جواز الإدغام
Boleh menggunakan
idghom dan meninggalkannya pada 4 tempat:
1.
Apabila huruf
awal dari kedua huruf idghom itu berharokat, dan huruf keduanya mati dengan
tanda sukun yang menunjukkan pada keadaan jazm atau [1]شبه الجزم
seperti لَمْ يَمُدَّ مُدَّ
dibaca dengan idghom, لَمْ يَمْدُدْ
dengan meninggalkan idghom. Sedangkan dalam hal
ini meninggalkan idghom itu lebih baik, seperti ayat al Qur-an يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِىءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ
QS An Nur: 35 dan وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوْبِهِمْ QS Yunus: 88.
Pada keadaan jazm atau syibh jazm kemudian dalam proses pengidghoman bertemu dengan alif tatsniyah, wawu jama’, ya’ mukhotobah atau nun taukid, maka wajib idghom untuk menghilangkan sukun huruf kedua contoh: لَمْ يَمُدَّا مُدَّا, لَمْ يَمُدُّوا مُدُّوا, لَمْ تَمُدِّي مُدِّي, لَمْ يَمُدَّنْ مُدَّنْ, لَمْ يَمُدَّنَّ مُدَّنَّ . Tetapi apabila bertemu dengan ضمير متحرك محل رفع maka proses pengidghoman dicegah, sebagaimana keterangan yang akan datang.
Pada keadaan jazm atau syibh jazm kemudian dalam proses pengidghoman bertemu dengan alif tatsniyah, wawu jama’, ya’ mukhotobah atau nun taukid, maka wajib idghom untuk menghilangkan sukun huruf kedua contoh: لَمْ يَمُدَّا مُدَّا, لَمْ يَمُدُّوا مُدُّوا, لَمْ تَمُدِّي مُدِّي, لَمْ يَمُدَّنْ مُدَّنْ, لَمْ يَمُدَّنَّ مُدَّنَّ . Tetapi apabila bertemu dengan ضمير متحرك محل رفع maka proses pengidghoman dicegah, sebagaimana keterangan yang akan datang.
Pada keadaan
fi’il mudlori’ yang majzum dan pada fi’il amar sedangkan harokat huruf kedua
dalam proses pengidghoman tidak bersambung dengan sesuatu, maka harokat huruf
yang di idghom mengikuti harokat fa’ fi’ilnya. Dalam hal ini adalah qoul yang
paling banyak. Dan dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat dlomah serta huruf
idghom yang berharokat dlomah boleh juga memberi harokat fathah maupun kasroh
pada huruf idghomnya, seperti: رُدَّ لَمْ
يَرُدَّ , رَدَّ لَمْ يَرُدَّ.
Dan dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat fathah serta huruf idghom yang berharokat
fathah boleh juga memberi harokat kasroh pada huruf idghomnya, seperti: عَضِّ لَمْ
يَعَضِّ. Begitu pula dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat kasroh
serta huruf idghom yang berharokat kasroh boleh juga memberi harokat fathah pada
huruf idghomnya, seperti: فِرَّ لَمْ يَفِرَّ.
Haruslah kita
ketahui dari keterangan di atas bahwa sesungguhnya dalam keadaan fa’ fi’il yang
berharokat dlomah diperbolehkan memberi harokat dlomah, fathah maupun kasroh
pada huruf idghom. Adapun harokat kasroh pada keadaan tersebut sangatlah lemah,
sedangkan harokat fathah itu menyerupai
dengan dlomah dalam segi kekuatan dan banyak pemakaiannya. Dan bahwasanya dalam
keadaan fa’ fi’il yang berharokat fathah diperbolehkan memberi harokat fathah
maupun kasroh pada huruf idghom, adapun harokat fathah lebih utama dan lebih
banyak pemakaiannya. Begitu pula dalam keadaan fa’ fi’il yang berharokat kasroh
diperbolehkan memberi harokat kasroh dan fathah pada huruf idghom, adapun
harokat kasroh dan fathah itu sama saja dalam segi penggunaannya.
Dari
keterangan di atas fi’il mudlori’ yang jazm alamat I’robnya dengan sukun yang dikira-kirakan
pada akhirnya, yang mencegah tampaknya sukun adalah harokat idghom. Begitu juga
pada fi’il amar, alamat i’robnya yaitu sukun yang dikira-kirakan, harokat
idghom mencegah nampaknya sukun tersebut.
Dan ketahuilah
bahwa sesungguhnya hamzah washol pada fi’il amar dari fi’il tsulatsi mujarrod,
seperti: اُمْدُدْ hamzah washol tidak
di butuhkan lagi setelah proses idghom, kemudian hamzah washol dibuang,
seperti: مُدَّ
karena hamzah washol hanya didatangkan untuk menyelamatkan huruf awal dari
sukun. Maka sungguh telah hilang sebab-sebab mendatangkan hamzah washol karena
awal kalimat مُدَّ
telah berharokat.
2.
Apabila ‘ain
fi’il dan lam fi’il berupa huruf ياء
yang harus berharokat keduanya seperti: عَييَ حَييَ
maka diucapkan dengan idghom عَيَّ حَيَّ.
Apabila
harokat huruf kedua menunjukkan/dibutuhkan untuk alamat I’rob, seperti لَنْ يُحْيِيَ
رَأَيْتُ مَحْيِيًا maka proses idghom dicegah. Begitu pula jika sukun huruf kedua
menunjukkan alamat i’rob seperti: عَيَيْتُ
حَيَيْتُ.
3.
Apabila dua
huruf تاء bertempat pada permulaan fi’il madli, seperti: تَتَابَعَ
تَتَبَّعَ maka boleh diidghomkan bila fi’il madli tersebut bersambung
dengan hamzah washol, hal itu untuk mencegah huruf awal yang disukun karena
proses pengidghoman seperti اِتَّابَعَ اِتَّبَّعَ. Tetapi jika dua تاء
tersebut bertempat pada fi’il mudlori’ maka tidak boleh mengidghomkannya,
tetapi boleh meringankannya dengan membuang salah satu dari dua تاء
seperti: تَتَجَلَّى تَتَلَظَّى
menjadi تَجَلَّى تَلَظَّى. Seperti
dalam firman Alloh SWT: تَنَزَّلُ الْمَلئِكَةُ وَالرُّوْحُ
فِيْهَا QS Al Qodr: 4, ناَرًا
تَلَظَّى QS Al Layl:14, asalnya adalah تَتَنَزَّلُ
تَتَلَظَّى. Dalam hal ini (membuang salah satu تاء)
adalah yang paling masyhur dan paling banyak pemakaiannya.
4.
Apabila ada
dua huruf sejenis yang berdampingan dan keduanya berharokat serta terletak
dalam dua kalimat, seperti: جَعَلَ لِىْ كَتَبَ بِالْقَلَمِ
maka boleh di idghomkan dengan memberi harokat sukun pada huruf awal, kemudian
menjadi: جَعَلْ لِىْ كَتَبْ بِالْقَلَمِ.
Dalam keadaan ini boleh idghom hanya pada lafadz, tidak secara
tulisannya.
امتناع الإدغام
Idghom dilarang pada
7 tempat:
1.
Ketika dua
huruf berada pada pemulaan kalimat seperti: دَدَنٍ دَدًا
دَدٍ دَدَانٍ تَتَرٍ دَنَنٍ[2].
2.
Ketika ada dua
huruf pada kalimah isim yang mengikuti wazan فُعَلٍ
(dengan mendlomah fa’ fi’il dan memfathah ‘ain fi’il) seperti دُرَرٍ جُدَدٍ
صُفَفٍ[3].
Atau mengikuti wazan فُعُلٍ
(dengan mendlomah fa’ fi’il dan ‘ain fi’il) seperti سُرُرٍ ذُلُلٍ
جُدُدٍ[4].
Atau mengikuti wazan فِعَلٍ
(dengan mengkasroh fa’ fi’il dan memfathah ‘ain fi’il) seperti لِمَمٍ كِلَلٍ
حِلَلٍ[5].
Atau mengikuti wazan فَعَلٍ
(dengan memfathah fa’ fi’il dan ‘ain fi’il) seperti طَلَلٍ لَبَبٍ
خَبَبٍ[6].
3.
Apabila ada
dua huruf yang bertempat pada fi’il
ruba’i mulhaq, baik itu mulhaq mazid, seperti: جَلْبَبَ
atau mulhaq yang tidak mazid, seperti: هَيْلَلَ[7]
4.
Apabila
bertemu dua huruf yang mati sedangkan huruf yang pertama sudah idghom seperti: هَلَّلَ[8]
مُهَلِّلٌ شَدَّدَ مُشَدِّدٌ.
Pada hal ini dilarang karena apabila terjadi proses idghom pada huruf kedua
maka akan terjadi pengulangan idghom, sedangkan pengulangan idghom itu tidak
diperbolehkan.
5.
Apabila terdapat
dua huruf yang mengikuti wazan أَفْعَلَ
dan berkedudukan/ menunjukkan تَعَجُّب
contoh: أَعْزِزْ بِالْعِلْمِ! أَحْبِبْ بِهِ!
Maka tidak boleh mengucapkan lafadz tersebut dengan أَعَزَّ
بِالْعِلْمِ! أَحَبَّ بِهِ!.
6.
Apabila
harokat sukun pada salah satu huruf idghom menunjukkan ‘alamat I’rob karena
bersambung dengan dlomir متحرك محل رفع
contoh: مَدَدْتُ , مَدَدْنَا مَدَدْتَ مَدَدْتُمْ
مَدَدْتُنَّ.
7.
Apabila
terdapat kalimat yang syad (keluar dari qo’idah) orang ‘arob sedangkan kalimat
itu tidak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu kalimat-kalimat yang
telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya.
فائدة
Apabila
terdapat فعل ماضى ثلاثى مجرد
yang dikasroh a’in fi’ilnya yang berbina’ مضاعف
serta disandarkan/ bertemu dengan ضمير متحرك محل
رفع maka dalam hal ini terdapat 3 hukum:
1.
Menggunakan
lafadz tersebut secara sempurna yaitu meninggalkan/ tidak menggunakan proses
pengidghoman, contoh pada lafadz ظَلَّ
dibaca ظَلِلْتُ.
2.
Membuang
‘ain fi’ilnya beserta tetapnya harokat fathah pada fa’ fi’il, contoh: ظَلْتُ.
3.
Membuang
‘ain fi’ilnya dan memindah harokat kasroh ’ain fi’il
ke fa’ fi’il setelah membuang harokat fathah fa’ fi’il tersebut, contoh: ظِلْتُ.
Alloh SWT berfirman:
وَانْظُرْ إِلَى إِلهِكَ الَّذِى ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا (طه:٩٧) , لَوْ نَشَاءُ لَجَعَلْنَاهُ حُطَامًا فَظَلْتُمْ تَفَكَّهُوْنَ[9]
(الواقعة:٦٥)
Kedua ayat tersebut dibaca dengan memfathah huruf ظاء dengan tetapnya harokat ظاء tersebut, atau dengan memberi harokat kasroh pada huruf ظاء dikarenakan harokat huruf ظاء dibuang kemudian memindah harokat huruf لام
yang dibuang ke huruf ظاء.
Kemudian bila terdapat فعل مضارع ثلاثى مجرد atau فعل أمر ثلاثى مجرد yang berbina’ مضاعف yang dikasroh ‘ain fi’ilnya
serta disandarkan/ bertemu dengan ضمير متحرك محل
رفع maka dalam hal ini terdapat dua hukum:
1.
Boleh dibaca
itmam (tidak menggunakan qo’idah idghom) contoh pada lafadz يَقِرُّ قِرَّ dibaca يَقْرِرْنَ اِقْرِرْنَ
2.
Boleh membuang
‘ain fi’ilnya kemudian memindah harokat ‘ain fi’il ke lam fi’il, contoh: يَقِرْنَ
قِرْنَ. Sebagian contohnya terdapat dalam Al Qur-an pada bacaan selain
إمام نافع dan
إمام عاصم
yaitu وَقِرْنَ فِى بُيُوْتِكُنَّ (الأحزاب ٣٣)
dengan memberi harokat kasroh pada qof.
Dalam hukum
yang kedua ini tidak diperbolehkan memberi harokat fathah pada ‘ain fi’il
kecuali pada lafadz-lafadz yang sima’i, contoh: وَقَرْنَ فِى
بُيُوْتِكُنَّ (dengan memfathah qof) pada bacaan إمام نافع,
إمام عاصم,
dan إمام حفص.
Sedangkan pembacaan kasroh pada قِرْنَ itu asalnya adalah اِقْرِرْنَ dikarenakan lafadz قَرَّ bias menduduki dua tempat yaitu:
1.
Bab فَعَلَ
يَفْعِلُ dengan memfathah ‘ain fi’ilnya
pada f’il madli dan mengkasroh ‘ain fi’ilnya pada f’il mudlori’.
2.
Bab فَعِلَ
يَفْعَلُ dengan mengkasroh ‘ain
fi’ilnya pada fi’il madli dan memfathah ‘ain fi’ilnya pada fi’il mudlori’.
٢ الإعلال
الإعلال
adalah membuang huruf ‘illat atau menggantinya atau menyukunnya (mematikannya).
Membuang huruf ‘illat seperti: يَرِثُ
asalnya يَوْرِثُ.
Mengganti huruf ‘illat seperti قَالَ
asalnya قَوَلَ. Menyukun huruf ‘illat seperti يَمْشِيْ asalnya يَمْشِيُ.
الإعلال بالحذف
Huruf ‘illat dibuang
pada tiga tempat yaitu:
1.
Apabila
huruf ‘illat tersebut berupa huruf mad
dan sesudah huruf mad terdapat huruf yang mati (berharokat sukun) contoh: قُمْ خَفْ بِعْ
قُمْتُ خِفْتُ بِعْتُ يَقُمْنَ يَخَفْنَ يَبِعْنَ رَمَتْ تَرْمُوْنَ تَرْمِيْنَ
قَاضٍ فَتًى asalnya adalah قُوْمْ خَاْفْ
بِيْعْ قُوْمْتُ خِيْفْتُ بِيْعْتُ يَقُوْمْنَ يَخَاْفْنَ يَبِيْعْنَ رَمَاْتْ
تَرْمِيُوْنَ تَرْمِيِيْنَ قَاضِيُنْ فَتَاْنْ[10]. Adapun pembuangan huruf ‘illat disini dikarenakan untuk
mencegah bertemunya dua huruf yang mati.
Qo’idah diatas tidak berlaku apabila sesudah huruf ‘illat tedapat huruf
mati yang terkena proses pengidghoman dan berada dalam satu kalimah, maka huruf
‘illat tersebut tidak boleh dibuang dikarenakan idghom adalah menjadikan dua
huruf yang salah satunya mati menjadi satu huruf dan berharokat, contoh: شَادَّ
يُشَادُّ شُوَدَّ.
Apabila menunjukkan pemberian harokat pada huruf yang mati seperti خَفِ اللهَ
قُلِ الحَقَّ maka harokat tersebut tidak
dihargai/ dianggap, karena harokat tersebut menunjukkan pada hilangnya huruf.
Pembuangan yang seperti ini bukanlah yang dimaksud pada bab ini.
2.
Apabila
terdapat fi’il-fi’il yang berbina’ مثال واو serta mengikuti wazan يَفْعِلُ (yang dikasroh ‘ain fi’ilnya), maka fa’ fi’ilnya dibuang ketika
berada pada fi’il mudlori’contoh: يَعِدُ, fi’il ‘amar contoh: عِدْ dan pada mashdar contoh: عِدَةً ketika fa’ fi’il diganti dengan ta’.
Tetapi apabila fa’ fi’il tidak diganti dengan ta’, maka fa’ fi’il tidak
boleh dibuang. Tidak diperbolehkan mengucapakan lafadz وَعَدَ عِدًا dikarenakan tidak adanya pergantian antara fa’ fi’il dengan
ta’. Begitu juga tidak diperbolehkan mengumpulkan antara fa’ fi’il dan ta’,
maka tidak boleh mengucapakan وَعْدَةً, kecuali bila ta’ itu
didatangkan untuk menghendaki ma’na bilangan atau jenis, bukan untuk mengganti,
contoh: وَعَدْتُهُ عِدَةً وَاحِدَةً أَوْ عِدَةً
حَسَنَةً.
Pengecualian juga berlaku ketika huruf ‘illat berada pada فعل مبني مجهول yang berbina’ مثال يائ
seperti: يُيْسَرُ dan ketika berbina’ مثال واو yang mengikuti wazan يَفْعَلُ (dengan memfathah ‘ain fi’il) seperti: يُوْجَلُ يُوْحَلُ maka huruf ‘illat tersebut tidak dibuang. Sedangkan terhukumi
syadz lafadz-lafadz seperti: يُدَعُ يُذَرُ يُهَبُ يُسَعُ يُضَعُ
يُطَأُ يُقَعُ (dengan membuang wawu,
sedangkan harokat ‘ain fi’ilnya adalah fathah).
3.
Apabila
huruf ‘illat berada pada فعل معتل الاخر
maka huruf ‘illat dibuang ketika menduduki فعل أمر المفرد
المذكر contoh: اِخْشَ اُدْعُ
اِرْمِ, juga berlaku pada fi’il mudlori yang
akhirnya tidak bersambung dengan sesuatu, seperti: لَمْ يَخْشَ
لَمْ يَدْعُ لَمْ يَرْمِ. Huruf ‘illat tersebut
dibuang bukan karena I’lal, tetapi untuk mewakili sukunnya bina’ pada fi’il
amar dan untuk mewakili sukunnya I’rob pada fi’il mudlori’.
[2] الدَدَن والدَدَا والدَد: senda gurau dan
permainan. الددان:
orang yang tidak punya harta dan tidak bermanfaat. التتر:
الدنن: condongnya
matahari/baying-bayang pada waktu dhuhur.
[3] الجُدَد
bentuk jama’ dari lafadz جُدَةٌ: jalan dan petunjuk. الصُفَف bentuk jama’ dari صفة: rumah yang bersih,
bangunan yang mempunyai 3 pagar, rumah yang terlindung dari panas.
[4] السُرُر
bentuk jama’ dari سرير.
الذُلُل
bentuk jama’ dari ذَلُوْل:
unta yang tidak bekerja keras. الجُدُد bentuk jama’ dari جَدِيدٌ.
[5] اللِمَم bentuk jama’ dari لِمة: rambut yang tumbuh
malampaui cuping (tempat anting-anting). Ketika sampai pada bahu maka dinamakan
جُمَّة.
الكِلَل
bentuk jama’ dari كِلَّة:
satir/kain penutup yang tipis, tutup yang dijahit agar rumah bersih dari
nyamuk. Dalam pengetahuan kita dinamakan dengan kelambu (النَامُوسِيَّة). الحِلَل jama’ dari حِلَّة: tempat tinggal
sementara/pemukiman. Adapun الحُلَّة bentuk mufrod dari حُلَل berma’na: pakaian yang
dibuat dari dua baju seperti jubah dan selendang.
[6] الطلل: sesuatu yang tinggi
dari bekas rumah, tingginya setiap sesuatu dan tempat yang tinggi, bentuk
jama’nya adalah إطلال
dan طلول.
اللبب:
tempat kalung didada, dan sesuatu yang dibuat untuk mengikat leher hewan supaya
seseorang bisa menahannya dari berhenti (tali kendali binatang) dan sesuatu
yang lembut dari pasir, bentuk jama’nya adalah الألباب. الخبب: jenis/macam- macam cara
kuda berjalan yaitu untuk peristirahatan kuda antara kaki depan dan belakang/
jarak antara kaki depan dan belakang ketika kuda berjalan.
[7] هَيْلَلَ adalah kebanyakan berasal dari kalimat لاإله إلاالله yaitu salah satu kalimat manhut yang ditinjau susunan kalimatnya, begitu juga seperti lafadz بَسْمَلَ yaitu ketika mengucap بسم الله الرحمن الرحيم.
[8] هَلَّلَ ketika mengucap لاإله إلا الله. هَلَّلَ فُلَانٌ
orang yang penakut kemudian lari. هَلَّلَ عَنْ قَرِيْنِهِ orang yang mundur dari
barisan dan terlambat. هَلَّلَ
الكَاتِبُ menulis.
[9] تَفَكَّهُوْنَ
asalnya تَتَفَكَّهُوْنَ. Ma’nanya
berbincang-bincang tentang sesuatu mengenai kamu semua. Sedangkan ma’na asalnya
التفكه
adalah banyak melakukan perpindahan pembicaraan dengan berbagai macam gurauan
(fitnah) kemudian seseorang memutar balikkan fakta pembicaraan itu pada orang
yang diajak bicara. Sebagian dari gurauan (fitnah) itu adalah peristiwa mengenai manusia.
[10] Huruf nun pada lafadz قَاضِيُنْ فَتَاْنْ adalah nun tanwin yang dilafadzkan tetapi tidak ditulis.
Apabila kita menuliskannya untuk menunjukkan bahwa tanwin adalah nun yang mati,
maka berkumpullah nun tersebut dengan huruf mati sebelumnya, yaitu huruf ya’
pada lafadz القاضي dan alif pada lafadz الفتى maka bertemulah dua huruf yang mati, kemudian
huruf mad dibuang menjadi قَاضِنْ فَتَنْ kemudian nun tanwin
tidak di butuhkan karenaterjadi pengulangan harokat, dan huruf alif pada lafadz
الفتى dikembalikan lagi penulisannya supaya lafadz tersebut memungkinkan
untuk waqof.
0 komentar:
Posting Komentar
Guna Pengembangan Blog ini admin mohon komentarnya_terimakasih.