RISALAH
AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH
Karya : KH. Hasyim Asy'ari
MUKADDIMAH
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala Puji dan Keagungan senantiasa kita curahkan
kepada Dzat yang telah berfirman di dalam kitabnya Al - Qur’an yang berfungsi
sebagai pemberi penjelasan, ialah Dzat yang paling benar Qoulnya.
هو الذى ارسل رسوله بالهدى ودين الحقّ ليظهره على الدين
كله ولوكره المشركون .
“Dialah Dzat yang mengutus rasul-Nya dengan membawa
petunjuk dan agama yang haq, agar dimenangkannya terhadap semua agama,
sekalipun orang-orang musyrik membencinya”
Rahmad ta’dzim dan keselamatan mudah-mudahan tetap terlimpah
curahkan kepada junjungan kita, nabi yang menjanjikan syafa’at-nya kepada kita,
Rasul yang menjadi wasilah kita untuk menuju Tuhan, ialah Nabi Muhammad Saw
yang telah bersabda :
إنّ اصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمّد
وشرالامور محد ثاتها. وكل محدثة بدعة, وكل بدعة ضلالة, وكل ضلالة فى النار.
“Sungguh sebenar-benarnya hadits / ucapan adalah
kitabullah “Al-Qur’an”. Sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah
Muhammad Saw, dan seburuk-buruknya perkara adalah perkara baru yang tidak berdasar
agama, setiap perkara yang baru adalah bid’ah, segala bid’ah adalah
penyimpangan, dan setiap penyimpangan adalah bermuara pada Neraka”.
Risalah ini adalah merupakan karya besar yang memuat beberapa doktrin ajaran yang sangat berfaidah, juga beberapa pembahasan yang sangat dibutuhkan oleh kaum Muslim dalam rangka mengokohkan Aqidah agamanya, agar mereka masuk dalam bingkai “Firqah al-Najiyah”, golongan yang selamat yakni “Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah”. Dalam kitab ini penulis melakukan counter terhadap para ahli Dlolalah / para pembuat bid’ah yang merupakan sumber dari segala sumber kebohongan.
Dari itulah kitab ini merupakan “Hujjah”, argumentasi
dan dalil, serta penjelasan yang sangat mendasar bagi kemuliaan kaum muslimin,
untuk kemudian dapat mengantarkan keselamatan dan kebahagiaan mereka, dengan
ini pula penulis melakukan indoktrinasi melalui beberapa aqidah yang benar ‘Ala
thariqati Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Saat ini, kaum muslimin sangat membutuhkan
doktrin-doktrin ajaran yang benar, karena sungguh telah terjadi pencampuradukan
ajaran dikalangan orang-orang yang mulia (para pemegang otoritas keagamaan)
dengan orang-orang awam yang merendahkan martabat keagamaan, hingga tampak
terjadi pembiasan, kesamaran antara yang “Haq” dan yang “Bathil”. Banyak orang
yang bodoh mulai berani maju berfatwa, padahal wawasan dan pemahaman mereka
terhadap kitabullah dan sunnah Rasulillah SAW. sangat cupet dan kerdil.
Al-Qur’an telah datang untuk memberi penjelasan segala
permasalahan secara detail dan terhindar dari segala pencampuradukan dan
penyimpangan. Dengan demikian sangatlah memungkinkan dan seharusnya kaum
Muslimin dapat terselamatkan dari kebodohan dan kesesatan, hingga apa yang
mereka ucapkan “Muwafiq”/selaras dengan apa yang mereka perbuat.
Penulis kitab ini Hadratus Syaikh al – ‘Allamah
Muhammad Hasyim Asy’ari, adalah salah seorang ulama terkemuka Indonesia dan
termasuk pencetus berdirinya jam’iyah Nahdlotul Ulama yakni sebuah Organisasi
kemasyarakatan yang telah dengan konsisten memegangi “Sunnata Khatamin Nabiyyiin”,
menjaga dan membentengi thariqah atau jalan hidup yang telah dibangun oleh
Salafuna al – Sholih.
Mudah-mudahan Allah Swt. melimpahkan segala kebaikan
dan ampunan-Nya kepada beliau, semua orang tua beliau dan seluruh keturunan
beliau. Engkaulah Dzat yang Maha Pengampun. Mudah-mudahan Allah SWT. memberikan
kemanfaatan atas kitab dan keilmuwan beliau bagi seluruh kaum Muslimin dan
menjadikannya sebagai cahaya yang menghidupkan sunnah Rasulillah Saw.
Demikian, Rahmad Keagungan Allah Swt mudah-mudahan
terlimpah curahkan pada baginda nabi besar Muhammad Saw, seluruh keluarganya,
dan Sahabat-Sahabatnya, wa Alhamdulillah ‘Alamin.
Tebuireng, 1 Rajab 1418 H
Pengantar dari cucu penulis
Muhammad Ishom Hadziq
MUKADDIMAH
Bismillahi al - Rahman al - Rahiem
Segala puji bagi Allah, “Al – Hamdulillah” sebagai
sebuah ungkapan rasa syukur atas segala anugerah – Nya, Rahmat ta’dzim dan
keselamatan mudah-mudahan terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan
seluruh keluarganya. Apa yang akan hadir dalam kitab ini, saya tuturkan
beberapa hal antara lain : Hadits – hadits tentang kematian dan tanda-tanda
hari Qiamat, penjelasan tentang “Al – Sunnah” dan “Al Bid’ah” dan beberapa
hadits yang berisi nasehat-nasehat agama
Kepada Allah Dzat Yang Maha Mulia kutengadahkan jari –
jemari dengan penuh kekhusyu’an, kumohonkan agar kitab ini memberikan manfaat
untuk diri kami dan orang-orang bodoh semisal kami. Mudah-mudahan Allah
menjadikan amal kami sebagai amal shalihah Liwajhillah al – Kariem, karena
Ia-lah Dzat yang Maha dermawan penuh kasih sayang. Dengan segala pertolongan
Allah Dzat yang disembah, penyusunan kitab ini dimulai.
SEBUAH PASAL
PENJELASAN
TENTANG “AL – SUNNAH DAN AL – BID’AH
Lafadz “Al – Sunnah” dengan dibaca dlammah sinnya dan
diiringi dengan tasydid, sebagaimana dituturkan oleh Imam Al – Baqi’ dalam
kitab ‘Kulliyat’-nya secara etimologi adalah Al – Thariqah, jalan, sekalipun
yang tidak diridloi.
Menurut terminologi syara’ : “Al – Sunnah” merupakan
“Al – Thoriqoh”, jalan atau cara yang diridloi dalam menempuh agama sebagaimana
yang telah ditempuh oleh Rosulillah Saw atau selain beliau, yakni mereka yang
memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama seperti pada para
sahabat R.A.
Hal ini didasarkan pada sabda nabi :
عليكم بسنتى وســنة الخلــفا ء الراشــدين من بعدى
“Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada Sunnahku
dan Sunnahnya Al – Khulafaur Rasyidin, setelahku”.
Sedangkan menurut terminologi Urf adalah pengetahuan
yang menjadi jalan atau pandangan hidup yang dipegangi secara konsisten oleh
tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali. Adapun istilah
“Al – Sunny” merupakan bentuk penisbatan dari lafadz “Al – Sunnah” dengan
membuang ta’ marbuthah.
Lafadz “Al – Bid’ah” sebagaimana dikatakan oleh Al –
Syekh Zaruq di dilam kitab “Iddati al – Murid” menurut terminologi syara’
adalah : “Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah-olah ia merupakan
bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana,
penggambaran maupun dalam hakikatnya. Hal ini didasarkan pada sabda nabi SAW :
من احدث فى امرنا هذا ما ليس مـــــنه فهو رد
“Barang siapa menciptakan perkara baru didalam
urusanku {yakni masalah agama}, padahal bukan merupakan bagian daripadanya,
maka hal itu ditolak”
Dan sabda Rasul :
وكل محـــــدثة بدعة
“Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah”
Para ulama menjelaskan tentang esensi dari makna dua
hadits tersebut di atas yakni, perkara baru yang menjadi bid’ah adalah segala
sesuatu yang dijadikan rujukan bagi perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan
sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi
ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum karena
kadang-kadang bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah
secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau
berlandaskan Furu’ al – Syari’ah sehingga ia dapat dikiaskan atau dianalogkan
kepada syari’at.
Al – Syekh Zaruq lantas membuat tiga ukuran (mizan)
dalam hal ini yakni : pertama ; harus dilihat keberadaan perkara baru tersebut,
jika didalamnya didapati termasuk dalam koridor hukum syari’at dengan dukungan
dalil atau dasar yang mengukuhkannya, maka bukanlah dinamakan bid’ah. Namun
bila didalamnya terdapat beberapa dalil yang tampaknya kontradiktif sehingga
terjadi kesamaran, dan muncul beberapa interpretasi dalam beberapa
pandangannya, maka beberapa pandangan itu harus ditelaah ulang, mana yang
paling unggul untuk dijadikan rujukan dasar.
Pertimbangan kedua adalah dengan melihat beberapa
kaidah-kaidah perundangan yang telah dibakukan oleh para imam mujtahid dan
pengamalan para Salafuna al – Sholih sebagai tuntunan “Thariqah al – Sunnah”,
jika ternyata perkara itu bertentangan dengan dasar-dasar di atas melalui
beberapa pertimbangan, maka jelas tidak dapat diterima. Namun bila terjadi
kecocokan dalam pandangan kaidah-kaidah perundang-undangan maka dapatlah
diterima, sekalipun dikalangan para Imam Mujtahid sendiri terjadi perbedaan
pendapat baik secara far’ maupun asal. “Segala sesuatu itu mengikuti pada
asalnya berikut dalilnya”, sehingga apapun yang diamalkan oleh para Salafuna al
– Sholih dengan berlandaskan pada kaidah-kaidah para Imam dan diikuti oleh
kelompok Khalaf, maka tidaklah sah bila hal itu dianggap sebagai “bid’ah
madzumah”, dan segala bentuk prilaku yang tidak dilakukan atau ditinggalkan
oleh para Salafuna al – Shalih dengan kerangka pandangan yang jelas maka
tidaklah sah pula hal itu dianggap sebagai tuntunan atau sunnah, dan bukan pula
harus dianggap sebagai perkara yang terpuji.
Berkaitan dengan suatu dasar yang telah ditetapkan
oleh Salafuna al –Shalih tetapi tidak menjadi prilaku hidup mereka, maka Imam
Malik berpendapat bahwa hal itu dianggap sebagai bid’ah dengan dalih bahwa
mereka tidak akan meninggalkan segala sesuatu perbuatan apapun kecuali didalamnya
ada perintah untuk meninggalkan perkara tersebut. Imam Al – Syafi’i
berpandangan lain, bahwa hal itu tidaklah dianggap sebagai bid’ah, walaupun
Salafuna al – Shalih tidak mengerjakannya, karena bisa jadi mereka meninggalkan
perbuatan tersebut dikarenakan ada udzur yang menimpa mereka untuk melakukan
hal itu pada suatu waktu, atau mereka meninggalkannya karena ia memilih untuk
melakukan sesuatu yang lebih utama dari ketetapan tersebut. Dan karena segala
bentuk hukum itu bisa jadi diambil atas dasar dzatiah persoalan terkait, atau
dipengaruhi oleh kondisi psikologi dan sosio historis orang yang
mensyari’atkannya.
Para ulama juga berbeda pendapat dalam menyikapi
persoalan yang tidak termasuk dalam kerangka sunnah, namun tidak ada dalil yang
menentangnya bahkan juga tidak ada kesamaran di dalamnya. Imam Malik menganggap
hal itu sebagai bid’ah, dan Imam Syafi’i menyatakan hal itu bukanlah bid’ah.
Dalam hal ini Imam Syafi’i berlandaskan pada sebuah hadits :
ما تركته لكم فهو عفو
“Segala sesuatu yang aku tinggalkan karena belas
kasihan terhadap kalian semua adalah diampuni”
Syekh Zaruq berpandangan bahwa : berkaitan dengan
mizan yang kedua ini, beliau mencontohkannya dengan terjadinya perbedaan
pandangan diantara para ulama tentang hukumnya membuat kepengurusan jamiyyah,
membaca dzikir dengan keras, dan melangsungkan do’a bersama. Karena didalam
hadits ada semacam support atau al – Targhib di dalam hal ini, sekalipun
Salafuna al – Sholih tidak melakukannya sehingga dengan hal ini tidaklah setiap
orang yang menyepakati hal itu dianggap sebagai pembuat bid’ah dalam pandangan
orang yang berpendapat lain, jika ternyata pendapat tersebut bertolak belakang
dengan dalil-dalil hukum yang diambil sebagai hasil ijtihadnya, selagi tidak
melampui batas wilayah yang diperkenankan baginya. Dan tidaklah sah pula
perkataan seseorang yang memiliki pendapat berbeda itu dipergunakan untuk
membatalkan pendapat lain yang bertolak belakang karena adanya kesamaran dalam
memproses kesimpulan hukumnya. Bila dalam persoalan ini dilegalkan segala
bentuk upaya pembatalan pendapat orang lain, maka yang terjadi adalah klaim
pembid’ahan terhadap seluruh prilaku umat.
Sebagaimana telah diketahui bahwa sesungguhnya hukum
Allah Ta’ala dalam kerangka yang bersifat ijtihadiyah dan pada wilayah
furu’iyah, bagi seorang mujtahid akan sangat memungkinkan untuk dimunculkan
ijtihad baru, baik hasil ijtihad baru itu mendapatkan pembenaran dari hanya
seorang saja atau lebih.
Rasulullah Saw bersabda :
لايصلين احد العصر إلا فى بنى قربيظة فادركهم العصرفى
الطـريق ,فقال بعضهم امرنا بالعجلة وصلوا فى الـريق وقال أخرون : امرنا بالصلاة
هناك فاخروا ولم يعب صلى الله عليه وسلّم على واحد منهم.
“Sungguh seseorang tidak akan dapat melaksanakan
sholat fardu Ashar kecuali diperkampungan Bani Quradloh, lantas para sahabat
mendapati masuknya waktu sholat Ashar ketika masih diperjalanan, sebagian dari
mereka berkata : kita diperintahkan untuk bergegas (dalam melakukan /
mendirikan sholat) dan mereka melakukan sholat diperjalanan. Sebagian dari
sahabat yang lain berkata : kita diperintahkan untuk melakukan sholat di sana
(perkampungan Bani Quraidloh), lantas mereka mengakhirkan sholat, dan
Rasulullah Saw. tidak mencaci maki kepada salah seorangpun diantara mereka”.
Sikap Rasululah yang sedemikian begitu menyejukkan,
dan menunjukkan keabsahan untuk melakukan sesuatu amal sesuai dengan apa yang
dapat mereka pahami dari sabda Nabi sebagai Al – Syari’, sumber persyari’atan,
karena pemahaman tersebut tidaklah dilandasi oleh hawa nafsu.
Mizan yang ketiga adalah pertimbangan yang bersifat
membedakan yang didasarkan pada beberapa kriteria hukum yang otentik, hal ini
akan bersifat tafsili, atau terperinci. Dengan mizan ini sebuah persoalan akan
dapat diklasifikasikan dalam enam bentuk hukum syari’at yakni : wajib, sunnah,
haram, makruh, khilaful aula dan mubah. Segala bentuk persoalan itu diilhaqkan
dengan dalil tersebut, dan jika tidak memiliki dalil maka dapatlah dikatakan
sebagai bid’ah. Melalui mizan ini, banyak dari hukum yang kemudian mengistilahkan
identitas hukum dari sebuah persoalan tersebut dengan bid’ah wajibah, nadbiah,
tahrimah, karohah, khilafal aula dan bid’ah ibadah tetapi hanya dalam istilah
kebahasaan saja untuk memberikan kemudahan.
والله اعلم”
”
Lebih spesifik lagi Syekh Zaruq membagi bid’ah kedalam
tiga kelompok yakni Bid’ah Shorihah yaitu suatu persoalan yang ditetapkan tanpa
berlandaskan dalil syari’ dan tidak mencocoki pada sebuah masalah yang telah
mendapatkan ketetapan hukum syara’ apakah wajib, sunnah, mandub atau yang
lainnya. Bid’ah ini pada akhirnya membunuh potensi sunnah dan membatalkan
perkara yang haq, bentuk ini adalah seburuk-buruknya bid’ah, meskipun
daripadanya dikemukakan sejumlah alasan pada kerangka usul maupun furu’
tetaplah tidak dapat mempengaruhi keshorihan bid’ah-nya. Kedua “Al – bid’ah al
– Idlofiyah” yaitu bid’ah yang disandarkan pada sebuah perintah dimana bila
perintah itu diterima sebagai sandaran bid’ah tersebut maka tidaklah sah
terjadinya saling mempertentangkan keberadaan perkara tersebut, apakah sebagai
sunnah ataupun bid’ah tanpa perselisihan sebagaimana tersebut di muka.
Ketiga, Al – Bid’ah al – Khilafiyah, yaitu bid’ah yang
dilandasi oleh dua dalil yang saling tarik menarik diantara keduanya, disatu
sisi dia berkata : ini didasarkan pada sumber ini, dan pendapat yang lain
menyatakan bid’ah, dan ia menyangkal dengan dalil yang bertolak belakang, dan
ia menyatakan sunnah, sebagaimana contoh kasus di atas yakni tentang membuat
kepengurusan jam’iyyah atau majlis dzikir dan do’a bersama.
Al – ‘Allamah Imam Muhammad Waliyuddin al – Syibtsiri
dalam Syarah Al – Arba’in al – Nawawiyah memberikan komentar atas sebuah hadits
nabi :
من احدث حدثا او آوى محــــدثا فعلــيه لعــنة الله
“Barang siapa membuat persoalan baru atau mengayomi
atau setidaknya mendukung seseorang yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan
kepadanya laknat Allah”.
Masuk dalam kerangka interpretasi hadits ini yaitu
berbagai bentuk transaksi/akad-akad fasidah, menghukumi dengan kebodohan, berbagai
bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’ dan lain-lain. Keluar dari
bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar dari
dalil syara’ terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana
tidak terdapat korelasi yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan
dalil-dalilnya kecuali sebatas dhon, persangkaan mujtahid. Seperti menulis
Mushaf, meluruskan pendapat-pendapat Imam madzhab, menyusun kitab Nahwu, ilmu
hisab dan lain-lain. Karena itulah Imam Ibnu Abdi al - Salam membagi
perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima. Beliau lantas
membuat batasan ; “Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak disaksikan
dizaman Rasulullah Saw, apakah beridentitas wajib seperti mengajar ilmu Nahwu,
dan mempelajari lafadz-lafadz yang ‘gharib’ (jarang ditemui dan maknanya sulit
dipahami), baik yang terdapat didalam Al-Qur’an ataupun Al- Sunnah dimana
pemahaman terhadap syari’ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang
dapat memahami maknanya,. ataupun berstatus haram seperti paham madzhab
Qodariah, Jabariah dan Majusiah, atau juga berstatus mandlubah seperti
memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga
segala bentuk kebaikan yang tidak disaksikan pada zaman generasi pertama Islam.
Dan bid’ah yang berstatus makruhah seperti menghiasi Masjid dan memperindah
Mushaf, bid’ah yang beridentitas Mubahah seperti bersalam-salaman atau
mushofahah setelah sholat Shubuh dan Ashar, berlebih-lebihan dalam menyajikan
menu-menu makanan dan minuman yang serba nikmat, bernecis-necis dalam
berpakaian , dan lain-lain.
Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di
muka kita tahu bahwa adanya klaim bahwa ini adalah bid’ah, seperti memakai
tasbih, melapatkan niat, tahlilan ketika kirim do’a dan sedeqah setelah
kematian karena tidak ada larangan untuk bersedeqah, menziarahi makam dan
lain–lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah. Dan sesungguhnya
perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar –
pasar malam, bermain undian pertunjukan tinju, gulat dan lain-lain adalah
termasuk seburuk- buruknya bid’ah.
PASAL
MENJELASKAN
TENTANG :
+ BAGAIMANA MASYARAKAT JAWA BERPEGANG TEGUH PADA MADZHAB “AHLI AL – SUNNAH
WA AL – JAMA’AH”
+ TENTANG KAPAN LAHIRNYA BID’AH DAN PENYEBARANNYA DITANAH JAWA
+ TENTANG MACAM-MACAM PERILAKU AHLI BID’AH YANG TERJADI DI ZAMAN INI.
Masyarakat Muslim di pulau Jawa tempo dulu memiliki
pandangan dan madzhab yang sama, memiliki satu reverensi dan kecenderungan yang
sama. Semua masyarakat Jawa ketika itu menganut dan mengidolakan satu madzhab
yakni Imam Muhammad bin Idris Al- Syafi’i dan didalam masalah teologi atau
aqidahnya mengikuti madzhab Imam Abu Hasan al – Asy’ari dan di bidang Tasawuf
mengikuti madzhab Imam al – Ghazali dan Imam Abi al – Hasan al – Syadili,
Rodiallahu ‘Anhum ‘Ajma’in.
Pada perkembangan selanjutnya di tahun 1330 H. muncul
beberapa golongan yang bermacam-macam, dan mulai timbul berbagai pendapat yang
saling bertentangan, isu yang bertebaran, dan pertikaian dikalangan para pemimpin.
Diantara mereka ada yang beraviliasi pada kelompok Salafiyyin, golongan
Tradisional yang tetap eksis berpegang teguh pada doktrin ajaran yang
diinginkan Salafuna al – Shalih , bermadzhab kepada satu madzhab tertentu,
berpegang kepada kitab-kitab mu’tabarah yang beredar, mencintai ahlul bait,
para wali dan orang-orang yang sholih, mengharap berkah mereka baik yang masih
hidup maupun yang telah wafat, melakukan ritus ibadah berupa ziarah kubur,
mentalqin mayit, shadaqah untuk mayit dan menyakini adanya syafaat atau
pertolongan, kemanfaatan doa, mengerjakan tawassul dan lain-lain.
Sebagian dari masyarakat kita terdapat kelompok yang
mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo, yang menyepakati pendapat
yang menyatakan bidahnya beberapa hal diatas sebagaimana dikemukakan oleh Abdul
Wahab al – Nadji dan Ahmad bin Taimiyah dan dua muridnya yakni Ibnu al-Qoyyim
dan Ibnu Abdi al – Hadi, kelompok kedua ini secara tegas mengharamkan apa yang
telah menjadi kesepakatan kaum muslimin sebagai bentuk ibadah sunnah, yakni
pergi untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Firqoh ini secara terus menerus
melakukan penentangan keras terhadap kaum muslimin atas rutinitas yang mereka
jalankan.
Imam Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab Fatawinya :
“Ketika seseorang itu bepergian untuk ziarah, dan ia menyakini bahwasanya
menziarahi makam Rasulillah Saw itu adalah merupakan perbuatan taat, maka hal
itu diharamkan menurut Ijma atau konsensus para ulama’. Konsekwensi dari
pengharaman ini diharapkan menjadi sesuatu yang mampu memutuskan aktifitas
tersebut. Al – ‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al – Hanafi al – Mut’i di dalam
kitab risalahnya yang berjudul “Thahiru al – Fuad min Danasi al – ‘I tiqod”
mengatakan : Kehadiran firqoh atau sekte-sekte pemecah belah ini memberikan
cobaan tersendiri pada mayoritas kaum muslimin baik mereka yang salaf, kelompok
tradisionalis maupun generasi khalaf, atau kelompok modernis, sehingga kaum
muslimin ketika itu semacam tertimpa musibah keretakan dan perpecahan
dikalangan mereka. Ibarat anggota tubuh terkena penyakit yang menular, kemudian
ia harus memotongnya agar tidak menjalar atau menular pada anggota tubuh yang
lain. Firqoh ini seolah-olah seperti penyakit lepra yang harus kita hindari
sejauh mungkin.
Sungguh sekte ini merupakan segolongan kaum Muslim
yang mempermainkan agama mereka sendiri, mereka mencaci maki para ulama salaf
dan Khalaf, kelompok agama yang mempermainkan agama ini berkata : “Mereka semua
para ulama adalah bukanlah orang-orang yang ma’sum, tersucikan, terhindar dari
kesalahan dan dosa, maka tidaklah selayaknya untuk taqlid kepadanya, sama saja
apakah mereka saat ini masih hidup ataukah sudah wafat”. Selalu saja mereka
mencaci maki para ulama dan mengobarkan shubhat, mereka sebarluaskan kesamaran
tersebut dihadapan dhu’afa, dan mereka berupaya untuk membutakan pandangan
orang-orang yang lemah agamanya tersebut atas diri mereka. Kesemuanya itu
dimaksudkan untuk mengobarkan permusuhan dan saling membenci, mereka berusaha
mencari simpati dan popularitas sehingga dengan leluasa mereka dapat berbuat
kerusakan di muka bumi. Mereka berkata : “Kebohongan harus
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT”, padahal mereka semua mengetahui,
bahwa apa yang mereka katakan adalah untuk mengelabuhi masyarakat awam, agar
orang – orang awam ini menyangka bahwa merekalah orang – orang yang mengemban
tugas Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, merekalah orang – orang yang senantiasa
memotivasi dan meyakinkan kepada manusia untuk tetap mengikuti syara’ dan
menjauhi bid’ah”. Berkaitan dengan ini Allahlah Dzat yang menjadi saksi bahwa
sesungguhnya sekte inilah yang pada hakikatnya merupakan komplotan orang-orang
yang menempuh jalan bid’ah dan menuruti hawa nafsu.
Al-Qodli ‘Iyad di dalam kitab Al – Syifa’ berkata :
Kerusakan yang terbesar akibat ulah firqah ini adalah terjadinya distorsi
pemahaman agama, dan kerusakan itupun merambah ke dalam persoalan-persoalan
dunia sebagai akibat dari provokasi mereka terhadap kaum muslimin untuk
bersengketa di dalam masalah agama yang kemudian merambat ke dalam
urusan-urusan dunia.
Imam Al–‘Allamah Mulla’uddin’Aly al–Qariy
mengisyaratkan problematika ini di dalam kitab syarahnya :
وقد حرم الله تعالى الخمر والميسير لهــذه العلة قال
تعالى : انما يريد الشيطان ان يوقع بينكم العداوة والبضاء فى الخمر والميسر
“Sungguh Allah Ta’ala mengharamkan khomer dan
perjudian karena alasan ini, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah :
Sesungguhnya Syaitan bermaksud untuk mendatangkan sikap permusuhan dan saling
membenci diantara kalian semua melalui khomer dan perjudian.”
Termasuk dalam katagori gerakan baru yang muncul di
pulau Jawa adalah sekte Syi’ah Rafidloh, yakni golongan yang mencela sahabat
Abu Bakar al – Shiddiq dan Sayyidina Umar Bin Khattab RA, golongan ini juga
membenci para sabahat RA, dan berlebih-lebihan dalam mencintai dan fanatik
terhadap Sayyidina Ali RA dan Ahli bait. Sayyid Muhammad Di dalam syarah Al –
Qomus al – Munith berkata : sebagian dari mereka telah beridentitas sebagai
kafir Zindiq, mudah-mudahan Allah menjaga kita dan kaum Muslimin semuanya.
Al – Qodli ‘Iyad di dalam kitab Al – Syifa’ juga
meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Mughoffah RA ia berkata,
Rasulullah SAW. bersabda :
الله الله فى اصحابى لا تتخذوهم غرضا بعدى , فمن احبهم
فبحبى أحبهم, ومن ايغضهم فببغضى ابغضهم, ومن اذاهم فقد اذآنى, ومن اذانى فقد اذى
الله ومن اذى الله يوشك ان يأخـذه
“Takutlah kalian semua kepada Allah SWT, takutlah
kalian semua kepada Allah SWT dan berhati – hatilah kalian semua dalam
menyikapi para sahabatku, mudah-mudahan Allah memberikan penjagaan kepada para
sahabatku, janganlah kalian semua bermaksud buruk dan menganiaya mereka setelah
kematianku. Barang siapa mencintai mereka maka dengan sepenuh hati aku
mencintainya, Barang siapa membenci mereka maka dengan segala kebencianku pula
aku membencinya. Barang siapa membenci dan menyakiti mereka berarti ia
menyakitiku, barang siapa menyakitiku maka berarti menyakiti Allah, dan barang
siapa menyakiti Allah maka bersiaplah untuk menerima adzhab Allah”.
Dan Rasulullah Saw bersabda :
لاتسـبوا اصحابى فانه يجئ قوم فى أخرالزمان يسـبون
اصحـابى.
فلا تصلوا عليهم ولا تصلوا معهم ولاتناكحوهم ولا
تجالسوهم,
فان رضوا فلاتعودوهم
“Janganlah kalian semua mencaci maki para sahabatku,
karena sesungguhnya akan datang di akhir zaman nanti, sekelompok kaum yang
mencela sahabat-sahabat ku, maka janganlah kalian semua mensholati janazah
mereka, janganlah kalian semua sholat bersama mereka, janganlah kalian semua
menjalin pernikahan dengan mereka. Jangan pula kalian berdiskusi bersama
mereka, jika mereka sakit, maka jangan jenguk mereka”.
Dan dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda :
من سب اصحابـى فاضربـوه
“Barang siapa mencela sahabat-sahabatku maka bunuhlah
dia”
Pernyataan keras nabi ini menjelaskan kepada kita
bahwa siapa saja yang menyakiti para sahabatnya maka berarti ia menyakiti nabi,
dan menyakiti nabi Saw adalah haram”.
Rasulullah Saw bersabda :
لاتؤذونى فى اصحابى ومن اذاهم فقد اذانى, وقال لاتؤذونى
فى العائشة, وقال فى فاطمة رضى الله عنها بضعة منى يؤذينى مااذاها
“Janganlah kalian semua menyakitiku melalui para
sahabatku, barang siapa menyakiti sahabat-sahabatku berarti ia menyakitiku, dan
nabi juga bersabda, jangalah kalian menyakitiku dengan cara menyakiti Aisyah
dan nabi bersabda pula ; janganlah pula dengan cara menyakiti diri Fatimah RA
karena ia adalah keratan darah dagingku, menyakitiku segala yang menyakitkan
dirinya”
Muncul juga sekelompok kaum yang lantas disebut
sebagai sekte “Abahiyyun” yakni golongan yang memperkenankan untuk melakukan
apa saja yang disukai, mereka berkata : “Sesungguhnya seorang hamba, ketika ia
telah sampai kepada puncak rasa cintanya, dan hatinya telah suci dan
terbersihkan dari sifat lupa, dan dia telah memilih iman daripada kufur dan
kekufuran, maka gugur dan terbebaskanlah ia dari tuntutan perintah dan
larangan. Dan tidaklah Allah akan memasukkannya ke neraka sebab melakukan
dosa-dosa besar”.
Sebagian dari mereka juga berkata : “Bagi seorang
hamba yang telah sampai pada puncak posisi mahabbah, maka gugurlah baginya
kewajiban untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang dlohir, maka yang menjadi
substansi ibadahnya adalah bertafakkur dan mempercantik akhlaq batiniahnya”.
Syayid Muhammad di dalam syarah ihya’ – nya berkata : Pernyataan ini adalah
kufur zindik dan kesesatan, tetapi golongan Abahiyyun ini memang sudah ada
sejak zaman dulu, penganutnya adalah orang-orang bodoh dan sesat mereka tidak
memiliki pemimpin yang mengerti tentang ilmu syari’at sebaagimana layaknya.
Muncul pula aliran yang lantas memproklamirkan diri
sebagai “Tanasukhil al – Arwah” kelompok yang mengaku sebagai titisan ruh-ruh
yang selalu berpindah-pindah selama-lamanya dari satu jasad seseorang ke jasad
yang lain baik sejenis maupun berlainan jenis. Mereka menyangka bahwa siksaan
dan kenikmatan yang dirasakan oleh Arwah tersebut didasarkan atas pertimbangan
bersih dan kotornya arwah tersebut. Imam al-Syihab al-Khofaji di dalam syarahnya
kitab Al-Syifa’ berkata : “Sungguh ahli syari’ telah mengkafirkan mereka karena
muatan pendapat-pendapatnya ternyata melakukan pembohongan terhadap Allah,
Rasul nya, dan kitab suci - Nya”.
Sebagian lagi ada yang menganut ajaran Hulul dan
Ittihad, mereka adalah orang-orang yang menjalankan tasawufnya dengan
kebodohan, mereka berkeyakinan bahwa Allah swt. adalah wujud yang mutlak.
Sesungguhnya selain dari pada Allah tidaklah ia memiliki sifat Al-Wujud sama
sekali, sehingga bila dikatakan “Al-Insanu Maujudun” maka makna yang
dikehendaki adalah bahwa manusia itu memiliki hubungan dengan Al – Wujud al –
Mutlaq yakni Allah Ta’ala. Al – ‘Allamah al – Amir di dalam kitab Hasyiyah-nya
Imam Abdi al-Salam, beliau berkata : Ucapan dengan interpretasi di atas, merupakan
kufur yang shorih, karena tidaklah mungkin terjadi yang namanya hulul dan
ittihad. Bila hal tersebut benar terjadi pada diri para pembesar wali maka
kejadian itu harus dita’wili dengan sesuatu yang cocok dengan kondisi dan
derajat kewalian mereka. Sebagai mana faham Wahdati al – Wujud yang mereka
anut. Seperti ucapan mereka
ما فى
الجبة ا لا الله “(Tidak
ada di dalam jubah ini kecuali Allah )” Mereka menghendakinya dengan makna
bahwa apa saja yang ada di dalam jubah bahkan apapun yang wujud di dalam
seluruh alam ini, tidaklah ia terwujud kecuali atas kehendak Allah, Syaikh Muhammad
al – Safarini berkata di dalam kitab “Lawaaihu al – Anwar” : “Sebagian dari
tanda sempurnanya kema’rifatan adalah kemampuan seorang hamba untuk menyaksikan
Tuhannya”.
Setiap ‘Arif (orang yang ma’rifat) selama ia masih
menafikan pengetahuan atas Tuhannya pada waktu apapun maka bukanlah ia
dinamakan sebagai ‘Arif tetapi hanya disebut sebagai ‘Shohibul haali’ dimana
‘Syuhudihi Robbahu’- nya, (penyaksiannya terhadap realitas tuhannya) hanya
terjadi pada waktu-waktu tertentu saja. Nah, keberadaan Shohibul haali ini sama
dengan orang yang mabuk, dimana pengetahuan spiritualnya belumlah cukup
mengukuhkan eksistensinya sebagai seorang ‘Arif.
Menjadi jelaslah bahwa apa yang dimaksud dengan
Wahdati al – Wujud dan Al – Ittihad dalam madzhab tasawuf adalah bukanlah hanya
sekedar menggunakan parameter apa yang dhohir saja atau atas dasar persangkaan
belaka. Dengan demikian pernyataan/statemen para penyembah berhala yang
mengatakan bahwa : “Kita tidak menyembah berhala ini kecuali hanya
menjadikannya sebagai lantaran agar kita dapat mendekatkan diri kepada Dzat
Allah”. Bagaimana mungkin pelaku sedemikian (Wahdati Al-Wujud) dianggap sebagai
orang-orang yang ma’rifat (‘Arifin). Padahal makna yang subtansial dari ittihad
itu sendiri adalah sebagaimana dikatakan oleh Al-‘Aarif :
وعلمك أن كل أمر امر ى _ هو
المعنى المسمـى بالا تحـاد
“Pengetahuan anda atas segala sesuatu adalah urusan
saya, inilah makna yang sesungguhnya dinamakan sebagai Al-Ittihad.”
Untuk itu jelaslah bahwa setiap umat Islam memiliki
kemampuan dan kesempatan untuk meraih maqom ini walaupun pada tingkat yang
berbeda-beda.
Sengaja saya membahas secara panjang lebar terhadap
sekte/golongan ini, karena saya menyaksikan bahwa golongan inilah yang
sesungguhnya paling membahayakan terhadap kaum Muslimin dibandingkan bahaya
yang dimunculkan oleh kaum kafir dan mubtadi’in, para ahli bid’ah. Karena
mayoritas manusia mengagungkan golongan ini dan begitu antusiasnya ia
mendengarkan fatwa-fatwa mereka dengan ketidak mengertiannya terhadap
uslub-uslub atau gramatika bahasa arab.
Imam Asmu’i meriwayatkan sebuah hadits dari Imam
Kholil dari Abi ‘Amrin bin A‘la’, beliau berkata :
اكثرمن تزندق بالعراق لجهله بالعر بية وهم باعتقاده
الحلول والانحاد كفرة
“Kebanyakan orang yang kafir zindik dari penduduk Irak
adalah disebabkan oleh ketidakmengertian mereka terhadap literatur Arab
mayoritas dari mereka menjadi kufur karena keyakinan mereka yang salah terhadap
pemahaman Hulul dan Ittihad”.
Qodli ‘Iyadh didalam kitabnya Al – Syifa’
mewanti-wanti : Sesungguhnya setiap bentuk perkataan yang secara sharih,
terang-terangan menafikan atau menghilangkan sifat ketuhanan dan ke Maha
Esaannya, melakukan penyembahan terhadap selain Allah atau mempersekutukan
Allah pada sesembahannya adalah merupakan bentuk kekufuran yang nyata. Seperti
juga ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh Kaum Duhriyah, Nasrani, Majusi, dan
orang-orang yang mempersekutukan Allah dengan menyembah berhala, Malaikat,
Syetan, Matahari, bintang-bintang, dan menyembah api ataupun selain daripada
Allah. Demikian juga kekufuran itu terjadi pada orang-orang yang menyakini
adanya “hulul” (menempatnya Dzat Allah pada diri makhluk) dan terjadinya “Al -
Tanasukh” (Ruh Allah SWT menitis pada diri seorang hamba).
Kekufuran itu dapat pula terjadi pada orang yang
mengakui ketuhanan Allah dan ke-Maha Esaannya tetapi ia menyakini bahwa Allah
tidaklah hidup atau bukanlah Dzat yang Qadim (terdahulu), atau sesungguhnya
Allah adalah dzat yang hadits (baru datang) dan memiliki bentuk, atau menyangka
bahwa Allah memiliki anak istri, dan bahkan ia terlahirkan dari sesuatu yang
maujud sebelum-Nya, atau sesungguhnya ada sesuatu selain Allah yang
menyertai-Nya di zaman Azali, atau menyakini bahwa ada Dzat lain selain Allah
yang menciptakan dan mengatur alam ini. Semua keyakinan dan anggapan
sebagaimana disebut di atas merupakan bentuk kekufuran menurut ijma’ kaum
muslimin.
Demikian juga kekufuran itu terjadi pada seseorang
yang menganggap dirinya dapat duduk bersama Allah, menyertai-Nya naik ke Arasy,
berbincang-bincang dengan-Nya dan meyakini dapat menyatunya Dzat Allah pada
diri seseorang sebagaimana yang difahami oleh sebagian kaum Tasawuf, aliran
kebatinan dan orang-orang Nasrani.
Termasuk bentuk kekufuran yang lain adalah : seseorang
yang menyakini sifat ketuhanan dan ke Maha Esaan Allah tetapi ia menentang
pokok-pokok kenabian secara umum atau konsepsi-konsepsi kenabian kita Muhammad
Saw secara khusus. Atau salah satu dari para nabi, dimana hal itu terjadi
setelah ia mengetahui konsepsi – konsepsi nash – Nya, maka tanpa keraguan ia
dihukumi kafir. Demikian pula menjadi kafir seseorang yang menyatakan bahwa
Nabi kita Muhammad Saw adalah bukanlah ia yang berdomisili di Makkah dan Hijaz.
Kekufuran itu juga akan terjadi sebab beberapa hal
berikut ini, antara lain : Seseorang yang mengakui terutusnya nabi yang lain
bersamaan dengan kenabian nabi Muhammad SAW atau masih akan ada nabi lagi
setelah kenabian nabi Muhammad SAW juga seorang yang mengklaim bahwa kenabian
Muhammad Saw adalah hanya dikhususkan untuk kalangan atau golongannya sendiri
(bukan Nabi yang Rahmatan lil ‘alamin). Demikian juga terjadi kekufuran apa
bila ada seorang yang kondang sebagai ahli tasawwuf, tetapi hingga kebablasan
ia menyatakan diri bahwa ia menerima wahyu dari Allah Ta’ala walaupun ia tidak
sampai mengaku-aku menjadi Nabi. Imam Yusuf al – Ardhabili di dalam kitab “Al –
Anwarnya” memberikan pernyataan yang tegas bahwa : Dapatlah dipastikan
kekafiran itu terjadi pada setiap orang yang mengucapkan suatu perkataan yang
sebab ucapan itu umat menjadi terjerumus pada lembah kesesatan, apalagi bila sampai
meng-kafirkan sahabat, termasuk juga setiap orang yang melakukan perbuatan
dimana pekerjaan itu tidaklah muncul atau bersumber kecuali dari orang-orang
kafir seperti sujud pada salib atau menyembah api, atau pergi menuju ke
gereja-gereja bersama pengikut-pengikut gereja dengan mengenakan
atribut-atribut yang juga dipakai oleh ahli-ahli gereja seperti memakai ikat
pinggang atau yang lainnya. Demikian juga ia yang mengingkari eksistensi
Makkah, Ka’bah, ataupun Masjidil Haram bilamana hal itu muncul dari seorang
yang menurut pandangan kita ia sebenarnya tau dan memahami bahwa kenyataannya
pergaulan mereka adalah dengan orang-orang Islam.
PASAL
MENJELASKAN
TENTANG KHITTAH
Kembali pada ajaran “Al – Shalaf al - Shalih ”
menjelaskan maksud dari kelompok yang disebut dengan “Sawad al – A’dham” di era
ini dan pentingnya berpegang teguh pada salah satu madzhab yang empat.
Dengan memahami apa yang telah saya kemukakan di atas,
kita menyadari bahwa sesungguhnya kebenaran yang haqiqi itu berpihak pada
kalangan “Al – Salafiyah” generasi terdahulu yang konsisten dan survive
mengugemi nilai-nilai ajaran agama yang telah dibangun oleh ulama Al - Salaf al
– Shalih merekalah yang oleh Rasulillah sendiri beliau identifikasi sebagai Al
- Sawadu al - A’dham (golongan mayoritas) yakni mereka yang cocok dan
menyepakati konsepsi-konsepsi agama yang ditetapkan oleh ulama-ulama Makkah,
Madinah dan ulama-ulama Al – Azhar yang mulia, kesemuanya adalah menjadi
panutan kelompok ahli al – Haq, sayangnya sulit sekali atau bahkan hampir tidaklah
mungkin melakukan penelitian dan pelacakan secara seksama terhadap setiap
persoalan dari sejumlah ulama-ulama ini. Karena kemasyhuran dan menyebarnya
tempat domisili mereka diberbagai daerah. Dan tidak mungkin pula dapat
menghitungnya karena keberadaan mereka sebagaimana bintang gumintang di langit.
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah haditsnya :
ان الله لا يجتمع أمتى على ضلالة. ويدالله على الجماعة
من شذ شذ إلى النار ,( رواه الترمذ ي ) زاد ابن ماجاه: فإذا وقع الاختلاف , فعليك
بالسواد الاعظم مع الحق واهل
“Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan jaminan bahwa
umatnya tidaklah akan bersekongkol untuk menyepakati kesesatan, keberpihakan
Allah adalah pada Al – Jama’ah, barang siapa yang menyimpang dari konsensus
mayoritas berarti bahwa ia mengasingkan diri menuju neraka”. (HR. Al –
Turmudzi) Imam Ibnu Majah menambahkan : “Bila terjadi perselisihan maka
pegangilah keputusan yang diambil oleh “Al – Aswad al - A’dham” (kelompok
mayoritas) dengan segala komitmen atas kebenaran mereka”
Didalam kitab “Al – Jami’ Al – Shagir” disebutkan :
إن الله قد اجار أمـتى أن تجتـمع على ضــلالة
“Sesungguhnya Allah telah menyelamatkan umatku dari
segala bentuk persekongkolan atas perbuatan sesat”
Mayoritas dari mereka yang konsisten memegangi
kebenaran (Ahli al - Haq) adalah mereka yang menjadi pengikut Imam Madzhab yang
empat “Al-Madzzhab al-Arba’ah”, mengapa demikian ? kita tahu bahwa Imam Bukhori
adalah bermadzhab Syafi’iy beliau meriwayatkan hadits dari Imam Humaidiy, Al –
Za’faroniy, dan Imam Karobi’isiy, demikian juga Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Nasa’i.
Demikian pula pada beberapa Imam/Muhaddits yang lain yakni : Imam Al-Syibi
adalah pengikut madzhab Malikiy, Imam Mahaasibi adalah bermadzhab Syafi’iy.
Imam Al – Jariry merupakan Penganut setia Imam Hanafiy. Syaikh Abdul Qadir al –
Jailani bermadzhab Hambaliy, Imam Abu Hasan Al – Syadhili pengikut madzhab
Malikiy, dan dengan mengikuti satu madzhab tertentu akan lebih dapat terfokus
pada satu nilai kebenaran yang haqiqi, lebih dapat memahami secara mendalam dan
akan lebih memudahkan dalam mengimplementasikan amalan. Dengan menentukan pada
satu pilihan madzhab inilah berarti ia telah pula melakukan jalan yang juga
ditempuh oleh ‘Al – Salaafuna al – Shaalih’, mudah-mudahan keridloan Allah
terlimpah curahkan pada mereka semua, Amin.
Kita sebagai kelompok awam dari mayoritas kaum
muslimin harus membulatkan tekad untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah swt.
Haqqo al - Taqwa, dan senantiasa berharap agar nantinya kita semua tidak mati
meninggalkan dunia yang fana ini kecuali tetap mengugemi agama Islam, kita sepakat
untuk senantiasa berdamai dan melakukan rekonsiliasi dengan mereka atau siapa
saja yang berselisih. Merekatkan tali persaudaraan, bersikap dan berperilaku
baik terhadap semua tetangga, kerabat dan seluruh teman, dapat memahami dan
melaksanakan hak-hak para pemimpin, bersikap santun dan belas kasihan terhadap
kaum dlu’afa’ dan kalangan wong cilik.
Kita berusaha mencegah mereka dari segala bentuk
permusuhan, saling benci-membenci, memutuskan hubungan, hasut-menghasut,
sekterianisme dan memebentuk sekte-sekte baru yang mengkotak-kotakkan Agama,
kita menghimbau pada mereka semua untuk bersatu, bersahabat, tolong menolong
dalam kebaikan, berpegang teguh pada agama Allah yang kokoh, dan menghindari
perpecahan (Dis integrasi). Hendaknya kita tetap eksis berpedoman pada Al –
Kitab , Al – Sunnah , dan apa saja yang menjadi tuntunan para ulama’, panutan
umat yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
bin Hambal Ra. Merekalah ulama yang mujma’ alaih, Sah untuk diikuti dan
dilarang keluar dari madzhab-madzhab mereka. Hendaknya kita juga berpaling dari
segenap bentuk organisasi – organisasi baru yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar yang dibangun oleh ‘Al – Salaf al – Sholihin’.
Rasulullah Saw. bersabda :
من شــذّ ســذّ على الــنّار
“Barang siapa yang menyimpang (keluar dari Al - Jamaah
) berarti ia mengungsikan dirinya ke beraka.”
Untuk itu hendaknya kita tetap konsisten memegangi ‘Al
– Jamaah’ (organisasi Aswaja) ‘alaa thariqati Al – Salaf Al – Shalihin’.
Rasulullah saw. bersabda :
و أنا آمركم بخمس أمرنى الله بهــن : السمع ,والطاعة
,والجهاد , والهجرة , والجمــاعة . فإنّ من فارق الجمـاعة قيد سبـر فقد خلع ربقــة
اللإ سلام عن عنـقه
“Aku perintahkan pada kalian semua untuk melaksanakan
lima hal, dimana Allah telah memerintahkan hal itu padaku, yakni bersedia untuk
mendengarkan, taat dan siap untuk berjihad, melakukan hijrah dan bergabung
masuk dalam bingkai Al - Jamaah. Sesungguhnya seseorang yang berpisah dari
jamaah walaupun hanya sejengkal, berarti sungguh ia telah melepaskan ikatan
tali keislamannya dari lehernya”.
Sayyidina Umar bin Al – Khattab ra berkata :
عليكم بالجماعة وإيكم والفرقة , فان الشيطان مع الواحد
وهو مع الاثنـين أبعد ومن أراد بحبوحة الـجِـنّة فليلـزم الجمـاعة
“Berpegang teguhlah kalian semua pada Al – Jama’ah,
hindarkan diri kalian dari segala bentuk perpecahan, karena sesungguhnya syetan
ketika menyertai anda seorang diri saja, maka dengan sangat mudah ia
menaklukkannya dibanding ketika ia menyertai dua orang yang bersekutu, barang
siapa bermaksud dan ingin mendapat kenikmatan hidup di dalam surga maka
tetaplah bersama Al – Jama’ah”.
PASAL
WAJIBNYA TAQLID
BAGI SESEORANG YANG TIDAK MEMILIKI KEAHLIAN UNTUK BERIJTIHAD
Menurut pandangan Jumhuril Ulama setiap orang yang
tidak memiliki keahlian untuk sampai pada tingkat kemampuan sebagai mujtahid
mutlak, sekalipun ia telah mampu menguasai beberapa cabang keilmuan yang
dipersyaratkan di dalam melakukan ijtihad, maka wajib baginya untuk mengikuti
(taklid) pada satu qaul dari para Imam Mujtahid dan mengambil fatwa mereka agar
ia dapat keluar dan terbebaskan dari ikatan beban (Taklif) yang mewajibkannya untuk
mengikuti siapa saja yang ia kehendaki dari salah satu Imam Mujtahid,
sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt :
فاسئلوا اهل الذكر إن كنتم لاتعلمـون
“Maka bertanyalah kalian semua kepada ahli ilmu jika
kalian semua tidak mengetahui”
Dengan berdasar pada ayat ini, seseorang yang tidak
mengetahui diwajibkan oleh Allah Swt. untuk bertanya, Nah bertanya itu
merupakan perwujudan sikap taqlid seseorang kepada orang yang alim. Firman
Allah ini berlaku secara umum untuk semua golongan yang dikhitobi.
Secara umum pula firman Allah ini, mewajibkan kita
untuk bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu yang tidak kita ketahui, sesuai
dengan kesepakatan / konsensus Jumhur al – Ulama. Karena sesungguhnya orang
yang beridentitas awam itu pasti ada sejak zaman generasi sahabat, tabi’in dan
hingga zaman setelahnya, mereka wajib meminta fatwa kepada para mujtahid dan
mengikuti fatwa – fatwa mereka dalam hukum-hukum syari’ah dan
mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk Ulama. Pertanyaan esensial yang
kemudian muncul adalah, mengapa harus mempertanyakan suatu hukum dan tuntutan
syari’at yang tidak diketahui ? Karena sesungguhnya para ulamapun ketika
menerima pertanyaan, mereka seringkali segera menjawab pertanyaan tersebut to
the point tanpa memberi isyaroh untuk menuturkan dalil, di satu sisi ketika
seorang ulama melarang untuk melakukan sesuatu kepada orang yang awam,
merekapun (awam) langsung menerimanya tanpa mengingkarinya. Kondisi yang
sedemikianlah yang lantas disepakati adanya kewajiban bagi orang awam untuk
mengikuti pendapat seorang mujtahid, disadari pula bahwa sama sekali orang awam
itu tidak memiliki kemampuan dan otoritas untuk memahami Al – Kitab dan Al –
Sunnah dan tentunya pemahamannya tidaklah dapat diterima jika tidak cocok
dengan pemahaman ulama ahli Al – Haq yang agung dan terpilih. Sesungguhnya
orang yang ahli bid’ah dan berperilaku menyimpang, mereka memahami hukum-hukum
secara bathil dari Al – Kitab dan Al – Sunnah, pada kenyataannya apapun yang
diambil oleh ahli bid’ah tidaklah dapat dipegangi sebagai kebenaran.
Bagi orang awam tidak diwajibkan untuk tetap eksis /
konsisten mengikuti satu madzhab saja dalam menyikapi setiap masalah baru yang
muncul. Walaupun ia telah menetapkan untuk mengikuti satu madzhab tertentu
seperti madzhabnya Imam Al - Syafi’i ra., tidaklah selamanya ia harus mengikuti
madzhab ini, bahkan diperkenankan baginya untuk pindah pada madzhab yang lain
selain Al - Syafi’i. Seorang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
pengkajian masalah dan istidlal (melakukan pelacakan / pencarian sumber dalil)
atau ia juga tidak memiliki kemampuan membaca sebuah kitabpun yang ada sebagai
reverensi dalam sebuah madzhab, lantas ia mengatakan bahwa saya adalah
bermadzhab Al-Syafi’i, maka pernyataan yang sedemikian itu tidaklah absah
sebagai pengakuan bilamana hanya sekedar ucapan belaka.
Tetapi menurut sebuah pendapat yang lain menyatakan
bahwa ; ketika seorang awam itu konsisten mengikuti satu madzhab tertentu maka
wajiblah baginya untuk menetapkan madzhab pilihanya. Karena jelas seorang ‘Awam
itu meyakini bahwa madzhab yang ia pilih adalah madzhab yang benar. Maka
konsekwensi yang harus ia terima adalah wajib menjalankan apa yang menjadi
ketentuan madzhab yang ia yakini.
Bagi seseorang yang taqlid (مقلّد)
boleh mengikuti selain imamnya dalam sebuah masalah yang timbul padanya.
Misalnya saja ia taqlid pada satu imam dalam melaksanakan shalat dhuhur, dan ia
taqlid dan mengikuti imam lain dalam melaksanakan shalat ashar. Jadi taqlid
setelah selesainya melakukan sebuah amal/ ibadah adalah boleh. Untuk memahami
hal ini dapatlah digambarkan sebuah masalah : “Bila seorang yang bermadzhab
syafii melakukan shalat dan ia menyangka (ظن)atas keabsahan shalatnya menurut
pandangan madzhabnya, ternyata kemudian menjadi jelas bahwa shalatnya adalah
batal menurut madzhab yang dianutnya, dan sah bila menurut pendapat yang lain
maka baginya boleh langsung taqlid pada madzhab lain yang mengesahkan
shalatnya. Dengan demikian cukup terpenuhilah kewajiban shalatnya.
PASAL
SIKAP EKSTRA
HATI-HATI DIDALAM MENGAMBIL AGAMA DAN KEILMUAN, JUGA SIKAP ANTISIPATIF TERHADAP
FITNAH YANG DIMUNCULKAN OLEH PARA AHLI BID’AH, ORANG-ORANG MUNAFIQ DAN PARA
PEMIMPIN YANG MENJERUMUSKAN.
Wajib bersikap ekstra hati-hati didalam mencari dan
menghasilkan keilmuan, maka janganlah anda mencari dan mendapatkannya dari
selain ahli ilmu.
روى ابن عساكر وعن الامام مالك رضى الله عنـه: لاتحمل
العلم عن اهل البدع ولا تحمله عمن لايعرف بالطلب ,ولاعمن يكذب فى حديث الناس وان
كان لايكــذب فى حديث رسول الله صلى الله عليه وسلّم
Diriwayatkan dari Imam Ibnu Asakir dari Imam Malik Ra
: “Janganlah engkau menerima ilmu dari ahli bidah, jangan pula anda mencari dan
menerima keilmuan (agama) dari seseorang yang tidak diketahui kepada siapa ia
belajar, dan tidaklah pula diperkenankan menerimanya dari seseorang yang
melakukan kebohongan publik didalam menceritakan manusia, walaupun ia diyakini
tidak akan melakukan kebohongan terhadap hadits Rasulullah SAW”.
وروى ابن سيرين رحمه الله : هذا العلم دين, فانظروا عمّن
تأخذون دينكم
Diriwayatkan lagi dari Imam Ibnu
Sirrin Ra : “Ilmu ini adalah agama ;maka selektiflah kalian semua dari siapa
kalian mengambil agama.” وروى الديلمى عن ابى عمررضى الله عنهما مرفوعا : العلم
ديـن , والصّلاة ديـن , فانظروا عمن تأخــــذون هذا العلم , وكيف تصلون هذه فإنكم
تسألون يوم القيامة , فلا ترووه الا عمن تحققت أهلّيــته بأن يكون من العدول
الثقــات المتّقـــين
Diriwayatkan oleh Imam Al - Dailami dari Ibnu Umar ra.
dalam sebuah periwayatan yang marfu’ : “Ilmu adalah agama dan shalat adalah
agama. Maka bersikap telitilah kalian semua didalam mengambil/menerima ilmu
itu. Bagaimana anda melakukan shalat seperti ini? Sesungguhnya kalian semua
akan ditanya nanti dihari kiamat, maka janganlah anda meriwayatkan keilmuan itu
kecuali dari seseorang yang benar-benar anda meyakini keahliannya yakni ia yang
memiliki sifat-sifat keadilan, dapat dipercaya dan muttaqien”.
وروى مسلم فى صحيــحه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
قال : سيكون فى اخر أمتى أناس يحـدثوكم ما لم تسمعوا انتم ولاابآئكم فاياكم واياهم
Imam muslim meriwayatkan didalam kitab shahih-nya
bahwa Rasulullah SAW bersabda :“Akan ditemukan dizaman akhir dari umatku sekelompok
manusia yang senantiasa menceritakan kepada kalian segala sesuatu yang mereka
tidak pernah mendengarkannya, kamu dan juga orang-orang tua kalian, maka
jagalah diri kalian semua, dan waspadailah mereka”.
وفى صحيح مسلم أيضا أن أبا هر يرة رضى الله عنه يقول :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يكون فى أخر الزمان دجالون كذبون يأتونكم من
الاحاديث بما لم تسـمعوا انتم ولااباؤكم فإياكم واياهم لايضلونكم ولايفتنـونكم
Di dalam kitab Shahih Muslim juga disebutkan, sesungguhnya
Abu Hurairah RA berkata : Rasulillah Saw bersabda : “Akan didapati diakhir
zaman nanti Dajjal-dajjal yang menebar kebohongan-kebohongan, mereka datang
membawa berita-berita yang, kalian dan orang tua kalian semua tidak
pernahmendengarkannya, jagalah diri kalian dan waspadailah mereka, jangan
sampai mereka menjerumuskan kalian semua, dan jangan pula kalian ter fitnah”.
وفى صحيح مسلم أيضا عن عمر بن العاص رضى الله عنه قال:
إن فى البحرسياطين مسجونة اوثقها سليمان ابن داود , يوشك ان تخرج فتقراء على الناس
قرأنا
Juga di dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan sebuah
hadits dari Umar bin al – ‘Ash Ra. beliau berkata : “Sungguh di dalam lautan
terdapat syetan-syetan yang terpenjarakan dan yang membelenggunya adalah Nabi
Sulaiman bin Dawud, hampir saja mereka dapat keluar, dan mereka hendak
membacakan Al-Qur’an kepada seluruh manusia”.
Imam Al – Nawawi mengomentari hadits ini dengan
pernyataannya; bahwa makna (syetan-syetan) yang dikehendaki oleh hadist diatas
adalah mereka yang membacakan sesuatu yang sebenarnya bukanlah Al-Qur’an,
tetapi ia mengatakannya bahwa ini adalah Al-Qur’an, mereka mengecohkan manusia
pada umumnya agar mereka menganggap aneh terhadap Al-Qur’an”.
وروى الطبرانى عن ابن الدرداء رضى الله عنه : إن أخوف ما
اخاف على أمتى الأئمة المضلون . وروى الامام أحمد عن عمر رضى الله عنه : ان اخوف
ما اخاف على أمتى كل منافق عليم اللسان
Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abi Darda’i RA,
“Sesungguhnya yang paling menghawatirkan atas umatku adalah prilaku para
pemimpin yang sesat”, Imam Ahmad dalam riwayatnya dari sahabat Umar Ra.
Menyatakan : “Sesungguhnya kekhawatiran terbesarku atas umat–ku adalah orang
munafik yang kepandaiannya hanya di lisan saja”.
Imam Al – Munawwir Ra. menginterpretasikan/ menafsiri
hadits ini dengan pernyataannya : “Banyak sekali orang yang pandai beretorika
tetapi bodoh hati dan perbuatannya, ia mencari ilmu dengan orientasi mencari
kerja dari sanalah ia akan mencari makan, dan mengorbankan kesombongan demi
meraih kemulyaan. Ia mengajak manusia semesta alam menuju Tuhannya, tetapi ia sendiri
lari dari pada-Nya”.
وعن زياد بن حدير رحمه الله تعالى قال : قال لى عمر ابن
الخطاب رضى لله عنه : هل تعرف مايهدم الإسلام ؟ قلت لا , قال يهدمه زلة العالم ,
وجدال المنافق باالكـتاب , وحكـم الأئمة المضـلين
0 komentar:
Posting Komentar
Guna Pengembangan Blog ini admin mohon komentarnya_terimakasih.