqah
Tijaniyah
Thariqah
Tijaniyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani (1150-1230
H/1737-1815M) yang lahir di ‘Ain Mahdi Aljazair Selatan dan meninggal di Fez
Maroko, dalam usia 80 tahun Syaikh Ahmad Tijani diyakini oleh kaum Tijaniyah
sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak
keramat, karena didukung oleh factor genealogis, tradisi keluarga, dan proses
penempaan dirinya.
Menurut
pengakuannya, Ahmad Tijani memiliki nasab sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Silsilah dan garis nasabnya adalah Sayyid Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar bin
Ahmad bin Muhammad bin Salim bin al-‘Idl bin Salim bin Ahmad bin ‘Ali bin Ishaq
bin Zain al-Abidin bin Ahmad bin Abi Thalib, dari garis Siti Fatimah al-Zahra’
biti Muhammad Rasulullah SAW.
Ahmad
Tijani lahir dan dibesarkan dalam lingkungan tradisi keluarga yang taat
beragama. A. Fauzan Fatullah membagi riwayat hidup Syaikh Ahmad Tijani ke dalam
beberapa periode:(1) periode kanak-kanak (sejak lahir (1150M)-usia 7 tahun ,(2)
periode menuntut ilmu (usia 7 tahun – belasan tahun),(3) periode sufi (usia
21-31 tahun),(4) periode iyadhah dan mujahadah (usia31-46 tahun
),(5) periode al-Fath al-Akbar (tahun 1196H, dan (6) periode pengangkatan
sebagai wali al-khatm (tahun 1214H) pada bulan Muharram 1214 H mencapai al-quthbaniyah
al-‘uzm, dan pada tanggal 18 Safar 1214 H mencapai wali al-khatm wa
al-maktum. Ketika memasuki usia dewasa ia tenggelam dalam dunia sufi
sehingga dapat mencapai derajat wali tertinggi.
b. Perkembangan Thariqah
Tijaniyah
Kapan Thariqah Tijaniyah masuk ke Indonesia tidak
diketahui secara pasti. Tetapi ada dua fenomena yang menunjukkan gerakan awal
Thariqah Tijaniyah ini, yaitu kehadiran Syekh 'Ali bin Abdllah al-Thayyib, dan
adanya pengajian Thariqah Tijaniyah di pesantren Buntet Cirebon.
Berdasarkan kehadiran Syekh 'Ali bin Abdllah al-Thayyib
ke pulau Jawa, maka Thariqah Tijaniyah ini diperkirakan dating ke Indonesia
pada awal abad ke-20 M ( antara 1918 dan 1921 M). Thariqah Tijaniyah pada
awalnya berpusan di pesantren Buntet di desa Martapada Kulon. Pesantren ini
dipimpin oleh lima bersaudara, diantaranya adalah KH. Abbas sebagai saudara
tertua yang menjabat sebagai ketua yayasan dan sesepuh pesantren, dan KH.Anas,
adik kandungnya.
Dari Buntet, kemudian Thariqah Tijaniyah menyebar luas ke
daerah-daerah pulau Jawa melalui murid-murid pesantren Buntet. Di Jawa Timur
sendiri Thariqah Tijaniyah penyebarannya melalui KH. Umar Baidlowi yang berasal
dari Syekh Muhammad bin Yusuf, Cirebon. Kemudian melalui KH.Mukhlas Thariqah
Tijaniyah mnyebar lagi ke Probolingga ; melalui KH. Musthafa menyebar ke
Sidoarjo ;melalui KH.Mahdi menyebar ke Blitar, dan daerah lainnya.[36]
8. Thariqah Qadiriyyah wa al-Naqsyabandiyah (TQN) dan
asal-usulnya.
a. Sejarah Thariqah
Qadiriyyah wa al-Naqsyabandiyah
Thariqah
Qadiriyyah Naqsyabandiyah ialah sebuah thariqah gabungan dari Thariqah
Qadiriyah dan Thariqah Naqsyabandiyah (TQN). Thariqah ini didirikan oleh Syaikh
Ahmad Khatib Sambas (1802-1872 M) yang dikenal sebagai penulis kitab Fath
al-‘Arifin. Sambas adalah nama sebuah kota di sebelah utara Pontianak
Kalimantan Barat. Syaikh Naquib al-‘Attas mengatakan bahwa TQN tampil sebagai
sebuah thariqah gabungan karena Syaikh Sambas adalah seorang syaikh dari kedua
thariqah dan mengajarkannya dalam satu versi yaitu mengajarkan dua jenis dzikir
sekaligus yaitu dzikir yang dibaca dengan keras (jahar) dalam Thariqah
Qadiriyah dan dzikir yang dilakukan di dalam hati (khafi) dalam Thariqah
Naqsyabandiyah.
Sesudah
belajar pendidikan agama dasar di kampungnya Syaikh Sambas berangkat ke Makkah
pada usia Sembilan belas tahun untuk meneruskan setudinya dan menetap di 1289 H
/ 1872 M. di Makkah beliau belajar ilmu-ilmu Islam termasuk tasawuf, dan
mencapai posisi yang sangat dihargai diantara teman-teman sejawatnya, dan
kemudian menjadi seorang tokoh yang berpengaruh di seluruh Indonesia. Diantara
gurunya adalah Syech Daud bin Abd Allah bin Idris al-Fathani (w sekitar 1843 M
), seorang alim besar yang juga tinggal di Makkah, yaitu Syekh Syam al-Din,
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812 M) dan bahkan menurut sebuah sumber
syekh Abd al-Samad al-Palimbani (w. 1800 m ). Dari semua murid Syekh Syamsuddin,
Ahmad Khatib Sambas mencapai tingkatan tertinggi dan kemudian ditunjuk sebagai Syekh
Mursyid Kamil Mukammil.
b. Perkembangan Thariqah
Qadiriyyah wa al- Naqsyabandiyah.
Pengembangan Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyah yang
kelihatannya baru dikenal di Asia Tenggara, memang bermula dari kitab fathul
'Arifin, walaupun murid Syekh Sambas yang utama yaitu syekh Abdul Karim
Banten, tampaknya tidak mengembangkan TQN secara luas, namun generasi
berikutnya terutama di TQN Jawa, Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyah berkembang
pesat, bahkan berkembang sampai luar Jawa, seperti Lampung, Palembang, Medan,
Pontianak, Bali, Lombok. Bahkan sampai meluas ke luar Indonesia, seperti
Singapura, Malaisia, dll.
Zamakhsyari Dhofier menyebutkan bahwa pada tahun tujuh
puluhan, empat pusat utama TQN di Jawa, yaitu : Rejoso Jombang dibawah pimpinan
Kiai Tamim , Mranggen dipimpin kiai Muslih, Suryalaya Tasikmalaya dipimpin oleh
KH. Shohibul Wafa Tajul 'Arifin (Abah Anom), dan Pagentongan Bogor dipimpin
oleh Kiai Thohir Falak.
c. Thariqah Qadiriyyah
Naqsyabandiyah di Madura dan Rejoso Jawa Tinur
Di
Madura sekarang ini tiga thariqah yang aktif yaitu Naqsyabandiyah, TQN dan
Tijaniyah sekitar tahun 1920 an, TQN sudah tersebar di pulau itu walaupun
banyak ulama di sana sudah mengikut Naqsyabandiyah. Seorang khalifah dari
Syaikh Sambas yang beasal dari Madura bernama Ahmad Hasbullah telah sukses
mengembangkan TQN di kalangan orang Madura di luar pulau itu yaitu Rejoso.TQN
di Madura mengalami kemunduran di beberapa decade terakhir. Salah seorang
keturunnan Kiai Kholil Bangkalan, K.H. Abdullah Schl menjelaskan bahwa banyak
pimpinan Thariqah Naqsyabandiyah dan TQN telah berkunjung dan meminta ijazah
dari Kiai Kholil, tetapi beliau berdiam diri tentang thariqah yang sebenarnya
diikuti oleh Kiai Kholil. Kiai Kholil sendiri belajar dan tinggal di Makkah.
Beliau mempelajari tasawuf, tata bahasa Arab dan fiqih dari Syaikh Nawawi
Banten, Syaikh Abd al-Karim Banten dan Syaikh Mahfudz Termas (w. 1918), tetapi
Unang Sunarjo menerangkan bahwa Syaikh Kholil Bangkalan adalah salah seorang
khalifah Syaikh Abd al-Karim Banten. Terlepas dari kebenaran informasi di atas
yang jelas nama Kiai Kholil Bangkalan selalu muncul dalam seyiap pembahasan
tentang wali, keramat dan thariqah di Indonesia. Melalui pencapaian
spiritualnya Syaikh Kholil telah berhasil melahirkan murid-muridnya menjadi
ulama besar. Di antaranya adalah Hadrat K.H.M. Hasyim Asy’ari (w. 1947), Tebu
Ireng Jombang, Kiai Manaf Abd al-Karim Lirboyo Kediri, Kiai Muhammad Shiddiq
Jember, Kiai Munawir (w. 1942) Krapyak Yogyakarta, Kiai Ma’sum (1870-1972)
Lasem Rembang, Abdullah Mubarrok (w. 1956) Suryalaya Tasikamlaya, Kiai Wahab
Hasbullah (1888-1971) Tambak Beras Jombang, Kiai Bisri Samsuri (1886-1980)
Denanyar Jombang dan Kiai Bisri Mustofa (1915-1977).
Thariqah
Qadiriyah Naqsyabandiyah Rejoso berpusat di Pondok Pesantren Darul Ulum.Dikenal
sebagai sebuah pesantren bergengsi dan pusat thariqah di Jawa Timur. Pesantren
ini didirikan oleh Kiai Tamin dari Madura.TQN
diperkenalkan oleh menantu beliau, Kholil yang mengambil bai’at dari Ahmad
Hasbullah di Makkah.Dari Kholil kemudian diteruskan oleh putra sendiri
pesantren yaitu Kiai Romly Tamim, dan diteruskan
oleh Kiai Musta’in Romly.Sebuah sumber menyebutkan bahwa Kiai Romly Tamim
menerima TQN dari Kiai Usman al-Ishaqi al-Nahdi. Kiai Usman kemudian pindah ke
sawahpulo Surabaya dan diteruskan oleh putranya: Kiai Asrori Utsman dan
mendirikan Pondok Pesantren "al-Fitroh" di Surabaya. Kiai Musta’in
Romly dan Kiai Usman al-Ishaqi mempunyai banyak pengikut dan badal atau
khalifah dari golongan etnis Madura. Kiai Musta’in Romly dikenal sebagai tokoh
karismatik dan mempunyai pengaruh spiritual yang besar terutama pada tahun
tujuh puluhan sebelum beliau masuk Golongan Karya. Sesudah beliau TQN dipimpin
oleh Rifa’I Romly (w.1994), yang menerima ijazah secara isyarat dari
saudaranya, Musta’in Romly. Kepemimpinan TQN sekarang diteruskan oleh K.H.
Dimyati Romly yang menerima ijazah irsyad dari Kiai Ma’sum, yang
menerima ijazah irsyad dari Kiai Romly Tamim dan Kiai Musta’in Romly
Selain
sebagai mursyid TQN pada tahun 1975 Kiai Musta’in Romly juga menjabat sebagai
pimpinan organisasi Jam’iyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh yang didirikan
NU sejak tahun 1957. Karena afiliasi politik Kiai Musta’in berubah ke Golkar
sebelum pemilu 1977, maka organisasi thariqah itu kemudian diproklamirkan lagi
pada Muktamar NU di Semarang tahun 1979, dengan nama Jam’iyah Ahli Thoriqoh
al-Mu’tabaroh al-Nahdliyah (JATMN). Sementara Rejoso menyebutkan dengan
nama Jam’iyah Ahli Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia (JATMI). Dengan demikian ada
dua TQN di Jombang, satu TQN yang mengikuti jalur mursyid yang berdomisili di
Rejoso, di bawah naungan JATMI. Sementara TQN yang berafiliasi dengan JATMN
dengan mursyid K.H. Adlan Ali yang menerima ijazah irsyad dari Kiai Muslih
Mranggen. Satu sumber lain menyebutkan bahwa Kiai Adlan Ali juga adalah seorang
khalifah dan penerima ijazah dari Kiai Musta’in Romli.
Pusat dari JATMN berada di Cukir Jombang.[37]
BAB VI
TANTANGAN NAHDLATUL ULAMA DI INDONESIA
I.
WAHABI
A.Sejarah munculnya Wahabi
Gerakan wahabi ini muncul dari seorang pemikir
yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang merupakan foto copy dari Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah[38].
Menurut penuturan shalah Muhammad, seorang komentator
kitab al-Kabir yang ditulis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad bin Abdul
Wahhab lahir pada tahun 1115H/1703 M di desa Uyaiah, sebuah kampung kecil 70 km
sebelah barat daya kota Riyadh Saudi Arabiya.
Masa kecilnya dihabiskan di Uyainah, kota
kelahirannya. Di desa ini ia banyak menggunakan kesempatan mendalami agama
islam di bawah bimbingan ayahnya, Abdul Wahhab bin Sulaiman. Muhammad bin Abdul
Wahhab dikenal sosok faqih yang menganut Madzhab Hambali (salah satu Madzhab
empat). Karena ketekunan dan kecerdasannya pada usia mendekatai 10 tahun ia
hafal al-Qur'an. Di samping mempelajari tafsir dan hadits versi Hanbaliyah. Dan
sejak kecil pula ia telah mengagumi tokoh pembaharu Islam yaitu Ibnu Taimiyah
dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauzi.
Muhammad bin Abdul Wahhab melanjutkan pendidikannya
dengan mencari banyak guru. Ia dikenal orang yang haus ilmu. Seolah dibenaknya
tidak ada sesuatu yang berharga kecuali dengan tetesan ilmu. Ia berguru kepada
syeh Abdullah bin Ibrahim al-Najdy, syeh Effendi al-Daghastany, Ismail
al-Ajlawy, Syeh Abdul Lathif al-'Afalaqy dan Syeh Muhammad al-'Afalaqy. Semua
ini beliau temui di dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah selama
beberapa tahun. Diantaraguru beliau yang
paling lama menjadi guru adalah Muhammad Hayat Sindhi dan syeh Abdullah
al-Najdy.
Tidak puas dengan itu, ia pergi ke Syiria untuk belajar sambil
berdagang. Di sana ia menemukan buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Qayyim yang sangat ia idolakan. Akhirnya ia semakin jauh terpengaruh pikirannya
terhadap dua tokoh reformis itu. Kemudian ia pergi ke Bashrah dan berguru
kepada Syeh Muhammad al-Majmu'iy. Di kota ini ia menghabiskan mencari ilmu
selama empat tahun, sebelum akhirnya ia ditolak masyarakat karena pandangannya
dirasa meresahkan dan bertentangan dengan pandangan masyarakat setempat.
Sepulang dari Bashrah pada tahun 1736 M, Muhammad Bin
Abdul Wahhab berhasil menyelesaikan sebuah karya yang kelak dijadikan rujukan
utama oleh pengikutnya, yaitu kitab al-Tauhid. Di dalam kitab ini disebutkan
beberapa pemikirannya antara lain, bahwa tuhan telah mengutus seorang rasul
dalam setiap golongan manusia, melalui rasul tersebut Tuhan menggambarkan
eksistensi-Nya.
Muhammad Bin Abdul Wahhab, sebagaimana dikutib
Muhammad bin Saleh al-Ustmani meyakini bahwa Islam yang dibawa Nabi Muhammad
telah sempurna. Hal ini didasarkan pada firman Allah yang diturunkan terakhir
pada pada Rasulullah saat beliau berkhutbah di padang Arafah disela-sela haji
Wada', yakni ayat ketiga dari surat Al-Maidah ;
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ""
Ayat ini menyatakan akan kesempurnaan agama. Jadi segala
sesuatu dalam hal agama yang dikerjakan oleh suatu kaum yang Nabi tidak pernah
mempraktekannya, maka inilah yang dimaksud bid'ah.
Parahnya lagi, penyimpangan ini
justru lebih banyak terjadi di dua kota suci umat Islam, makkah dan Madinah. Di
sana banyak dijumpai orang sangat mengagumkan makam Nabi, keluarga serta
sahabatnya, meratapi dinding Ka'bah, menghormati gua Hira', menghormati sumur
zam-zam, serta bertawasul kepada Nabi ditempat kelahirannya (marqad) dan
lain sebagainya[39].
B.
Organisasi Berpaham Wahabi di
Indonesia.
Dalam sejarah gerakan
modernisme yang diusung di Indonesia ada pemetaan dua gerakan. Pertama
adalah gerakan salaf, yaitu gerakan yang berusaha keras melakukan pemurnian
agama Islam dengan merujuk hanya pada al-Qur’an dan Hadits. Golongan yang
termasuk dalam gerakan ini adalah gerakan Wahabi atau biasa juga disebut dengan
gerakan salafi. Kedua, adalah gerakan reformasi yang
sifatnya tidak ingin mengadakan perombakan total seperti halnya yang dilakukan
oleh gerakan Wahabi. Gerakan ini dapat juga disebut dengan gerakan modernis
Islam yang menghendaki perombakan cara hidup umat Islam yang disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
Ada beberapa organisasi yang dikategorikan menjadi “tangan
panjang” atau mendapat pengaruh Wahabisme di Indonesia, organisasi tersebut
antara lain :
1.
Jami’at al-Khair
Jami’at Khair merupakan
organisasi Islam modern pertama di Indonesia, ini didirikan tahun 1901 oleh
keturunan Arab Hadramaut tanpa izin dari pemerintah kolonial. Perkumpulan ini didirikan secara diam-diam
sehingga pada akhirnya Jami’at Khair cukup maju dan menghasilkan banyak tokoh
yang berperan di dalamnya. Organisasi ini memiliki sifat kepemilikan yang sangat tebal terhadap
Islam yang mendorong mereka menyebarkan Islam keseluruh dunia. Di antara
tokohnya adalah KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah. Namun
perkumpulan ini kurang disenangi oleh pemerintah kolonial karena punya pengaruh besar dalam membangkitkan
semangat perjuanagan baru di Indonesia. Tahun 1905 Jami’at Khair mendapatkan
izin mendirikan perkumpulan tersebut secara sah dengan syarat tidak boleh
membuka cabang di luar Jakarta. Selain KH. Ahmad Dahlan tercatat pula H.O.S.
Tjokroaminoto dan sejumlah ulama-ulama kharismatik yang kelak memprakarsai
berdirinya NU sebagai anggota perkumpulan ini.
2.
Sarikat Islam
Sarikat Islam, yang didirikan
pada tahun 1912 yang dalam anggaran dasarnya bertujuan untuk memajukan
perdagangan, menolong anggotanya yang susah, memajukan kehidupan kerohanian,
meluruskan pendapat yang salah tentang Islam, memajukan kehidupan keagamaan
sesuai dengan hukum dan kebiasaan umat Islam.
3.
Muhammadiyah
Muhammadiyah. Organisasi yang
didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) di Yogyakarta, tepatnya di daerah
Kauman pada tahun 1912 memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Islam dalam
negri. Anggaran Dasar organisasi ini bertujuan untuk “memajukan
pendidikan dan ilmu pengetahuan di Hindia-Belanda berdasarkan ajaran Islam dan
meningkatkan kehidupan beragama di antara anggotanya. Dalam memaknai Islam
Murni Ahmad Dahlan mencernmatinya sebagai Islam Sejati yang dilaksanakan secara
lahir dan batin. Kalau sesuatu menurut lahir teks yang tersirat dalam al-Qur’an
dan Hadits tidak memerlukan penafsiran lebih lanjut atau boleh disebut
pemahaman Islam Murni telah final. Bagi Ahmad Dahlan, hukum Islam itu murni dan
sempurna serta ketaatan seorang muslim dalam menjalankan syari’at akan lahir
jika dilandasi dengan keikhlasan hati dan pikiran yang suci. Berangkat dari
pemikiran ini bahwa rekontruksi umat Islam dalam menjalankan ajarannya
diperlukan adanya kesadaran dari umat itu sendiri. Pemikiran Ahmad Dahlan
membentuk gerakan dengan memberantas segala bentuk khurafat dan segala hal yang
berbau bid’ah seperti berkunjung ke makam, berzanji, shalawatan, acara model
tujuh hari, empat puluh hari dari kematian seseorang dan seterusnya.
4.
Persis ( Persatuan Islam)
Persis ( Persatuan Islam).
Golongan ini menyatakan diri mengklaim sebagai Islam murni. Berbeda dengan
konsepsi Dahlan tentang Islam yang agak toleran, pendirinya A, Hasan cenderung
lebih ekstrim dalam mengusung ide Islam murni. Hasan dilahirkan di Singapura
dan berprofesi sebagai pedagang ini pernah menjadi redaktur Nur al-Islam di Singapura dan utusan melayu.
Cara radikal yang dilakukan Hasan dengan misi Islam murninya adalah dengan
merombak dan memusnahkan praktek keberagaman yang selama ini menjadi tradisi
yang turun-temurun dalam masyarakat. Di antaranya adalah praktek talqin,
ushalli, barzanji dan acara-acara lain yang dianggapnya tidak sesuai dengan
ketentuan Al-Qur’an dan Hadits. Sebab bagi Hasan Al-Qur’an dan Hadits sudah
memuat hukum muamalah dan jinayah yang sudah lengkap.
5.
Jami’iyyat al-Islah wa
al-Irsyad
Jami’iyyat al-Islah wa al-Irsyad,
artinya adalah perhimpunan bagi reformisme dan pimpinan. Nama ini diambil dari
organisasi yang didirikan Rasyid Ridha Jam’iyyat al-Da’wa wal-Irsyad di Mesir.
Pendiri al-Irsyad Indonesia adalah Ahmad bin Muhammad al-Surkati al-Anshari.
Seorang asing berkebangsaan Sudan. Dilahirkan pada tahun 1870 dan meninggal
pada September 1943 yang masih tergolong dalam keluarga Mahdi Sudan. Tujuan
dari al-Irsyad menurut Anggaran Dasar yang telah disahkan keputusan Gubernur
Jendral pada tahun 1915 ialah mengumpulkan dan menyimpan dana yang kemudian
dikeluarkan lagi bagi keperluan menyebarluaskan adat istiadat Arab yang sesuai
dengan ajaran agama Islam.
6.
Madrasah Salafiyah
Madrasah Salafiyah di Indonesia.
Istilah ini memiliki makna tertentu dan sering digunakan sebagai pembenar diri
pengikut ulama salafus shalih. Mazhab ini dalam perkembangannya selalu
mengindentikkan dengan sabda Nabi : tiga generasi Islam : pertama,
para sahahbat, kedua, tabi’in dan ketiga, adalah
tabiut-tabi’in. Sebaik-baik kurun adalah
kurunku, lalu orang-orang yang datang sesudahnya, lalu orang-orang yang datang
sesudahnya. Salafiyah adalah ajarannya, salafiyyin adalah pengikutnya, sedang
salafy adalah sebutan bagi mereka. Madrasah (markas ilmiyah) Salafiyah sendiri
terdapat di berbagai Negara muslim, antara lain di Arab Saudi, Mesir Pakistan,
India, Asia tengah dan lainnya. Tiga madrasah yang sangat dominan saat ini
ialah Salafiyah di Arab Saudi,Salafiyah di Yaman dan Salafiyah di Yordania-Syiria
(Syam).
Masing-masing madrasah memiliki
tokoh idola atau ulama, majelis-majelis ta'lim, lembaga pendidikan, media serta
karya-karya buku. Asal negaranya berbeda-beda, namun poros perjuangannya sama,
yakni tauhid dan ittiba’ sunnah Nabi. Dari tiga madrasah itu yang sangat
terkenal keras dalam membasmi khurafat, takhayul dan bid’ah adalah Salafy
Yamani. Tokoh sentralnya adalah Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’I di kota
Sa’adah desa Dammaz Yaman. Paham Salafiyah Yaman yang masuk ke Indonesia
beragam warna. Warna yang asli dan mencolok ialah dakwah Imam Muhammad bi Abdul
Wahab yang dibawa oleh para ulama Sumatara Barat pada abad ke-19. Inilah
Salafiyah pertama di Indonesia yang dikenal dengan kaum Paderi.
Kemunculan dan keragaman wajah
Salafiyah di Indonesia dapat disebutkan. Pertama, sikap ilmiah
murni, yaitu mengkaji setiap persoalan berdasarkan landasan al-Qur’an,
hadits-hadits shahih serta metode yang lurus sebagaimana yang dipegang oleh
para ulama Ahlussunnah sepanjang sejarahnya. Inilah sumber dan metode asli
dakwah Salafiyah. Kedua, membangun jaringan majelis-majelis
taklim yang menginduk ke madrasah Salafiyah tertentu di Timur Tengah.
Pelajar-pelajar dari Indonesia menuntut ilmu di madrasah salafiyah itu,
kemudian mereka pulang ke Indonesia untuk menyebarkan ilmu dan metode dakwah
yang telah mereka dapatkan di madrasah tempat mereka belajar. Ketiga,
bersikap keras dalam mengingkari ahli bid’ah dan kelompok menyimpang. Sikap
keras itu kadang ditunjukkan dengan bermuka masam, tidak mau menjawab salam,
bersikap menjahui, mencela, membuka aib, menghina hingga memboikot. Keempat,
mengambil khazanahilmu-ilmu Salafiyah, namun juga menerapkan system kejamahan
(organisasi) seperti yang diterapkan di kalangan jamaah-jamaah dakwah Islam
pada umumnya. Kelima, mengambil bab-bab tertentu dari ilmu
Salafiyah dan meninggalkan bab-bab yang lain. Adakalanya mereka anti terhadap
bab-bab tertentu yang tidak memuaskan akal, kebebasan dan kepentingannya.
Kelompok ini biasanya bersemangat tinggi dalam bab-bab yang mereka pilih. Keenam,
mengambil khazanah ilmu Salafiyah untuk bab-bab yang bersifat dasar
(elementer), lalu meletakkan di atas dasar-dasar itu pemikiran non Salafiyah,
seperti doktrin politik, kekerasan, organisasi dan lain-lain. Ketujuh,
mengambil sebagian ilmu-ilmu Salafiyah, lalu meramunya dengan ilmu-ilmu dari
sumber lain, sehingga menghasilkan paduan multi warna. Dengan kata lain,
menghasilkan wajah baru sebagai buah proses kompilasi. Ada yang menyebutnya
dengan istilah thariqul jam’i,(metode kompromis). Kedelapan,
berkiprah dalam bidang-bidang teknis, misalnya penerbitan, media, pendidikan,
rumah sakit, lembaga sosial dan lain-lain, tanpa
mengikat diri kepada suatu organisasi Islam tertentu (baik organisasi formal
atau non formal). Kesembilan, berkarya dalam dakwah Salafiyah
secara independen dengan tidak mengikatkan diri kepada suatu organisasi,
jamaah, jaringan majelis taklim, lembaga, madrasah dan lain-lain, baik di dalam
atau di luar negeri. Mereka menyebarkan ilmu-ilmu Salafiyah secara mandiri,
local dan menyesuaikan metode dakwah dengan situasi lingkungan. Secara
popularitas mereka kurang dikenal sebab cenderung berpisah-pisah, tetapi secara
dakwah mereka eksis. Kesepuluh, mengambil ilmu hikmah Salafiyah
secara individu sesuai kebutuhan, keinginan dan kepentingan masing-masing.
Seluruh warna di atas ada di Indonesia. Porosnya satu yaitu, madrasah
Salafiyah, tetapi cabangnya sangat banyak.
C.
Ajaran Wahabi yang bertentangan
dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah
Menurut penuturan al-Maghfurlah KH. Sirojuddin Abbas,
praktik dan ajaran wahabi di Makkah dan Madinah antara lain adalah :
a.
Seluruh rakyat dilarang
merokok, karena merokok adalah pekerjaan setan.
b.
Tidak boleh atau dilarang
melagukan adzan. Padahal sebelum Wahabi berkembang di Makkah di atas tujuh
menara di Masjidil Haram, bilal melakukan adzan dengan lagu dan suara yang
indah-indah.
c.
Tidak boleh membunyikan radio.
d.
Tidak boleh melagukan kasidah
dan melagukan bacaan al-Qur’an.
e.
Tidak boleh membaca kitab-kitab
shalawat, seperti Dala’il Khairat, Burdah Diba’, karena di dalamnya
banyak memuji Nabi Muhammad saw.
f.
Tidak boleh mempelajari sifat
wajib dan mustahil bagi Allah, sebaimana dalam kitab Kifayatul ‘Awam dan
sebagainya.
g.
Kubah-kubah di atas kuburan
para sahabat Nabi yang berada di Ma’la (Makkah), di Baqi’ dan Uhud di Madinah semuanya diruntuhkan, diratakan
dengan tanah. Namun untuk kubah hijau yang disebut qubbatul khadra’
makam Nabi Muhammad saw tidak diruntuhkan karena terlalu banyak protes dari
kaum muslim dunia, termasuk protes yang dilancarkan ulama NU dari Indonesia
(lihat keterangantentang Komite Hijaz).
h.
Kubah besar di atas tanah
tempat di mana Nabi Muhammad saw dilahirkan (suqal-lail, sebelah timur
Masjidil Haram) juga diruntuhkan, bahkan dijadikan tempat unta. Namun Atas
desakan umat Islam seluruh dunia akhirnya tempat kelahiran nabi atau Maulud
Nabi itu dibangun gedung perpustakaan.
i.
Perayaan mauled Nabi Muhammad
saw di bulan Robiul Awal dilarang karena termasuk bid’ah.
j.
Perayaan Isro’ Mi’roj juga
dilarang keras.
k.
Pergi untuk ziarah ke makam
nabi dilarang. Yang dibolehkan hanya melakukan shalat di masjid Nabawi di
Madinah. Bedoa menghadap makam nabi juga dilarang.
l.
Berdoa dengan tawassul
dilarang, syrik katanya.
m.
Ada usaha hendak memindahkan
batu maqam Ibrahim di depan Ka’bah dan telaga zam-zam ke belakang kira-kira 20
meter. Bahkan sempat penggalian sudah dilakukan.
n.
Amalan-amalan thariqat dilarang
keras, seperti thariqat Naqsabandi, Qadiri, Sathari dan lain-lain.
o.
Membaca zikir “laa ilaaha
illallah” (tahlil) bersama-sama sesudah shalat seperti banyak dilihat di
sekitar kita dilarang.
p.
Imam tidak membaca “bismillah”
pada permulaan fatihah dan juga tidak
membaca doa qunut dalam shalat subuh, namun shalat tarawihnya 20 rakaat.
q.
Dilarang ziarah ke makam atau
kuburan para wali Allah.
r.
Membaca manaqib seorang yang
berjasa di bidang spiritual menegakkan kebenaran akhlak dan tauhid kepada
Allah. Seperti manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dilarang.
Di Indonesia walaupun semua
ajaran di atas tidak nyata-nyata dikatakan mazhab Wahabi, namun sudah banyak
ditemukan di sekitar kita upaya menghidupkan ajaran tersebut di tengah
masyarakat dengan dalih ajaran Islam murni, seruan bid’ah, syirik, sesat, masuk
neraka dan sejenisnya.
Untuk dijadikan perbandingan
ajaran Wahabi dengan ajaran sunni selanjutnya dianjurkan mengadakan tela'ah
melalui pembahasan ajaran-ajaran sunni yang dikawal keberadaanya oleh Islam NU
di Indonesia[40].
II. AHMADIYAH
A.Sejarah munculnya
Ahmadiyah
Ada satugolongan yang muncul di Qodiyan, India
(sekarangdaerah Pakistan), bernamaGolonganAhmadiyah, ataukatakanalahkaumAhmadiyah.
Pendiridarigolongan ini bernama MirzaGulam Ahmad.
Iadilahirkan di Qodiyan di sebuah desa daerah Punjab yang
sekarang di bawah lingkungan daerah Pakistan, pada tahun 1836 M yaitu 131 tahun yang lalu dan meninggal di situ juga pada tahun
1908 M yaitu 63 tahun yang lalu.
Kalau di banding dengan Mirza ‘Ali Muhammad pembangun paham
Bahaiyah maka Gulam Ahmad terkemudian lk.55 tahun dihitung hari meninggalnya
masing-masing.
Tempat kelahiran juga berbeda, Mirza ‘Ali Muhammad lahir di
Sirazi dan dihukum mati di Tribis, daerah Iran, sedang Mirza Gulam Ahmad lahir
di daerah Punjab Pakistan, dan jugameninggal di situ.
Tetapi kedua-duanya lahir di tengah-tengah kaum Syi’ah.
Mirza ‘Ali Muhammad pendiri Bahaiyah lahir di tengah-tengah Syi’ah Imamiyah di
Iran, sedang Mirza Gulam Ahmad pembangun paham Ahmadiyah lahir di tengah-tengah
Syi’ah Isma’iliyah di Pakistan.
Karena itu antara kedua paham ini banyak persamaannya, di
samping ada pula perbedaannya.
Setelah ia berusia 54 tahun, yaitu pada tahun 1950 M. Mirza
Gulam Ahmad mendakwahkan bahwa ia adalah Nabi sesudah Nabi Muhammad saw., dan
pula Nabi yang paling akhir. Bukan saja Nabi, tetapi juga Imam Mahdi yang
ditunggu, mujaddid dan juru selamat.
Sudah terang bahwa Mirza Gulam Ahmad ini termakan pengajaran
Syi’ah Isma’iliyah yang ketika itu banyak di daerah Punjab, yang mempercayai
bahwa akan lahir pada akhir zaman Imam Mahdi
yang ‘ad1, yang akan membawa keadilan
untuk seluruh dunia, yang pangkatnya tidak kalah dari Nabi dan juga menerima
wahyu dari Tuhan.
Memang kaum Syi’ah berpaham bahwa keNabian dan keRosulan
belum putus, imam-imam mereka dianggapnya masih menerima wahyu langsung dari
Tuhan.
Mirza Gulam Ahmad bertindak lebih jauh.Ia bukan lagi Imam,
bukan saja Imam Mahdi, tetapi Nabi yang benar-benar mendapat wahyu dari Tuhan.
Tetapi ajaran bahwa ada Nabi sesudah Nabi Muhammad saw
bertentangan pula dengan kaum Syi’ah. Bagi mereka yang ada ialah Imam, bukan
Nabi baru, sedang Imam itu harus dari keturunan Sayyidina‘Ali kw.
Karena itu Mirza Gulam Ahmad bukan saja ditentang oleh kaum
Ahlus sunnah wal Jam’ah di seluruh dunia, tetapi juga oleh ulama-ulama Syi’ah
yang berada di Pakistan, di Iran danYaman.
Maka MirzaGulam Ahmad akhirnya melawan dan menghantam pula
kepada kaum Syi’ah. Dalam buku-bukunya MirzaGulam Ahmad mengejek-ejek kaum
Syi’ah dan mengejek-ejek Hasan dan Husein Rda.
Ulama-ulama di seluruh India pada ketika itu mengeluarkan
fatwa bahwa Mirza Gulam Ahmad tidak lagi
dalam lingkungan umat Islam karena ia mendakwakan dirinya jadi Nabi sesudah
Nabi Muhammad saw yang menentang sebuah ayat dalam Qur’an suci yang mengatakan
bahwa Nabi Muhammad itu adalah Nabi yang paling akhir.
Di antara ulama-ulama yang menolak paham Ahmadiyah itu di
India adalah:
1.Maulana Muhammad Anwarullah Khan, Pejabat
Urusan Agama Kerajaan Hydarabad, yang mengarang sebuah buku untuk menolak paham
Ahmadiyah, yang diberi nama Hidatul afham bi jawabi Izalatil Auham. Dalam
buku ini diterangkan bahwa paham Ahmadiyah Qodiyani di luar lingkungan Agama
Islam.
2.Maulana Abu al-Hasan Gulam Mustafa, ulama'
besar wilayah Amitsar yang mengatakan bahwa Gulam Ahmad itu sudah menjadi kafir
dengan dakwaanya bahwa ia adalah Nabi.
3.Maulana Azizurrahman, mufti Universitas Darul Ulum mengatakan bahwa
Ahmadiyah adalah sesat menyesatkan.
4.Dan banyak lagi ulama-ulama India ketika itu
yang menolak paham Ahmadiyah ini.
Akan tetapi, Kerajaan Inggris yang ketika itu menguasai India
menyokong gerakan Ahmadiyah ini, karena di antara fatwanya ada yang sangat disukai
oleh penjajah ketika itu yaitu; "jihad dalam Islam itu bukan dengan
senjata, tetapi dengan lisan saja".
Sebagai dimaklumi, bahwa fatwa ini sama dengan fatwa kaum Bahaiyah
yang mengatakan juga bahwa jihad itu bukan dengan senjata, tetapi cukup dengan lisan
saja.
Fatwa ini juga sama dengan fatwa seorang “pemodernisasi
agama” bernama, sir Sayid Ahmad Khan, Rektor Universitas Aligarh di India
(wafat : 24 Maret 1898 M.), yang menfatwakan bahwa jihad harus dengan lisan dan
tulisan saja.
Pada ketika itu, sama halnya dengan umat Islam di luar
India, di mana umat Islam di India sedang akan berjuang melawan Inggris dengan senjata.
Maka fatwa Bahai dan Ahmad Khan ini sangat disukai oleh Inggris.
Ke Indonesia paham Ahmadiyah itu masuk juga sesudah peperangan
dunia pertama, sehingga ada cabang-cabang gerakan Ahmadiyah di Jakarta, di
Medan, di Padang dan lain-lain tempat.
Tetapi paham Ahmadiyah di Indonesia tidak begitu maju,
karena terus-menerus ditentang oleh ulama-ulama Islam, khususnya ulama-ulama kaum
Ahlussunnah wa al-Jama’ah.
Alm.Maulana Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang
(Sumatra Barat) seorang ulama Islam yang terkenal mengarang sebuah buku bernama
“Nujumul Hidayah fi Roddi ala ahlil ghiwayah” (Bintang Hidayah untuk menolak kaum
yang sesat). Di dalamnya dikupas paham Ahmadiyah ini dan ditolak sekuat-kuatnya[41].
Paham Ahmadiyah menjadi muram di seluruh dunia, khususnya di
Indonesia tidak mendapat pasaran, walaupun propagandisnya berkeliaran kepelosok-pelosok
tanah air Indonesia.
Pada tahun 2008, pemerintah telah
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (KB) tiga menteri dalam menyikapi permasalahan
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Lihat Menteri Agama, menteri dalam
negeri dan jaksa agung menelurkan tujuh butir SKB yang menjadi dasar hukum
pelarangan aktivitas Ahmadiyah di Indonesia.
Inilah tujuh butir keputusan tiga menteri tersebut SKB pelarangan Ahmadiyah di Indonesia dan dibekukan.
1. Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama.
Inilah tujuh butir keputusan tiga menteri tersebut SKB pelarangan Ahmadiyah di Indonesia dan dibekukan.
1. Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama.
2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai peraturan perundangan.
4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.
5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dnan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku.
6. Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.
7. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, 09 Juni 2008.
Dalam rangka menyikapi
SKB ini gubernur Jawa Timur mengeluarkan SK
Larangan
Ahmadiyah di Jawa Timur tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No
188/94/KPT/013/2011. Ada 4 butir larangan yakni: larangan menyebarkan ajaran
Ahmadiyah baik secara lisan, tulisan maupun melalui media elektronik; larangan
memasang papan nama organisasi Ahmadiyah di tempat umum; larangan memasang
papan nama di masjid, mushola, lembaga pendidikan dengan identitas JAI;
larangan menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan segala
bentuknya.
D. Ajaran Ahmadiyah
yang bertentangan dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah.
1.
Mengaku menjadi Nabi
Mirza Ghulam Ahmad mengaku
dirinya Nabi dan Rasul. Dalam bukunya " Izalatul Auham " halaman 673,
ia berkata : Sayalah yang dikabarkan Tuhan dengan firman-Nya di dalam al-Qur'an
:
وَإِذْ قَالَ عِيسَى
ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ
يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ
قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ
"Dan ketika Isa anak Maryam berkata, hai
bani Israil sesungguhya aku ini utusan Allah untukmu, membenarkan wahyu yang
diturunkan sebelum aku, yaitu Taurat, dan menyampaikan berita gembira akan
kedatangan seorang rasul kemudian namanya Ahmad, tetapi setelah rasul itu
datang kepada mereka dengan bukti yang nyata, mereka berkata: inilah tukang
sihir yang nyata"
Mirza Ghulam Ahmad mengaku nabi karena ia bernama Ahmad seperti
dalam al-Qur'an. Andaikata boleh mentafsirkan Al-Qur'an dengan penafsiran ini,
maka setiap orang bernama Ahmad beleh mengaku sebagai Nabi dan Rasul.
Jadi Nabi isa memberi khabar suka kepada muridnya akan
kedatangan seorang rasul yaitu "Ahmad" ( salah satu Nama nabi
Muhammad Saw).
2.
Mirza Ghulam Masih Mau'ud
Menurut kepercayaan Islam, bahwa Nabi Isa AS tidak dapat
disalib oleh musuh beliau dan yang disalib itu adalah orang yang serupa dengan
beliau.
Nabi Isa ketika itu diangkat kepada Allah, dan akhir zaman akan
turun lagi ke dunia. Dalam hadits imam Bukhari :
عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّهُ سَمِعَ
أَبَا هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم : وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَيُوشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيكُمُ
ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا مُقْسِطًا فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ
وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ وَيَفِيضَ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ (رواه البخارى)
.
Dari Ibn Musayyab, bahwa beliau
mendengar dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda : Demi Tuhan yang
diriku ditangan-Nya, akan turun Isa ibn Maryam kepadamu menjadi hakim adil,
maka ia memecah salib, membunuh babi, menghentikan peperangan dan melimpahkan
harta yang banyak sehingga tak ada lagi yang akan menerimanya. ( HR. Al-Bukhari
).
Mirza Ghulam Ahmad selain ia mendakwakan dirinya Nabi dan Rasul
juga mendakwakan dirinya Isa al-Masih yang dijanjikan akan datang.
3.
Anak dan khalifahnya mendapat
wahyu juga.
Bukan saja Mirza Ghulam Ahmad mengaku mendapat wahyu serupa
Nabi dari tuhan, tetapi juga anaknya dan khalifahnya, yaitu Mirza Basiruddin Ahmad
Khalifatul Masih II, mendakwakan pula ia mendapat wahyu dari Tuhan.
Hal ini bertentangan dengan Agama Islam yang suci, bahwa tidak
ada Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Kepercayaan bahwa khalifah-khalifah
menerima wahyu sama dengan kepercayaan kaum Syi'ah.
4.
Mirza Ghulam Ahmad
menyempurnakan syari'at Islam.
I'tiqad kaum Ahmadiyah mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad
diutus Allah untuk menyempurnakan Agama Islam. Agama Islam masih kurang, karena
itu ia diutus untuk menyempurnakannya.
Nabi muhammad bila dibanding dengan Mirza Ghulam Ahmad adalah
sebagai hilal ( bulan sabit ), sedang ia adalah badar ( bulan purnama ).
Pada bendera kaum Ahmadiyah dicantumkan : 1, Hilal ( bulan
sabit ) adalah Nabi Muhammad .2, badar (bulan purnama) adalah Mirza Ghulam
Ahmad, dan 3, Menara adalah menara Damsyiq.
Tentang penyempurnaan syari'at Islam ia menfatwakan :
1.
Jihad dengan senjata tidak ada
lagi.
2.
Melawan pemerintah Inggris yang
berkuasa saat itu adalah haram.
3.
Jihad yang diakui syari'at
adalah jihad bersama Inggris melawan pembarontak yang terdiri orang Islam.
Itulah yang dimaksud oleh
Ahmadiyah sebagai menyempurnakan syari'a
5.
Mirza Ghulam Ahmad lebih mulia
dari Abu Bakar
Mirza Ghulam Ahmad dalam
bukunya "Mi'yarul Akhyar" hal 11, berkata :
انا افضل من ابي بكر افضل
من الانبيأ
"Saya lebih mulia dari Abu
Bakar dan dari para Nabi"
Mahluk yang paling mulia di
sisi Allah adalah Nabi Muhammad SAW, sesudah itu Rasul-rasul dan Nabi yang
lain, kemudian malaikat, sesudah itu baru manusia.[42]
III. HTI (Hishbu
Tahrir Indonesia)
A.Sejarah munculnya Hishbu Tahrir.
Hizb al-Tahrir didirikan pada tahun 1953 M
di
Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina.[43] Pendiri
Hizb al-Tahrir adalah Syaikh Taqiyuddin bin Ibrahim an-Nabhani. Ia lahir di
Ijzim daerah administratif Hayfa tahun 1913 M.[44]
Bersama Ghanim Abduh, Dawud Hamdan, Dr. Adil an-Nablusi dan Munir Syaqir,
an-Nabhani mengajukan pendirian Hizb al-Tahrir secara resmi, namun pemintaan
tidak disetujui. Hingga tahun 1997 Hizb al-Tahrir melakukan segala bentuk
aktivitasnya tanpa pengakuan resmi pemerintah Yordania.[45]
Latar belakang pendiriannya merupakan bentuk
pemenuhan terhadap firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 104 :[46]
“Hendaklah
ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan
amar makruf nahi munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Sejak awal berdirinya hingga dalam
perkembangannya saat ini, khittah pergerakan Hizb al-Tahrir adalah
politik dengan mengusung ide Pan-nasionalisme yang bertujuan mengembalikan
supremasi Islam pada abad pertengahan dalam bentuk mendirikan pemerintahan
Islam secara Internasional, Khilafah Islamiyah. Oleh karena itu, politik
yang dikehendaki oleh Hizb al-Tahrir
adalah suatu sistem yang benar-benar memiliki landasan kuat dalam al-Qur’an dan
hadith. Sehingga, sistem khilafah merupakan satu-satunya sistem politik yang
wajib ditegakkan kembali oleh umat Islam dan memiliki watak universal yang bisa
diterapkan dalam suatu rentang waktu sejarah yang panjang.
Awal penyebaran Hizb al-Tahrir adalah dari Tepi
Barat dan di Yordania. Selanjutnya mulai merambah ke Suriah, Libanon, Mesir dan
Irak; dan seterusnya sampai pada negeri-negeri Arab lainnya. Sementara itu,
pengikut Hizb al-Tahrir yang eksis di negeri-negeri asing juga mengharuskan
diri mereka sendiri untuk melaksanakan aktivitas Hizb al-Tahrir di negeri itu
dengan tetap mengikatkan diri pada kepemimpinan (qiyadah) Hizb. Di
antara negeri-negeri asing itu adalah Jerman, Inggris dan AS.[47]
Sementara itu, Hizb al-Tahrir masuk ke Indonesia
(HTI) pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di
seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke
masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran,
perusahaan, dan perumahan.[48]
B.
Ajaran HTI yang bertentangan dengan Ahlu
al-Sunnah wa al-Jama'ah.
Berbagai pemikiran oleh Hizb
al-Tahrir tidak sepenuhnya serta merta diterima oleh kalangan muslim secara
umum. Beberapa di antara pemikiran Hizb al-Tahrir yang menuai kontoversi antara
lain :
1.
Pengingkaran
terhadap Takdir
Hal
ini seperti yang dikatakan oleh pimpinan mereka; Taqiyyuddin an-Nabhani dalam
bukunya berjudul asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz I, bagian pertama,
hlm. 71-72, sebagai berikut: "Segala perbuatan manusia tidak terkait
dengan Qadla Allah, karena perbuatan tersebut ia lakukan atas inisiatif
manusia itu sendiri dan dari ikhtiarnya. Maka semua perbuatan yang mengandung
unsur kesengajaan
dan kehendak manusia tidak masuk dalam Qadla' "
Hizb
al-Tahrir menjadikan Allah tunduk dan terkalahkan dengan terjadinya sesuatu di
luar kehendak-Nya. [49]
Ini sangat kontradiktif dengan pendapat Al Imam
Abu Hanifah (W. 150 H) dalam al Fiqh al-Akbar yang berkata:
“Tidak ada sesuatupun yang terjadi di dunia maupun di akhirat kecuali
dengan kehendak, pengetahuan, Qadla' (penciptaan) dan Qadar
(ketentuan)-Nya”. Tentang perbuatan hamba, beliau berkata: “Dan segala
perbuatan manusia terjadi dengan kehendak, pengetahuan, Qadla' (penciptaan)
dan Qadar (ketentuan)-Nya”.[50]
2.
Pengingkaran atas Kema‘shuman para Nabi
Sebagaimana yang
disepakati sebagaian ulama’ bahwa
para nabi pasti memiliki sifat jujur, amanah dan kecerdasan yang tinggi. Dari
sini diketahui bahwa Allah ta'ala tidak akan memilih seseorang untuk predikat
ini kecuali orang yang tidak pernah jatuh dalam perbuatan hina (Radzalah),
khianat, kebodohan, kebohongan dan kebebalan. Karena itu orang yang pernah
terjatuh dalam hal-hal yang tercela tersebut tidak layak untuk menjadi nabi
meskipun tidak lagi mengulanginya. Para nabi juga terpelihara dari kekufuran, dosa-dosa
besar juga dosa-dosa kecil yang mengandung unsur kehinaan, baik sebelum mereka
menjadi nabi maupun sesudahnya. Adapun dosa-dosa kecil yang tidak mengandung
unsur kehinaan bisa saja seorang nabi terjatuh ke dalamnya. Inilah pendapat
kebanyakan para ulama seperti dinyatakan oleh beberapa ulama dan ini yang
ditegaskan oleh al Imam Abu al Hasan al Asy’ari.[51]
Sementara dalam sudut
pandang yang lain, Hizb al-Tahrir menyalahi kesepakatan ini. Mereka membolehkan
seorang pencuri, penggali kubur (pencuri kafan mayit), seorang homo seks atau
pelaku kehinaan-kehinaan lainnya yang biasa dilakukan oleh manusia untuk
menjadi nabi. Inilah yang menjadi kontroversi, seperti yang dikatakan oleh
pemimpin mereka, Taqiyyuddin an- Nabhani dalam bukunya asy-Syakhshiyyah al
Islamiyyah: "…hanya saja kemaksuman para nabi dan rasul adalah setelah
mereka memiliki predikat kenabian dan kerasulan dengan turunnya wahyu
kepada mereka. Sedangkan sebelum kenabian dan kerasulan boleh jadi
mereka berbuat dosa seperti umumnya manusia. Karena keterpeliharaan dari
dosa ('Ishmah) berkaitan dengan kenabian dan kerasulan saja".[52]
3.
Membenarkan kudeta terhadap Khalifah yang
sah
Rasulullah SAW menekankan
dalam beberapa hadithnya tentang pentingnya taat kepada seorang khalifah. Dalam
salah satu hadithnya Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:
"Barangsiapa membenci sesuatu dari amirnya hendaklah
ia bersabar atasnya, karena tidak seorangpun membangkang terhadap
seorang sultan kemudian ia mati dalamkeadaan seperti itu kecuali matinya adalah
mati Jahiliyyah" (H.R. Muslim)
Beliau juga bersabda:
"(kita diperintahkan juga agar) tidak memberontak
terhadap para penguasa kecuali jika kalian telah melihatnya melakukan
kekufuran yang sharih (yang tidak mengandung kemungkinan selain
kufur)" (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Ulama Ahlussunnah
juga telah menetapkan bahwa seorang khalifah tidak dapat dilengserkan dengan
sebab ia berbuat maksiat, hanya saja ia tidak ditaati dalam kemaksiatan
tersebut. Karena fitnah yang akan muncul akibat pelengserannya lebih besar dan
berbahaya dari perbuatan maksiat yang dilakukannya. Imam an-Nawawi berkata
dalam Syarh Shahih Muslim, Juz XII, h. 229:
"Ahlussunnah menyepakati bahwa
seorang sultan tidak dilengserkan karena perbuatan fasik
yang dilakukan olehnya".
Sedangkan Hizbut
Tahrir menyalahi ketetapan tersebut, mereka menjadikan seorang khalifah sebagai
mainan, bagaikan bola yang ada di tangan para pemain bola. Di antara pernyataan
mereka dalam masalah ini, mereka mengatakan bahwa
"Majlis asy-Syura memiliki hak
untuk melengserkan seorang khalifah dengan suatu sebab atau tanpa sebab".
Pernyataan ini disebarluaskan dalam
selebaran yang mereka terbitkan dan mereka bagi-bagikan di kota Damaskus
sekitar lebih dari 20 tahun yang lalu. Selebaran tersebut ditulis oleh sebagian
pengikut Taqiyyuddin an-Nabhani. Mereka juga menyatakan dalam buku mereka yang berjudul Dustur
Hizbut Tahrir, h. 66 dan asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz II
bagian III, h. 107-108 tentang hal-hal atau perkara yang dapat merubah status
seorang khalifah sehingga menjadi bukan khalifah dan seketika itu wajib
dilengserkan: "Perbuatan fasiq
yang jelas (kefasikannya)". An-Nabhani berkata dalam bukunya yang
berjudul Nizham al Islam, h. 79, sebagai berikut : "Dan jika
seorang khalifah menyalahi syara' atau tidak mampu melaksanakan
urusan-urusan negara maka wajib dilengserkan seketika".[53]
Selain tiga pemikiran yang cukup
kontroversial tersebut, beberapa pemikiran lain yang tak kalah menyita
perhatian kaum muslim adalah berkeyakinan tasybih, mengingkari kehujjahan
Ijma’, menyesatkan dan mengkafirkan umat Islam di luar Hizb al-Tahrir, mengingkari
siksa kubur, membolehkan laki-laki berjabat tangan dengan wanita yang bukan
mahram, menghalalkan laki-laki mencium wanita ketika berpisah, dan membolehkan
seseorang berjalan dengan tujuan zina.
Sebuah
harakah fundamentalisme dapat ditelaah dengan meneropong dan memetakan gejala
serta karakteristiknya. Pada pembahasan ini, fundamentalisme sangat erat dengan
konotasi perlawanan dan penolakan terhadap beberapa ide dan pemikiran yang
bertentangan dengan pemahaman shari‘at Islam dalam perspektif mereka sebagai
Hizb al-Tahrir. Adapun karakteristik yang dimaksud adalah oppositionalism
(paham perlawanan); penolakan terhadap hermeneutika atau sikap kritis terhadap
teks dan interpretasinya; penolakan terhadap pluralisme dan relativisme;
penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Sedangkan konkretisasi
penolakan dan perlawanan yang dilakukan oleh Hizb al-Tahrir dapat diketahui
dengan melihat berbagai aktivitas dan kegiatan mereka secara massif.[54]
BAB VII
MEMAHAMI JIHAD DALAM ISLAM
A. Pengertian
Jihad dalam Islam
Kata
jihad secara etimologi berasal dari kata: جاهد – يجاهد – مجاهدة
– وجهادا yaitu
mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan dalam wujud perkataan dan tindakan.
Dan juga berasal dari kata: جهد – يجهد – جهدا atau اجتهد yang mempunyai makna bersungguh-sungguh. Selain itu term الجهد
berarti الطاقة dan المشقة yang bermakna kekuatan, kemampuan
dan kesulitan, kepayahan disebabkan setiap orang yang berjihad harus melawan
musuh dengan mengerahkan kekuatan untuk mempertahankan dan membela diri.
Sedangkan
jihad secara terminologi, sebagaimana dijelaskan oleh ulama’-ulama’ mazhab
fiqh, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, antara lain:
Pertama,
Mazhab Hanafi, Ibnu Hamam mengatakan yang dimaksud dengan jihad adalah mengajak
orang kafir ke dalam pelukan Islam dan memeranginya jika mereka menolak.[55]
Kedua,
Mazhab Hanbali, makna jihad diperuntukkan kepada orang-orang muslim yang
memerangi orang-orang kafir yang tidak terikat dalam perjanjian (damai) demi
menegakkan ajaran Allah SWT. Jihad juga berarti datangnya orang Islam kepada
orang kafir untuk mengajak mereka memeluk agama Allah atau masuknya orang
Islam ke daerah kafir untuk tujuan serupa.
Ketiga,
Mazhab Syafi’i, Syafi’i mengatakan, jihad adalah berperang di jalan Allah.
Selain itu Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa ditinjau dari hukum syara’ jihad
berarti mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.
Keempat,
Mazhab Hanbali, jihad adalah memerangi orang kafir.
Sedangkan jihad menurut Abu
al-’Ala al-Maududi, adalah salah satu sistem kerohanian Islam yang lima,
sholat, puasa, zakat, haji, dan jihad. Jihad adalah usaha manusia muslim dengan
sekuat tenaga untuk menyebarluaskan kalimat Allah dan menjunjung tinggi, dan
melaksanakannya di muka bumi dengan menyingkirkan segala rintangan, baik
melalui kata-kata yang terucap (lisan),maupun dengan kekuatan senjata, dengan
tujuan agar manusia hidup dengan penuh dedikasi dan berkorban demi jiwa dan
raga.
Dari beberapa pengertian di atas,
bisa ditarik kesimpulan bahwa jihad mengandung dua pengertian yaitu pengertian
umum dan pengertian khusus. Pengertian umum sebagaimana disebutkan diatas
ditemukan dalam perjuangan Rasulullah periode Mekkah dan Madinah. Dalam
al-Qur'an jihad seperti ini terdapat dalam surat antara lain:
Q.S. al-Furqan:52,
فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ
وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
Artinya: “Maka janganlah kamu
mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran
dengan Jihad yang besar.
Q.S. al-Hajj: 78.
وَجَاهِدُوا فِي
اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ
حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ
وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى
النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلاكُمْ
فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
Artinya: “Dan berjihadlah kamu
pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah
kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung
dan sebaik- baik penolong.
Jihad dalam pengertian khusus
yaitu ”perang melawan musuh”. Pengertian khusus inilah yang dibicarakan secara
luas dalam kitab-kitab fiqh dan selalu dikaitkan dengan qital h}arb
(peperangan), dan ghazwah (ekspedisi). Uraian-uraian fiqh tentang jihad
disusun dalam rangka jus ad bellum atau jus in bello, perang adil
atau perang suci, perang defensif atau ofensif, sebagian besar merupakan hasil
dari usaha sistematisasi solusi-solusi pragmatis yang diambil pada masa Nabi
dan kemudian tumbuh menjadi kodifikasi hukum yang rapi. Titik lemahnya terletak
pada kegagalan menangkap regulasi moral yang non-contingent[56] (pertempuran),
seolah-olah variabel atau kriteria yang paling krusial dibalik jihad adalah
mandat ilahi untuk melancarkan peperangan.
Jihad merupakan kewajiban bagi
umat muslim. Namun kewajiban jihad tersebut sudah diatur tahapan-tahapannya
dalam al-Qur'an, sehingga umat Islam dalam melaksanakan jihad harus mengikuti
apa yang telah diatur dalam al-Qur'an, sebab dikhawatirkan apabila tidak
mengikuti aturan dalam al-Qur'an, umat Islam akan melampaui batas, inilah
kemudian yang menjadi persoalan antara jihad dan aksi terorisme di zaman modern
sekarang ini, adapun fase-fase berjihad antara lain:
Fase pertama,
pada masa awal kebangkitan Islam Allah swt. memerintahkan untuk menahan diri
untuk tidak melancarkan peperangan dengan orang kafir. Pada waktu itu umat
Islam hanya diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan membayar zakat[57]
أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ
كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا
الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ
وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan
orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari
berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" setelah
diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan
munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan
lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, mengapa
Engkau wajibkan berperang kepada kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan
(kewajiban berperang) kepada Kami sampai kepada beberapa waktu lagi?"
Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
Fase pertama ini juga merupakan
taktik dakwah Rasulullah, memberikan kesempatan pada orang-orang musyrik Mekkah
agar mereka masuk Islam tanpa harus mengadakan peperangan.
Fase kedua,
memerangi orang yang berbuat zalim terhadap kaum muslimin, jihad dalam bentuk
perang semacam ini sering disebut dengan defensif, dengan artian bahwa umat
Islam dalam hal ini bukan yang memulai peperangan terlebih dahulu, atau umat
Islam bukan pihak penyerang. Karena peperangan yang demikian merupakan sikap
mempertahankan diri dari serangan musuh. Dan ini merupakan taktik peperangan
untuk mempertahankan diri agar umat Islam tidak dibantai sewenang-wenang
oleh orang kafir.
Fase ketiga,
fase ini Allah swt. Memerintahkan memerangi orang kafir dan melakukan
penyerangan terhadap mereka.
قَاتِلُوا الَّذِينَ
لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ [58]
Artinya: “Perangilah orang-orang
yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan
mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan
tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam Keadaan tunduk.
Sebagaimana perintah yang terdapat
dalam QS. At-Taubah: 29 tersebut karena kezaliman yang terus dilakukan oleh
orang kafir, serta sikap mereka yang masih mempertahankan sikap kekafirannya.
B. Terorisme
dalam Pandangan Islam
Secara etimologi tindakan teror
disebut dengan Irh}ab,
orangnya disebut Irh}aby
(teroris), sedangkan pahamnya disebut Irh}a>biyyah
(terorisme). Lafadz إرحاب dan إرحبي / إرحبيون dalam Bahasa Arab mempunyai makna terorisme. Dalam al-Qur’an
terdapat beberapa kata yang berakar pada kata tersebut. Pengertian terorisme
dalam konteks “Islam” sebagaimana disampaikan oleh “Lembaga Fiqh Islam” di
Makkah. Terorisme (al-irh}ab)
adalah permusuhan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau negara yang zalim
terhadap manusia. Bentuk terorisme juga mencakup ancaman, menakut-nakuti,
pembunuhan tanpa hak, hal yang berkaitan dengan hirabah, mengganggu
keamanan jalan raya dan aksi pembegalan (Qat}’ at-T{a>riq),
terorisme mencakup semua tindak kekerasan, baik terhadap individu maupun
kelompok dan bertujuan untuk mendatangkan rasa takut terhadap manusia atau
menghalangi (mengganggu) kehidupan atau kehormatan, serta rasa aman mereka,
termasuk diantaranya merusak lingkungan atau salah satu pelayanan umum
atau milik masyarakat.
C. Terorisme
Bukanlah Jihad: Interpretasi terhadap Kasus-kasus Bom Bunuh Diri di
Indonesia
Ketika
berbicara terorisme maka yang yang ada dibenak kita adalah sekelompok orang berjenggot,
berpakaian jubah putih, kemana-mana membawa pedang, yang siap mati syahid
dengan balasan surga, dan selalu dikaitkan dengan kelompok Islam fundamentalis,
radikal, ekstrimis, dll. Ironisnya jihad pada zaman modern ini
sering dihubungkan dengan terorisme, apa sebenarnya hubungan jihad dengan
terorisme? Apakah jihad sebagai perang keadilan, bisa diterima dalam
prinsip-prinsip hukum-hukum humaniter perang, atau batas-batas perang yang
boleh dilakukan di masa kontemporer?[59]
Memang menyamakan jihad dengan
terorisme di zaman sekarang ini, tidak lain disebabkan kenyataan bahwa
jihad dalam pengertian perang melibatkan elemen-elemen kekerasan yang dapat
dikategorikan sebagai terorisme.[60]
Pada tanggal 16 Desember 2003 MUI
mengeluarkan fatwa, yang salah satu poinnya adalah fatwa tentang terorisme. MUI
membedakan antara terorisme dengan jihad. Untuk memperjelas perbedaan itu, MUI
membedakannya dengan menjelaskan tiga sisi penting: sifat, tujuan, dan cara.
Untuk lebih mudah, lihat gambar berikut:[61]
|
Teror
|
Jihad
|
Sifat
|
Merusak
dan Anarkis (al-Ifsad wa al-fawd}a’).
|
Perbaikan
(al-is}lah}) sekalipun
dilakukan dengan perang
|
Tujuan
|
Menciptakan
rasa takut dan menghancurkan pihak lain
|
Menegakkan
agama Allah atau membela pihak yang dizalimi.
|
Cara
|
Dilakukan
tanpa aturan dan sasaran tanpa batas.
|
Dilakukan
dengan mengikuti aturan syari’at dengan sasaran musuh yang jelas.
|
Secara eksplisit MUI menolak
kekerasan atas nama agama atau kekerasan dengan menggunakan simbol-simbol Islam
yang pada dasarnya merugikan umat Islam itu sendiri. MUI juga membedakan antara
bom bunuh diri (qatl al-nafs/ suicide bombing) dengan syahid (istishhadiyyah)
dengan penjelasan sebagai berikut:
Pertama,
dari segi tujuan, bunuh diri dilakukan untuk kepentingan dirinya sendiri;
sedangkan perbuatan istishhad dilakukan untuk kepentingan agama dan
umatnya.
Kedua,
dari segi sikap, pelaku bunuh diri bersikap pesimis, sedangkan pelaku istishhad bersikap
optimis dan cita-citanya untuk mengharapkan ridha Allah.
Ketiga, dari segi hukum, bom bunuh
diri dihukumi haram, sedangkan istishhad adalah mubah (boleh).
Isu terorisme yang dikumandangkan
oleh Amerika Serikat, adalah isu politis demi menguatkan ideologi kapitalisme
ekonomi Amerika Serikat. Konfrontasi Amerika terhadap dunia Islam sehingga
melahirkan spirit jihad di dunia Islam, inilah mungkin yang disebut terorisme
oleh Amerika, akan tetapi Amerika juga dipandang sebagai teroris dengan
membumihanguskan Irak tanpa dasar yang jelas. Perang yang dilancarkan Amerika
dengan alasan perdamaian dunia, dengan memberantas jaringan al-Qaeda yang
menghancurkan Negara Afghanistan, membumihanguskan Irak dengan alasan memerangi
senjata nuklir yang mengakibatkan ribuan umat muslim mati, hingga tuduhan
kepada Negara Islam Iran tentang senjata nuklir. Sebenarnya terorisme di
Indonesia terjadi disebabkan karena ketidakadilan Amerika terhadap
Negara-negara muslim yang kemudian muncul rasa ukhuwah islamiyahnya.
Kekecewaan yang paling mendalam
bagi sebagian umat muslim Indonesia adalah ketika terjadi pembantaian terhadap
umat Islam di Poso, tidak mendapatkan penanganan yang serius dari
pemerintah Indonesia, sehingga menimbulkan balas dendam untuk dapat membunuh
non muslim yang melahirkan aksi Istishhadiyyah.[62]
Aksi Istishhadiyah di zaman modern ini biasanya dilakukan dengan cara
bom mobil, bom bunuh diri (suicide bombing), menabrakkan kapal ke gedung
bertingkat, dll.
Aksi semacam ini menimbulkan
kontrovesial dikalangan ulama’, ada yang mengatakan aksi itu merupakan jihad
melawan orang kafir dan ada juga yang mengatakan aksi bunuh diri merupakan dosa
besar dan tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Islam. Diantara ulama’ yang
paling vokal menanggapi aksi istishhadiyyah adalah ulama’ dan sarjana
Islam Yordania, sekitar 27 orang menandatangani keputusan masalah ini.
Nama-nama ulama’ tersebut diantaranya: Muhammad Abu Faris, mantan
anggota parlemen Yordanaia dari partai Ikhwanul Muslimin, Hammam Said,
pakar hadis yang juga anggota parlemen Yordania, Ahmad Naufal, ahli
tafsir, S{alah
al-Khalidi, pakar ilmu al-Qur’an yang beberapa
karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan Yusuf Qardawi,
menjelaskan status aksi istishhadiyyah yang dilakukan HAMAS merupakan
jihad dan bukan tindakan bunuh diri yang sering diberitakan oleh media.[63]
Bolehnya aksi istishhadiyah
karena berdasarkan argumen mereka yang mengatakan bahwa aksi tersebut sudah
dikenal sejak masa kenabian, terrefleksi pada keberanian menghadapi musuh
dengan tujuan menghancurkan mereka dan memperoleh shahid fi>
sabi>lillah.
Salah satunya adalah hadis nabi yang menjelaskan peristiwa pada perang Yamamah,
ketika orang-orang bani Hanifah bertahan di benteng di kebun Musailamah yang
dikenal dengan kebun ar-Rahman atau kebun kematian. Al-Barra bin Malik berkata
kepada sahabat-sahabatnya, ”letakkan aku di tempat pelemparan biasanya memakai
batu untuk diarahkan ke musuh dan lemparkan aku menuju sasaran, kemudian mereka
melemparkannya, lalu ia menyerang musuh hingga terbuka pintu benteng tersebut
untuk kaum muslimin.[64]
Dengan ini aksi istishhadiyyah
di Indonesia tidak bisa disamakan dengan aksi-aksi yang terjadi di Palestina
umumnya di daerah Timur Tengah. Aksi disana lebih kepada ingin terlepas dari
kezaliman dan ketidakadilan yang dilancarkan orang kafir, memperjuangkan
hak-hak mereka agar tetap surviev dalam menegakkan syari’at Islam di daerah
itu. Aksi-aksi bom yang dilakukan oleh kelompok Dr. Azhari tidak dapat
dikatakan aksi Istishhadiyyah, karena mereka melakukan aksi tersebut
dalam kondisi damai, yang jadi sasaran bom mereka bukan tempat atau markas
musuh melainkan tempat-tempat umum, hotel, kantor-kantor dan yang jadi korban
adalah orang-orang yang tidak berdosa, seperti Satpam, anak kecil, ibu-ibu dan
orang-orang yang tidak bersalah lainnya. Oleh karena itu aksi bom tersebut
tidak tersebut mati syahid, sekalipun pelakunya mengklaim hal itu jihad.
Jadi, Jihad dan aksi bombing
(teror) dua kalimat yang saling kontradiksi dan tidak akan ada titik temu
antara keduanya apalagi diparalelkan. Disamping itu aksi bunuh diri dalam
bentuk aksi teror atau membunuh orang lain adalah merupakan perbuatan yang
dilarang oleh Allah dan juga melanggar hak azasi manusia.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا[65]
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.
وَلا تَقْتُلُوا
النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ [66]
Artinya: “Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar.
Dalam Islam jangankan membunuh
orang, berbuat d}arar (kerusakan)
terhadap diri sendiri dan orang lain juga tidak boleh sebagaimana disebut dalam
kaidah azas La>
d}ara>ra
wa la>
d}ira>ra
yakni larangan berbuat apa saja yang membahayakan Agama Islam. Dari apa yang
diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa perbuatan bom bunuh diri di Indonesia
ini bukanlah perbuatan jihad dengan balasan sorga, akan tetapi termasuk
perbuatan teror yang mati bunuh diri balasannya neraka.
BAB VIII
PENENTUAN I
SYAWAL DAN RAMADLON
Penentuan awal bulan hijriyah menjadi sangat berarti,
terutama sekali pada bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah, seperti bulan
Romadlon untuk menjalankan ibadah puada, bulan Syawal untuk merayakan Hari raya
'Idul Fitri, serta bulan Dzul Hijjah dimana terdapat tanggal yang berkaitan
dengan pelaksanaan haji (wuquf) dan hari raya 'idul Adha.
Ada dua cara yang disepakati oleh jumhur (mayoritas)
ulama' untuk menentukan awal bulan, yakni dengan melihat bulan (Ru'yat)
atau dengan menyempurnakan bulan 30 hari. Dengan alasan inilah, maka keraguan
dalam menentukan awal bulan dapat terbantahkan. Karena itu penentuan awal bulan
adalah dengan ru'yat, bukan dengan hisab.[67]
Hisab adalah
perhitungan secara matematis
dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender
Hijriyah.
Rukyat adalah
aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali
setelah terjadinya ijtima' (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau
dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya
tampak setelah matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding
dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat,
maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru
Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib
hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara
penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan.
Dari pendapat-pendapat para ulama' yang tertuang dalam
kitab-kitab mu'tabarah dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Di dalam menentukan awal
Romadlon dan 1 Syawal, harus berpegang
hasil ru'yat dan apabila bulan tsabit tidak terlihat, maka hitungan bulan
disempurnakan 30 hari.
Hal ini
berpijak pada hadits Nabi :
صحيح البخاري ـ حسب ترقيم فتح الباري - (3 / 34)
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ ، يَقُولُ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ، أَوْ قَالَ : قَالَ
أَبُو الْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ
ثَلاَثِينَ
"Nabi
SAW bersabda : berpuasalah karena melihat hilal dan berhentilah berpuasa karena
melihat hilal, dan jika tertutup awan, maka genapkanlah bilangan bulan sya'ban
menjadi 30 hari"
2.
Rukyah yang
sah ialah rukyah yang dilakukan dengan mata telanjang, tidak dengan menggunakan
alat bantu semacam telescop.
يجب
صوم رمضان بكمال شعبان ثلاثين يوما او رؤية الهلال اي لا بواسطة نحو مرأَة
"
Puasa Romadlon di wajibkan dengan sebab sempurnanya bulan sya'ban 30 hari anpa
perantara semacam alat optik.."
نحو مرأَة)أي كالماء والبلور الذي يقرب البعيد
ويكبر الصغير في النظر قوله)
"Yang dimaksudkan dengan semacam
optik di sini adalah semisal air dan kaca teleskop yang menjadikaan
dekat terhadap benda yang jauh dan menjadikan besar benda yang kecil dalam
pandangan mata"
3.
Hasil rukyah wajib diikuti oleh
masyarakat luas, apabila sudah ada penetapan dari pemerintah.
بغية
المسترشدين - (1 / 223)
(مسألة
: ي) : إذا ثبت الهلال ببلد عم الحكم جميع البلدان التي تحت حكم حاكم بلد الرؤية
وإن تباعدت إن اتحدت المطالع ، وإلا لم يجب صوم ولا فطر مطلقاً ، وإن اتحد الحاكم
" Ketika hilal sudah
ditetapkan untuk suatu daerah, maka ketetapan tersebut berlaku untuk semua
daerah yang menjadi kekuasaan hakim
tempat terjadinya ru'yah, meskipun saling berjauhan, asalkan masih dalam satu
matla'. Dan jika tidak dalam satu matla', maka tidak wajib berpuasa atau
berhari raya secara mutlak, meskipun di bawah kekuasaan hakim yang sama".
4.
Hasi rukyah yang belum mendapat
penetapan dari pemerintah, tidak wajib diikuti. Namun bagi orang yang
mempercayainya, wajib untuk mengikutinya, namun secara sembunyi-sembunyi.
قالت
طائفة منهم البغوي ويجب الصوم ايضا علي من اخبره موثوق به بالرؤية اذا اعتقد صدقه
وان لم يذكره عند القاضي.
"
Berkata segolongan ulama', termasuk diantaranya al-Baghowi : dan juga di
wajibkan berpuasa bagi orang yang mendapatkan berita rukyah dari orang yang
dipercaya ketika meyakini kebenarannya, meskipun belum di laporkan kepada
Qadli/ Hakim".
5.
Menurut sebagian ulama',
diperbolehkan memakai perhitungan hisab bagi ahli hisab dan orang
yang mempercayainya, namun tidak boleh memperlihatkan syi'ar hari raya kepada
khalayak ramai.
بغية المسترشدين - 1 / 227
وصحح
ابن الرفعة في الكفاية الإجزاء وصوبه الزركشي والسبكي ، واعتمده في الإيعاب
والخطيب ، بل اعتمده (م ر) تبعاً لوالده الوجوب عليهما وعلى من اعتقد صدقهما ،
وعلى هذا يثبت الهلال بالحساب كالرؤية للحاسب ومن صدقه
" Ibn Rif'ah dalam
kitab al-Kifayah mensahihkan pendapat yang menyatakan bahwa, " puasa
dengan berpedoman hisab dan ilmu perbintangan sudah dianggap mencukupi"
. pendapat ini dibenarkan oleh al-Zarkazi dan dibuat pegangan oleh al-Khotib
dan Ibn Hajar didalam kitab al-I'aab. Bahkan Muhammad al-Romli-dengan mengikuti
pendapat orangtuanya, menyatakan : bagi ahli hisab dan ahli perbintangan
wajib mengamalkan ilmunya, demikian juga bagi orang meyakini kebenarannya".
Dalam kitab Hasyiyah al-Jamal 'ala Syarh
al-Manhaj di sebutkan bahwa :
"Di
tanyakan pada asy-Syihab ar-Romli tentang: Pendapat yang dianggap kuat mengenai
bagi ahli hisab di perbolehkan mengamalkan hisabnya di dalam (memulai) ibadah
puasa, apakah hal itu ketika dapat dipastikan wujudnya hilal dan sekaligus bisa
di ru'yah? atau yang penting menurut perhitungan hisab hilal sudah wujud,
meskipun belum memungkinkan untuk di ru'yah? Karena sesungguhnya menurut para
imam mereka (ahli hisab), hilal itu terbagi dalam tiga keadaan:
1.
Bisa dipastikan wujudnya, namun belum di ru'yah.
2.
Bisa dipastikan wujudnya sekaligus di pastikan bisa untuk di ru'yah.
3. Bisa di pastikan wujudnya dan memungkinkan
untuk ru'yah.
Beliau
menjawab: "bagi ahli hisab di perbolehkan mengamalkan hisabnya, dalam
tiga keadaan di atas"[68].
BAB IX
SEJARAH BERDIRINYA
PONDOK PESANTREN
MIFTAHUL MUBTADIIN
(Krempyang
Tanjunganom Nganjuk Jawa Timur )
a.
Sejarah Pesantren Miftahul
Mubtadi’in Tanjunganom
Nganjuk
Pondok Pesantren Miftahul Mubtadi’in berkedudukan di Jl. KH. Wahid Hasyim 126
Krempyang Kel. Tanjunganom Kec. Tanjunganom Kab. Nganjuk, didirikan oleh KH. M.
Ghozali Manan pada tahun 1940. Beliau dilahirkan di Dsn. Bedrek Ds. Bedrek Kec.
Grogol Kab. Kediri tahun 1912. Pada tahun 1938 beliau menikah dengan seorang putri
yang bernama Siti Khodijah, putri dari KH. Abdul Fattah Krempyang Tanjunganom
Nganjuk dan selanjutnya menetap di dusun Krempyang sampai akhir hayatnya.
Pada waktu itu keadaan penduduk dusun
Krempyang sudah banyak yang memeluk agama Islam, akan tetapi belum begitu
tampak syi’arnya, setelah kedatangan beliau barulah syi’ar agama Islam di dusun
ini mulai tampak dan semakin berkembang dengan pesat dan selanjutnya beliau
berhasil mendirikan sebuah pondok
pesantren yang tergolong sangat sederhana.
Pesantren ini bermula dari sebuah
mushola yang
dikelola oleh KH. Abdul Fattah mertua KH. M. Ghozali Manan. Dengan berbekal
ilmu yang di pelajari di pondok pesantren Mangunsari Nganjuk, Mojosari
Nganjuk, Lirboyo Kediri dan di pondok pesantren Jampes Kediri, KH. Moh. Ghozali
Manan bermaksud untuk mengembangkan Islam melalui sistem pondok pesantren.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, beliau merintis pondok pesantren dengan
sistem belajar mengajar secara tradisional (ala pesantren kuno). Pada
periode awal ini, ruang belajar yang digunakan sangat sederhana.
Beberapa tahun kemudian,
keadaan Pesantren Miftahul Mubtadi’in agak mengalami hambatan, karena adanya
goncangan dari luar yang bermaksud ingin menggagalkan usaha beliau
dalam menegakkan ajaran agama Islam di pondok pesantren ini; akan tetapi KH. M.
Ghozali Manan tetap bertekad untuk tetap mempertahankan pondok pesantren. Dalam
usaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, beliau mengadakan musyawarah
dengan beberapa tokoh ulama’ agar pondok pesantren yang dirintisnya tetap
bertahan.
Dari hasil musyawarah dengan para tokoh
ulama’ tersebut kemudian diambil keputusan bahwa pendidikan agama Islam di
Pondok Pesantren Miftahul Mubtadi’in Krempyang harus tetap dipertahankan.
Dengan dicapainya kesepakatan tersebut, akhirnya satu penghambat dari
perkembangan Pondok Pesantren Miftahul Mubtadi’in di awal-awal berdirinya sudah
dapat teratasi. Dan sejak itu juga beliau lebih meningkatkan mutu
pendidikan di pondok pesantren.
Seiring dengan berjalannya waktu,
musholla yang dulu dikelola oleh KH. Abdul Fattah dan kemudian diteruskan oleh
KH. M. Ghozali Manan sekarang telah menjadi masjid
yang sampai saat ini tetap lestari untuk kegiatan
peribadatan para penduduk sekitar dan para santri.
Kemudian pada tahun 1942
didirikan pula sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI), dilanjutkan
pada tahun 1952 beliau mendirikan lembaga pendidikan setingkat Madrasah
Tsanawiyah (MTs), hingga pada akhirnya didirikan pula Madrasah Aliyah (MA) pada
tahun 1989.
Meskipun dalam awal perjalanannya
mengalami banyak rintangan, Alhamdulillah dengan pertolongan Allah SWT
disertai bekal fisik, mental dan spiritual yang mantap, KH. M. Ghozali Manan
diberi kemampuan untuk mempertahan dan mengembangkan
pesantrennya.
Setelah beberapa tahun lamanya, Pondok
Pesantren yang dipimpin oleh KH. M. Ghozali Manan ini kemudian perlahan-lahan
terus berkembang dan mengakar kuat sejalan dengan adanya dukungan dan peran
serta santri yang telah dibina, dididik dan dibimbing dengan kesabaran dan
ketulusan yang sungguh-sungguh. Hasil perjuangan beliau semakin
tampak, terbukti dengan eksistensi Pondok Pesantren Miftahul Mubtadi’in yang
semakin diminati dan dipercaya oleh masyarakat umum baik dari wilayah pulau
Jawa maupun luar Jawa.
Selain kesibukannya mengasuh pesantren
beliau juga sangat peduli terhadap masayarakat luas baik
melalui pengajian-pengajian di luar pesantren, organisasi kemasyarakatan maupun
kepemerintahan.
Setelah beliau wafat (tahun 1990),
Pondok Pesantren Miftahul Mubtadi’in diasuh oleh putra-putra
beliau yaitu KH. Moh. Ridlwan Syaibani sebagai pengasuh pondok putra, KH. Moh.
Hamam Ghozali sebagai pengasuh pondok putri dan Agus Nur Salim Ghozali. Pada
periode ini, perkembangan pondok pesantrenpun tampak semakin pesat dan
mengalami kemajuan yang cukup signifikan, unit pendidikan yang sudah ada tetap
berkembang dengan pesat. Kemudian unit pendidikan juga bertambah lagi dengan
lahirnya Forum Kajian Khusus Kitab Kuning (FK4) sebagai wadah dari
santri-santri purna Aliyah dan Madrasah Aliyah Mu’adalah (Madrasatul ’Ulya PP.
Miftahul Mubtadi’in), serta Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam (STAIDA).
b.
Visi, Misi dan Tujuan Pesantren
Miftahul Mubtadi’in Tanjung Anom Nganjuk
Sesuai dengan visi, misi dan tujuan dari
Pondok Pesantren Miftahul Mubtadi’in, maka visi dari Miftahul
Mubtadi’in Tanjunganom Nganjuk ditetapkan sebagai berikut, yaitu
menjadi pusat pemantapan dan pengembangan wawasan
keilmuan, keislaman dan kebangsaan dalam kerangka aqidah ahli
sunnah wal jamaah yang dijiwai akhlakul karimah yang berasaskan salafiyah.
Sedangkan misi dari Pesantren Miftahul
Mubtadi’in Tanjunganom Nganjuk yakni melaksanakan proses pembelajaran dan
pengkajian dalam bidang ilmu-ilmu KeIslaman serta melaksanakan pembinaan
profesi sesuai dengan bidang keahlian dengan dijiwai Akhlakul Karimah
Tujuan Pesantren Miftahul Mubtadi’in
Tanjunganom Nganjuk adalah menghasilkan
lulusan yang unggul dalam penguasaan ilmu-ilmu keislaman, memiliki kintegritas
moral yang tinggi, kepekaan dan kepedulian
sosial dengan dijiwai akhlakul karimah yang berasaskan salafiyah.
BAB
X
PRAKTIKUM
[1]
KH.Sirojuddin Abbas, I'tiqat Ahlus Sunnah wa al-Jama'ah,( Jaksel
:Pustaka Tarbiyah Baru 2008) , 7-9
[2]
Ibid, 18
[3]
Ibid, 168
[4]
DR.Anwar Rosihon M.Ag, Ilmu Kalam (
Bandung : Pustaka Setia, 2007 ), 29
[5]
KH.Sirojuddin Abbas, I'tiqat Ahlus Sunnah wa al-Jama'ah, 11-12
[6]
Aswaja Annahdziyah, Ajaran Ahlusunnah wa al-Jama'ah yang berlaku di NU,hal
11-12
[7]
DR.Anwar Rosihon M.Ag, Ilmu Kalam,
120
[8] Islam NU Pengawal
Tradisi Sunnu Indonesia,Drs.KH.A.Busyairi Harits, M.Ag (Surabaya : Kalista,
2010), 40.
[9] Islam NU Pengawal
Tradisi Sunnu Indonesia,Drs.KH.A.Busyairi Harits, M.Ag (Surabaya : Kalista,
2010), 41-42
[10]
Ibid, 43
[11]
Aswaja Annahdziyah, Ajaran Ahlusunnah wa al-Jama'ah yang berlaku di NU, 22
[12]
Ibid, 43
[13]
Aswaja Annahdziyah, Ajaran Ahlusunnah wa al-Jama'ah yang berlaku di NU, 23
[14]Islam
NU, Pengawal Tradisi Sunnu Indonesia,Drs.KH.A.Busyairi Harits, M.Ag, 23-24
[15]
Ibid, 25
[16]
Ngainun Naim, Sejarah Pemikiran
Hukum Islam,(Yogyakarta :Teras, 2009), 92
[17]
Ibid, 92-93
[18]Islam
NU, Pengawal Tradisi Sunni Indonesia,Drs.KH.A.Busyairi Harits, M.Ag, hal 45
[19]
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ( Jakarta : UI
Press, 1978) jilid II, 71
[20]
Rosihon Anwar, dkk., Ilmu Tsawwuf (Bandung : CV.Pustaka Setia, 2000)8-9
[21]
M.al-Fatih Suryadilaga, dkk, Miftahus Sufi, ( Yogyakarta : Teras, 2008),
227-228
[22]
Tim Penyusun, Aswaja al-Nahdliyah., ( Surabaya : Khalista, 2007), 33-34
[23]
Dr. Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik ( Semarang
: RaSAIL, 2005 ), 66-81
[24]
Dr.Hj.Sri Mulyani, Tarekat-terekat
Muktabarah di Indonesia,
(Jakarta : Kencana Predana Media Group), 7
[25]
M.al-Fatih Suryadilaga Dkk, Miftahus Sufi, 228
[26]
Louis Ma'luf, al-Munjid fi lughah wa al-'Alam ( Beirut : Dar al-Masyriq,
1975 ), 465
[27]
Muhammad Sabit al-Fandi, dkk., Dairat al-Ma'arif al-Islamiyat, ( Teheran
: Intisyarat Jahham, Ttp) Jilid XV, 172
[28]
KH. A.Aziz Masyhuri, Al-Fuyudlat al-Rabbaniyyah fi Muqarrarati al-Mu'tamar
wa al-Musyawarah li Jam'iyah Ahl al-Thariqah al-Mu'tabarah al-Nahdliyyah, (
Surabaya : Khalista, 2005 ) 21
[29]
[29] Dr.Hj.Sri Mulyani, Mengenal
dan Memahami Tarekat-tarekat muktabarah di Indonesia ( Jakarta : kencana
Prenada Group, 2004 )-
[32]
Azunardi Azra, Jaringan Ulama' Timur Tengah ( Bandung : Mizan, 2004 ) 264
[34]
Ibid, 163
[35]
Ibid 182
[38]Ibnu Taimiyah nama lengkapnya adalah Taqiyuddin
Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah, lahir di kota Harran wilayah Syiria.
Penganut madzhab Hanbali, sangat memusuhi bid'ah dan memerangi tokoh-tokoh
mistik, dibidang usuluddin ia selalu bertentangan dengan pemikiran Abu Hasan
al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi . Ibnu Qayyim adalah salah satu murid
Ibnu Taimiyah, ia lahir di Damasykus tahun 691,
bernama lengkap Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa'ad bin Harist
al-Zar'i al-Dimisyqi, ia lebih dikenal dengan dengan Ibnu Qayyim sama dengan
gurunya penganut madzhab Hanbali.
[39] Ibid 172
[40] Ibid 184-186
[41]
KH.Sirojuddin Abbas, I'tiqat Ahlus Sunnah wa al-Jama'ah,
389-392
[42]
KH.Sirojuddin Abbas, I'tiqat Ahlus Sunnah wa al-Jama'ah,393-402
[43] http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/
[44]
Sebagian besar informasi yang ada menunjuk tahun kelahiran Syaikh
Taqiyuddin tahun 1909 M. Akan tetapi salah seorang anggota Hizb al-Tahrir yang
dekat dengannya yaitu as-Sayid Abu Jamal telah menguatkan bahwa ia mendengar
dari an-Nabhani sendiri, ia lahir pada
tahun 1913 M. Sedangkan dalam al-Mausu’ah al-Muyassarah juz 1 hal. 341
juga menyebutkan tahun kelahiran dan wafatnya an-Nabhani secara berbeda, yaitu
(1297-1326 H/ 1908-1977 M) di Palestina
[45] Abu Za’rur, Ash-Shahwah al-Islamiyyah
bayn al-Waqi’ wa Tathla’at al-Mustaqbal,.., 205.
[46] Ibid., 205-206.
[47] Abu Za’rur, Ash-Shahwah al-Islamiyyah
bayn al-Waqi’ wa Tathla’at al-Mustaqbal,.., 206.
[48] http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/
[49] Front Pembela Aqidah Ahlussunnah, Bahaya
Hizbut Tahrir, 2006, 10, (www.darulfatwa.org.au)
[50] Ibid.
[51] Ibid., 13.
[52] Ibid.
[53] Ibid, 17-18
[54] Syamsuri, Fundamentalisme Islam
Indonesia,…,, 21
[55]
Ibnu
Hamam, Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid. Syarh Fath al-Qadir. Juz V.
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995),187
[56]
Samsurizal
Panggabean, "Makna Jihad dalam al-Qur'an", dalam Jurnal Islamika,
No. 4 April-Juni 1994, 99.
[57]
Al-Qur'an, al-Nisa>’: 77
[58]
Al-Qur'an, al-Taubah: 29
[59]
Azyumardi
Azra, Pergolakan Politik, 146
[60] Ibid.,
146.
[61]
Jaih
Mubarok, “Fatwa tentang Protes Politis di Indonesia” dalam Kamaruddin Amin,
dkk.(ed.) Quo Vadis Islamic Studies in Indonesia Current Trends and Future
Challenges. (Jakarta: Depag RI, 2006), 122.
[62]
Istishhadiyyah adalah
mengharap dan berusaha mendapatkan mati syahid dengan cara terbunuh di jalan
Allah, sebagaimana yang disyari’atkannya
[63]
Luthfi
Assyaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqh Kontemporer (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1998), 9-11.
[64]
Nawal
Hail Takruri, Aksi Bunuh Diri atau Mati Syahid, Terj. Muhammad Arif
Rahman dan Muhammad Suharsono (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002), 17
[65]
Al-Qur'an, al-Nisa’: 29
[66]
Ibid., al-Isra’: 33
0 komentar:
Posting Komentar
Guna Pengembangan Blog ini admin mohon komentarnya_terimakasih.