Written By riyadu's blogs on Minggu, 27 April 2014 | 23.42

MATERI ASWAJA UNTUK MA / MU
BAB I
FIRQOH-FIRQOH DALAM ISLAM
       Dalam sejarah islam telah tercatat adanya firqoh-firqoh ( golongan ) di lingkungan umat Islam, yang antara satu dengan lainnya bertentangan pahamnya secara tajam yang sulit untuk didamaikan.
       Hal ini sudah menjadi fakta dalam sejarah yang tidak dirubah lagi, dan sudah termaktub dalam kitab-kitab agama, terutama kitab ushuluddin. Dan juga banyak terdapat hadits-hadits yang bertalian adanya firqoh-firqoh yang berselisih paham dalam lingkungan umat Islam. Diantara hadits-hadits itu adalah [1]:
A.     Dalil
1.
عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال تفرقت اليهود على إحدى وسبعين أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى مثل ذلك وتفترق أمتي ثلاث وسبعين فرقة (سنن الترمذي)
Artinya : Dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW bersabda " Telah berfirqoh-firqoh orang Yahudi atas 71 atau 72 golongan dan orang Nashara sepeti itu pula dan umatku berfirqoh  atas 73 firqoh".
2.
إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي( رواه الترمذي)
"Bahwasanya Bani Israil telah berfirqoh-firqoh sebanyak 72 millah (firqoh) dan umatku akan berfirqoh sebanyak 73 firqoh, semuanya masuk neraka kecuali satu" para sahabat bertanya " siapakah yang satu itu Ya Rasul. ?, Nabi menjawab " yang satu itu ialah orang yang berpegang(beri'tiqad) sebagai peganganku (i'tiqadku) dan pegangan sahabat-sahabatku"
3.
عن أنس بن مــالك قال : قال رســول الله صــلى الله عليه وســلم : " ان بني اســرائيل افترقت على احدى وســبعين فرقة , وان أمتي ستفترق على ثنــتين وسبعين فرقــة كلها في النار الا واحدة, وهي الجمــاعة "
        Artinysa:  Dari Anas bin Malik berkata, rasulullah SAW bersabda; “ Sesungguhnya bani Israil akan berkelompok menjadi 71 golongan dan sesungguhnya  umatku akan berkelompok menjadi 72 golongan, semua di neraka kecuali satu, yaitu al-jamaah”.      ( HR.Ibn Majah, Ahmad, al-lakai dan lain. Hadits sanad baik)
           
B.      SEJARAH TIMBULNYA FIRQOH
       Yang teramat mulia Nabi Muhammad SAW wafat pada tanggal 12 Rabi' Awwal  11 H / 8 juni 632 .
       Pada hari wafat beliau, sekumpulan kaum Anshar dan Muhajirin  berkumpul di balairung bernama SAQIFAH BANI SA'IDAH untuk mencari khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW. Kaum Anshar ini dipimpin oleh Sa'ad bin Ubadah dan kaum muhajirin dipimpin oleh Abu Bakar Shiddiq Rda. Setelah terjadi perdebatan diantara kedua golongan tersebut, akhirnya Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pertama. Dalam perdebatan ini belum  menimbulkan firqoh dalam usuluddin karena terpilihnya Abu Bakar secara aklamasi ( suara sepakat ).
       Pada tahun 30 Hijriyah timbul paham Syi'ah ( kaum yang beri'tiqad bahwa saidina Ali Kw adalah orang yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad ) yang diapi-apikan oleh Abdullah bin Saba' yang beroposisi terhadap khalifah Ustman bin Affan[2].
       Ketika terjadi perang "siffin" tahun 37 H diantara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pihak Muawiyah bertempat di Irak bernama Siffin. Perang ini menimbulkan korban yang sangat banyak yaitu dipihak Ali gugur 25.000 orang dan dipihak Mu'awiyah 45.000 orang.
       Jalannya peperangan menguntungkan pihak Ali Kw. Hampir seluruh pasukan Mu'awiyah lari kucar-kacir, akan tetapi mereka mengangkat mushaf pada ujung tombak dan menyerukan penghentian peperangan ( cease fire ).
       Mula –mula saidina Ali tidak mau menerima ajakan ini, karena beliau tahu bahwa hal itu hanyalah siasat orang yang hampir kalah, tetapi saidina Ali didesak oleh sebagian tentaranya, sehingga ada yang mengatakan " Mengapa kita tidak mau berhukum kepada al-Qur'an ?" .
       Akhirnya saidina Ali menerima tawaran penghentian peperangan dan pulang ke Bagdad, sedang pasukan Mu'awiyah pulang ke Damaskus. Kemudian kedua belah pihak melanjutkan perundingan dengan mengirimkan delegasi. Pihak saidina Ali menyusun delegasi dipimpin Abu Musa al-Asy'ari dan pihak Mu'awiyah di bawah pimpinan 'Amru bi 'Ash.
       Tetapi disayangkan, ketika itu ada sebagian pasukan saidina Ali yang berbalik. Mereka tidak suka berhukum kepada al-Qur'an yang diserukan pasukan Mu'awiyah. Mereka keluar dari saidina Ali dan Mu'awiyah serta membenci keduanya. Mereka menamakan dirinya kaum Khawarij dengan membawa slogan " La Hukma illa Lillah " (tidak ada hukum kecuali pada Allah )[3].
       Harun Nasution melihat bahwa persoalan kalam yang pertama muncul adalah siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Khawarij sebagaimana telah disebutkan memandang bahwa orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim ( arbitrase ), yakni Ali , Mu'awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy'ari adalah kafir berdasarkan firman Allah Al-Maidah ayat 44.
       Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu :
1.AliranKhawarij . menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir. Dalam arti telah keluar dari islam dan wajib dibunuh.
2.Aliran Murji'ah, menegaskan bahwa bahwa orang yang berdosa besar masih mu'min dan bukan kafir. Adapun dosa yang telah dilakukan terserah Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3.Aliran Mu'tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mu'min. Mereka mengambil posisi diantara mu'min dan kafir ( al-Manzilah bain al-manzilataini ).[4]
      
C.     FIRQOH-FIRQOH YANG BERPENGARUH DALAM ISLAM
       Ketika kita melihat sejarah perkembangan Islam dari abad pertama, kedua dan ketiga sampai zaman kita sekarang, apa yang dikatakan Nabi Muhammad SAW sudah nyata kebenarannya.
       Dalam kitab Bughyatul Murtasyidin, karangan mufti Syaikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, yang dimasyhurkan dengan gelar Ba'lawi, pada pagina 398, cetakan Mathba'ah Amin Abdul Majid Cairo (138 H ), bahwa 72 firqoh yang sesat itu berpokok pada 7 firqoh, yaitu :
1.      Kaum Syi'ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Sayidina Ali Kw. Mereka tidak mengakui kahalifah-khalifah Abu Bakar, Umar, Ustman RA. Kaum syiah ini terpecah menjadi 22 aliran.
2.      Kaum Khawarij yaitu kaum yang berlebih-lebihan membenci Sayidina Ali Kw. Bahkan ada diantaranya yang mengkafirkan Sayidina Ali Kw. Firqoh ini berfatwa bahwa orang-orang yang berbuat dosa besar menjadi kafir.
3.      Kaum mu'tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa manusia membuat pekerjannya sendiri, bahwa tuhan tidak bisa dilihat dengan mata dalam surga, dan mi'roj Nabi Muhammad hanya dengan ruh saja. Kaum Mu'tazilah ini berpecah menjadi 20 aliran.
4.      Kaum Murji'ah, yaitu kaum yang mengfatwakan bahwa membuat maksiat (kedurhakaan) tidak memberi madlorot kalau sudah beriman, sebagai keadaannya membuat kebajikan tidak memberi manfaat kalau kafir. Kaum murji'ah ini terpecah menjadi 5 aliran.
5.      Kaum Najariyah, yaitu keum yang mengfatwakan bahwa perbuatan manusia adalah mahluk, yakni dijadikan Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat tuhan tidak ada. Kaum Najariyah ini terpecah menjadi 3 aliran.
6.      Kaum Jabariyah, kaum yang mengfatwakan bahwa, manusia "majbur" , artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya ada 1 aliran.
7.      Kaum Musyabbihah, yaitu kaum yang mengfatwakan bahwa ada keserupaan Tuhan dengan manusia, umpamanya bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik tangga, turun tangga dan lain-lain. Kaum ini hanya 1 aliran.
     Jumlah dari semua perpecahan 7 golongan di atas adalah 72  golongan, kalau ditambah 1 paham kaum Ahlus Sunnah wal Jama'ah maka menjadi 73 firqoh, sebagaimana yang ditarangkan Nabi Muhammad dalam hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi.   
     Adapun kaum Qodariyah termasuk golongan kaum Mu'tazilah, kaum Bahaiyah dan Ahmadiyah Qadyan masuk golongan Syi'ah. Kaum Ibnu Taimiyah masuk golongan kaum Musyabbihah dan kaum wahabi termasuk kaum pelaksana dari paham Ibn Taimiyah[5].
BAB II
MENGENAL TEOLOG  AHLUSSUNNAH WA AL-JAMA'AH (Abu Hasan Al-Asy`ari dan Abu Mansur Al-Maturidi)
    
     Pada zaman Rasululloh SAW masih ada perbedaan pendapat diantara kaum muslimin ( sahabat ) langsung dapat diselesaikan oleh Nabi Muhammad. Tetapi sesudah beliau wafat, perbedaan sering mengendap lalu terjadi permusuhan dan pertentangan diantara mereka. Sesungguhnya pada mulanya, persengketaan akibat pertentangan imamah, bukan aqidah. Dari situ, kemudian merambah pada persoalan aqama, terutama seputar hukum seorang yang berbuat dosa besar dan setatusnya masih islam atau kafir.
     Di tengah pertentangan itu, lahirlah dua kelompok moderat yang berusaha mengkompromikan keduanya. Kelompok ini kemudian dinamakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah (Aswaja). Dua kelompok itu adalah Asy'ariyah (Imam Abu Hasan al-Asy'ari) dan Maturidiyah ( Imam Abu Mansur al-Maturidi )[6].
A .Abu Hasan Al-Asy`ari
1.Biografi Abu Hasan Al-Asy`ari
                        Nama lengkap Al-Asy'ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy'ari. Menurut beberapa riwayat, al-Asy'ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H / 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/ 935 M.
                        Menurut Ibn Asakir, ayah Abu Hasan Al-Asy`ari adalah seseorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Abu Hasan Al-Asy`ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-saji agar mendidik Abu Hasan Al-Asy`ari. Ibu Abu Hasan Al-Asy`ari sepeninggal ayahnya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu'tazilah yang bernama Abu Ali al-Juba'I ( w.303 H/915 M ). Berkat didikan ayah tirinya itu, Abu Hasan Al-Asy`ari kemudian menjadi tikoh Mu'tazilah. Ia sering menggantikan Al-Juba'I dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu'tazilah. Selain itu, ia juga banyak menulis buku yang membela alirannya.
                        Abu Hasan Al-Asy`ari menganut paham Mu'tazilah hanya sampai berusia 40 tahun. Setelah itu secara tiba-tiba ia mengumumkan kepada jama'ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu'tazilah dan menunjukkan keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Abu Hasan Al-Asy`ari meninggalkan faham Mh'tazilah adalah pengakuan Abu Hasan Al-Asy`ari yang telah sebanyak tiga kali, yaitu malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham mu'tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau[7].
           
2. Doktrin-doktrin teologi Abu Hasan Al-Asy`ari
     Pemikiran Abu Hasan Al-Asy`ari  yang terpenting adalah sebagai berikut ini :
Aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth) di antarakelompok-kelompok  keagamaan yang berkembang pada masa itu.Yaitu kelompok Jabariyah dan Qodariyah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah. Dalam membicarakan perbuatan manusia, keduanya saling bersebrangan.Kelompok Jabariyah berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki peranan apapun. Sedang kelompok Qodariyah memandang bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas dari Allah. Dengan begitu, bagi Jabariyah kekuasaan Allah adalah mutlak dan bagi Qodariyah kekuasaan Allah terbatas.
Sikap tawasuth ditunjukkan oleh Asy’ariyah dengan konsep al-kasb (upaya). MenurutAsy’ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbuatannya. Kasb memiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Kasb juga memiliki makna keaktifan dan bahwa manusia bertanggungjawab atas perbuatannya.
Dengan konsep kasb tersebut, aqidah Asy’ariyah menjadikan manusia selalu berusaha secara kreatif dalam kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan bahwa Tuhanlah yang menentukan semuanya. Dalam konteks kehidupan sekarang, aqidah Asy’ariyah paling memungkinkan dijadikan landasan memajukan bangsa. Dari persoalan ekonomi, budaya, kebangsaan sampai memcahkan persoalan-persoalan kemanusiaan kekinian, seperti HAM, kesehatan, gender, otonomi daerah dan sebagainya.
Sikap tasammuh (toleransi) ditunjukkan oleh Asy’ariyah dengan antara lain ditunjukkan dalam konsep kekuasaan mutlak Tuhan. Bagi Mu’tazilah Tuhan wajib berlaku adil dalam memperlakukan makhluk-Nya. Tuhan wajib memasukkan orang baik kedalam surga dan memasukkan orang jahat kedalam neraka. Hal ini ditolak oleh Asy’ariyah. Alasannya, kewajiban berarti telah terjadi pembatasan terhadap kekuasaan Tuhan, padahal Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang bisa membatasi kehendak dan kekuasaan Tuhan. Meskipun dalam al-Quran Allah berjanji akan memasukkan orang yang baik dalam surga dan orang yang jahat kedalam neraka, namun tidak berarti kekuasaan Allah terbatasi. Segala keputusan tetap ada pada kekuasaan Allah.
Jika dalam faham Mu’tazilah posisi akal di atas wahyu, Asy’ariyah berpendapat wahyu di atas akal. Moderasi ditunjukkan oleh Asy'ariyah, Ia berpendapat bahwa meskipun wahyu di atas akal, namun akal tetap diperlukan dalam memahami wahyu. Jika akal tidak mampu memahami wahyu maka akal harus tunduk dan mengikuti wahyu. Karena kemampuan akal terbatas, maka tidak semua yang terdapat dalam wahyu dapat dipahami oleh akal dan kemudian dipaksakan sesuai dengan pendapat akal.
Dengan demikian, bagi Asy’ariyah rasionalitas tidak ditolak. Kerja-kerja rasional dihormati sebagai penerjemahan dan penafsiran wahyu dalam kerangka untuk menentukan langkah-langkah kedalam pelaksanaan sisi kehidupan manusia. Yakni bagaimana pesan-pesan wahyu dapat diterapkan oleh semua umat manusia. Inilah pengejawantahan dari pesan al-Quran bahwa risalah islam adlah rahmatan li al-alamin. Namun agar aspek-aspek rasionalitas itu tidak menyimpang dari wahyu, manusia harus mengembalikan seluruh kerja rasio di bawah control akal.
Masalah adanya sifat Allah, Mu'tazilah hanya mengakui sifat wujud Allah. Sementara Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah memiliki sifat. Walaupun sifat tidak sama dengan dzat-Nya, tetapi sifat adalah qadim dan azali. Allah mengetahui, misalnya, bukan dengan pengetahuan-Nya, akan tetapi dengan sifat ilmu-Nya. Dalam memahami sifat Allah yang qadim ini Asy’ariyah berpendapat bahwa kalam satu misal adalah sifat Allah yang qadim dan azali, karena itu al-Quran sebagai kalam Allah adalah qadim, al-Quran bukan mahkluk. Jadi ia tidak diciptakan.
A.   Abu Mansur Al-Maturidi
1.Biografi Abu Mansur Al-Maturidi
     Abu Mansur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasir Bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Al Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M.
     Karir pendidikdn Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam karya tulis, di antaranya ialah kitab Tauhid, Ta'wil Al-Quran, Makhaz Asy-Syarai, Al-jadl, Ushul fi Ushul Ad-Din, Maqalat fi Al-Ahkam Radd Awa'il Al-Abdillah Li Al Ka'bi, Radd A-Ushul Al-Khamisah Li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah Li Al-Ba'ad Ar-Rawafid, Dan Kitab Radd 'Ala Al-Qaramatah. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh al-maturidi, yaitu risalah fi al-aqaid dan syarh fiqh al-akbar.
2. Doktrin-doktrin Abu Mansur Al-Maturidi
          Pada prinsipnya, aqidah Maturidiyah memiliki keselarasan dengan aqidah Asy'ariyah. Itu ditunjukkan oleh cara memahami agama yang tidak secara ekstrem sebagaimana dalam kelompok Mu'tazilah. Yang sedikit membedakan keduanya, bahwa Asy’ariyah fiqhnya menggunakan mazhab Imam Syafi’I dam Imam Maliki, sedang Maturidiyah menggunakan mazhab Imam Hanafi.
Asy’ariyah berhadapan langsung dengan kelompok Mu’tazilah, tapi Maturidiyah menghadapi berbagai kelompok yang cukup banyak. Diantara kelompok yang muncul pada waktu itu adalah Mu’tazilah, Mujassimah, Qaramithah dan Jahmiyah. Juga kelompok agama lain seperti Yahudi, Majusi dan Nasrani.
Sikap tawasuth yang ditunjukkan oleh Maturidiyah adalah upaya perdamaian antara al-naqli dan al-‘aqli (nashdanakal). Maturidiyah berpendapat bahwa suatu kesalahan apabila kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql), sama juga salah apabila kita larut tidak terkendali dalam menggunakan rasio (‘aql). Menggunakan‘aql sama pentingnya dengan menggunakan naql. Sebab akal yang dimiliki oleh manusia juga berasal dari Allah, karena itu dalam al-Quran Allah memerintahkan umat islam untuk menggunakan akal dalam memahami tanda-tanda (al-ayat) kekuasaan Allah yang terdapat di alam raya. Dalam al-Quran misalnya ada kalimat liqauminyatafa-karun, liqauminya’qilun, liqauminyatadzakkarun, la’allakumtasykurun. La’allakum tahtadun dan sebagainya. Artinya bahwa penggunaan akal itu semuanya diperuntukkan agar manusia memperteguh iman dan takwanya kepada Allah SWT.
Yang sedikit membedakan dengan Asy’ariyah adalah pendapat Maturidiyah tentang posisi akal terhadap wahyu. Menurut Maturidiyah wahyu harus diterima penuh. Tapi jika terjadi perbeda anantara wahyu dan akal maka akal harus berperan mentakwilkannya.Terhadap ayat-ayatt ajsim (Allah bertubuh) atau tasybih (Allah serupa makhluk) harus ditafsirkan dengan arti majazi (kiasan). Contoh seperti lafal yadullah yang arti aslinya “tangan Allah” ditakwil menjadi “kekuasaan Allah”
Tentang sifat Allah, Maturidiyah dan Asy’ariyah sama-sama menerimanya. Namun sifat-sifat itu bukan sesuatu yang berada di luarzat-Nya. Sifat tidak sama dengan zat, tetapi tidak dari selain Allah. Misalnya, Tuhan Maha Mengetahui bukanlah dengan Zat-Nya, tetapi dengan pengetahuan (ilmu)-Nya (ya’lamuhubi’ilmihi).
Dalam persoalan “kekuasaan” dan “kehendak” (qudrah dan irodah) Tuhan, Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh Tuhan itu sendiri. Jadi tidak mutlak. Meskipun demikian, Tuhan tidak dapat dipaksa atau terpaksa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Misalnya Allah menjanjikan orang baik masuk surga, orang jahat masuk neraka, maka Allah akan menepati janji-janji tersebut. Tapi dalam hal ini manusia diberikan kebebasan oleh Allah menggunakan daya untuk memilih antara yang baik dan yang buruk. Itulah keadilan Tuhan.
Karena manusia biberi kebebasan untuk memilih dalam berbuat, maka-menurut Maturidiyah-perbuatan itu tetap diciptakan olehTuhan. Sehingga perbuatan manusia sebagai perbuatan bersama antara manusia dan Tuhan. Allah yang mencipta dan manusia yang meng-kasb-nya. Dengan begitu manusia yang dikehendaki adalah manusia yang selalu kreatif, tetapi kreativitas itu tidak menjadikan makhluk sombong karena marasa mampu menciptakan dan mewujudkan. Tetapi manusia yang kreatif dan pandai bersyukur. Karena kemampuannya melakukan sesuatu tetap dalam ciptaan Allah.
BAB III
MENGENAL IMAM-IMAM  MADZHAB
       Jam'iyah NU mengenal ulama'-ulama' madzhab untuk mengikuti fatwa dan hasil ijtihatnya. Para imam madzhab dalam bidang fiqih banyak sekali karena mujtahidnya juga banyak,, baik mujtahid dari kalangan sahabat sampai tabi'in. Akan tetapi pada akhir abad ke-12 H, madzhab-madzhab yang mempunyai pengikut tinggal  11 madzhab[8], yaitu :
1.      Madzhab imam Abu Hanifah
2.      Madzhab imam Malik
3.      Madzhab imam  Syafi'i
4.      Madzhab imam Ahmad ibn Hanbal
5.      Madzhab imam Shofyan al-Tsauri
6.      Madzhab imam Shofyan bin Uyainah
7.      Madzhab imam Al-Laits bin Sa'ad
8.      Madzhab imam Ishaq ibn Rohayah
9.      Madzhab imam Ibn Jabir
10.  Madzhab imam Dawudz al-Dlohiri
11.  Madzhab imam Al-Auza'i
     Nahdlatul Ulama' dengan Qanun Asasy-nya mewajibkan umatnya
untuk mengikuti madzhab 4 (empat), yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
I. Madzhab Hanafi
a. Biografi Imam Abu Hanifah
     Beliau dilahirkan di Kuffah pada tahun 80 H / 699 M. Nama lengkap beliau adalah Nu'man bin Tsabit bin Tsauta bi Mah. Beliau tidak termasuk keturunan bangsa Arab asli, tetapi dari bangsa 'Ajam (selain Arab ). Dikalangan kalangan ulama' fiqih beliau dikenal dengan Abu Hanifah. Disebut demikian karena berbagai alas an, antara lain ;(1) Abu Hanifah tergolong rajin ibadah dan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan kewajibannya. (2) Abu Hanifah senantiasa condong pada islam yang benar, sebab dalam bahasa Arab " Hanif " berarti condong.(3). Abu Hanifah termasuk orang yang cinta dengan tinta. Kata "hanifah" dalam bahasa Irag berarti dawat atau tinta.
     Sejak kecil Abu Hanifah sangat suka pada ilmu pengetahuan. Ia pernah bertemu dan beguru langsung dengan 7 (tujuh) sahabat Nabi SAW, yakni Anas ibn Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abi Aufa, Watsilah bin al-Asqa' , Ma'qil bin Yasar, Abdullah bin Anas, dan Abu Wafa'ir (Amir bin Watsilah ).
     Menurut ahli riwayat Abu Hanifah berguru kepada para ulama' yang masih tergolong tabi'in, antara lain ; Atha' bin Abi Rabah (w.144 H), Nafi' maula ibn Umar (w.177 H). Dibidang fiqih ia berguru kepada imam Hammad bin Abi Sulaiman (w.120 H) selama 18 tahun. Ia juga berguru kepada imam Muhammad al-Baqir, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Harmas, Amr bin Dinar, Mansur bin Mu'tamir, Syu'ba bin Hajjaj, Ashim bin Najwad, Salamah bin Khufa'il, Imam Qatadhah, Rabi'ah bin Abi Abdurrahman, dan lain-lain.
b. Karya Imam Abu Hanifah
     Para ulama' Hanafiyah membagi kitab-kitab imam Abu Hanifah menjadi 3 (tiga) tingkatan. Pertama, Masail al-Ushul , Kadua,Masail al-Nawadir, dan yang ketiga, Al-Fatawa wa al-Waqi'at .
     Tingkatan Masail al-Ushul, mencakup 6 kitab yang kemudian terkenal dengan kitab Al-Kafi.  Selanjutnya disyarah oleh Imam Muhammad bin Muhammad bin Sahal al-Sarkhasy (w. 490H) diberi nama "Al-Mabsuth" .Sedangkan yang termasuk Masail al-Nawadir merupakan kumpulan dari kitab Hamniyyat, Jurjaniyyat,Kaisaniyyat,ketiganya disusun oleh Imam Muhammad bin Hasan.ditambah kitab Al-Mujarrat, oleh imam Hasan bin Ziyad. Adapun kitab Fatawi wa al-Waqi'at tersebut merupakan modifikasi ulama' hanafiyah yang dating kemudian, isinya merupakan pertanyaan yang berkembang saat itu.
c.  Dasar istinbath imam Abu Hanifah
1.Al-Qur'an
2.Sunnah Rasulullah dan Atsar yang masyhur.
3.Fatwa-fatwa sahabat
4.Qiyas
5.Istihsan
6.Adat yang berlaku dalam masyarakat Islam
     Imam Abu Hanifah wafat pada bulan Rajab, tahun 150 H/ 767 M dalam usia 70 tahun dengan tidak meninggalkan keturunan, kecuali anak laki-laki bernama Hammad.
     Madzhab Hanafi tersebar dan berkembang di Syam, Iraq, India, Afganistan, Kaukaus, Turki, Balkan,dan sebagian penduduk aturki Usmany dan Albania[9].
    
II. Madzhab Maliki
a.Biografi Imam Malik
       Imam Malik dilahirkan di kota Madinah, Hijaz pada tahun 93 H/ 712 M. Nama beliau sejak kecil adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi 'Amir al-Ashbahy. Beliau keturunan bangsa Arab. Nama Anas bin Malik ini bukanlah nama Anas bin Malik yang terkenal sebagai sahabat Rasulullah SAW. Ayah Imam Malik tergolong tabi'in, sedang kekeknya tergolong sahabat.
       Para Ulama' yang menjadi guru Imam Malik yang paling terkenal dan lama adalah Abdurrahman bin Harmas. Bidang fiqh beliau berguru kepada Rabi'ah al-Ra'yi (w.136 H). Ilmu hadits berguru kepada Imam Nafi' maula Ibn Umar (w.117 H), dan juga berguru kepada Imam Ibn Syaibah al-Zuhry (w.124 Imam MalikH), dan lain sebagainya.
b.Karya Imam Malik
       Kitab karangan Imam Malik yang sangat terkenal hingga saat ini adalah Al-Muwattha' yang berisi hadits-hadits  dan riwayat-riwayat[10]. Kitab hadits ini dinilai sebagai kitab hadits ahkam yang paling shahih sebelum adanya kitab  shahih Bukhari dan Muslim ( dua kitab yang menjadi rujukan ulama' Ahlussunnah wa al-Jama'ah[11].
c.Dasar Istinbath Hukum Imam Malik
       Dasar-dasar hukum yang dijadikan rujukan oleh Imam Maliki adalah sebagai berikut:
1.      Al-Quran.
2.      Sunnah Rasul yang dia pandang sah.
3.      Ijma' para ulama ahli Madinah
4.      Qiyas
5.      Istislah atau Mashalihul Mursalah (mengekallkan apa yang telah ada karena ketiadaan yang mengubahkan hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini. Adapun Mashalihul Mursalah ialah memelihara tujuan syara' (agama) dengan cara menolak sesuatu yang merusak makhluk.
      Imam maliki wafat pada hari Ahad tanggal 10 Rabi'ul al-Awwal tahun 179 H (798 M), dalam usia 87 tahun. Dimakamkan di Baqi' Madinah. Mazhabnya tersebar dan berkembang di Maroko, Algers Tunisia, Tripoli, Libya, juga sebagian di Irak, Palestina, Hijaz dan lain-lain.
III. Madzhab Syafi'i
a.Biografi Imam syafi'i
Imam Syafi'i dilahirkan di Ghuzah daerah Palestina-Syam-Asqalan bulan Rajab tahun 150 H (767 M). Saat kelahiran beliau di tahun yang sama bertepatan wafatnya Imam Hanafi di Baghdad. Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi' bin Saib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf. Beliau keturunan bangsa Arab Quraisy dan satu marga dengan Rasulullah pada Abdul Muththalib (kakek Nabi Saw)[12].
Imam syafi'I mempunyai latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-Hadits dan Ahl al-Ra'yi, karena cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan cukup belajar kepada Imam Muhammad bin Hasan di Baghdad. Dia adalah murid senior Imam Abu Hanifah.
Metodologi istinbath Imam Syafi'I ditulis dalam buku pertama tentang ushul fiqh berjudul Al-Risalah. Pendapat dan fatwa fiqh Imam Syafi'I ada dua macam, yang disampaikan di Baghdad disebut " Qaul al-Qadim" dan yang disampaikan di Masir disebut "Qaul al-Jadid " , tentang ini semua telah ditulis dalam kitab Al-Um [13].
Para guru imam syafii yang terkenal di Makkah yaitu: Imam Muslim bin Khalid, Imam Ibrahim bin Sai'id, Sufyan bin Uyainas. Di Madinah yaitu, Malik bin Anas, ditambah yang lain seperti Ibrahim bin Muhammad, Yahya bin Hasan, Fudhail bin Tyadh dan Muhammad bin Syafi'.
b.Karya Imam syafi'i
     
Kitab-kitab karangan Imam Syafi'i di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Al-Risalah berisi tentang ushul al-fiqh
2.      Al-Um
3.      Ikhtilaf al-Hadis
4.      Al-Musnad
5.      Al-Fiqih
6.      Al-Mukhtasharu al-Kabir/Shagir/al-Fara'idl
7.      Al-Jami'u al-Kabir dan lain-lain.
c.Dasar-dasar Istinbath hukum mazhab Syafi'i.
1.    Al-Quran
2.    As-Sunnah
3.    Ijma'
4.    Qiyas
5.    Istidlal (mencari alasan berdasarkan kaidah-kaidah agama meskipun dari agama ahli kitab/ Yahudi dan Nasrani).
Imam Syafi'i wafat pada hari Kamis 29 Rajab tahun 204 H (820 M). dimakamkan di pekuburan bani Zahrah, tepatnya Qarafah Shughra di bawah kaki gunung "Al-Muqaththam" Mesir.
Mazhab Imam Syafi'i tersebar dan berkembang di Mesir, Palestina, Armenia, Ceylon,Persia, Tingkok, Philipina, Indonesia, Australia, Hijaz, Kurdi, Yaman, Hadramaut, Aden dan lain-lain[14].
IV. Mdzhab Hambali
a.                Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal
     Ahmad ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad bulan Rabi' al-Awwal 164 H / 780 M. Nama lengkapnya ialah Ahmad bin Muhammad al-Syaibani ( Ahmad bin Hanbal bin Hilal al-Dzahabi al-Syaibani al-Maruzi al-Baghdadi). Nasabnya bersambung dengan Rasulullah SAW, baik dari garis ayah ataupun ibu(yaitu pada Nizar bin Ma'ad bin Adnan).
     Ahmad ibn Hanbal belajar dan mencari ilmu agama dari guru dan para ulama' di Baghdad, sebagai pusat para intelektual Islam. Ia berguru kepada Ismail bin Aliyah, Hasyim bin Basyir, Hammad bin Khalid, Manshur bin Salamah, Mudaffar bin Mudrik[15]. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ahmad ibn Hanbal belajar hadits dan fiqih kepada Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) dan kepada Imam Syafi'i[16].
     Keteguhan Ahmad ibn Hanbal memegang prinsip dan keyakinan keagamaan menjadikan beliau mengalami hukuman penjara dan siksan dari khalifah Al-Ma'mun yang menganut faham Mu'tazilah selama dua tahun, karena menolak konsep filosofis Mu'tazilah bahwa Al-Qur'an adalah mahluk. Sesudah dibebaskan, Ahmad ibn Hanbal melanjutkan kegiatannya mengajar di Baghdad sampai Al-Watsiq menjadi khalifah (842-846 M)[17].
    
b.                Karya Ahmad ibn Hanbal
          Kitab karangan Ahmad ibn Hanbal yg terkenal hingga saat ini adalah, Al-Musnad Ibn Hanbal' , Tafsir al-Qur'an, Kitab Nasikh Mansukh, Kitab al-Muqaddam wa al-Muakhkhar fi al-Qur'an, Kitab Jawabatu al-Qur'an, Kitab al-Tarikh, Kitab Manasik al-Kabir, Kitab  al-Illah, Kitab al-Wara' , dan Kitab al-Shalah.
c.                Dasar Istinbath Hukum Imam Ahmad ibn Hanbal
1. Al-Qur'an
2. Sunnah
3. Ijma' Sahabat
4. Hadits-hadits Mursal dan dlo'if
5.Istihsan
6. Sadd al-Dara'i.
7. Istishab
8. Ibthal al-Ja'l.
9.Maslahah al-Mursalah.
     Ahmad ibn Hanbal wafat pada hari Jum'at 12 Rabi' alAwwal 241 H / 855 M, dalam usia 77 tahu . Ia dimakamkan di pekuburan Bab Harb di kota Baghdad. Madzhabnya berkembang di Mesir, Bahrain, Dailam dan Rahab, sedikit berkembang di Hijaz[18].
BAB  IV
MENGENAL TASAWWUF ASWAJA AL-NAHDLIYAH
Di dalam shariat Islam dikenal adanya penyembahan kepada Allah berupa ibadah salat, puasa, haji, dan lain-lain. Namun menurut Harun Nasution ada segolongan umat Islam yang belum puas dengan pendekatan diri kepada tuhan melalui ibadah salat, puasa, dan haji. Mereka ingin lebih dekat dengan tuhan, jalan itu diberikan oleh tasawuf.[19]
A.     Pengertian Tasawwuf
Secara harfiyah (etimologi) tasawwuf dapat dilihat dari bebrapa macam asal usul, dibawah ini
1.      Tasawwuf berasal dari kata اهل الصفة , yang berarti sekelompok orang masa Rasulullah yang berdiam diri di serambi masjid, dan mereka mengabdikan dirinya untuk ibadah pada Alloh.
2.      Berasal dari kata صفاء  , yang berarti "besih atau suci". Maksudnya adalah orang yang mensucikan diri kepada Alloh.
3.      Berasal dari kata صف  , yang berarti " shaf ". maksudnya orang yang ketika salat selalu berada di shaf paling depan.
4.      Kata tasawwuf dinisbatkan pada orang-orang dari Bani Shuffah.
5.      Tasawwuf dinisbatkan dengan kata dari bahasa Grik atau Yunani, yakni saufi ( سوفي ). Istilah ini disamakan dengan makna kata  "  الحكمة " yang berarti kebijaksanaan.
6.      Tasawwuf berasal dari kata shaufanah, yaitu buah-buahan kecil berbulu banyak yang berada dipadang pasir. Maksudnya orang-orangnya berpakaian sufi berbulu banyak dalam kesederhanaan.
7.      Tasawwuf berasal dari kata shuf ( صوف ), yang berarrti bulu domba atau wool. [20]
Dalam segi shara' atau termenologi, tasawuf adalah usaha seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin, dengan melalui pensucian diri dan memperbanyak ibadah di bawah bimbingan guru/syekh. Sedangkan ajaran-ajaran tasawuf yang merupakan jalan yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah itu disebut Thariqah.[21]
Aswaja al-Nahdliyah mengikuti tasawwuf yang moderat, yaitu tasawwuf Al-Ghazali dan Tasawwuf Junaidi al-Baghdadi. Hal ini bertujuan untuk tetap bersikap tawasuth dan tetap menjalankan shariah islam dalam kehidupan, dan tidak terjebak oleh taswwuf yang melepas diri dari kewajiban shariah, seperti yang terdapat dalam tasawwuf al-Hallaj (al-hulul ) dengan pernyataan " ana al-haq " atau tasawwuf  Ibn 'Arabi ( ittihad : Manuggaling kawulo Gusti ).[22]
B.     Tasawwuf Ahlusunnah wa al-Jama'ah al-Nahdliyah.
1. Al-Ghozali.
Al-Ghazali, lengkapnya bernama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, yang dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Thus, wilayah Khurasan Iran yang diwarnai oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami oleh mayoritas umat Islam Sunni, juga banyak dihuni oleh orang-orang Kristen dan Islam Syiah.
Ayahnya seorang yang saleh, pecinta ilmu pengetahuan yang sangat menyenangi ulama dan sangat rajin menghadiri majelis-majelis pengajian, bahkan sering memberikan sesuatu dari hasil jerih payahnya kepada para ulama sebagai ungkapan rasa simpatiknya. Ayahnya menginginkan agar putranya bisa menimba banyak ilmu pengetahuan. Karena itu sang ayah inipun menjelang akhir hayatnya menyerahkan kedua putranya, al-Ghozali dan Ahmad kepada salah seorang sahabatnya, seorang sufi yang hidup sangat sederhana, sehingga rumah tangga sufi ini menjadi lingkungan kedua yang turut membentuk kesadaran al-Ghozali.
Kedua anak itu itu kemudian mendapat  bimbingan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berlangsung sampai harta warisan dari ayah mereka tiada yang tertinggal. Ketika sang sufi yang mengasuh mereka merasa tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, ia menyarankan agar mereka dimasukkan ke sekolah untuk memperoleh selain ilmu pengetahuan, juga santunan kehidupan sebagaimana lazimnya ketika itu. Saat itulah al-Ghozali mulai memasuki pendidikan awal di daerahnya di bawah asuhan Ahmad Muhammad al-Radzakani.
Sesudah dirasa cukup, ia pergi ke Jurjan untuk menuntut ilmu pada Imam Abu Nashr al-Isma’ili. Setelah selesai belajar di Jurjan, ia kembali lagi ke Thus untuk menetap selama tiga tahun. Waktu itu ia memanfa’atkan kesempatan untuk mempelajari tasawuf dan mempraktikkan ajaran-ajarannya di bawah bimbingan Yusuf al-Nassaj.
Pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh di Thus belum memuaskan bagi al-Ghozali, karena itu ia pergi untuk belajar ke Naisabur berguru pada salah seorang teolog aliran Asy’ariyyah yang terkenal, Abu al-Ma’ali Abd al-Malik Ibn Abi Muhammad al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain. Dari madrasah di Naisabur yang al-Juwaini bertindak sebagai tenaga pengajarnya,  al-Ghzali memperoleh ilmu kalam, mantik, hukum, retorika, ilmu pengetahuan alam dan tasawuf.
Selama di Naisabur al-Ghozali tidak saja belajar dengan Imam al-Haramain, akan tetapi juga mempergunakan kesempatan belajar untuk menjadi pengikut sufi bersama Abu al-Fadlil bin Muhammad bin ‘Ali al-Farmadi, seorang murid pamannya, al-Qusyairi, yang ahli tasawuf. Sesudah dari Naisabur al-Ghozali lalu pergi ke al-Askar, dengan mendapat sambutan hangat dari Perdana Menteri, karena Nizham al-Mulk telah mengetahui kedudukan al-Ghozali yang tinggi.
Di al-Askar ia pernah diundang untuk berdiskusi ilmiah dengan sekelompok ulama di hadapan Perdana Menteri. Di dalam diskusi itu, Perdana Menteri melihat keluasan dan kedalaman ilmu al-Ghozali bila dibanding dengan ulama yang lain. Setelah penampilannya berhasil baik, Perdana Menteri menaruh simpatik kepadanya, dan segera menawarinya untuk mengajar di Universitas yang didirikan oleh Nizham al-Mulk di Baghdad yang lebih dikenal dengan Universitas Nizhamiyah. Al-Ghozali kemudian berangkat ke Baghdad tahun 484 H untuk mengajar sebagai dosen di Universitas tersebut.
   Sekalipun demikian besar nikmat dan sukses yang didapat al-Ghozali di bidang keduniaan, namun semuanya itu tidak mampu mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan baginya. Dari segi agama dan batin, ia gelisah dan menderita serta mengalami perasaan syak, lebih-lebih setelah menguji pengetahuan atas dasar inderawi dan akal.
Menurut pengakuan al-Ghozali sendiri, hampir dua bulan ia mengalami kekacauan psikologis tanpa kemampuan menyelesaikannya. Namun melalui nur yang diberikanoleh Allah pada hatinya, ia merasa sehat dan tenang, serta dapat menerima kebenaran pengetahuan yang bersifat aksiomatis ( al-’adillah al-muharrarah ), melainkan melalui nur yang disebut miftah al-ma’arif ( kunci ma’rifat ).
Sesudah menemukan ketenangan psikologis dan merasa ada sumber pengetahuan di atas akal, yaitu nur yang dilimpahkan Allah secara langsung ke dalam hatinya, ia mulai menempuh jalan tasawuf, setelah ia meyakini metode falsafah, ilmu kalam dan kebatinan tidak mampu mengantarkannya kepada pencapaian tujuannya. Sebaliknya ia hanya berkeyakinan bahwa jalan tasawuflah yang dapat mengantarkannya kepada tujuan yang dimaksudkannya, yakni Allah dan kebahagiaan akhirat
Kesan tersebut dapat dibuktikan melalui karya intelektualnya di bidang kalam, seperti Qawa’id al-‘Aqa’id yang kini termasuk salah satu bab dari kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din, kitab al-Arba’in fi Usul al-Din, kitabal Risalah al-Qudsiyyah,Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Iljam al-A’wam ‘an Ilm al-Kalam.
Di sela-sela kegiatan mengajarnya al-Ghozali juga mempelajari filsfat dan melakukan pengujian terhadap kebenaran dalam filsafat. Sebelum melakukan pengujiannya terhadap filsafat ia menyatakan “bahwa menentang satu aliran (filsafat) tanpa memahami dan mengkajinya secara baik adalah bantahan yang tidak mendasar (radd fi ‘imayah)”. Karena itu ia bersungguh-sungguh mencari buku-buku filsafat dan mempelajarinya secara mendalam. Dalam tempo kurang dari dua tahun secara otodidak dia sudah dapat menguasai segala aspek filsafat, dengan dibuktikan adanya sebuah karya intelektualnya yang berjudul “Tahafut al-Falasifah
Selain bidang filsafat al-Ghozali juga mengkaji doktrin-doktrin Bathiniyah yang kemudian diwujudkan dalam bentuk karyanya yang berjudul Fadla’ih al-Bathiniyyah wa Fadla’il Mustazhhiriyyah, (kejelekan paham Bathiniyyah dan keutamaan paham Mustazhhiriyyah). Terhadap pahan Bathiniyyah, kritik al-Ghozali yang paling pokok adalah mengenai otoritas imam yang ma’shum sebagai sumber pengetahuan tentang kebenaran. Al-Ghozali sependapat dengan mereka bahwa pemberi informasi (al-mu’allim) itu perlu bersifatma’shum, tetapi hanya sebatas pada tingkat Nabi, sesudah Nabi orang tidak memerlukan imam yang ma’shum lagi, sebab Tuhan melalui kitab suci telah memberi kepada manusia ukuran (mizan) dan alat untukmengetahui kebenaran, yang oleh al-Ghozali disebutnya sebagai al-qisthas al-mustaqim.
Selanjutnya dalam kontek wawasan intelektual, al-Ghozali juga mendalami bidang fiqh dan kalam. Hal ini dapat dibuktikan melalui karya tulisnya yang berjudul Al-Wajiz (ringkasan), al-Wasith(pertengahan) dan al-Basith (sederhana) dalam bidang fiqh, dan al-Iqtishad fi al-I’tiqad (moderasi dalam aqidah) di bidang kalam.[23]
2. Junaidi al-Baghdadi
            Dalam kitab tadzkiratul 'Auliya', Syeikh Fariduddin ‘Aththar menjelaskan, bahwa Syeikh Abul Qasim Al-Junayd ibnu Muhammad al-Zujaj (Junayd al-Baghdadi) adalah putera dari seorang pedagang barang pecah belah (kaca) dari Nahawand dan keponakan Sarri as-Saqathi, Ia juga dekat dengan Al-Muhasibi. Beliau lahir dan besar di Irak.
Abul Qasim Al-Junayd merupakan tokoh paling terkemuka dari mazhab Tasawuf, bahkan kelak beliau mendapat gelar sebagai Sayyidush Shufiyah (Pangeran Kaum Sufi). Ia memerinci sebuah doktrin teosofikal yang menentukan seluruh rangkaian latihan sufisme ortodoks dalam Islam.
Abul Qasim Al-Junaid merupakan pemimpin sebuah mazhab yang besar dan berpengaruh. Beliau juga dikenal sebagai seorang mufti dalam mazhab Abu Tsaur,murid Imam Syafi’i. Al-Junaid wafat di Baghdad pada hari Sabtu tahun 297H/910M.
Selama empat puluh tahun, Junayd sibuk menekuni latihan sufi. Selama tiga puluh tahun, ia mendirikan salat malam, lalu berdiri dan mengulang-ulang lafadz "Allah" hingga fajar, kemudian ia mendirikan shalat subuh dengan wudlu yang ia lakukan pada malam sebelumnya.
Dalam perkembangan berikutnya, ada orang yang benci dan irihati kepada Junaidi al-Baghdadi, hingga dia mengfitnah Junaidi dihadapan Khalifah, tetapi Khalifah tidak bias menghukum Junaidi tanpa adanya bukti kesalahan. Kemudian sang khalifah mengirimkan  seorang budak wanita yang kecantikannya tak ada duanya. Sang Khalifah sangat mencintainya, ia membeli budak wanita itu seharga tiga ribu dinar.  Khalifah memerintahkan agar budak wanita itu didandani dengan pakaian bagus dan perhiasan-perhiasan mahal. Khalifah memberikan instruksi kepada budak wanita itu, “Pergilah ke suatu tempat. Berdirilah di dekat Junaid dan perlihatkan wajahmu. Biarkan ia melihat perhiasan dan pakaianmu. Katakan padanya, ‘Aku memiliki harta benda yang berlimpah namun hatiku telah lelah dengan urusan-urusan duniawi. Aku datang ke sini untuk memintamu melamarku, agar dengan bimbinganmu aku dapat mengabdikan diriku untuk beribadah pada-Nya. Hatiku tidak menemukan ketenangan kecuali dalam dirimu.
 Budak wanita itu pergi menemui Junayd dengan ditemani oleh seorang pelayan. Ia lalu mendekati dan menjalankan apa-apa yang telah diinstruksikan kepadanya. Tanpa sengaja, Junaid memandang budak wanita itu. Junayd tetap diam dan tidak menjawab. Budak wanita itu mengulangi ceritanya. Junayd menundukkan kepalanya, lalu ia mendongak, “Ah,” seru al-Junaidi  sambil menghembuskan napasnya ke arah budak wanita itu. Seketika budak wanita itu jatuh ke tanah dan mati. Pelayan yang menemaninya kembali menemui Khalifah dan melaporkan apa yang telah terjadi.
Mendengar kejadian itu, Khalifah bangkit dan memerintah pembantunya untuk memanggil Junaidi. Setelah Junaidi datang, Khalifah bertanya, “Wahai Syeikh, bagaimana engkau tega membunuh seseorang yang begitu cantik?”
Junayd menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kasih sayangmu kepada orang-orang mukmin begitu besarnya, sampai-sampai engkau ingin meleyapkan empat puluh tahun kedisiplinanku yang ku isi dengan wara’ dan penyangkalan diri. Memangnya siapa aku ini? Janganlah melakukan apa yang engkau tidak sukai bagi dirimu sendiri!”
Setelah peristiwa itu, urusan-urusan Junayd berjalan dengan baik. Kemasyhurannya tersebar keseluruh penjuru dunia. Seberapapun seringnya ia disiksa, reputasinya meningkat seribu kali lipat. Ia mulai berkhutbah. Suatu kali ia menjelaskan, “Aku tidak berkhotbah di muka umum sampai tiga puluh wali besar mengatakan padaku bahwa aku telah pantas untuk menyeru manusia kepada Allah.
Dan juga Ia berkata, “Selama empat puluh tahun aku duduk menjaga hatiku. Kemudian selama sepuluh tahun hatiku menjagaku. Kini telah genap duapuluh tahun dimana aku tidak mengetahui apa pun tentang hatiku dan hatiku pun tidak mengetahui apapun tentang aku.”
BAB  V
MENGENAL THARIQAH AL-MU'TABARAH
Pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 Masehi barulah muncul thariqah sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah thariqah selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Setiap thariqah mempunyai syaikh, kaifiyah zikir dan upacara-upacara ritual masing-masing.Biasanya syaikh atau mursyid mengajar murid-muridnya di asrama latihan rohani yang dinamakan rumah suluk atau ribath.
Mula-mula muncul Thariqah Qodiriyah yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qodir al-Jilani di Asia Tengah Tibristan tempat kelahiran dan oprasionalnya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India, Tiongkok. Muncul pula Thariqah Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair. Di susul Thariqah Suhrawardiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria.Thariqah-thariqah itu kemudian berkembang dengan cepat melalui murid-murid yang diangkat menjadi khalifah, mengajarkan dan menyebarkan ke negeri-negeri Islam, bercabang dan beranting sehingga banyak sekali.[24]
Di Asia Tenggara khususnya di Nusantara terjadi proses Islamisasi. Di duga keras bahwa dalam proses tersebut, thariqah mempunyai peranan yang cukup penting meski belum ada bukti yang mendukung keterlibatan pada proses awal[25].
A.     Pengertian
Kata thariqah berasal dari bahasa arab (   (طريقةyang mempunyai bentuk prural طرق dan طرايق yang mengandung arti jalan, metode, sistem, mazhab, aliran, haluan, keadaan.[26] Pengertian ini membentuk dua ma'na istilah yaitu : " metode bagi ilmu jiwa akhlak yang mengatur praktek suluk individu " dan " kumpulan sisitim pelatihan ruh yang berjalan sebagai persahabatan pada kelompok-kelompok persaudaraan Islam.[27]
Di Indonesia terutama di kalangan Nahdlatul Ulama' ada kumpulan thariqah yang mu’tabarah, yaitu thariqah yang memiliki silsilah yang bersambung sampai ke Nabi Muhammad SAW.
B.     Thariqah al-Mu'tabarah Dalam Islam    
Dalam kitab "jami' usul al-Auliya' " hal 187,  disebutkan bahwa thariqah mu'tabarah ada 44 macam, yaitu :[28]
No
Nama Thariqah
No
Nama Thariqah
No
Nama Thariqah
1
'Umariyah
16
Rumiyah
31
Buhuriyyah
2
Naqsabandiyyah
17
Sa'diyyah
32
Haddadiyyah
3
Qadiriyah
18
Gistiyyah
33
ghaibiyyah
4
Syadziliyyah
19
Sya'baniyyah
34
Khadhiriyyah
5
Rifa'iyah
20
Kalsyaniyah
35
Syathariyyah
6
Ahmadiyyah
21
Hamzawiyyah
36
Bayumiyyah
7
Dasuqiyyah
22
Bairumiyyah
37
Malawiyyah
8
Akhbariyyah
23
Usysyaqiyyah
38
Uwaisiyyah
9
Maulawiyyah
24
Bakriyyah
39
Idrisiyyah
10
Kubrawiyyah
25
Idrusiyyah
40
Akabiral Auliya'
11
Syahrawardiyyah
26
Utsmaniyyah
41
Matbuliyyah
12
Khalwatiyyah
27
Alawiyyah
42
Sunbuliyyah
13
Jalwatiyyah
28
Abbasyiyyah
43
Tijaniyyah
14
Bakdasyiyyah
29
Zainiyyah
44
Samaniyyah
15
Ghazaliyyah
30
Isawiyyah
Dalam perkembangan thariqah di atas, yang bisa sampai dan berkembang pesat di Indonesia ada 8 thariqah , yaitu : 1. Thariqah Qadiriyah, 2. Syadziliyyah, 3. Naqsabandiyyah, 4. Khalwatiyyah, 5. Syathariyyah, 6. Sammaniyyah, 7. Tijaniyyah, dan 8. Thariqah Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah ( TQN )[29].
C. Thariqat al-Mu'tabarah di Indonesia
1. Thariqah Qadiriyah
a. Sejarah Thariqat Qodiriyah
Thariqat Qodiriyah adalah nama Thariqah yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Syekh Muhyi al-Din Abd al-Qodir Jilani, yang terkenal dengan sebutan Syaikh Abd al-Qodir Jilani al-ghowsts atau quthb al-awliya’.Thariqah ini menempati posisi yang amat penting dalam sejara spiritulitas Islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi thariqah, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang thariqah di dunia Islam. Kendati struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah kematiannya, semasa hidup sang Syaikh telah memberikan pengaruh yang amat besar pada pemikiran dan sikap umat Islam. Dia dipandang sebagai sosok ideal dalam keunggulan dan pencerahan spiritual.Namun, generasi selanjutnya mengembangkan sekian banyak legenda yang berkisar pada aktivitas spiritualnya, sehingga muncul berbagai kisah ajaib tentang dirinya.
Syeh Abdul Qadir al-Jilani lahir di desa Naif, kota Gilan tahun 470 H / 1077 M. yaitu wilayah yang terletak 150 km timur laut kota Baghdad. Ibunya bernama Fatimah binti 'Abdullah al-Sama'I al-Husaini, ketika melahirkan  Syeh Abdul Qadir al-Jilani ibunya berumur 60 tahun, suatu kelahiran yang tak lazim di jamannya. Syeh Abdul Qadir al-Jilani meninggal di Baghdad pada tahun 561 H / 1166 M. makamnya sejak dulu hingga sekarang tetap diziarahi khalayak ramai dari penjuru dunia.
Menurut  Hujwiri, klasifikasi dan hierarki para penerima pencerahan Ilahi terbagi pada enam tingkatan. Tingkat dasar adalah Akhyar berjumlah 300 orang, tingkat Abdal berjumlah 40 orang, tingkat Abrar 7 orang, tingkat Autad 4 orang, Nuqoba’ 3 orang, dan yang tertinggi adalah Quthb atau Ghawts 1 orang. Syaikh Abd al-Qodir adalah quthbawliya’. Ibn al-A’rabi menyebut Syaikh Abd al-Qodir sebagai wali quthb pada zamannya.
Nama lengkap dan silsilah Syaikh Abd al-Qodir sampai ke Nabi Muhammad SAW. Adalah Abu Muhammad Abd al-Qodir Jilani ibn Abi Shalih ibn Musa ibn Janki Dausat (Janka Dausat) ibn Abi Abdillah ibn Yahya al-Zahid ibn Muhammad ibn Dawud ibn Musa ibn Abd Allah al-Mahdi ibn Hasan al-Musanna ibn Hasan al-Sibthi ibn Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah al-Zahra’ al-Batul binti Rosulullah SAW. Silsilah ini amat penting artinya dalam tradisi thariqah karena ‘darah biru’ spiritual harus bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Di samping itu, bersambungnya silsilah tersebut merupakan indikator bahwa Thariqah Qadiriyah tersebut dianggap muktabar.
Masa Abd al-Qodir al-Jilani hidup, dunia Islam berada dalam kekacauan dan peperangan. Setelah Sultan Malik Syah yang meninggal tahun 485/1091, perebutan kekuasaan berkecamuk di Bani Saljuk, sehingga muncul anarki dan kekacauan. Peperangan antara kelompok di kalangan Bani Saljuk memperlemah kesultanan tersebut.Di samping itu factor yang memperparah keadaan adalah berkembangnya kelompok Assasin di bawah pimpinan Hasan ibn Sabbah.Ribuan orang yang sangat fanatik mendukung Sabbah.Sabbah dikenal selaku pemimpiin yang bengis dan mengobarkan peperangan terhadap lawannya. Faktor lain adalah mulainya perang Salib I 489/1095-493/1099. Pasukan Kristen berhasil menduduki Jerussalem tahun 492/1099, yang menimbulkan kematian ribuan kaum Muslim dan Yahudi. Berita tentang bencana dan gelombang pengungsi membanjiri Baghdad, yang penduduknya sedang bermusuhan juga. Di sisi lain, para pemimpin Saljuk sibuk dengan perebutan kekuasaan di kalangan mereka sendiri, sedangkan kaum Kristiani bebas merampas dan merusak negeri. Waktu itu tidak ada ketenangan dan keamanan.[30]
b. Perkembangan Thariqat Qodiriyah.
            Thariqat Qodiriyah sangat mungkin berkembang dan bahkan membuat cabang baru karena seorang mursyid diberi wewenang untuk mengembangkan amalan wirid tersendiri dan tidak lagi terikat  metode riadloh yang diberikan oleh mursyid terdahulu. Karena itu tidak heran kemudian thariqah ini berkembang pesat diberbagai wilayah. Bahkan tidak jarang juga didapati para mursyid dan pengikutnya memakai namanya sendiri sebagai identitas thariqah yang dikembanhkannya, seperti thariqah Khalwatiyyah dan Naqsabandiyyah.
2. Thariqat Syadliliyah
a. sejarah Thariqah Syadziliyah
Thariqah Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu al-Hasan al-Syadzili. Selanjutnya nama thariqah ini dinisbahkan kepada namanya. Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan thariqah-thariqah yang lain.
Secara lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin Abd al-Jabbar Abu al- Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan dengan demikian berarti juga keturunan Siti Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad SAW. Al-Syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut : ‘Ali bi Abdullah bin Abd Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Menurut Ibn Atha’illah, ada perbedaan pendapat mengenai nasab Abu al-Hasan al-Syadzili. Murid-murid dan para pecintanya menasabkannya kepada orang-orang terhormat dan menyatukan nasabnya kepada al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, meskipun mereka masih berbeda pendapat tentang nama nenek moyangnya apakah al-Hasan atau al-Husain? , Ada yang menasabkannya bukan kepada al-Hasan. Al-Jami’ misalnya, menasabkan al-Syadzili kepada al-Husain bin Abi Thalib, dan bukan kepada al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Dia dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun 573 H, pada saat dinasti al-Muwahhidun mencapai titik nadinya. Adapun mengenai tahun kelahiran al-Syadzili sebenarnya masih belum ada kesepakatan. Beberapa penulis berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut : Siraj al-Din Abu Hafsh menyebut tahun kelahirannya pada 591 H/1069 M, Ibn Sabbagh menyebut tahun kelahirannya pada 583 H/ 1187 M, dan J. Spencer Trimingham mencatat tahun kelahiran al-Syadzili pada 593 H/ 1196 M.
Orang-orang yang pernah bertemu menerangkan bahwa al-Syadzili mempunyai perawakan badan yang menarik, bentuk muka yang menunjukkan keimanan dan keikhlasan, warna kulitnya yang sedang, serta bentuk badannya agak panjang dan begitu pula bentuk mukanya agak panjang juga. Jari-jarinya langsing seakan seperti jari-jari orang Hijaz.
Orang bertanya mengapa ia dinamakan al-Syadzili padahal ia bukan lahir di desa Syadzili. Ia menjawab bahwa pertanyaan seperti itu pernah ditanyakan pada Tuhan dalam fananya. Konon Tuhan mengatakan, “Ya Ali, Aku menamakan engkau dengan nama al-Syadz yang artinya jarang, karena keistimewaannya dalam berhidmat kepada-Ku”.
Pendidikannya dimulai dari kedua orang tuanya, dan kemudian dilanjutkan ke pendidikan lebih lanjut, yang mana di antara guru kerohaniannya adalah ulama besar ‘Abd al-Salam ibn Masyisy (w. 628 H/1228 M) yang juga dikenal sebagai “Quthb dari Quthb paraWali”, seperti halnya Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani (w.561 H/1166 M).
Setelah al-Syadzili belajar beberapa lamanya di Tunis, ia pergi ke Negara-negara Islam sebelah Timur. Di antaranya mengunjungi Makkah dan melaksanakan ibadah haji beberapa kali, kemudian dari sana ia bertolak ke Irak. Al-Syadzili menceritakan “Tatkala aku masuk ke Irak, pertamakali aku bergaul dengan Abu Fath al-Wasithi. Di Arab terdapat banyak Syaikh yang bersedia mengajar. Ketika aku minta ditunjukkan guru yang berkedudukan quthb, Abu Fath  al-Wasithi mengatakan kepadaku bahwa guru yang aku cari itu ada di negeriku sendiri. Maka aku kembali ke Maghribi. Setelah itu, aku bertemu dengan guruku Abd al-Salam ibn Masyisy, yang sedang bertapa di sebuah gunung. Aku segera mandi pada suatu mata air di bawah gunung itu. Ketika aku keluar dari dalam telaga mata air itu, aku merasa ilmu dan amalku sudah bertambah. Aku segera mendaki gunung itu untuk menemui guruku. Ia lalu berkata, “Marhaban ya Ali”. Kemudia ia mencerikan panjang lebar tentang silsilahku sampai kepada Rosulullah SAW".
Dengan demikian al-Syadzili mempunyai dua guru spiritual, karena sebelumnya telah mendapatkan pendidikan dari Abu Abdillah M. Ibn Kharazim (w.633 H/ 1236 M). Baik Abd al-Salam ibn Masyisy maupun Abu Abdullah M.  Ibn Kharazim adalah murid dari Abu Madyan. Beliau adalah Abu Madyan Syu’aib ibn al-Husain (1116-1198), lahir di desa Seville. Kemudian pergi ke Fez, Maroko dan mendalami tasawuf di sana. Hampir seluruh sufi Maghribi terpengaruh olehnya dan mempunyai jalur silsilah kepadanya. Madyan pernah mempelajari dan menghafal, antara lain kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya al-Ghozali, dan kemudian berikutnya ia mewajibkan kepada para muridnya untuk mempelajari  kitab tersebut. Pada saat pergi haji ke Makkah ia bertemu dengan Syaikh Abd al-Qodir al-Jilani kemudian belajar kepadanya, dan memandangnya sebagai Syaikh yang luar biasa.
Adapun kitab-kitab tasawuf yang pernah dikaji oleh al-Syadzili dan di kemudian hari ia ajarkan kepada muridnya, antara lain :Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Abu Hamid al-Ghozali, Qutb al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki, Khatm al-Auliya’ karya al-Hakim al-Tirmidzi, al-Mawaqif wa al-Mukhathabah karya Muhammad ‘Abd al-Abbar, an-Nafri al-Syifa’ karya Qodhli ‘Iyadh, al Risalah karya al-Kusyairi, dan al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Athiah..
Al-Syadzili dipandang sebagai seorang wali yang keramat. Di antara ceritanya bahwa pada suatu mimpi pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW yang berkata kepadanya. “Hai Ali ! Pergilah engkau masuk ke negeri Mesir di sana engkau akan mendidik empat puluh orang shiddiqin”.Oleh karena hari sangat panas Al-Syadzili konon mengeluh dengan berkata  “Ya Rasulullah! Hari sangat panas dan terik”.Nabi berkata “Ada awan yang akan memayungi kamu!’ aku berkata pula Aku takut akan kehausan” Nabi menjawab “Langit akan menurunkan hujan untukmu setiap hari”.Kemudian menjanjikanku dalam perjalanan dalam tujuh puluh keramat.
b. Perkembangan Thariqah Syadziliyah.
            Thariqah Syadziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahhidun, yakni hafsiyyah di Tunisia. Kemudian tumbuh subur di Mesir dan timur dekat  di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Sepeninggal al-Syadzili, kepemimpinan Thariqah Syadziliyah diteruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi ( Ahmad ibn Umar ibn Ali al-Anshari al-Mursi, lahir di Mursia, Sepanyol pada 616 H/ 1219 M ) yang ditunjuk langsung oleh al-Syadzili.
            Para tokoh Thariqah Syadziliyah pada awal tidak hanya menaruh perhatian pada pengajaran dan praktik tasawuf saja, tetapi juga pada masalah-masalah aqidah dan hukum Islam. Hal ini karena al-Syadzili sangat menekankan pentingnya pengetahuan agama bagi para pengikutnya.
            Dalam bidang hukum, para pengikut Thariqah Syadziliyah awal mengikuti madzhab Malikiyah, hal ini bukan hanya al-Syadzili bermadzhab Maliki, akan tetapi juga karena daerah Maghrib memang diwarnai oleh madzhab Maliki. Ketika pusat penyebaran Thariqah Syadziliyah berpindah ke Alexandria Mesir, di daerah ini juga penduduknya berpaham Malikiyah.
            Dalam perkembangan berikutnya muncul cabang dari Thariqah Syadziliyah. Pada abad ke-8 H/14 M di Mesir muncul sebuah cabang yang Thariqah Syadziliyahdiberi nama Wafaiyyah yang didirikan oleh Syams al-Din Muhammad bin Ahmad Wafa' ( w. 760 H/ 1359 M) yang juga terkenal dengan bahr al-Shafa'.
            Di samping itu, muncul cabang lainnya yaitu Hanafiyyah, Jazuliyyah, Nashiriyyah, 'Isawiyyah, Tihamiyyah, Darqawiyyah, dan sebagainya. Mereka muncul akibat penyesuaian dan adaptasi kembali pesan-pesan asli Thariqah Syadziliyah. Contoh saja munculnya Thariqah Jazuliyyah yang berasal dari imam terkenal, al-Jazuli (w. 875 H/ 1470 M) salah satu wali utama di Marakesh. Jazuliyah tampaknya memunculkan diri sebagai pengejawantahan dari ketaatan yang sangat kuat terhadap Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dalam lantunan salawat Nabi ciptaannya yang terkenal dengan sebutan Dalail al-Khairat. Saat itu substansi spiritual Maroko amat membutuhkan simbol yang kuat untuk membuatnya kembali mendedikasikan diri pada akar kesejarahan, dan sumber yang sanggup menggugah kebangkitan itu adalah kecintaan kepada Nabi.
            Diantara murid dan penyebar Thariqah Syadziliyah yang terkenal adalah Ibn 'Atha'illah al-Iskandari (al-Sukandari) yang juga sebagai musannif dari kitab al-Hikam, lahir di Mesir sekitar abad 7 H/ 13 M dan meninggal tahun 709 H/ 1309 M.
Murid Syadziliyah lain adalah Ibn Abbad al-Randa, ia mengenal tasawuf dari guru-guru hukumnya yang juga sufi yang mengajarkan karya-karya klasik seperti Qut al-Qulub al-Makki dan ihya' ulum al-Din al-Ghazali. Dan akhirnya ia memutuskan bergabung dan mendukung Thariqah Syadziliyah. Diantar karyanya adalah kitab Tanbih, syarh al-Hikam ibn 'Athaillah, rasail al- Kubra dan rasail al-Sughra.[31]
3. Thariqat Naqsyabandiyah.
a. Sejarah Thariqah Naqsyabandiyah
Pendiri Thariqah Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhori Naqsyabandi (717H/1318M-791H/1389M), dilahirkan di sebuah desa Qoshru Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar "syah" yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah ia lahir segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi yang menerimanya dengan gembira. Ia belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18 tahun. Kemudian ia belajar ilmu thariqah pada seorang quthb di Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w 771/1371). Kulal adalah seorang khalifah Muhammad Bab al-Samasi. Dari Kulal inilah ia pertama belajar thariqah yang didirikannya. Selain itu Naqsyabandi pernah juga belajar pada seorang arif bernama al-Dikkirani selama sekitar satu tahun. Ia pun pernah bekerja untuk Khalil penguasa Samarkand, kira-kira selama dua belas tahun. Ketika sang penguasa digulingkan pada tahun 748 H/1347 M ia pergi ke Ziwartun. Di sana ia menggebalakan binatang ternak selama tujuh tahun, dan tujuh tahun berikutnya dalam pekerjaan perbaikan jalan. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pendidikan dan pembinaan mistisnya untuk memperdalam sumber-sumber rasa kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia serta membangkitkan perasaan pengabdian dalam memasuki lingkungan mistis.
b. perkembangan Thariqah Naqsyabandiyah
            Thariqah Naqsyabandiyah pertamakali berdiri di Asia Tengah, kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Baha'uddin Naqsabandi sebagai pendiri thariqah ini, dalam penyebarannya ,mempunyai 3 khalifah utama, yaitu : Ya'kub Carkhi, 'Ala'uddin Aththar dan Muhammad Parsa.
            Penyebaran Thariqah Naqsyabandiyah memasuki wilayah India (yang kemudian berpengaruh ke Indonesia ) sekitar tahun abad 10 H/ 16 M tepatnya pada tahun 1526 pada waktu India ditaklukkan oleh Babur, pendiri kekaisaran Mongol.
            Penyebaran Thariqah Naqsyabandiyah di Nusantara mengalami pasang surut, hal ini disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya adalah gerakan pembaharuan dan pilitik. Penaklukan Makkah oleh 'Abdul Aziz bin Sa'ud pada tahu 1924 berakibat besar terhambatnya perkembangan Thariqah Naqsyabandiyah karena sejak saat itu kepemimpinan Makkah dipegang oleh Wahabi.
            Syekh Yusuf al-makasari (1626-1699) merupakan orang pertama yang memperkenalkan Thariqah Naqsyabandiyah di Nusantara[32], ia menerima ijazah dari 'Abd al-Baqi' di Yaman, kemudian mempelajari thariqah ketika di Madinah di bawah bimbingan Syekh Ibrahim al-Kurani. Kemudian Thariqah Naqsyabandiyah menyebar ke pelosok-pelosok nusantara seperti di Riau yang di bawa oleh Muhammad Yusuf, Pontianak, Madura, Minagkabau, Jawa Tengah dan kemudian tersebar ke beberapa daerah Jawa yang lain seperti Rembang, Blora, Banyu Mas-Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur bagian utara, Kediri,  Blitar, Dll.
           
4.Thariqah Khalwatiyah
Thariqah Khalwatiyah di Indonesia banyak dianut oleh suku Bugis dan Makasar di Sulawesi Selatan, atau di tempat-tempat lain di mana suku itu berada, seperti di Riau, Malaysia, Kalimantan Timur, Ambon dan Irian Barat.
Nama Khalawatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf al-Khalwati (tabarruk terhadap Muhammad (Nur) al-Khalwati al-Khawarizmi (w 751 H / 1350 M)) yang sampai sekarang masih sangat dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tharekat ini yang hadir bersama. Keduanya dikenal dengan nama Tharekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman. Pengikut kedua cabang tharekat ini secara keseluruhan mencakup 5 % dari penduduk provinsi yang berumur di atas 15 tahun, pengikut yang berada di Maros mencapai dua pertiga dari jumlah penduduk dewasa di daerah tersebut.
Thariqah Khalwatiyah Yusuf didasarkan kepada nama Syaikh Yusuf al-Makassari dan Thariqah Khalwatiyah Samman diambil dari nama seorang sufi Madinah abad ke-18 Muhammad al-Samman. Kedua cabang Tharekat Khalwatiyah ini muncul sebagai thariqah yang sama sekali berbeda, masing-masing berdiri sendiri, tidak terdapat banyak kesamaan selain kesamaan nama. Terdapat berbagai perbedaan dalam hal amalan, organisasi dan komposisi sosial pengikutnya.Tharekat Khalwatiyah Yusuf dalam berdzikir mewiridkan nama-nama Tuhan dan kalimat-kalimat singkat lainnya secara sirr dalam hati, sedangkan Thariqah Khalwatiyah Samman melakukan dzikir dan wiridnya dengan suara keras dan ekstratik. Tharekat Khalwatiyah Samman sangat terpusat, semua gurunya tunduk kepada pimpinan pusat di Maros, sedangkan Thariqah Khalwatiyah Yusuf tidak mempunyai pimpinan pusat.
Cabang-cabang lokal Thariqah Khalwatiyah Samman sering kali memiliki tempat ibadah sendiri (mushalla, langgar) dan cenderung mengisolasi diri dari pengikut tharekat lain, semantara pengikut Khalwatiyah Yusuf tidak mempunyai tempat ibadah khusus dan bebas bercampur dengan masyarakat yang tidak menjadi anggota tharikah. Anggota Tharikah Khalwatiyah Yusuf banyak berasal dari kalangan bangsawan Makasar termasuk penguasa kerajaan Gowa terakhir Andi Ijo Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidid (berkuasa 1940-1960). Thariqah Khalwatiyah Samman lebih merakyat baik dalam hal gaya maupun komposisi sosial, sebagian besar pengikutnya orang desa.
b.Perkembangan Thariqah Khalwatiyah
            Al-Makasari ketika di Banten mulai mengajarkan thariqah di kalangan istana Banten terutama kepada putra mahkota ( Sultan Haji)serta kalangan prajurit dari Sulawesi Selatan. Tetapi di Banten thariqat Khalwatiyah tidak berkembang karena al-Makasari dianggap sebagai lawan politik oleh Sultan Haji.
            Penyebaran thariqah Khalwatiyah Yusuf di Sulawesi Selatan dilakukan oleh seorang buta yang merupakan salah satu murid dari al-Makasari bernama 'Abd al-Basyir al-Dharir al-Khalwati, lebih dikenal sebagai Tuang Rappang I Wodi.[33]
5. Thariqah Syattariyah
a. Sejarah Thariqah Syattariyah
Nama Syattariyah dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abd Allah al-Syattari (w 890H / 1485 M) seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din  Abu Hafsh, ‘Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M) ulama sufi yang mempopulerkan Thariqat Suhrawardiyah, sebuah thariqah yang awalnya didirikan oleh pamannya sendiri. Diya' al-Din Abu Najib al-Suhrawardi (490-563 H / 1079-1168 M).
Jika ditelusuri lebih awal lagi, thariqah ini sesungguhnya memiliki akar keterkaitan dengan tradisi Transixiana, karena silsilahnya terhubungkan kepada Abu Yazid al-‘Isyqi, yang terhubungkan lagi kepada Abu Yazid al-Bustami (w.260H / 873 M) dan Imam Ja’far al-Shadiq (w.146 H / 763 M). Tidak mengherankan kemudian jika thariqah ini dikenal dengan nama Thariqah ‘Isyqiyah di Iran, atau Thariqah Bistimiyah di Turki Utsmani, yang sekitar abad ke-5 cukup populer di wilayah Asia Tengah, sebelum akhirnya memudar dan pengaruhnya digantikan oleh Thariqah Naqsyabandiyah.
Thariqah ‘Isyqiyah atau Bistamiyah tersebut mengalami kebangkitannya kembali setelah Syah Abd Allah al-Syattar mengembangkannya di India, dan menyebutnya sebagai Thariqah Syattariyah. Sejak itu Thariqah Syattariyah selalu dihubungkan dengan jenis tasawuf India, kendati nama Abu Yazid al-‘Isyqi dan Abu Yazid al-Bustami tetap menjadi sandaran dalam tradisi silsilahnya untuk menghubungkan sampai kepada Imam Ja’far al-Shadiq dan akhirnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam konteks India sendiri, Thariqah Syattariyah – seperti halnya juga thariqah lain yang berakar di India, yaitu Thariqah Khisytiyah, Thariqah Suhrawardiyah, Thariqah Firdausiyah dan Thariqah Qadiriyah –muncul ketika berbagai gerakan keagamaan lebih menfokuskan misinya untuk melakukan ekspansi dakwah Islam kepada kalangan non muslim. Di India gerakan ekspansi keagamaan semacam ini merupakan periode awal dari keseluruhan gerakan keagamaan, yang oleh para sarjana umumnya dibagi ke dalam empat kategori: pertama, gerakan “ekspansi” keagamaan dan kemasyarakatan, yang terjadi sekitar abad 6 H/ 12 M hingga abad 10 H/16 M., kedua, gerakan “reformasi” keagamaan dan kemasyarakatan, yang terjadi sekitar abad 11 H/17 M, ketiga, masa “regenarasi” yang terjadi pada abad 12 H/18 M, dan terakhir adalah masa “reorentasi” yang terjadi pada abad -19.
Sebagai sebuah gerakan ekspansi keagamaan, Thariqah Syattariyah pada periode ini lebih diarahkan pada perjuanag untuk meningkatkan nilai moral dan spiritual melalui penyebaran berbagai ajaran Islam. Dan dalam upayanya ini, Syah Abd Allah al-Syattar beserta para pengikutnya mengembangkan kecenderungan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat yang masih banyak dipengaruhi ajaran atau ritual Hindu.
b. Perkembangan Thariqah Syattariyah
            Awal perkembangan Thariqah Syattariyah di wilayah Melayu-Indonesia tidak dapat dipisahkan dari masa kembalinya Abdul Rauf al-Sinkili dari Haramain pada tahun 1661 M, setahun setelah guru utamanya al-Qusyasyi wafat. Di Aceh al-Sinkili segera menjadi pusat perhatian, baik dari kalangan masyarakat maupun istana, bahkan ia dipercaya oleh Sultanah Safiyatuddin ( 1645-1675) untuk menjadi Qadli Malik al-Adil.
            Diantara murid al-Sinkili yang paling terkemuka diantaranya adalah Syekh Burhan al-Din dari Ulakan, Pariaman Sumbar dan Syekh Abd al-Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya Jabar. Kedua murid al-Sinkili ini berhasil melanjutkan dan mengembangkan silsilah Thariqah Syattariyah, dan menjadi sentral di daerahnya masing-masing.[34]
6. Thariqah Sammaniyah.
a. sejarah Thariqah Sammaniyah
Thariqah Sammaniyah didirikan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Karim al-Madani al-Syafi’I al-Samman (1130-1189/1718-1775). Ia lahir di Madinah dari keluarga Quraisy. Di kalangan murid dan pengikutnya ia lebih dikenal dengan nama al-Sammani atau Muhammad Samman (dalam tulisan ini akan disebut sebagai Syaikh Samman). Sambil mengajar di Sanjariyah, tampaknya Syaikh Samman banyak menghabiskan hidupnya di Madinah dan tinggal di rumah bersejarah milik Abu Bakar al-Shiddiq.[35]
Syaikh Samman sebenarnya tidak hanya menguasai bidang thariqah saja tetapi bidang-bidang ilmu Islam lainnya.Ia belajar hukum Islam kelima ulama fiqih terkenal : Muhammad al-Daqqaq, Sayyid ‘Ali Al-Aththar, ‘Ali al-Kurdi, ‘Abd al-Wahhab al-Tanthawi (di Makkah) dan Said Hilal al-Makki. Ia juga pernah berguru ke Muhammad Hayyat, seorang muhaddits dengan reputasi lumayan di Haramayn dan diinisiasi sebagai penganut Thariqah Naqsyabandiyah. Selain Samman yang berguru ke Muhammad Hayyat ada juga Muhammad bin Abd al-Wahhab, seorang penentang bid’ah dan prakti-praktik syirik serta pendiri wahabiyah.
b. Perkembangan Thariqah Sammaniyah
            Pengikut Thariqah Sammaniyah yang paling banyak sampai sekarang ada di Sulawesi Selatan. Pembawa Thariqah Sammaniyah ini adalah Abdullah al-Munir dan dikembangkan oleh putranya Muhammad Fudlail (w.1859 M) di kabupaten Barru. Penyebaran lebih lanjut dilakukan oleh Abdul Razaq (w.1902) di kabupaten Maros, serta oleh keturunannya hingga sekarang.
            Selain di Sulawesi selatan, Thariqah Sammaniyah juga dikembangkan di Kalimantan Selatan. Daerah yang merupakan asal dari M.Arsyad al-Banjari yang menjadi murid Syekh Samman.
7. Thariqah Tijaniyah
a.Sejarah Thariqah Tijaniyah
Thariqah Tijaniyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani (1150-1230 H/1737-1815M) yang lahir di ‘Ain Mahdi Aljazair Selatan dan meninggal di Fez Maroko, dalam usia 80 tahun Syaikh Ahmad Tijani diyakini oleh kaum Tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat, karena didukung oleh factor genealogis, tradisi keluarga, dan proses penempaan dirinya.
Menurut pengakuannya, Ahmad Tijani memiliki nasab sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Silsilah dan garis nasabnya adalah Sayyid Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad bin Salim bin al-‘Idl bin Salim bin Ahmad bin ‘Ali bin Ishaq bin Zain al-Abidin bin Ahmad bin Abi Thalib, dari garis Siti Fatimah al-Zahra’ biti Muhammad Rasulullah SAW.
Ahmad Tijani lahir dan dibesarkan dalam lingkungan tradisi keluarga yang taat beragama. A. Fauzan Fatullah membagi riwayat hidup Syaikh Ahmad Tijani ke dalam beberapa periode:(1) periode kanak-kanak (sejak lahir (1150M)-usia 7 tahun ,(2) periode menuntut ilmu (usia 7 tahun – belasan tahun),(3) periode sufi (usia 21-31 tahun),(4) periode iyadhah dan mujahadah (usia31-46 tahun ),(5) periode al-Fath al-Akbar (tahun 1196H, dan (6) periode pengangkatan sebagai wali al-khatm (tahun 1214H) pada bulan Muharram 1214 H mencapai al-quthbaniyah al-‘uzm, dan pada tanggal 18 Safar 1214 H mencapai wali al-khatm wa al-maktum. Ketika memasuki usia dewasa ia tenggelam dalam dunia sufi sehingga dapat mencapai derajat wali tertinggi.
b. Perkembangan Thariqah Tijaniyah
            Kapan Thariqah Tijaniyah masuk ke Indonesia tidak diketahui secara pasti. Tetapi ada dua fenomena yang menunjukkan gerakan awal Thariqah Tijaniyah ini, yaitu kehadiran Syekh 'Ali bin Abdllah al-Thayyib, dan adanya pengajian Thariqah Tijaniyah di pesantren Buntet Cirebon.
            Berdasarkan kehadiran Syekh 'Ali bin Abdllah al-Thayyib ke pulau Jawa, maka Thariqah Tijaniyah ini diperkirakan dating ke Indonesia pada awal abad ke-20 M ( antara 1918 dan 1921 M). Thariqah Tijaniyah pada awalnya berpusan di pesantren Buntet di desa Martapada Kulon. Pesantren ini dipimpin oleh lima bersaudara, diantaranya adalah KH. Abbas sebagai saudara tertua yang menjabat sebagai ketua yayasan dan sesepuh pesantren, dan KH.Anas, adik kandungnya.
            Dari Buntet, kemudian Thariqah Tijaniyah menyebar luas ke daerah-daerah pulau Jawa melalui murid-murid pesantren Buntet. Di Jawa Timur sendiri Thariqah Tijaniyah penyebarannya melalui KH. Umar Baidlowi yang berasal dari Syekh Muhammad bin Yusuf, Cirebon. Kemudian melalui KH.Mukhlas Thariqah Tijaniyah mnyebar lagi ke Probolingga ; melalui KH. Musthafa menyebar ke Sidoarjo ;melalui KH.Mahdi menyebar ke Blitar, dan daerah lainnya.[36]
8. Thariqah Qadiriyyah wa al-Naqsyabandiyah (TQN) dan asal-usulnya.
a. Sejarah Thariqah Qadiriyyah wa al-Naqsyabandiyah
Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyah ialah sebuah thariqah gabungan dari Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsyabandiyah (TQN). Thariqah ini didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas (1802-1872 M) yang dikenal sebagai penulis kitab Fath al-‘Arifin. Sambas adalah nama sebuah kota di sebelah utara Pontianak Kalimantan Barat. Syaikh Naquib al-‘Attas mengatakan bahwa TQN tampil sebagai sebuah thariqah gabungan karena Syaikh Sambas adalah seorang syaikh dari kedua thariqah dan mengajarkannya dalam satu versi yaitu mengajarkan dua jenis dzikir sekaligus yaitu dzikir yang dibaca dengan keras (jahar) dalam Thariqah Qadiriyah dan dzikir yang dilakukan di dalam hati (khafi) dalam Thariqah Naqsyabandiyah.
Sesudah belajar pendidikan agama dasar di kampungnya Syaikh Sambas berangkat ke Makkah pada usia Sembilan belas tahun untuk meneruskan setudinya dan menetap di 1289 H / 1872 M. di Makkah beliau belajar ilmu-ilmu Islam termasuk tasawuf, dan mencapai posisi yang sangat dihargai diantara teman-teman sejawatnya, dan kemudian menjadi seorang tokoh yang berpengaruh di seluruh Indonesia. Diantara gurunya adalah Syech Daud bin Abd Allah bin Idris al-Fathani (w sekitar 1843 M ), seorang alim besar yang juga tinggal di Makkah, yaitu Syekh Syam al-Din, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812 M) dan bahkan menurut sebuah sumber syekh Abd al-Samad al-Palimbani (w. 1800 m ). Dari semua murid Syekh Syamsuddin, Ahmad Khatib Sambas mencapai tingkatan tertinggi dan kemudian ditunjuk sebagai Syekh Mursyid Kamil Mukammil.
b. Perkembangan Thariqah Qadiriyyah wa al- Naqsyabandiyah.
            Pengembangan Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyah yang kelihatannya baru dikenal di Asia Tenggara, memang bermula dari kitab fathul 'Arifin, walaupun murid Syekh Sambas yang utama yaitu syekh Abdul Karim Banten, tampaknya tidak mengembangkan TQN secara luas, namun generasi berikutnya terutama di TQN Jawa, Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyah berkembang pesat, bahkan berkembang sampai luar Jawa, seperti Lampung, Palembang, Medan, Pontianak, Bali, Lombok. Bahkan sampai meluas ke luar Indonesia, seperti Singapura, Malaisia, dll.
            Zamakhsyari Dhofier menyebutkan bahwa pada tahun tujuh puluhan, empat pusat utama TQN di Jawa, yaitu : Rejoso Jombang dibawah pimpinan Kiai Tamim , Mranggen dipimpin kiai Muslih, Suryalaya Tasikmalaya dipimpin oleh KH. Shohibul Wafa Tajul 'Arifin (Abah Anom), dan Pagentongan Bogor dipimpin oleh Kiai Thohir Falak.
c. Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyah di Madura dan Rejoso Jawa Tinur
Di Madura sekarang ini tiga thariqah yang aktif yaitu Naqsyabandiyah, TQN dan Tijaniyah sekitar tahun 1920 an, TQN sudah tersebar di pulau itu walaupun banyak ulama di sana sudah mengikut Naqsyabandiyah. Seorang khalifah dari Syaikh Sambas yang beasal dari Madura bernama Ahmad Hasbullah telah sukses mengembangkan TQN di kalangan orang Madura di luar pulau itu yaitu Rejoso.TQN di Madura mengalami kemunduran di beberapa decade terakhir. Salah seorang keturunnan Kiai Kholil Bangkalan, K.H. Abdullah Schl menjelaskan bahwa banyak pimpinan Thariqah Naqsyabandiyah dan TQN telah berkunjung dan meminta ijazah dari Kiai Kholil, tetapi beliau berdiam diri tentang thariqah yang sebenarnya diikuti oleh Kiai Kholil. Kiai Kholil sendiri belajar dan tinggal di Makkah. Beliau mempelajari tasawuf, tata bahasa Arab dan fiqih dari Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Abd al-Karim Banten dan Syaikh Mahfudz Termas (w. 1918), tetapi Unang Sunarjo menerangkan bahwa Syaikh Kholil Bangkalan adalah salah seorang khalifah Syaikh Abd al-Karim Banten. Terlepas dari kebenaran informasi di atas yang jelas nama Kiai Kholil Bangkalan selalu muncul dalam seyiap pembahasan tentang wali, keramat dan thariqah di Indonesia. Melalui pencapaian spiritualnya Syaikh Kholil telah berhasil melahirkan murid-muridnya menjadi ulama besar. Di antaranya adalah Hadrat K.H.M. Hasyim Asy’ari (w. 1947), Tebu Ireng Jombang, Kiai Manaf Abd al-Karim Lirboyo Kediri, Kiai Muhammad Shiddiq Jember, Kiai Munawir (w. 1942) Krapyak Yogyakarta, Kiai Ma’sum (1870-1972) Lasem Rembang, Abdullah Mubarrok (w. 1956) Suryalaya Tasikamlaya, Kiai Wahab Hasbullah (1888-1971) Tambak Beras Jombang, Kiai Bisri Samsuri (1886-1980) Denanyar Jombang dan Kiai Bisri Mustofa (1915-1977).
Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah Rejoso berpusat di Pondok Pesantren Darul Ulum.Dikenal sebagai sebuah pesantren bergengsi dan pusat thariqah di Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh Kiai Tamin dari Madura.TQN diperkenalkan oleh menantu beliau, Kholil yang mengambil bai’at dari Ahmad Hasbullah di Makkah.Dari Kholil kemudian diteruskan oleh putra sendiri pesantren yaitu Kiai Romly Tamim, dan diteruskan oleh Kiai Musta’in Romly.Sebuah sumber menyebutkan bahwa Kiai Romly Tamim menerima TQN dari Kiai Usman al-Ishaqi al-Nahdi. Kiai Usman kemudian pindah ke sawahpulo Surabaya dan diteruskan oleh putranya: Kiai Asrori Utsman dan mendirikan Pondok Pesantren "al-Fitroh" di Surabaya. Kiai Musta’in Romly dan Kiai Usman al-Ishaqi mempunyai banyak pengikut dan badal atau khalifah dari golongan etnis Madura. Kiai Musta’in Romly dikenal sebagai tokoh karismatik dan mempunyai pengaruh spiritual yang besar terutama pada tahun tujuh puluhan sebelum beliau masuk Golongan Karya. Sesudah beliau TQN dipimpin oleh Rifa’I Romly (w.1994), yang menerima ijazah secara isyarat dari saudaranya, Musta’in Romly. Kepemimpinan TQN sekarang diteruskan oleh K.H. Dimyati Romly yang menerima ijazah irsyad dari Kiai Ma’sum, yang menerima ijazah irsyad dari Kiai Romly Tamim dan Kiai Musta’in Romly
Selain sebagai mursyid TQN pada tahun 1975 Kiai Musta’in Romly juga menjabat sebagai pimpinan organisasi Jam’iyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh yang didirikan NU sejak tahun 1957. Karena afiliasi politik Kiai Musta’in berubah ke Golkar sebelum pemilu 1977, maka organisasi thariqah itu kemudian diproklamirkan lagi pada Muktamar NU di Semarang tahun 1979, dengan nama Jam’iyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh al-Nahdliyah (JATMN). Sementara Rejoso menyebutkan dengan nama Jam’iyah Ahli Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia (JATMI). Dengan demikian ada dua TQN di Jombang, satu TQN yang mengikuti jalur mursyid yang berdomisili di Rejoso, di bawah naungan JATMI. Sementara TQN yang berafiliasi dengan JATMN dengan mursyid K.H. Adlan Ali yang menerima ijazah irsyad dari Kiai Muslih Mranggen. Satu sumber lain menyebutkan bahwa Kiai Adlan Ali juga adalah seorang khalifah dan penerima ijazah dari Kiai Musta’in Romli. Pusat dari JATMN berada di Cukir Jombang.[37]
BAB  VI
TANTANGAN NAHDLATUL ULAMA  DI INDONESIA
I.     WAHABI
     A.Sejarah munculnya Wahabi
                   Gerakan wahabi ini muncul dari seorang pemikir yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang merupakan foto copy dari Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah[38].     
               Menurut penuturan shalah Muhammad, seorang komentator kitab al-Kabir yang ditulis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad bin Abdul Wahhab lahir pada tahun 1115H/1703 M di desa Uyaiah, sebuah kampung kecil 70 km sebelah barat daya kota Riyadh Saudi Arabiya.
               Masa kecilnya dihabiskan di Uyainah, kota kelahirannya. Di desa ini ia banyak menggunakan kesempatan mendalami agama islam di bawah bimbingan ayahnya, Abdul Wahhab bin Sulaiman. Muhammad bin Abdul Wahhab dikenal sosok faqih yang menganut Madzhab Hambali (salah satu Madzhab empat). Karena ketekunan dan kecerdasannya pada usia mendekatai 10 tahun ia hafal al-Qur'an. Di samping mempelajari tafsir dan hadits versi Hanbaliyah. Dan sejak kecil pula ia telah mengagumi tokoh pembaharu Islam yaitu Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauzi.
               Muhammad bin Abdul Wahhab melanjutkan pendidikannya dengan mencari banyak guru. Ia dikenal orang yang haus ilmu. Seolah dibenaknya tidak ada sesuatu yang berharga kecuali dengan tetesan ilmu. Ia berguru kepada syeh Abdullah bin Ibrahim al-Najdy, syeh Effendi al-Daghastany, Ismail al-Ajlawy, Syeh Abdul Lathif al-'Afalaqy dan Syeh Muhammad al-'Afalaqy. Semua ini beliau temui di dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah selama beberapa tahun. Diantaraguru beliau  yang paling lama menjadi guru adalah Muhammad Hayat Sindhi dan syeh Abdullah al-Najdy.
   Tidak puas dengan itu, ia pergi ke Syiria untuk belajar sambil berdagang. Di sana ia menemukan buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang sangat ia idolakan. Akhirnya ia semakin jauh terpengaruh pikirannya terhadap dua tokoh reformis itu. Kemudian ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada Syeh Muhammad al-Majmu'iy. Di kota ini ia menghabiskan mencari ilmu selama empat tahun, sebelum akhirnya ia ditolak masyarakat karena pandangannya dirasa meresahkan dan bertentangan dengan pandangan masyarakat setempat.
               Sepulang dari Bashrah pada tahun 1736 M, Muhammad Bin Abdul Wahhab berhasil menyelesaikan sebuah karya yang kelak dijadikan rujukan utama oleh pengikutnya, yaitu kitab al-Tauhid. Di dalam kitab ini disebutkan beberapa pemikirannya antara lain, bahwa tuhan telah mengutus seorang rasul dalam setiap golongan manusia, melalui rasul tersebut Tuhan menggambarkan eksistensi-Nya.
  
Muhammad Bin Abdul Wahhab, sebagaimana dikutib Muhammad bin Saleh al-Ustmani meyakini bahwa Islam yang dibawa Nabi Muhammad telah sempurna. Hal ini didasarkan pada firman Allah yang diturunkan terakhir pada pada Rasulullah saat beliau berkhutbah di padang Arafah disela-sela haji Wada', yakni ayat ketiga dari surat Al-Maidah ;
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ""
Ayat ini menyatakan akan kesempurnaan agama. Jadi segala sesuatu dalam hal agama yang dikerjakan oleh suatu kaum yang Nabi tidak pernah mempraktekannya, maka inilah yang dimaksud bid'ah.
               Parahnya lagi, penyimpangan ini justru lebih banyak terjadi di dua kota suci umat Islam, makkah dan Madinah. Di sana banyak dijumpai orang sangat mengagumkan makam Nabi, keluarga serta sahabatnya, meratapi dinding Ka'bah, menghormati gua Hira', menghormati sumur zam-zam, serta bertawasul kepada Nabi ditempat kelahirannya (marqad) dan lain sebagainya[39].
         
B.   Organisasi Berpaham Wahabi di Indonesia.                  
Dalam sejarah gerakan modernisme yang diusung di Indonesia ada pemetaan dua gerakan. Pertama adalah gerakan salaf, yaitu gerakan yang berusaha keras melakukan pemurnian agama Islam dengan merujuk hanya pada al-Qur’an dan Hadits. Golongan yang termasuk dalam gerakan ini adalah gerakan Wahabi atau biasa juga disebut dengan gerakan salafi. Kedua, adalah gerakan reformasi yang sifatnya tidak ingin mengadakan perombakan total seperti halnya yang dilakukan oleh gerakan Wahabi. Gerakan ini dapat juga disebut dengan gerakan modernis Islam yang menghendaki perombakan cara hidup umat Islam yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Ada beberapa organisasi yang dikategorikan menjadi “tangan panjang” atau mendapat pengaruh Wahabisme di Indonesia, organisasi tersebut antara lain :
1.        Jami’at al-Khair
Jami’at Khair merupakan organisasi Islam modern pertama di Indonesia, ini didirikan tahun 1901 oleh keturunan Arab Hadramaut tanpa izin dari pemerintah kolonial.  Perkumpulan ini didirikan secara diam-diam sehingga pada akhirnya Jami’at Khair cukup maju dan menghasilkan banyak tokoh yang berperan di dalamnya. Organisasi ini memiliki  sifat kepemilikan yang sangat tebal terhadap Islam yang mendorong mereka menyebarkan Islam keseluruh dunia. Di antara tokohnya adalah KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah. Namun perkumpulan ini kurang disenangi oleh pemerintah kolonial karena punya pengaruh besar dalam membangkitkan semangat perjuanagan baru di Indonesia. Tahun 1905 Jami’at Khair mendapatkan izin mendirikan perkumpulan tersebut secara sah dengan syarat tidak boleh membuka cabang di luar Jakarta. Selain KH. Ahmad Dahlan tercatat pula H.O.S. Tjokroaminoto dan sejumlah ulama-ulama kharismatik yang kelak memprakarsai berdirinya NU sebagai anggota perkumpulan ini.
2.        Sarikat Islam
Sarikat Islam, yang didirikan pada tahun 1912 yang dalam anggaran dasarnya bertujuan untuk memajukan perdagangan, menolong anggotanya yang susah, memajukan kehidupan kerohanian, meluruskan pendapat yang salah tentang Islam, memajukan kehidupan keagamaan sesuai dengan hukum dan kebiasaan umat Islam.
3.        Muhammadiyah
Muhammadiyah. Organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) di Yogyakarta, tepatnya di daerah Kauman pada tahun 1912 memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Islam dalam negri. Anggaran Dasar organisasi ini bertujuan untuk memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan di Hindia-Belanda berdasarkan ajaran Islam dan meningkatkan kehidupan beragama di antara anggotanya. Dalam memaknai Islam Murni Ahmad Dahlan mencernmatinya sebagai Islam Sejati yang dilaksanakan secara lahir dan batin. Kalau sesuatu menurut lahir teks yang tersirat dalam al-Qur’an dan Hadits tidak memerlukan penafsiran lebih lanjut atau boleh disebut pemahaman Islam Murni telah final. Bagi Ahmad Dahlan, hukum Islam itu murni dan sempurna serta ketaatan seorang muslim dalam menjalankan syari’at akan lahir jika dilandasi dengan keikhlasan hati dan pikiran yang suci. Berangkat dari pemikiran ini bahwa rekontruksi umat Islam dalam menjalankan ajarannya diperlukan adanya kesadaran dari umat itu sendiri. Pemikiran Ahmad Dahlan membentuk gerakan dengan memberantas segala bentuk khurafat dan segala hal yang berbau bid’ah seperti berkunjung ke makam, berzanji, shalawatan, acara model tujuh hari, empat puluh hari dari kematian seseorang dan seterusnya.
4.        Persis ( Persatuan Islam)
Persis ( Persatuan Islam). Golongan ini menyatakan diri mengklaim sebagai Islam murni. Berbeda dengan konsepsi Dahlan tentang Islam yang agak toleran, pendirinya A, Hasan cenderung lebih ekstrim dalam mengusung ide Islam murni. Hasan dilahirkan di Singapura dan berprofesi sebagai pedagang ini pernah menjadi redaktur  Nur al-Islam di Singapura dan utusan melayu. Cara radikal yang dilakukan Hasan dengan misi Islam murninya adalah dengan merombak dan memusnahkan praktek keberagaman yang selama ini menjadi tradisi yang turun-temurun dalam masyarakat. Di antaranya adalah praktek talqin, ushalli, barzanji dan acara-acara lain yang dianggapnya tidak sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan Hadits. Sebab bagi Hasan Al-Qur’an dan Hadits sudah memuat hukum muamalah dan jinayah yang sudah lengkap.
5.        Jami’iyyat al-Islah wa al-Irsyad
Jami’iyyat al-Islah wa al-Irsyad, artinya adalah perhimpunan bagi reformisme dan pimpinan. Nama ini diambil dari organisasi yang didirikan Rasyid Ridha Jam’iyyat al-Da’wa wal-Irsyad di Mesir. Pendiri al-Irsyad Indonesia adalah Ahmad bin Muhammad al-Surkati al-Anshari. Seorang asing berkebangsaan Sudan. Dilahirkan pada tahun 1870 dan meninggal pada September 1943 yang masih tergolong dalam keluarga Mahdi Sudan. Tujuan dari al-Irsyad menurut Anggaran Dasar yang telah disahkan keputusan Gubernur Jendral pada tahun 1915 ialah mengumpulkan dan menyimpan dana yang kemudian dikeluarkan lagi bagi keperluan menyebarluaskan adat istiadat Arab yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
6.        Madrasah Salafiyah
Madrasah Salafiyah di Indonesia. Istilah ini memiliki makna tertentu dan sering digunakan sebagai pembenar diri pengikut ulama salafus shalih. Mazhab ini dalam perkembangannya selalu mengindentikkan dengan sabda Nabi : tiga generasi Islam : pertama, para sahahbat, kedua, tabi’in dan ketiga, adalah tabiut-tabi’in.  Sebaik-baik kurun adalah kurunku, lalu orang-orang yang datang sesudahnya, lalu orang-orang yang datang sesudahnya. Salafiyah adalah ajarannya, salafiyyin adalah pengikutnya, sedang salafy adalah sebutan bagi mereka. Madrasah (markas ilmiyah) Salafiyah sendiri terdapat di berbagai Negara muslim, antara lain di Arab Saudi, Mesir Pakistan, India, Asia tengah dan lainnya. Tiga madrasah yang sangat dominan saat ini ialah Salafiyah di Arab Saudi,Salafiyah di Yaman dan Salafiyah di Yordania-Syiria (Syam).
Masing-masing madrasah memiliki tokoh idola atau ulama, majelis-majelis ta'lim, lembaga pendidikan, media serta karya-karya buku. Asal negaranya berbeda-beda, namun poros perjuangannya sama, yakni tauhid dan ittiba’ sunnah Nabi. Dari tiga madrasah itu yang sangat terkenal keras dalam membasmi khurafat, takhayul dan bid’ah adalah Salafy Yamani. Tokoh sentralnya adalah Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’I di kota Sa’adah desa Dammaz Yaman. Paham Salafiyah Yaman yang masuk ke Indonesia beragam warna. Warna yang asli dan mencolok ialah dakwah Imam Muhammad bi Abdul Wahab yang dibawa oleh para ulama Sumatara Barat pada abad ke-19. Inilah Salafiyah pertama di Indonesia yang dikenal dengan kaum Paderi.
Kemunculan dan keragaman wajah Salafiyah di Indonesia dapat disebutkan. Pertama, sikap ilmiah murni, yaitu mengkaji setiap persoalan berdasarkan landasan al-Qur’an, hadits-hadits shahih serta metode yang lurus sebagaimana yang dipegang oleh para ulama Ahlussunnah sepanjang sejarahnya. Inilah sumber dan metode asli dakwah Salafiyah. Kedua, membangun jaringan majelis-majelis taklim yang menginduk ke madrasah Salafiyah tertentu di Timur Tengah. Pelajar-pelajar dari Indonesia menuntut ilmu di madrasah salafiyah itu, kemudian mereka pulang ke Indonesia untuk menyebarkan ilmu dan metode dakwah yang telah mereka dapatkan di madrasah tempat mereka belajar. Ketiga, bersikap keras dalam mengingkari ahli bid’ah dan kelompok menyimpang. Sikap keras itu kadang ditunjukkan dengan bermuka masam, tidak mau menjawab salam, bersikap menjahui, mencela, membuka aib, menghina hingga memboikot. Keempat, mengambil khazanahilmu-ilmu Salafiyah, namun juga menerapkan system kejamahan (organisasi) seperti yang diterapkan di kalangan jamaah-jamaah dakwah Islam pada umumnya. Kelima, mengambil bab-bab tertentu dari ilmu Salafiyah dan meninggalkan bab-bab yang lain. Adakalanya mereka anti terhadap bab-bab tertentu yang tidak memuaskan akal, kebebasan dan kepentingannya. Kelompok ini biasanya bersemangat tinggi dalam bab-bab yang mereka pilih. Keenam, mengambil khazanah ilmu Salafiyah untuk bab-bab yang bersifat dasar (elementer), lalu meletakkan di atas dasar-dasar itu pemikiran non Salafiyah, seperti doktrin politik, kekerasan, organisasi dan lain-lain. Ketujuh, mengambil sebagian ilmu-ilmu Salafiyah, lalu meramunya dengan ilmu-ilmu dari sumber lain, sehingga menghasilkan paduan multi warna. Dengan kata lain, menghasilkan wajah baru sebagai buah proses kompilasi. Ada yang menyebutnya dengan istilah thariqul jam’i,(metode kompromis). Kedelapan, berkiprah dalam bidang-bidang teknis, misalnya penerbitan, media, pendidikan, rumah sakit, lembaga sosial dan lain-lain, tanpa mengikat diri kepada suatu organisasi Islam tertentu (baik organisasi formal atau non formal). Kesembilan, berkarya dalam dakwah Salafiyah secara independen dengan tidak mengikatkan diri kepada suatu organisasi, jamaah, jaringan majelis taklim, lembaga, madrasah dan lain-lain, baik di dalam atau di luar negeri. Mereka menyebarkan ilmu-ilmu Salafiyah secara mandiri, local dan menyesuaikan metode dakwah dengan situasi lingkungan. Secara popularitas mereka kurang dikenal sebab cenderung berpisah-pisah, tetapi secara dakwah mereka eksis. Kesepuluh, mengambil ilmu hikmah Salafiyah secara individu sesuai kebutuhan, keinginan dan kepentingan masing-masing. Seluruh warna di atas ada di Indonesia. Porosnya satu yaitu, madrasah Salafiyah, tetapi cabangnya sangat banyak.
C.   Ajaran Wahabi yang bertentangan dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah
Menurut penuturan al-Maghfurlah KH. Sirojuddin Abbas, praktik dan ajaran wahabi di Makkah dan Madinah antara lain adalah :
a.     Seluruh rakyat dilarang merokok, karena merokok adalah pekerjaan setan.
b.    Tidak boleh atau dilarang melagukan adzan. Padahal sebelum Wahabi berkembang di Makkah di atas tujuh menara di Masjidil Haram, bilal melakukan adzan dengan lagu dan suara yang indah-indah.
c.     Tidak boleh membunyikan radio.
d.    Tidak boleh melagukan kasidah dan melagukan bacaan al-Qur’an.
e.     Tidak boleh membaca kitab-kitab shalawat, seperti Dala’il Khairat, Burdah Diba’, karena di dalamnya banyak memuji Nabi Muhammad saw.
f.      Tidak boleh mempelajari sifat wajib dan mustahil bagi Allah, sebaimana dalam kitab Kifayatul ‘Awam dan sebagainya.
g.     Kubah-kubah di atas kuburan para sahabat Nabi yang berada di Ma’la (Makkah), di Baqi’ dan Uhud  di Madinah semuanya diruntuhkan, diratakan dengan tanah. Namun untuk kubah hijau yang disebut qubbatul khadra’ makam Nabi Muhammad saw tidak diruntuhkan karena terlalu banyak protes dari kaum muslim dunia, termasuk protes yang dilancarkan ulama NU dari Indonesia (lihat keterangantentang Komite Hijaz).
h.     Kubah besar di atas tanah tempat di mana Nabi Muhammad saw dilahirkan (suqal-lail, sebelah timur Masjidil Haram) juga diruntuhkan, bahkan dijadikan tempat unta. Namun Atas desakan umat Islam seluruh dunia akhirnya tempat kelahiran nabi atau Maulud Nabi itu dibangun gedung perpustakaan.
i.       Perayaan mauled Nabi Muhammad saw di bulan Robiul Awal dilarang karena termasuk bid’ah.
j.      Perayaan Isro’ Mi’roj juga dilarang keras.
k.    Pergi untuk ziarah ke makam nabi dilarang. Yang dibolehkan hanya melakukan shalat di masjid Nabawi di Madinah. Bedoa menghadap makam nabi juga dilarang.
l.       Berdoa dengan tawassul dilarang, syrik katanya.
m.   Ada usaha hendak memindahkan batu maqam Ibrahim di depan Ka’bah dan telaga zam-zam ke belakang kira-kira 20 meter. Bahkan sempat penggalian sudah dilakukan.
n.     Amalan-amalan thariqat dilarang keras, seperti thariqat Naqsabandi, Qadiri, Sathari dan lain-lain.
o.    Membaca zikir “laa ilaaha illallah” (tahlil) bersama-sama sesudah shalat seperti banyak dilihat di sekitar kita dilarang.
p.    Imam tidak membaca “bismillah” pada permulaan fatihah dan juga tidak  membaca doa qunut dalam shalat subuh, namun shalat tarawihnya 20 rakaat.
q.    Dilarang ziarah ke makam atau kuburan para wali Allah.
r.      Membaca manaqib seorang yang berjasa di bidang spiritual menegakkan kebenaran akhlak dan tauhid kepada Allah. Seperti manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dilarang.
Di Indonesia walaupun semua ajaran di atas tidak nyata-nyata dikatakan mazhab Wahabi, namun sudah banyak ditemukan di sekitar kita upaya menghidupkan ajaran tersebut di tengah masyarakat dengan dalih ajaran Islam murni, seruan bid’ah, syirik, sesat, masuk neraka dan sejenisnya.
Untuk dijadikan perbandingan ajaran Wahabi dengan ajaran sunni selanjutnya dianjurkan mengadakan tela'ah melalui pembahasan ajaran-ajaran sunni yang dikawal keberadaanya oleh Islam NU di Indonesia[40].
II.  AHMADIYAH
    
A.Sejarah munculnya Ahmadiyah
Ada satugolongan yang muncul di Qodiyan, India (sekarangdaerah Pakistan), bernamaGolonganAhmadiyah, ataukatakanalahkaumAhmadiyah. Pendiridarigolongan ini bernama MirzaGulam Ahmad.
Iadilahirkan di Qodiyan di sebuah desa daerah Punjab yang sekarang di bawah lingkungan daerah Pakistan, pada tahun 1836 M yaitu 131 tahun yang lalu dan meninggal di situ juga pada tahun 1908 M yaitu 63 tahun yang lalu.
Kalau di banding dengan Mirza ‘Ali Muhammad pembangun paham Bahaiyah maka Gulam Ahmad terkemudian lk.55 tahun dihitung hari meninggalnya masing-masing.
Tempat kelahiran juga berbeda, Mirza ‘Ali Muhammad lahir di Sirazi dan dihukum mati di Tribis, daerah Iran, sedang Mirza Gulam Ahmad lahir di daerah Punjab Pakistan, dan jugameninggal di situ.
Tetapi kedua-duanya lahir di tengah-tengah kaum Syi’ah. Mirza ‘Ali Muhammad pendiri Bahaiyah lahir di tengah-tengah Syi’ah Imamiyah di Iran, sedang Mirza Gulam Ahmad pembangun paham Ahmadiyah lahir di tengah-tengah Syi’ah Isma’iliyah di Pakistan.
Karena itu antara kedua paham ini banyak persamaannya, di samping ada pula perbedaannya.
Setelah ia berusia 54 tahun, yaitu pada tahun 1950 M. Mirza Gulam Ahmad mendakwahkan bahwa ia adalah Nabi sesudah Nabi Muhammad saw., dan pula Nabi yang paling akhir. Bukan saja Nabi, tetapi juga Imam Mahdi yang ditunggu, mujaddid dan juru selamat.
Sudah terang bahwa Mirza Gulam Ahmad ini termakan pengajaran Syi’ah Isma’iliyah yang ketika itu banyak di daerah Punjab, yang mempercayai bahwa akan lahir pada akhir zaman Imam Mahdi  yang ‘ad1, yang akan membawa keadilan untuk seluruh dunia, yang pangkatnya tidak kalah dari Nabi dan juga menerima wahyu dari Tuhan.
Memang kaum Syi’ah berpaham bahwa keNabian dan keRosulan belum putus, imam-imam mereka dianggapnya masih menerima wahyu langsung dari Tuhan.
Mirza Gulam Ahmad bertindak lebih jauh.Ia bukan lagi Imam, bukan saja Imam Mahdi, tetapi Nabi yang benar-benar mendapat wahyu dari Tuhan.
Tetapi ajaran bahwa ada Nabi sesudah Nabi Muhammad saw bertentangan pula dengan kaum Syi’ah. Bagi mereka yang ada ialah Imam, bukan Nabi baru, sedang Imam itu harus dari keturunan Sayyidina‘Ali kw.
Karena itu Mirza Gulam Ahmad bukan saja ditentang oleh kaum Ahlus sunnah wal Jam’ah di seluruh dunia, tetapi juga oleh ulama-ulama Syi’ah yang berada di Pakistan, di Iran danYaman.
Maka MirzaGulam Ahmad akhirnya melawan dan menghantam pula kepada kaum Syi’ah. Dalam buku-bukunya MirzaGulam Ahmad mengejek-ejek kaum Syi’ah dan mengejek-ejek Hasan dan Husein Rda.
Ulama-ulama di seluruh India pada ketika itu mengeluarkan fatwa bahwa Mirza Gulam Ahmad  tidak lagi dalam lingkungan umat Islam karena ia mendakwakan dirinya jadi Nabi sesudah Nabi Muhammad saw yang menentang sebuah ayat dalam Qur’an suci yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad itu adalah Nabi yang paling akhir.
Di antara ulama-ulama yang menolak paham Ahmadiyah itu di India adalah:
1.Maulana Muhammad Anwarullah Khan, Pejabat Urusan Agama Kerajaan Hydarabad, yang mengarang sebuah buku untuk menolak paham Ahmadiyah, yang diberi nama Hidatul afham bi jawabi Izalatil Auham. Dalam buku ini diterangkan bahwa paham Ahmadiyah Qodiyani di luar lingkungan Agama Islam.
2.Maulana Abu al-Hasan Gulam Mustafa, ulama' besar wilayah Amitsar yang mengatakan bahwa Gulam Ahmad itu sudah menjadi kafir dengan dakwaanya bahwa ia adalah Nabi.
3.Maulana Azizurrahman, mufti  Universitas Darul Ulum mengatakan bahwa Ahmadiyah  adalah sesat menyesatkan.
4.Dan banyak lagi ulama-ulama India ketika itu yang menolak paham Ahmadiyah ini.
Akan tetapi, Kerajaan Inggris yang ketika itu menguasai India menyokong gerakan Ahmadiyah ini, karena di antara fatwanya ada yang sangat disukai oleh penjajah ketika itu yaitu; "jihad dalam Islam itu bukan dengan senjata, tetapi dengan lisan saja".
Sebagai dimaklumi, bahwa fatwa ini sama dengan fatwa kaum Bahaiyah yang mengatakan juga bahwa jihad itu bukan dengan senjata, tetapi cukup dengan lisan saja.
Fatwa ini juga sama dengan fatwa seorang “pemodernisasi agama” bernama, sir Sayid Ahmad Khan, Rektor Universitas Aligarh di India (wafat : 24 Maret 1898 M.), yang menfatwakan bahwa jihad harus dengan lisan dan tulisan saja.
Pada ketika itu, sama halnya dengan umat Islam di luar India, di mana umat Islam di India sedang akan berjuang melawan Inggris dengan senjata. Maka fatwa Bahai dan Ahmad Khan ini sangat disukai oleh Inggris.
Ke Indonesia paham Ahmadiyah itu masuk juga sesudah peperangan dunia pertama, sehingga ada cabang-cabang gerakan Ahmadiyah di Jakarta, di Medan, di Padang dan lain-lain tempat.
Tetapi paham Ahmadiyah di Indonesia tidak begitu maju, karena terus-menerus ditentang oleh ulama-ulama Islam, khususnya ulama-ulama kaum Ahlussunnah wa al-Jama’ah.
Alm.Maulana Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang (Sumatra Barat) seorang ulama Islam yang terkenal mengarang sebuah buku bernama “Nujumul Hidayah fi Roddi ala ahlil ghiwayah” (Bintang Hidayah untuk menolak kaum yang sesat). Di dalamnya dikupas paham Ahmadiyah ini dan ditolak sekuat-kuatnya[41].
Paham Ahmadiyah menjadi muram di seluruh dunia, khususnya di Indonesia tidak mendapat pasaran, walaupun propagandisnya berkeliaran kepelosok-pelosok tanah air Indonesia.
Pada tahun 2008, pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (KB) tiga menteri dalam menyikapi permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Lihat  Menteri Agama, menteri dalam negeri dan jaksa agung menelurkan tujuh butir SKB yang menjadi dasar hukum pelarangan aktivitas Ahmadiyah di Indonesia.

Inilah tujuh butir keputusan tiga menteri tersebut SKB pelarangan  Ahmadiyah di Indonesia dan dibekukan.

1. Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama.

2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai peraturan perundangan.

4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.

5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dnan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku.
6. Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.
7. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, 09 Juni 2008.

Dalam rangka menyikapi SKB ini gubernur Jawa Timur mengeluarkan SK  Larangan Ahmadiyah di Jawa Timur tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPT/013/2011. Ada 4 butir larangan yakni: larangan menyebarkan ajaran Ahmadiyah baik secara lisan, tulisan maupun melalui media elektronik; larangan memasang papan nama organisasi Ahmadiyah di tempat umum; larangan memasang papan nama di masjid, mushola, lembaga pendidikan dengan identitas JAI; larangan menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan segala bentuknya.
    
D.     Ajaran Ahmadiyah yang bertentangan dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah.
1.      Mengaku menjadi Nabi
Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya Nabi dan Rasul. Dalam bukunya " Izalatul Auham " halaman 673, ia berkata : Sayalah yang dikabarkan Tuhan dengan firman-Nya di dalam al-Qur'an :
وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ  
"Dan ketika Isa anak Maryam berkata, hai bani Israil sesungguhya aku ini utusan Allah untukmu, membenarkan wahyu yang diturunkan sebelum aku, yaitu Taurat, dan menyampaikan berita gembira akan kedatangan seorang rasul kemudian namanya Ahmad, tetapi setelah rasul itu datang kepada mereka dengan bukti yang nyata, mereka berkata: inilah tukang sihir yang nyata"
      Mirza Ghulam Ahmad mengaku nabi karena ia bernama Ahmad seperti dalam al-Qur'an. Andaikata boleh mentafsirkan Al-Qur'an dengan penafsiran ini, maka setiap orang bernama Ahmad beleh mengaku sebagai Nabi dan Rasul.
      Jadi Nabi isa memberi khabar suka kepada muridnya akan kedatangan seorang rasul yaitu "Ahmad" ( salah satu Nama nabi Muhammad Saw).
2.      Mirza Ghulam Masih Mau'ud
      Menurut kepercayaan Islam, bahwa Nabi Isa AS tidak dapat disalib oleh musuh beliau dan yang disalib itu adalah orang yang serupa dengan beliau.
      Nabi Isa ketika itu diangkat kepada Allah, dan akhir zaman akan turun lagi ke dunia. Dalam hadits imam Bukhari :
عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَيُوشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا مُقْسِطًا فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ وَيَفِيضَ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ  (رواه البخارى)
.
Dari Ibn Musayyab, bahwa beliau mendengar dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda : Demi Tuhan yang diriku ditangan-Nya, akan turun Isa ibn Maryam kepadamu menjadi hakim adil, maka ia memecah salib, membunuh babi, menghentikan peperangan dan melimpahkan harta yang banyak sehingga tak ada lagi yang akan menerimanya. ( HR. Al-Bukhari ).
      Mirza Ghulam Ahmad selain ia mendakwakan dirinya Nabi dan Rasul juga mendakwakan dirinya Isa al-Masih yang dijanjikan akan datang.
3.      Anak dan khalifahnya mendapat wahyu juga.
      Bukan saja Mirza Ghulam Ahmad mengaku mendapat wahyu serupa Nabi dari tuhan, tetapi juga anaknya dan khalifahnya, yaitu Mirza Basiruddin Ahmad Khalifatul Masih II, mendakwakan pula ia mendapat wahyu dari Tuhan.
      Hal ini bertentangan dengan Agama Islam yang suci, bahwa tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Kepercayaan bahwa khalifah-khalifah menerima wahyu sama dengan kepercayaan kaum Syi'ah.
4.      Mirza Ghulam Ahmad menyempurnakan syari'at Islam.
      I'tiqad kaum Ahmadiyah mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad diutus Allah untuk menyempurnakan Agama Islam. Agama Islam masih kurang, karena itu ia diutus untuk menyempurnakannya.
      Nabi muhammad bila dibanding dengan Mirza Ghulam Ahmad adalah sebagai hilal ( bulan sabit ), sedang ia adalah badar ( bulan purnama ).
      Pada bendera kaum Ahmadiyah dicantumkan : 1, Hilal ( bulan sabit ) adalah Nabi Muhammad .2, badar (bulan purnama) adalah Mirza Ghulam Ahmad, dan 3, Menara adalah menara Damsyiq.
      Tentang penyempurnaan syari'at Islam ia menfatwakan :
1.      Jihad dengan senjata tidak ada lagi.
2.      Melawan pemerintah Inggris yang berkuasa saat itu adalah haram.        
3.      Jihad yang diakui syari'at adalah jihad bersama Inggris melawan pembarontak yang terdiri orang Islam.
Itulah yang dimaksud oleh Ahmadiyah sebagai menyempurnakan syari'a
5.      Mirza Ghulam Ahmad lebih mulia dari Abu Bakar
Mirza Ghulam Ahmad dalam bukunya "Mi'yarul Akhyar" hal 11, berkata :
انا افضل من ابي بكر افضل من الانبيأ
"Saya lebih mulia dari Abu Bakar dan dari para Nabi"
Mahluk yang paling mulia di sisi Allah adalah Nabi Muhammad SAW, sesudah itu Rasul-rasul dan Nabi yang lain, kemudian malaikat, sesudah itu baru manusia.[42]
    
III.    HTI (Hishbu Tahrir Indonesia)
     A.Sejarah munculnya Hishbu Tahrir.
Hizb al-Tahrir didirikan pada tahun 1953 M di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina.[43] Pendiri Hizb al-Tahrir adalah Syaikh Taqiyuddin bin Ibrahim an-Nabhani. Ia lahir di Ijzim daerah administratif Hayfa tahun 1913 M.[44] Bersama Ghanim Abduh, Dawud Hamdan, Dr. Adil an-Nablusi dan Munir Syaqir, an-Nabhani mengajukan pendirian Hizb al-Tahrir secara resmi, namun pemintaan tidak disetujui. Hingga tahun 1997 Hizb al-Tahrir melakukan segala bentuk aktivitasnya tanpa pengakuan resmi pemerintah Yordania.[45]
Latar belakang pendiriannya merupakan bentuk pemenuhan terhadap firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 104 :[46]
“Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Sejak awal berdirinya hingga dalam perkembangannya saat ini, khittah pergerakan Hizb al-Tahrir adalah politik dengan mengusung ide Pan-nasionalisme yang bertujuan mengembalikan supremasi Islam pada abad pertengahan dalam bentuk mendirikan pemerintahan Islam secara Internasional, Khilafah Islamiyah. Oleh karena itu, politik yang dikehendaki  oleh Hizb al-Tahrir adalah suatu sistem yang benar-benar memiliki landasan kuat dalam al-Qur’an dan hadith. Sehingga, sistem khilafah merupakan satu-satunya sistem politik yang wajib ditegakkan kembali oleh umat Islam dan memiliki watak universal yang bisa diterapkan dalam suatu rentang waktu sejarah yang panjang.
Awal penyebaran Hizb al-Tahrir adalah dari Tepi Barat dan di Yordania. Selanjutnya mulai merambah ke Suriah, Libanon, Mesir dan Irak; dan seterusnya sampai pada negeri-negeri Arab lainnya. Sementara itu, pengikut Hizb al-Tahrir yang eksis di negeri-negeri asing juga mengharuskan diri mereka sendiri untuk melaksanakan aktivitas Hizb al-Tahrir di negeri itu dengan tetap mengikatkan diri pada kepemimpinan (qiyadah) Hizb. Di antara negeri-negeri asing itu adalah Jerman, Inggris dan AS.[47]
Sementara itu, Hizb al-Tahrir masuk ke Indonesia (HTI) pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan.[48]
B.          Ajaran HTI yang bertentangan dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah.
Berbagai pemikiran oleh Hizb al-Tahrir tidak sepenuhnya serta merta diterima oleh kalangan muslim secara umum. Beberapa di antara pemikiran Hizb al-Tahrir yang menuai kontoversi antara lain :
1.       Pengingkaran terhadap Takdir
Hal ini seperti yang dikatakan oleh pimpinan mereka; Taqiyyuddin an-Nabhani dalam bukunya berjudul asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz I, bagian pertama, hlm. 71-72, sebagai berikut: "Segala perbuatan manusia tidak terkait dengan Qadla Allah, karena perbuatan tersebut ia lakukan atas inisiatif manusia itu sendiri dan dari ikhtiarnya. Maka semua perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan dan kehendak manusia tidak masuk dalam Qadla' "
Hizb al-Tahrir menjadikan Allah tunduk dan terkalahkan dengan terjadinya sesuatu di luar kehendak-Nya. [49]
Ini sangat kontradiktif dengan pendapat Al Imam Abu Hanifah (W. 150 H) dalam al Fiqh al-Akbar yang berkata: “Tidak ada sesuatupun yang terjadi di dunia maupun di akhirat kecuali dengan kehendak, pengetahuan, Qadla' (penciptaan) dan Qadar (ketentuan)-Nya”. Tentang perbuatan hamba, beliau berkata: “Dan segala perbuatan manusia terjadi dengan kehendak, pengetahuan, Qadla' (penciptaan) dan Qadar (ketentuan)-Nya”.[50]
2.      Pengingkaran atas Kema‘shuman para Nabi
Sebagaimana yang disepakati sebagaian ulama’  bahwa para nabi pasti memiliki sifat jujur, amanah dan kecerdasan yang tinggi. Dari sini diketahui bahwa Allah ta'ala tidak akan memilih seseorang untuk predikat ini kecuali orang yang tidak pernah jatuh dalam perbuatan hina (Radzalah), khianat, kebodohan, kebohongan dan kebebalan. Karena itu orang yang pernah terjatuh dalam hal-hal yang tercela tersebut tidak layak untuk menjadi nabi meskipun tidak lagi mengulanginya. Para nabi juga terpelihara dari kekufuran, dosa-dosa besar juga dosa-dosa kecil yang mengandung unsur kehinaan, baik sebelum mereka menjadi nabi maupun sesudahnya. Adapun dosa-dosa kecil yang tidak mengandung unsur kehinaan bisa saja seorang nabi terjatuh ke dalamnya. Inilah pendapat kebanyakan para ulama seperti dinyatakan oleh beberapa ulama dan ini yang ditegaskan oleh al Imam Abu al Hasan al Asy’ari.[51]
Sementara dalam sudut pandang yang lain, Hizb al-Tahrir menyalahi kesepakatan ini. Mereka membolehkan seorang pencuri, penggali kubur (pencuri kafan mayit), seorang homo seks atau pelaku kehinaan-kehinaan lainnya yang biasa dilakukan oleh manusia untuk menjadi nabi. Inilah yang menjadi kontroversi, seperti yang dikatakan oleh pemimpin mereka, Taqiyyuddin an- Nabhani dalam bukunya asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah: "…hanya saja kemaksuman para nabi dan rasul adalah setelah mereka memiliki predikat kenabian dan kerasulan dengan turunnya wahyu kepada mereka. Sedangkan sebelum kenabian dan kerasulan boleh jadi mereka berbuat dosa seperti umumnya manusia. Karena keterpeliharaan dari dosa ('Ishmah) berkaitan dengan kenabian dan kerasulan saja".[52]
3.      Membenarkan kudeta terhadap Khalifah yang sah
Rasulullah SAW menekankan dalam beberapa hadithnya tentang pentingnya taat kepada seorang khalifah. Dalam salah satu hadithnya Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:  
"Barangsiapa membenci sesuatu dari amirnya hendaklah ia bersabar atasnya, karena tidak seorangpun membangkang terhadap seorang sultan kemudian ia mati dalamkeadaan seperti itu kecuali matinya adalah mati Jahiliyyah" (H.R. Muslim)
Beliau juga bersabda:
"(kita diperintahkan juga agar) tidak memberontak terhadap para penguasa kecuali jika kalian telah melihatnya melakukan kekufuran yang sharih (yang tidak mengandung kemungkinan selain kufur)" (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Ulama Ahlussunnah juga telah menetapkan bahwa seorang khalifah tidak dapat dilengserkan dengan sebab ia berbuat maksiat, hanya saja ia tidak ditaati dalam kemaksiatan tersebut. Karena fitnah yang akan muncul akibat pelengserannya lebih besar dan berbahaya dari perbuatan maksiat yang dilakukannya. Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim, Juz XII, h. 229:
"Ahlussunnah menyepakati bahwa seorang sultan tidak dilengserkan karena perbuatan fasik yang dilakukan olehnya".
Sedangkan Hizbut Tahrir menyalahi ketetapan tersebut, mereka menjadikan seorang khalifah sebagai mainan, bagaikan bola yang ada di tangan para pemain bola. Di antara pernyataan mereka dalam masalah ini, mereka mengatakan bahwa
"Majlis asy-Syura memiliki hak untuk melengserkan seorang khalifah dengan suatu sebab atau tanpa sebab".
Pernyataan ini disebarluaskan dalam selebaran yang mereka terbitkan dan mereka bagi-bagikan di kota Damaskus sekitar lebih dari 20 tahun yang lalu. Selebaran tersebut ditulis oleh sebagian pengikut Taqiyyuddin an-Nabhani. Mereka juga menyatakan  dalam buku mereka yang berjudul Dustur Hizbut Tahrir, h. 66 dan asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah, Juz II bagian III, h. 107-108 tentang hal-hal atau perkara yang dapat merubah status seorang khalifah sehingga menjadi bukan khalifah dan seketika itu wajib dilengserkan: "Perbuatan  fasiq yang jelas (kefasikannya)". An-Nabhani berkata dalam bukunya yang berjudul Nizham al Islam, h. 79, sebagai berikut : "Dan jika seorang khalifah menyalahi syara' atau tidak mampu melaksanakan urusan-urusan negara maka wajib dilengserkan seketika".[53]
            Selain tiga pemikiran yang cukup kontroversial tersebut, beberapa pemikiran lain yang tak kalah menyita perhatian kaum muslim adalah berkeyakinan tasybih, mengingkari kehujjahan Ijma’, menyesatkan dan mengkafirkan umat Islam di luar Hizb al-Tahrir, mengingkari siksa kubur, membolehkan laki-laki berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, menghalalkan laki-laki mencium wanita ketika berpisah, dan membolehkan seseorang berjalan dengan tujuan zina.
Sebuah harakah fundamentalisme dapat ditelaah dengan meneropong dan memetakan gejala serta karakteristiknya. Pada pembahasan ini, fundamentalisme sangat erat dengan konotasi perlawanan dan penolakan terhadap beberapa ide dan pemikiran yang bertentangan dengan pemahaman shari‘at Islam dalam perspektif mereka sebagai Hizb al-Tahrir. Adapun karakteristik yang dimaksud adalah oppositionalism (paham perlawanan); penolakan terhadap hermeneutika atau sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya; penolakan terhadap pluralisme dan relativisme; penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Sedangkan konkretisasi penolakan dan perlawanan yang dilakukan oleh Hizb al-Tahrir dapat diketahui dengan melihat berbagai aktivitas dan kegiatan mereka secara massif.[54]
BAB  VII
MEMAHAMI JIHAD DALAM ISLAM
A.     Pengertian Jihad dalam Islam
Kata jihad secara etimologi berasal dari kata: جاهد – يجاهد – مجاهدة – وجهادا yaitu mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan dalam wujud perkataan dan tindakan. Dan juga berasal dari kata: جهد – يجهد – جهدا atau اجتهد yang mempunyai makna bersungguh-sungguh. Selain itu term الجهد berarti الطاقة dan المشقة yang bermakna kekuatan, kemampuan dan kesulitan, kepayahan disebabkan setiap orang yang berjihad harus melawan musuh dengan mengerahkan kekuatan untuk mempertahankan dan membela diri.
Sedangkan jihad secara terminologi, sebagaimana dijelaskan oleh ulama’-ulama’ mazhab fiqh, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, antara lain:
Pertama, Mazhab Hanafi, Ibnu Hamam mengatakan yang dimaksud dengan jihad adalah mengajak orang kafir ke dalam pelukan Islam dan memeranginya jika mereka menolak.[55]
Kedua, Mazhab Hanbali, makna jihad diperuntukkan kepada orang-orang muslim yang memerangi orang-orang kafir yang tidak terikat dalam perjanjian (damai) demi menegakkan ajaran Allah SWT. Jihad juga berarti datangnya orang Islam kepada orang kafir untuk mengajak mereka memeluk agama Allah atau masuknya orang Islam ke daerah kafir untuk tujuan serupa.
Ketiga, Mazhab Syafi’i, Syafi’i mengatakan, jihad adalah berperang di jalan Allah. Selain itu Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa ditinjau dari hukum syara’ jihad berarti mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.
Keempat, Mazhab Hanbali, jihad adalah memerangi orang kafir.
Sedangkan jihad menurut Abu al-’Ala al-Maududi, adalah salah satu sistem kerohanian Islam yang lima, sholat, puasa, zakat, haji, dan jihad. Jihad adalah usaha manusia muslim dengan sekuat tenaga untuk menyebarluaskan kalimat Allah dan menjunjung tinggi, dan melaksanakannya di muka bumi dengan menyingkirkan segala rintangan, baik melalui kata-kata yang terucap (lisan),maupun dengan kekuatan senjata, dengan tujuan agar manusia hidup dengan penuh dedikasi dan berkorban demi jiwa dan raga.
Dari beberapa pengertian di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa jihad mengandung dua pengertian yaitu pengertian umum dan pengertian khusus. Pengertian umum sebagaimana disebutkan diatas ditemukan dalam perjuangan Rasulullah periode Mekkah dan Madinah. Dalam al-Qur'an jihad seperti ini terdapat dalam surat antara lain:
Q.S. al-Furqan:52,
فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
Artinya: “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan Jihad yang besar.
Q.S. al-Hajj: 78.
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
Artinya: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.
Jihad dalam pengertian khusus yaitu ”perang melawan musuh”. Pengertian khusus inilah yang dibicarakan secara luas dalam kitab-kitab fiqh dan selalu dikaitkan dengan qital h}arb (peperangan), dan ghazwah (ekspedisi). Uraian-uraian fiqh tentang jihad disusun dalam rangka jus ad bellum atau jus in bello, perang adil atau perang suci, perang defensif atau ofensif, sebagian besar merupakan hasil dari usaha sistematisasi solusi-solusi pragmatis yang diambil pada masa Nabi dan kemudian tumbuh menjadi kodifikasi hukum yang rapi. Titik lemahnya terletak pada kegagalan menangkap regulasi moral yang non-contingent[56] (pertempuran), seolah-olah variabel atau kriteria yang paling krusial dibalik jihad adalah mandat ilahi untuk melancarkan peperangan.
Jihad merupakan kewajiban bagi umat muslim. Namun kewajiban jihad tersebut sudah diatur tahapan-tahapannya dalam al-Qur'an, sehingga umat Islam dalam melaksanakan jihad harus mengikuti apa yang telah diatur dalam al-Qur'an, sebab dikhawatirkan apabila tidak mengikuti aturan dalam al-Qur'an, umat Islam akan melampaui batas, inilah kemudian yang menjadi persoalan antara jihad dan aksi terorisme di zaman modern sekarang ini, adapun fase-fase berjihad antara lain:
Fase pertama, pada masa awal kebangkitan Islam Allah swt. memerintahkan untuk menahan diri untuk tidak melancarkan peperangan dengan orang kafir. Pada waktu itu umat Islam hanya diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan membayar zakat[57]
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada Kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
Fase pertama ini juga merupakan taktik dakwah Rasulullah, memberikan kesempatan pada orang-orang musyrik Mekkah agar mereka masuk Islam tanpa harus mengadakan peperangan.
Fase kedua, memerangi orang yang berbuat zalim terhadap kaum muslimin, jihad dalam bentuk perang semacam ini sering disebut dengan defensif, dengan artian bahwa umat Islam dalam hal ini bukan yang memulai peperangan terlebih dahulu, atau umat Islam bukan pihak penyerang. Karena peperangan yang demikian merupakan sikap mempertahankan diri dari serangan musuh. Dan ini merupakan taktik peperangan untuk mempertahankan diri agar umat Islam tidak dibantai sewenang-wenang oleh orang kafir.
Fase ketiga, fase ini Allah swt. Memerintahkan memerangi orang kafir dan melakukan penyerangan terhadap mereka.
قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ [58]
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.
Sebagaimana perintah yang terdapat dalam QS. At-Taubah: 29 tersebut karena kezaliman yang terus dilakukan oleh orang kafir, serta sikap mereka yang masih mempertahankan sikap kekafirannya.
B.      Terorisme dalam Pandangan Islam
Secara etimologi tindakan teror disebut dengan Irh}ab, orangnya disebut Irh}aby (teroris), sedangkan pahamnya disebut Irh}a>biyyah (terorisme). Lafadz إرحاب dan إرحبي / إرحبيون dalam Bahasa Arab mempunyai makna terorisme. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata yang berakar pada kata tersebut. Pengertian terorisme dalam konteks “Islam” sebagaimana disampaikan oleh “Lembaga Fiqh Islam” di Makkah. Terorisme (al-irh}ab) adalah permusuhan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau negara yang zalim terhadap manusia. Bentuk terorisme juga mencakup ancaman, menakut-nakuti, pembunuhan tanpa hak, hal yang berkaitan dengan hirabah, mengganggu keamanan jalan raya dan aksi pembegalan (Qat}’ at-T{a>riq), terorisme mencakup semua tindak kekerasan, baik terhadap individu maupun kelompok dan bertujuan untuk mendatangkan rasa takut terhadap manusia atau menghalangi (mengganggu) kehidupan atau kehormatan, serta rasa aman mereka, termasuk diantaranya merusak lingkungan atau salah satu pelayanan umum atau milik masyarakat.
C.      Terorisme Bukanlah Jihad: Interpretasi terhadap Kasus-kasus Bom Bunuh Diri di Indonesia
Ketika berbicara terorisme maka yang yang ada dibenak kita adalah sekelompok orang berjenggot, berpakaian jubah putih, kemana-mana membawa pedang, yang siap mati syahid dengan balasan surga, dan selalu dikaitkan dengan kelompok Islam fundamentalis, radikal, ekstrimis, dll. Ironisnya jihad pada zaman modern ini sering dihubungkan dengan terorisme, apa sebenarnya hubungan jihad dengan terorisme? Apakah jihad sebagai perang keadilan, bisa diterima dalam prinsip-prinsip hukum-hukum humaniter perang, atau batas-batas perang yang boleh dilakukan di masa kontemporer?[59]
Memang menyamakan jihad dengan terorisme di zaman sekarang ini, tidak lain disebabkan kenyataan bahwa jihad dalam pengertian perang melibatkan elemen-elemen kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai terorisme.[60]
Pada tanggal 16 Desember 2003 MUI mengeluarkan fatwa, yang salah satu poinnya adalah fatwa tentang terorisme. MUI membedakan antara terorisme dengan jihad. Untuk memperjelas perbedaan itu, MUI membedakannya dengan menjelaskan tiga sisi penting: sifat, tujuan, dan cara. Untuk lebih mudah, lihat gambar berikut:[61]
Teror
Jihad
Sifat
Merusak dan Anarkis (al-Ifsad wa al-fawd}a’).
Perbaikan (al-is}lah}) sekalipun dilakukan dengan perang
Tujuan
Menciptakan rasa takut dan menghancurkan pihak lain
Menegakkan agama Allah atau membela pihak yang dizalimi.
Cara
Dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas.
Dilakukan dengan mengikuti aturan syari’at dengan sasaran musuh yang jelas.
Secara eksplisit MUI menolak kekerasan atas nama agama atau kekerasan dengan menggunakan simbol-simbol Islam yang pada dasarnya merugikan umat Islam itu sendiri. MUI juga membedakan antara bom bunuh diri (qatl al-nafs/ suicide bombing) dengan syahid (istishhadiyyah) dengan penjelasan sebagai berikut:
Pertama, dari segi tujuan, bunuh diri dilakukan untuk kepentingan dirinya sendiri; sedangkan perbuatan istishhad dilakukan untuk kepentingan agama dan umatnya.
Kedua, dari segi sikap, pelaku bunuh diri bersikap pesimis, sedangkan pelaku istishhad bersikap optimis dan cita-citanya untuk mengharapkan ridha Allah.
Ketiga, dari segi hukum, bom bunuh diri dihukumi haram, sedangkan istishhad adalah mubah (boleh).
Isu terorisme yang dikumandangkan oleh Amerika Serikat, adalah isu politis demi menguatkan ideologi kapitalisme ekonomi Amerika Serikat. Konfrontasi Amerika terhadap dunia Islam sehingga melahirkan spirit jihad di dunia Islam, inilah mungkin yang disebut terorisme oleh Amerika, akan tetapi Amerika juga dipandang sebagai teroris dengan membumihanguskan Irak tanpa dasar yang jelas. Perang yang dilancarkan Amerika dengan alasan perdamaian dunia, dengan memberantas jaringan al-Qaeda yang menghancurkan Negara Afghanistan, membumihanguskan Irak dengan alasan memerangi senjata nuklir yang mengakibatkan ribuan umat muslim mati, hingga tuduhan kepada Negara Islam Iran tentang senjata nuklir. Sebenarnya terorisme di Indonesia terjadi disebabkan karena ketidakadilan Amerika terhadap Negara-negara muslim yang kemudian muncul rasa ukhuwah islamiyahnya.
Kekecewaan yang paling mendalam bagi sebagian umat muslim Indonesia adalah ketika terjadi pembantaian terhadap umat Islam di Poso, tidak mendapatkan penanganan yang serius dari pemerintah Indonesia, sehingga menimbulkan balas dendam untuk dapat membunuh non muslim yang melahirkan aksi Istishhadiyyah.[62] Aksi Istishhadiyah di zaman modern ini biasanya dilakukan dengan cara bom mobil, bom bunuh diri (suicide bombing), menabrakkan kapal ke gedung bertingkat, dll.
Aksi semacam ini menimbulkan kontrovesial dikalangan ulama’, ada yang mengatakan aksi itu merupakan jihad melawan orang kafir dan ada juga yang mengatakan aksi bunuh diri merupakan dosa besar dan tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Islam. Diantara ulama’ yang paling vokal menanggapi aksi istishhadiyyah adalah ulama’ dan sarjana Islam Yordania, sekitar 27 orang menandatangani keputusan masalah ini. Nama-nama ulama’ tersebut diantaranya: Muhammad Abu Faris, mantan anggota parlemen Yordanaia dari partai Ikhwanul Muslimin, Hammam Said, pakar hadis yang juga anggota parlemen Yordania, Ahmad Naufal, ahli tafsir, S{alah al-Khalidi, pakar ilmu al-Qur’an yang beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan Yusuf Qardawi, menjelaskan status aksi istishhadiyyah yang dilakukan HAMAS merupakan jihad dan bukan tindakan bunuh diri yang sering diberitakan oleh media.[63]
Bolehnya aksi istishhadiyah karena berdasarkan argumen mereka yang mengatakan bahwa aksi tersebut sudah dikenal sejak masa kenabian, terrefleksi pada keberanian menghadapi musuh dengan tujuan menghancurkan mereka dan memperoleh shahid fi> sabi>lillah. Salah satunya adalah hadis nabi yang menjelaskan peristiwa pada perang Yamamah, ketika orang-orang bani Hanifah bertahan di benteng di kebun Musailamah yang dikenal dengan kebun ar-Rahman atau kebun kematian. Al-Barra bin Malik berkata kepada sahabat-sahabatnya, ”letakkan aku di tempat pelemparan biasanya memakai batu untuk diarahkan ke musuh dan lemparkan aku menuju sasaran, kemudian mereka melemparkannya, lalu ia menyerang musuh hingga terbuka pintu benteng tersebut untuk kaum muslimin.[64]
Dengan ini aksi istishhadiyyah di Indonesia tidak bisa disamakan dengan aksi-aksi yang terjadi di Palestina umumnya di daerah Timur Tengah. Aksi disana lebih kepada ingin terlepas dari kezaliman dan ketidakadilan yang dilancarkan orang kafir, memperjuangkan hak-hak mereka agar tetap surviev dalam menegakkan syari’at Islam di daerah itu. Aksi-aksi bom yang dilakukan oleh kelompok Dr. Azhari tidak dapat dikatakan aksi Istishhadiyyah, karena mereka melakukan aksi tersebut dalam kondisi damai, yang jadi sasaran bom mereka bukan tempat atau markas musuh melainkan tempat-tempat umum, hotel, kantor-kantor dan yang jadi korban adalah orang-orang yang tidak berdosa, seperti Satpam, anak kecil, ibu-ibu dan orang-orang yang tidak bersalah lainnya. Oleh karena itu aksi bom tersebut tidak tersebut mati syahid, sekalipun pelakunya mengklaim hal itu jihad.
Jadi, Jihad dan aksi bombing (teror) dua kalimat yang saling kontradiksi dan tidak akan ada titik temu antara keduanya apalagi diparalelkan. Disamping itu aksi bunuh diri dalam bentuk aksi teror atau membunuh orang lain adalah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan juga melanggar hak azasi manusia.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا[65]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ [66]
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.
Dalam Islam jangankan membunuh orang, berbuat d}arar (kerusakan) terhadap diri sendiri dan orang lain juga tidak boleh sebagaimana disebut dalam kaidah azas La> d}ara>ra wa la> d}ira>ra yakni larangan berbuat apa saja yang membahayakan Agama Islam. Dari apa yang diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa perbuatan bom bunuh diri di Indonesia ini bukanlah perbuatan jihad dengan balasan sorga, akan tetapi termasuk perbuatan teror yang mati bunuh diri balasannya neraka.
BAB  VIII
PENENTUAN  I  SYAWAL DAN RAMADLON
Penentuan awal bulan hijriyah menjadi sangat berarti, terutama sekali pada bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah, seperti bulan Romadlon untuk menjalankan ibadah puada, bulan Syawal untuk merayakan Hari raya 'Idul Fitri, serta bulan Dzul Hijjah dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan pelaksanaan haji (wuquf) dan hari raya 'idul Adha.
Ada dua cara yang disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama' untuk menentukan awal bulan, yakni dengan melihat bulan (Ru'yat) atau dengan menyempurnakan bulan 30 hari. Dengan alasan inilah, maka keraguan dalam menentukan awal bulan dapat terbantahkan. Karena itu penentuan awal bulan adalah dengan ru'yat, bukan dengan hisab.[67]
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtima' (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan.
Dari pendapat-pendapat para ulama' yang tertuang dalam kitab-kitab mu'tabarah dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Di dalam menentukan awal Romadlon dan  1 Syawal, harus berpegang hasil ru'yat dan apabila bulan tsabit tidak terlihat, maka hitungan bulan disempurnakan 30 hari.
Hal ini berpijak pada hadits Nabi :
صحيح البخاري ـ حسب ترقيم فتح الباري - (3 / 34)
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ، أَوْ قَالَ : قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
"Nabi SAW bersabda : berpuasalah karena melihat hilal dan berhentilah berpuasa karena melihat hilal, dan jika tertutup awan, maka genapkanlah bilangan bulan sya'ban menjadi 30 hari"
2.    Rukyah yang sah ialah rukyah yang dilakukan dengan mata telanjang, tidak dengan menggunakan alat bantu semacam telescop.
يجب صوم رمضان بكمال شعبان ثلاثين يوما او رؤية الهلال اي لا بواسطة نحو مرأَة
" Puasa Romadlon di wajibkan dengan sebab sempurnanya bulan sya'ban 30 hari anpa perantara semacam alat optik.."
نحو مرأَة)أي كالماء والبلور الذي يقرب البعيد ويكبر الصغير في النظر قوله)
"Yang dimaksudkan dengan semacam optik di sini adalah semisal air dan kaca teleskop yang menjadikaan dekat terhadap benda yang jauh dan menjadikan besar benda yang kecil dalam pandangan mata"
3.      Hasil rukyah wajib diikuti oleh masyarakat luas, apabila sudah ada penetapan dari pemerintah.
بغية المسترشدين - (1 / 223)
(مسألة : ي) : إذا ثبت الهلال ببلد عم الحكم جميع البلدان التي تحت حكم حاكم بلد الرؤية وإن تباعدت إن اتحدت المطالع ، وإلا لم يجب صوم ولا فطر مطلقاً ، وإن اتحد الحاكم
" Ketika hilal sudah ditetapkan untuk suatu daerah, maka ketetapan tersebut berlaku untuk semua daerah  yang menjadi kekuasaan hakim tempat terjadinya ru'yah, meskipun saling berjauhan, asalkan masih dalam satu matla'. Dan jika tidak dalam satu matla', maka tidak wajib berpuasa atau berhari raya secara mutlak, meskipun di bawah kekuasaan hakim yang sama".
4.      Hasi rukyah yang belum mendapat penetapan dari pemerintah, tidak wajib diikuti. Namun bagi orang yang mempercayainya, wajib untuk mengikutinya, namun secara sembunyi-sembunyi.
قالت طائفة منهم البغوي ويجب الصوم ايضا علي من اخبره موثوق به بالرؤية اذا اعتقد صدقه وان لم يذكره عند القاضي.
" Berkata segolongan ulama', termasuk diantaranya al-Baghowi : dan juga di wajibkan berpuasa bagi orang yang mendapatkan berita rukyah dari orang yang dipercaya ketika meyakini kebenarannya, meskipun belum di laporkan kepada Qadli/ Hakim".
5.      Menurut sebagian ulama', diperbolehkan memakai perhitungan hisab bagi ahli hisab dan orang yang mempercayainya, namun tidak boleh memperlihatkan syi'ar hari raya kepada khalayak ramai.
بغية المسترشدين - 1 / 227
 وصحح ابن الرفعة في الكفاية الإجزاء وصوبه الزركشي والسبكي ، واعتمده في الإيعاب والخطيب ، بل اعتمده (م ر) تبعاً لوالده الوجوب عليهما وعلى من اعتقد صدقهما ، وعلى هذا يثبت الهلال بالحساب كالرؤية للحاسب ومن صدقه
" Ibn Rif'ah dalam kitab al-Kifayah mensahihkan pendapat yang menyatakan bahwa, " puasa dengan berpedoman hisab dan ilmu perbintangan sudah dianggap mencukupi" . pendapat ini dibenarkan oleh al-Zarkazi dan dibuat pegangan oleh al-Khotib dan Ibn Hajar didalam kitab al-I'aab. Bahkan Muhammad al-Romli-dengan mengikuti pendapat orangtuanya, menyatakan : bagi ahli hisab dan ahli perbintangan wajib mengamalkan ilmunya, demikian juga bagi orang meyakini kebenarannya".
Dalam kitab Hasyiyah al-Jamal 'ala Syarh al-Manhaj di sebutkan bahwa :
"Di tanyakan pada asy-Syihab ar-Romli tentang: Pendapat yang dianggap kuat mengenai bagi ahli hisab di perbolehkan mengamalkan hisabnya di dalam (memulai) ibadah puasa, apakah hal itu ketika dapat dipastikan wujudnya hilal dan sekaligus bisa di ru'yah? atau yang penting menurut perhitungan hisab hilal sudah wujud, meskipun belum memungkinkan untuk di ru'yah? Karena sesungguhnya menurut para imam mereka (ahli hisab), hilal itu terbagi dalam tiga keadaan:
1. Bisa dipastikan wujudnya, namun belum di ru'yah.
2. Bisa dipastikan wujudnya sekaligus di pastikan bisa untuk di ru'yah.
 3. Bisa di pastikan wujudnya dan memungkinkan untuk ru'yah.
Beliau menjawab: "bagi ahli hisab di perbolehkan mengamalkan hisabnya, dalam tiga keadaan di atas"[68]. 
 BAB IX
SEJARAH  BERDIRINYA
PONDOK PESANTREN MIFTAHUL  MUBTADIIN
(Krempyang Tanjunganom Nganjuk Jawa Timur )
a.      Sejarah Pesantren Miftahul Mubtadi’in Tanjunganom Nganjuk
Pondok Pesantren Miftahul Mubtadi’in berkedudukan di Jl. KH. Wahid Hasyim 126 Krempyang Kel. Tanjunganom Kec. Tanjunganom Kab. Nganjuk, didirikan oleh KH. M. Ghozali Manan pada tahun 1940. Beliau dilahirkan di Dsn. Bedrek Ds. Bedrek Kec. Grogol Kab. Kediri tahun 1912. Pada tahun 1938 beliau menikah dengan seorang putri yang bernama Siti Khodijah, putri dari KH. Abdul Fattah Krempyang Tanjunganom Nganjuk dan selanjutnya menetap di dusun Krempyang sampai akhir hayatnya.
Pada waktu itu keadaan penduduk dusun Krempyang sudah banyak yang memeluk agama Islam, akan tetapi belum begitu tampak syi’arnya, setelah kedatangan beliau barulah syi’ar agama Islam di dusun ini mulai tampak dan semakin berkembang dengan pesat dan selanjutnya beliau berhasil mendirikan sebuah  pondok pesantren yang tergolong sangat sederhana.
Pesantren ini bermula dari sebuah mushola yang dikelola oleh KH. Abdul Fattah mertua KH. M. Ghozali Manan. Dengan berbekal ilmu yang di pelajari di pondok pesantren Mangunsari Nganjuk, Mojosari Nganjuk, Lirboyo Kediri dan di pondok pesantren Jampes Kediri, KH. Moh. Ghozali Manan bermaksud untuk mengembangkan Islam melalui sistem pondok pesantren. Untuk mewujudkan maksud tersebut, beliau merintis pondok pesantren dengan sistem belajar mengajar secara tradisional (ala pesantren kuno). Pada periode awal ini, ruang belajar yang digunakan sangat sederhana.
Beberapa tahun kemudian, keadaan Pesantren Miftahul Mubtadi’in agak mengalami hambatan, karena adanya goncangan dari luar yang bermaksud ingin menggagalkan usaha beliau dalam menegakkan ajaran agama Islam di pondok pesantren ini; akan tetapi KH. M. Ghozali Manan tetap bertekad untuk tetap mempertahankan pondok pesantren. Dalam usaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, beliau mengadakan musyawarah dengan beberapa tokoh ulama’ agar pondok pesantren yang dirintisnya tetap bertahan.
Dari hasil musyawarah dengan para tokoh ulama’ tersebut kemudian diambil keputusan bahwa pendidikan agama Islam di Pondok Pesantren Miftahul Mubtadi’in Krempyang harus tetap dipertahankan. Dengan dicapainya kesepakatan tersebut, akhirnya satu penghambat dari perkembangan Pondok Pesantren Miftahul Mubtadi’in di awal-awal berdirinya sudah dapat teratasi. Dan sejak itu juga beliau lebih meningkatkan mutu pendidikan di pondok pesantren.
Seiring dengan berjalannya waktu, musholla yang dulu dikelola oleh KH. Abdul Fattah dan kemudian diteruskan oleh KH. M. Ghozali Manan sekarang telah menjadi masjid yang sampai saat ini tetap lestari untuk kegiatan peribadatan para penduduk sekitar dan para santri.
Kemudian pada tahun 1942 didirikan pula sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI), dilanjutkan pada tahun 1952 beliau mendirikan lembaga pendidikan setingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), hingga pada akhirnya didirikan pula Madrasah Aliyah (MA) pada tahun 1989.
Meskipun dalam awal perjalanannya mengalami banyak rintangan, Alhamdulillah dengan pertolongan Allah SWT disertai bekal fisik, mental dan spiritual yang mantap, KH. M. Ghozali Manan diberi kemampuan untuk mempertahan dan mengembangkan pesantrennya.
Setelah beberapa tahun lamanya, Pondok Pesantren yang dipimpin oleh KH. M. Ghozali Manan ini kemudian perlahan-lahan terus berkembang dan mengakar kuat sejalan dengan adanya dukungan dan peran serta santri yang telah dibina, dididik dan dibimbing dengan kesabaran dan ketulusan yang sungguh-sungguh. Hasil perjuangan beliau semakin tampak, terbukti dengan eksistensi Pondok Pesantren Miftahul Mubtadi’in yang semakin diminati dan dipercaya oleh masyarakat umum baik dari wilayah pulau Jawa maupun luar Jawa.
Selain kesibukannya mengasuh pesantren beliau juga sangat peduli terhadap masayarakat luas baik melalui pengajian-pengajian di luar pesantren, organisasi kemasyarakatan maupun kepemerintahan.
Setelah beliau wafat (tahun 1990), Pondok Pesantren Miftahul Mubtadi’in diasuh oleh putra-putra beliau yaitu KH. Moh. Ridlwan Syaibani sebagai pengasuh pondok putra, KH. Moh. Hamam Ghozali sebagai pengasuh pondok putri dan Agus Nur Salim Ghozali. Pada periode ini, perkembangan pondok pesantrenpun tampak semakin pesat dan mengalami kemajuan yang cukup signifikan, unit pendidikan yang sudah ada tetap berkembang dengan pesat. Kemudian unit pendidikan juga bertambah lagi dengan lahirnya Forum Kajian Khusus Kitab Kuning (FK4) sebagai wadah dari santri-santri purna Aliyah dan Madrasah Aliyah Mu’adalah (Madrasatul ’Ulya PP. Miftahul Mubtadi’in), serta Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam (STAIDA).

b.      Visi, Misi dan Tujuan Pesantren Miftahul Mubtadi’in Tanjung Anom Nganjuk
Sesuai dengan visi, misi dan tujuan dari Pondok Pesantren Miftahul Mubtadi’in, maka visi dari Miftahul Mubtadi’in Tanjunganom Nganjuk ditetapkan sebagai berikut, yaitu menjadi pusat pemantapan dan pengembangan wawasan keilmuan, keislaman dan kebangsaan dalam kerangka aqidah ahli sunnah wal jamaah yang dijiwai akhlakul karimah yang berasaskan salafiyah.
Sedangkan misi dari Pesantren Miftahul Mubtadi’in Tanjunganom Nganjuk yakni melaksanakan proses pembelajaran dan pengkajian dalam bidang ilmu-ilmu KeIslaman serta melaksanakan pembinaan profesi sesuai dengan bidang keahlian dengan dijiwai Akhlakul Karimah
Tujuan Pesantren Miftahul Mubtadi’in Tanjunganom Nganjuk   adalah menghasilkan lulusan yang unggul dalam penguasaan ilmu-ilmu keislaman, memiliki kintegritas moral yang tinggi,  kepekaan dan kepedulian sosial dengan dijiwai akhlakul karimah yang berasaskan salafiyah.
            BAB  X
PRAKTIKUM


[1] KH.Sirojuddin Abbas,  I'tiqat Ahlus Sunnah wa al-Jama'ah,( Jaksel :Pustaka Tarbiyah Baru 2008) , 7-9
[2] Ibid, 18
[3] Ibid, 168
[4] DR.Anwar Rosihon M.Ag, Ilmu Kalam ( Bandung : Pustaka Setia, 2007 ), 29
[5] KH.Sirojuddin Abbas,  I'tiqat Ahlus Sunnah wa al-Jama'ah, 11-12
[6] Aswaja Annahdziyah, Ajaran Ahlusunnah wa al-Jama'ah yang berlaku di NU,hal 11-12
[7] DR.Anwar Rosihon M.Ag, Ilmu Kalam, 120
[8] Islam NU Pengawal Tradisi Sunnu Indonesia,Drs.KH.A.Busyairi Harits, M.Ag (Surabaya : Kalista, 2010), 40.
[9] Islam NU Pengawal Tradisi Sunnu Indonesia,Drs.KH.A.Busyairi Harits, M.Ag (Surabaya : Kalista, 2010), 41-42
[10] Ibid, 43
[11] Aswaja Annahdziyah, Ajaran Ahlusunnah wa al-Jama'ah yang berlaku di NU, 22
[12] Ibid, 43
[13] Aswaja Annahdziyah, Ajaran Ahlusunnah wa al-Jama'ah yang berlaku di NU, 23
[14]Islam NU, Pengawal Tradisi Sunnu Indonesia,Drs.KH.A.Busyairi Harits, M.Ag, 23-24
[15] Ibid, 25
[16] Ngainun Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Islam,(Yogyakarta :Teras, 2009), 92
[17] Ibid, 92-93
[18]Islam NU, Pengawal Tradisi Sunni Indonesia,Drs.KH.A.Busyairi Harits, M.Ag, hal 45
[19] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ( Jakarta : UI Press, 1978) jilid II, 71
[20] Rosihon Anwar, dkk., Ilmu Tsawwuf (Bandung : CV.Pustaka Setia, 2000)8-9
[21] M.al-Fatih Suryadilaga, dkk, Miftahus Sufi, ( Yogyakarta : Teras, 2008), 227-228
[22] Tim Penyusun, Aswaja al-Nahdliyah., ( Surabaya : Khalista, 2007), 33-34
[23] Dr. Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik ( Semarang : RaSAIL, 2005 ), 66-81
[24] Dr.Hj.Sri Mulyani, Tarekat-terekat  Muktabarah  di Indonesia, (Jakarta : Kencana Predana Media Group), 7
[25] M.al-Fatih Suryadilaga Dkk, Miftahus Sufi, 228
[26] Louis Ma'luf, al-Munjid fi lughah wa al-'Alam ( Beirut : Dar al-Masyriq, 1975 ), 465
[27] Muhammad Sabit al-Fandi, dkk., Dairat al-Ma'arif al-Islamiyat, ( Teheran : Intisyarat Jahham, Ttp) Jilid XV, 172
[28] KH. A.Aziz Masyhuri, Al-Fuyudlat al-Rabbaniyyah fi Muqarrarati al-Mu'tamar wa al-Musyawarah li Jam'iyah Ahl al-Thariqah al-Mu'tabarah al-Nahdliyyah, ( Surabaya : Khalista, 2005 ) 21
[29] [29] Dr.Hj.Sri Mulyani, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat muktabarah di Indonesia ( Jakarta : kencana Prenada Group, 2004 )-
[30] Dr.Hj.Sri Mulyani, Tarekat-terekat  Muktabarah  di Indonesia, 28
[31] Dr.Hj.Sri Mulyani, Tarekat-terekat  Muktabarah  di Indonesia, 77
[32] Azunardi Azra, Jaringan Ulama' Timur Tengah ( Bandung : Mizan, 2004 ) 264
[33] Dr.Hj.Sri Mulyani, Tarekat-terekat  Muktabarah  di Indonesia, 128
[34] Ibid, 163
[35] Ibid 182
[36] Dr.Hj.Sri Mulyani, Tarekat-terekat  Muktabarah  di Indonesia, 226.
[37] Dr.Hj.Sri Mulyani, Tarekat-terekat  Muktabarah  di Indonesia, 25 -262
[38]Ibnu Taimiyah nama lengkapnya adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah, lahir di kota Harran wilayah Syiria. Penganut madzhab Hanbali, sangat memusuhi bid'ah dan memerangi tokoh-tokoh mistik, dibidang usuluddin ia selalu bertentangan dengan pemikiran Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi . Ibnu Qayyim adalah salah satu murid Ibnu Taimiyah, ia lahir di Damasykus tahun 691,  bernama lengkap Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa'ad bin Harist al-Zar'i al-Dimisyqi, ia lebih dikenal dengan dengan Ibnu Qayyim sama dengan gurunya  penganut madzhab Hanbali.
[39] Ibid 172
[40] Ibid 184-186
[41] KH.Sirojuddin Abbas,  I'tiqat Ahlus Sunnah wa al-Jama'ah, 389-392
[42] KH.Sirojuddin Abbas,  I'tiqat Ahlus Sunnah wa al-Jama'ah,393-402
[43]  http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/
[44]  Sebagian besar informasi yang ada menunjuk tahun kelahiran Syaikh Taqiyuddin tahun 1909 M. Akan tetapi salah seorang anggota Hizb al-Tahrir yang dekat dengannya yaitu as-Sayid Abu Jamal telah menguatkan bahwa ia mendengar dari an-Nabhani sendiri,  ia lahir pada tahun 1913 M. Sedangkan dalam al-Mausu’ah al-Muyassarah juz 1 hal. 341 juga menyebutkan tahun kelahiran dan wafatnya an-Nabhani secara berbeda, yaitu (1297-1326 H/ 1908-1977 M) di Palestina
[45] Abu Za’rur, Ash-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-Waqi’ wa Tathla’at al-Mustaqbal,.., 205.
[46] Ibid., 205-206.
[47] Abu Za’rur, Ash-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-Waqi’ wa Tathla’at al-Mustaqbal,.., 206.
[48] http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/
[49] Front Pembela Aqidah Ahlussunnah, Bahaya Hizbut Tahrir, 2006, 10, (www.darulfatwa.org.au) 
[50] Ibid.
[51] Ibid., 13.
[52] Ibid.
[53] Ibid, 17-18
[54] Syamsuri, Fundamentalisme Islam Indonesia,…,, 21
[55] Ibnu Hamam, Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid. Syarh Fath al-Qadir. Juz V. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995),187
[56] Samsurizal Panggabean, "Makna Jihad dalam al-Qur'an", dalam Jurnal Islamika, No. 4 April-Juni 1994, 99.
[57] Al-Qur'an, al-Nisa>’: 77
[58] Al-Qur'an, al-Taubah: 29
[59] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik, 146
[60] Ibid., 146.
[61] Jaih Mubarok, “Fatwa tentang Protes Politis di Indonesia” dalam Kamaruddin Amin, dkk.(ed.) Quo Vadis Islamic Studies in Indonesia Current Trends and Future Challenges. (Jakarta: Depag RI, 2006), 122.
[62] Istishhadiyyah adalah mengharap dan berusaha mendapatkan mati syahid dengan cara terbunuh di jalan Allah, sebagaimana yang disyari’atkannya
[63] Luthfi Assyaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqh Kontemporer (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1998), 9-11.
[64] Nawal Hail Takruri, Aksi Bunuh Diri atau Mati Syahid, Terj. Muhammad Arif Rahman dan Muhammad Suharsono (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002), 17
[65] Al-Qur'an, al-Nisa’: 29
[66] Ibid., al-Isra’: 33
1.Islam NU Pengawal Tradisi Sunnu Indonesia,Drs.KH.A.Busyairi Harits, M.Ag (Surabaya : Kalista, 2010), 194-195
2 M.Ridlwan Qayyum Sa'id,Antara Hisab dan Rulyah Khilafiyah Para Fuqaha' (Lirboyo Kediri : Mitra-Gayatri, Tt).

Blog, Updated at: 23.42

0 komentar:

Posting Komentar

Guna Pengembangan Blog ini admin mohon komentarnya_terimakasih.