جواز الإدغام

Written By riyadu's blogs on Rabu, 19 Maret 2014 | 20.45



جواز الإدغام
Boleh menggunakan idghom dan meninggalkannya pada 4 tempat:
1.         Apabila huruf awal dari kedua huruf idghom itu berharokat, dan huruf keduanya mati dengan tanda sukun yang menunjukkan pada keadaan jazm atau [1]شبه الجزم seperti لَمْ يَمُدَّ مُدَّ dibaca dengan idghom, لَمْ يَمْدُدْ dengan meninggalkan idghom. Sedangkan dalam hal ini meninggalkan idghom itu lebih baik, seperti ayat al Qur-an يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِىءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ QS An Nur: 35 dan وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوْبِهِمْ QS Yunus: 88.
Pada keadaan jazm atau syibh jazm kemudian dalam proses pengidghoman bertemu dengan alif tatsniyah, wawu jama’, ya’ mukhotobah atau nun taukid, maka wajib idghom untuk menghilangkan sukun huruf kedua contoh: لَمْ يَمُدَّا مُدَّا, لَمْ يَمُدُّوا مُدُّوا, لَمْ تَمُدِّي مُدِّي, لَمْ يَمُدَّنْ مُدَّنْ, لَمْ يَمُدَّنَّ مُدَّنَّ . Tetapi apabila bertemu dengan ضمير متحرك محل رفع maka proses pengidghoman dicegah, sebagaimana keterangan yang akan datang.
Pada keadaan fi’il mudlori’ yang majzum dan pada fi’il amar sedangkan harokat huruf kedua dalam proses pengidghoman tidak bersambung dengan sesuatu, maka harokat huruf yang di idghom mengikuti harokat fa’ fi’ilnya. Dalam hal ini adalah qoul yang paling banyak. Dan dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat dlomah serta huruf idghom yang berharokat dlomah boleh juga memberi harokat fathah maupun kasroh pada huruf idghomnya, seperti: رُدَّ لَمْ يَرُدَّ , رَدَّ لَمْ يَرُدَّ. Dan dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat fathah serta huruf idghom yang berharokat fathah boleh juga memberi harokat kasroh pada huruf idghomnya, seperti: عَضِّ لَمْ يَعَضِّ. Begitu pula dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat kasroh serta huruf idghom yang berharokat kasroh boleh juga memberi harokat fathah pada huruf idghomnya, seperti: فِرَّ لَمْ يَفِرَّ.
Haruslah kita ketahui dari keterangan di atas bahwa sesungguhnya dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat dlomah diperbolehkan memberi harokat dlomah, fathah maupun kasroh pada huruf idghom. Adapun harokat kasroh pada keadaan tersebut sangatlah lemah, sedangkan harokat  fathah itu menyerupai dengan dlomah dalam segi kekuatan dan banyak pemakaiannya. Dan bahwasanya dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat fathah diperbolehkan memberi harokat fathah maupun kasroh pada huruf idghom, adapun harokat fathah lebih utama dan lebih banyak pemakaiannya. Begitu pula dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat kasroh diperbolehkan memberi harokat kasroh dan fathah pada huruf idghom, adapun harokat kasroh dan fathah itu sama saja dalam segi penggunaannya.
Dari keterangan di atas fi’il mudlori’ yang jazm alamat I’robnya dengan sukun yang dikira-kirakan pada akhirnya, yang mencegah tampaknya sukun adalah harokat idghom. Begitu juga pada fi’il amar, alamat i’robnya yaitu sukun yang dikira-kirakan, harokat idghom mencegah nampaknya sukun tersebut.
Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya hamzah washol pada fi’il amar dari fi’il tsulatsi mujarrod, seperti: اُمْدُدْ hamzah washol tidak di butuhkan lagi setelah proses idghom, kemudian hamzah washol dibuang, seperti: مُدَّ karena hamzah washol hanya didatangkan untuk menyelamatkan huruf awal dari sukun. Maka sungguh telah hilang sebab-sebab mendatangkan hamzah washol karena awal kalimat مُدَّ telah berharokat.
2.         Apabila ‘ain fi’il dan lam fi’il berupa huruf ياء yang harus berharokat keduanya seperti: عَييَ حَييَ maka diucapkan dengan idghom عَيَّ حَيَّ.
Apabila harokat huruf kedua menunjukkan/dibutuhkan untuk alamat I’rob, seperti لَنْ يُحْيِيَ رَأَيْتُ مَحْيِيًا maka proses idghom dicegah. Begitu pula jika sukun huruf kedua menunjukkan alamat i’rob seperti: عَيَيْتُ حَيَيْتُ.
3.         Apabila dua huruf تاء bertempat pada permulaan fi’il madli, seperti: تَتَابَعَ تَتَبَّعَ maka boleh diidghomkan bila fi’il madli tersebut bersambung dengan hamzah washol, hal itu untuk mencegah huruf awal yang disukun karena proses pengidghoman seperti اِتَّابَعَ اِتَّبَّعَ. Tetapi jika dua تاء tersebut bertempat pada fi’il mudlori’ maka tidak boleh mengidghomkannya, tetapi boleh meringankannya dengan membuang salah satu dari dua تاء seperti: تَتَجَلَّى تَتَلَظَّى menjadi تَجَلَّى تَلَظَّى. Seperti dalam firman Alloh SWT: تَنَزَّلُ الْمَلئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا QS Al Qodr: 4, ناَرًا تَلَظَّى QS Al Layl:14, asalnya adalah تَتَنَزَّلُ تَتَلَظَّى. Dalam hal ini (membuang salah satu تاء) adalah yang paling masyhur dan paling banyak pemakaiannya.
4.         Apabila ada dua huruf sejenis yang berdampingan dan keduanya berharokat serta terletak dalam dua kalimat, seperti: جَعَلَ لِىْ كَتَبَ بِالْقَلَمِ maka boleh di idghomkan dengan memberi harokat sukun pada huruf awal, kemudian menjadi: جَعَلْ لِىْ كَتَبْ بِالْقَلَمِ. Dalam keadaan ini boleh idghom hanya pada lafadz, tidak secara tulisannya.

امتناع الإدغام
Idghom dilarang pada 7 tempat:
1.         Ketika dua huruf berada pada pemulaan kalimat seperti: دَدَنٍ دَدًا دَدٍ دَدَانٍ تَتَرٍ دَنَنٍ[2].
2.         Ketika ada dua huruf pada kalimah isim yang mengikuti wazan فُعَلٍ (dengan mendlomah fa’ fi’il dan memfathah ‘ain fi’il) seperti دُرَرٍ جُدَدٍ صُفَفٍ[3]. Atau mengikuti wazan فُعُلٍ (dengan mendlomah fa’ fi’il dan ‘ain fi’il) seperti سُرُرٍ ذُلُلٍ جُدُدٍ[4]. Atau mengikuti wazan فِعَلٍ (dengan mengkasroh fa’ fi’il dan memfathah ‘ain fi’il) seperti لِمَمٍ كِلَلٍ حِلَلٍ[5]. Atau mengikuti wazan فَعَلٍ (dengan memfathah fa’ fi’il dan ‘ain fi’il) seperti طَلَلٍ لَبَبٍ خَبَبٍ[6].
3.         Apabila ada dua huruf  yang bertempat pada fi’il ruba’i mulhaq, baik itu mulhaq mazid, seperti: جَلْبَبَ atau mulhaq yang tidak mazid, seperti: هَيْلَلَ[7]
4.         Apabila bertemu dua huruf yang mati sedangkan huruf yang pertama sudah idghom seperti: هَلَّلَ[8] مُهَلِّلٌ شَدَّدَ مُشَدِّدٌ. Pada hal ini dilarang karena apabila terjadi proses idghom pada huruf kedua maka akan terjadi pengulangan idghom, sedangkan pengulangan idghom itu tidak diperbolehkan.
5.         Apabila terdapat dua huruf yang mengikuti wazan أَفْعَلَ dan berkedudukan/ menunjukkan تَعَجُّب contoh: أَعْزِزْ بِالْعِلْمِ! أَحْبِبْ بِهِ! Maka tidak boleh mengucapkan lafadz tersebut dengan أَعَزَّ بِالْعِلْمِ! أَحَبَّ بِهِ!.
6.         Apabila harokat sukun pada salah satu huruf idghom menunjukkan ‘alamat I’rob karena bersambung dengan dlomir متحرك محل رفع contoh: مَدَدْتُ , مَدَدْنَا مَدَدْتَ مَدَدْتُمْ مَدَدْتُنَّ.
7.         Apabila terdapat kalimat yang syad (keluar dari qo’idah) orang ‘arob sedangkan kalimat itu tidak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu kalimat-kalimat yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya.

فائدة
Apabila terdapat فعل ماضى ثلاثى مجرد yang dikasroh a’in fi’ilnya yang berbina’ مضاعف serta disandarkan/ bertemu dengan ضمير متحرك محل رفع maka dalam hal ini terdapat 3 hukum:
1.         Menggunakan lafadz tersebut secara sempurna yaitu meninggalkan/ tidak menggunakan proses pengidghoman, contoh pada lafadz ظَلَّ dibaca ظَلِلْتُ.
2.         Membuang ‘ain fi’ilnya beserta tetapnya harokat fathah pada fa’ fi’il, contoh: ظَلْتُ.
3.         Membuang ‘ain fi’ilnya dan memindah harokat kasroh ’ain fi’il ke fa’ fi’il setelah membuang harokat fathah fa’ fi’il tersebut, contoh: ظِلْتُ.
Alloh SWT berfirman:
وَانْظُرْ إِلَى إِلهِكَ الَّذِى ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا (طه:٩٧)  , لَوْ نَشَاءُ لَجَعَلْنَاهُ حُطَامًا فَظَلْتُمْ تَفَكَّهُوْنَ[9] (الواقعة:٦٥)
Kedua ayat tersebut dibaca dengan memfathah huruf ظاء dengan tetapnya harokat ظاء tersebut, atau dengan memberi harokat kasroh pada huruf ظاء dikarenakan harokat huruf ظاء dibuang kemudian memindah harokat huruf لام yang dibuang ke huruf ظاء.
 Kemudian bila terdapat فعل مضارع ثلاثى مجرد atau فعل أمر ثلاثى مجرد yang berbina’ مضاعف yang dikasroh ‘ain fi’ilnya serta disandarkan/ bertemu dengan ضمير متحرك محل رفع maka dalam hal ini terdapat dua hukum:
1.         Boleh dibaca itmam (tidak menggunakan qo’idah idghom) contoh pada lafadz يَقِرُّ قِرَّ dibaca يَقْرِرْنَ اِقْرِرْنَ
2.         Boleh membuang ‘ain fi’ilnya kemudian memindah harokat ‘ain fi’il ke lam fi’il, contoh: يَقِرْنَ قِرْنَ. Sebagian contohnya terdapat dalam Al Qur-an pada bacaan selain إمام نافع dan إمام عاصم yaitu وَقِرْنَ فِى بُيُوْتِكُنَّ (الأحزاب ٣٣) dengan memberi harokat kasroh pada qof.
Dalam hukum yang kedua ini tidak diperbolehkan memberi harokat fathah pada ‘ain fi’il kecuali pada lafadz-lafadz yang sima’i, contoh: وَقَرْنَ فِى بُيُوْتِكُنَّ (dengan memfathah qof) pada bacaan إمام نافع, إمام عاصم, dan إمام حفص.
Sedangkan pembacaan kasroh pada قِرْنَ itu asalnya adalah اِقْرِرْنَ dikarenakan lafadz قَرَّ bias menduduki dua tempat yaitu:
1.        Bab فَعَلَ يَفْعِلُ dengan memfathah ‘ain fi’ilnya pada f’il madli dan mengkasroh ‘ain fi’ilnya pada f’il mudlori’.
2.        Bab فَعِلَ يَفْعَلُ dengan mengkasroh ‘ain fi’ilnya pada fi’il madli dan memfathah ‘ain fi’ilnya pada fi’il mudlori’.


٢ الإعلال
الإعلال adalah membuang huruf ‘illat atau menggantinya atau menyukunnya (mematikannya). Membuang huruf ‘illat seperti: يَرِثُ asalnya يَوْرِثُ. Mengganti huruf ‘illat seperti قَالَ asalnya قَوَلَ. Menyukun huruf ‘illat seperti يَمْشِيْ asalnya يَمْشِيُ.

الإعلال بالحذف
Huruf ‘illat dibuang pada tiga tempat yaitu:
1.         Apabila huruf  ‘illat tersebut berupa huruf mad dan sesudah huruf mad terdapat huruf yang mati (berharokat sukun) contoh: قُمْ خَفْ بِعْ قُمْتُ خِفْتُ بِعْتُ يَقُمْنَ يَخَفْنَ يَبِعْنَ رَمَتْ تَرْمُوْنَ تَرْمِيْنَ قَاضٍ فَتًى asalnya adalah قُوْمْ خَاْفْ بِيْعْ قُوْمْتُ خِيْفْتُ بِيْعْتُ يَقُوْمْنَ يَخَاْفْنَ يَبِيْعْنَ رَمَاْتْ تَرْمِيُوْنَ تَرْمِيِيْنَ قَاضِيُنْ فَتَاْنْ[10]. Adapun pembuangan huruf ‘illat disini dikarenakan untuk mencegah bertemunya dua huruf yang mati.
Qo’idah diatas tidak berlaku apabila sesudah huruf ‘illat tedapat huruf mati yang terkena proses pengidghoman dan berada dalam satu kalimah, maka huruf ‘illat tersebut tidak boleh dibuang dikarenakan idghom adalah menjadikan dua huruf yang salah satunya mati menjadi satu huruf dan berharokat, contoh: شَادَّ يُشَادُّ شُوَدَّ.
Apabila menunjukkan pemberian harokat pada huruf yang mati seperti خَفِ اللهَ قُلِ الحَقَّ maka harokat tersebut tidak dihargai/ dianggap, karena harokat tersebut menunjukkan pada hilangnya huruf. Pembuangan yang seperti ini bukanlah yang dimaksud pada bab ini.
2.         Apabila terdapat fi’il-fi’il yang berbina’ مثال واو serta mengikuti wazan يَفْعِلُ (yang dikasroh ‘ain fi’ilnya), maka fa’ fi’ilnya dibuang ketika berada pada fi’il mudlori’contoh: يَعِدُ, fi’il ‘amar contoh: عِدْ dan pada mashdar contoh: عِدَةً ketika fa’ fi’il diganti dengan ta’.
Tetapi apabila fa’ fi’il tidak diganti dengan ta’, maka fa’ fi’il tidak boleh dibuang. Tidak diperbolehkan mengucapakan lafadz وَعَدَ عِدًا dikarenakan tidak adanya pergantian antara fa’ fi’il dengan ta’. Begitu juga tidak diperbolehkan mengumpulkan antara fa’ fi’il dan ta’, maka tidak boleh mengucapakan وَعْدَةً, kecuali bila ta’ itu didatangkan untuk menghendaki ma’na bilangan atau jenis, bukan untuk mengganti, contoh: وَعَدْتُهُ عِدَةً وَاحِدَةً أَوْ عِدَةً حَسَنَةً.
Pengecualian juga berlaku ketika huruf ‘illat berada pada فعل مبني مجهول yang berbina’ مثال يائ seperti: يُيْسَرُ dan ketika berbina’ مثال واو yang mengikuti wazan يَفْعَلُ (dengan memfathah ‘ain fi’il) seperti: يُوْجَلُ يُوْحَلُ maka huruf ‘illat tersebut tidak dibuang. Sedangkan terhukumi syadz lafadz-lafadz seperti: يُدَعُ يُذَرُ يُهَبُ يُسَعُ يُضَعُ يُطَأُ يُقَعُ (dengan membuang wawu, sedangkan harokat ‘ain fi’ilnya adalah fathah).
3.         Apabila huruf ‘illat berada pada فعل معتل الاخر maka huruf ‘illat dibuang ketika menduduki فعل أمر المفرد المذكر contoh: اِخْشَ اُدْعُ اِرْمِ, juga berlaku pada fi’il mudlori yang akhirnya tidak bersambung dengan sesuatu, seperti: لَمْ يَخْشَ لَمْ يَدْعُ لَمْ يَرْمِ. Huruf ‘illat tersebut dibuang bukan karena I’lal, tetapi untuk mewakili sukunnya bina’ pada fi’il amar dan untuk mewakili sukunnya I’rob pada fi’il mudlori’.


[1]     شبه الجزم: matinya huruf pada fi’il amar yang mufrod
[2]     الدَدَن والدَدَا والدَد: senda gurau dan permainan. الددان: orang yang tidak punya harta dan tidak bermanfaat. التتر:  الدنن: condongnya matahari/baying-bayang pada waktu dhuhur.
[3]     الجُدَد bentuk jama’ dari lafadz جُدَةٌ: jalan dan petunjuk. الصُفَف bentuk jama’ dari صفة: rumah yang bersih, bangunan yang mempunyai 3 pagar, rumah yang terlindung dari panas.
[4]     السُرُر bentuk jama’ dari سرير. الذُلُل bentuk jama’ dari ذَلُوْل: unta yang tidak bekerja keras. الجُدُد bentuk jama’ dari جَدِيدٌ.
[5]     اللِمَم bentuk jama’ dari لِمة: rambut yang tumbuh malampaui cuping (tempat anting-anting). Ketika sampai pada bahu maka dinamakan جُمَّة. الكِلَل bentuk jama’ dari كِلَّة: satir/kain penutup yang tipis, tutup yang dijahit agar rumah bersih dari nyamuk. Dalam pengetahuan kita dinamakan dengan kelambu (النَامُوسِيَّة). الحِلَل jama’ dari حِلَّة: tempat tinggal sementara/pemukiman. Adapun الحُلَّة bentuk mufrod dari حُلَل berma’na: pakaian yang dibuat dari dua baju seperti jubah dan selendang.
[6]     الطلل: sesuatu yang tinggi dari bekas rumah, tingginya setiap sesuatu dan tempat yang tinggi, bentuk jama’nya adalah إطلال dan طلول. اللبب: tempat kalung didada, dan sesuatu yang dibuat untuk mengikat leher hewan supaya seseorang bisa menahannya dari berhenti (tali kendali binatang) dan sesuatu yang lembut dari pasir, bentuk jama’nya adalah الألباب. الخبب: jenis/macam- macam cara kuda berjalan yaitu untuk peristirahatan kuda antara kaki depan dan belakang/ jarak antara kaki depan dan belakang ketika kuda berjalan.
[7]     هَيْلَلَ adalah kebanyakan berasal dari kalimat لاإله إلاالله yaitu salah satu kalimat manhut yang ditinjau susunan kalimatnya, begitu juga seperti lafadz بَسْمَلَ yaitu ketika mengucap بسم الله الرحمن الرحيم.
[8]     هَلَّلَ ketika mengucap لاإله إلا الله. هَلَّلَ فُلَانٌ orang yang penakut kemudian lari. هَلَّلَ عَنْ قَرِيْنِهِ orang yang mundur dari barisan dan terlambat. هَلَّلَ الكَاتِبُ menulis.
[9]     تَفَكَّهُوْنَ asalnya تَتَفَكَّهُوْنَ. Ma’nanya berbincang-bincang tentang sesuatu mengenai kamu semua. Sedangkan ma’na asalnya التفكه adalah banyak melakukan perpindahan pembicaraan dengan berbagai macam gurauan (fitnah) kemudian seseorang memutar balikkan fakta pembicaraan itu pada orang yang diajak bicara. Sebagian dari gurauan (fitnah) itu adalah peristiwa mengenai manusia.
[10]    Huruf nun pada lafadz قَاضِيُنْ فَتَاْنْ adalah nun tanwin yang dilafadzkan tetapi tidak ditulis. Apabila kita menuliskannya untuk menunjukkan bahwa tanwin adalah nun yang mati, maka berkumpullah nun tersebut dengan huruf mati sebelumnya, yaitu huruf ya’ pada lafadz القاضي dan alif pada lafadz الفتى  maka bertemulah dua huruf yang mati, kemudian huruf mad dibuang menjadi قَاضِنْ فَتَنْ kemudian nun tanwin tidak di butuhkan karenaterjadi pengulangan harokat, dan huruf alif pada lafadz الفتى dikembalikan lagi penulisannya supaya lafadz tersebut memungkinkan untuk waqof.
Blog, Updated at: 20.45

0 komentar:

Posting Komentar

Guna Pengembangan Blog ini admin mohon komentarnya_terimakasih.