PARADIGMA-PARADIGMA SOSIOLOGI
dan
ANALISIS SOSIAL
PENGANTAR
|
Tulisan ini telah menyita
perhatian karena telah merubah cara kita berpikir tentang teori-teori sosial
dan kita berharap bahwa itu akan berlaku sama untuk yang lain. Tulisan ini
menjelaskan dan membantu mengatasi apa yang kiranya menjadi sumber utama
kebingungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang. Pada awalnya tulisan ini
hanya bermaksud menghubungkan teori-teori organisasi dalam konteks
kemasyarakatan yang lebih luas. Tetapi, dalam wacana yang lebih luas, tulisan
ini sekaligus juga mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial secara
umum.
Dalil kami adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat kunci paradigma, yang didasarkan atas perbedaan anggapan metateori tentang sifat dasar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan-pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial. Masing-masing pendirian menghasilkan (melahirkan) analisanya sendiri-sendiri mengenai kehidupan sosial. Masing-masing paradigma melahirkan teori-teori dan pandangan-pandangan yang di dalamnya terdapat pertentangan fundamental yang ditimbulkan dalam paradigma lainnya.
Dalil kami adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat kunci paradigma, yang didasarkan atas perbedaan anggapan metateori tentang sifat dasar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan-pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial. Masing-masing pendirian menghasilkan (melahirkan) analisanya sendiri-sendiri mengenai kehidupan sosial. Masing-masing paradigma melahirkan teori-teori dan pandangan-pandangan yang di dalamnya terdapat pertentangan fundamental yang ditimbulkan dalam paradigma lainnya.
Sejumlah analisa-analisa
teori sosial telah membawa kita berhadap-hadapan langsung dengan sifat dari
asumsi-asumsi yang mengandung perbedaan pendekatan pada ilmu sosial.
ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL
|
Tesis utama dalam
tulisan ini adalah bahwa semua teori tentang masyarakat didasarkan pada (atas)
filsafat ilmu dan teori sosial tertentu. Filsafat dan teori ilmu sosial selalu
mengandung empat anggapan dasar (asumsi): ontologis, epistemologis, pandangan
tentang manusia (human nature), dan
metodologi. Semua pakar ilmu sosial mndekati pokok kajian mereka dengan
asumsi-asumsi (baik eksplisit maupun implisit) mengenai sifat dunia sosial dan
cara dimana dunia sosial diteliti.
ASUMSI ONTOLOGIS
Asumsi ini memperhatikan
inti dari fenomena yang diamati. Para pakar
ilmu sosial misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis: apakah
realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk
ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran
seseorang? Apakah realitas sosial itu merupakan keadaan yang obyektif atau
hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang
sesuatu yang sudah ada (given) di
luar pikiran sesorang atau hasil dari pikiran seseorang?
ASUMSI EPISTEMOLOGIS
Ini berkaitan dengan
anggapan-anggapan dasar mengenai landasan ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana
sesorang mulai memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya sebagai
pengetahuan kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan
bentuk-bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang
memilah-milah mana yang dikatakan “benar” dan “salah”. Dikotomi benar dan salah
itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistemologi tertentu. Didasarkan
atas pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu sendiri: apakah misalnya
mungkin mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu
yang wujud nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata; atau
apakah ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus (tidak berujud),
lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan
(transendental) yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi yang
unik dan hakiki? Di sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim: apakah
pengetahuan itu sesuatu yang dapat diperoleh (dipelajari) dari orang lain atau
sesuatu yang dimiliki atas dasar pengalaman pribadi.
ASUMSI HAKEKAT MANUSIA
Ini terutama mengenai hubungan antara manusia
dengan lingkungannya. Semua ilmu sosial secara jelas harus didasarkan pada
asumsi ini, karena kehidupan manusia hakekatnya adalah subyek sekaligus obyek
dari pencarian dan penemuan pengetahuan. Kita dapat mengidentifikasi pandangan
ilmu sosial, yang mengandung pandangan manusia dalam menanggapi keadaan-keadaan
di luar dirinya secara mekanistik atau deterministik. Pandangan ini mengarahkan
manusia bahwa manusia dan pengalamannya dihasilkan oleh lingkungannya, manusia
dibentuk oleh keadaan sekitar di luar dirinya. Pandangan ini bisa
dipertentangkan dengan anggapan bahwa manusia memiliki peran penciptaan yang
lebih besar, memiliki kemauan bebas (free
will), menduduki peran kunci, bahwa seseorang adalah pencipta lingkungan
sekitarnya, pengendali dan bukan dikendalikan, sebagai dalang (master) bukan wayang (marionette). Dalam dua pandangan ekstrim
ini kita dapat melihat perdebatan besar mengenai filsafat antara mereka yang
membela “determinisme” dan mereka yang membela “volunterisme”. Semua ilmu
sosial mengacu pada salah satu pandangan ekstrim ini dan ahli-ahli ilmu sosial
tersebar di antara keduanya.
ASUMSI METODOLOGIS
Anggapan-anggapan dasar
tersebut memiliki konsekuensi penting dalam hal cara seseorang menemukan
pengetahuan tentang dunia sosial. Perbedaan asumsi ontologis,
epistemologis, dan asumsi kecenderungan
manusia akan membawa ahli ilmu sosial ke arah perbedaan metodologis, bahkan di
kalangan ahli ilmu alam tradisional sekaipun yang jurang perbedaan mereka
sangat tipis. Menelusuri metodologi yang digunakan kedua kubu itu sangatlah
mungkin. Penganut paham ekstrim pertama, analisisnya akan dipusatkan pada
hubungan-hubungan dan tatanan-tatanan antara berbagai unsur yang membentuk masyarakat,
mengenali dan memberi batasan pengertian semua unsur yang membentuk masyarakat
dan menemukan cara yang dapat menjelaskan hubungannya. Persoalan metodologi
terpenting adalah konsep-konsep tentang hubungan (relationship) dan keteraturan (regularity).
Cara ini merupakan upaya mencari hukum-hukum yang dapat diberlakukan secara
umum untuk menjelaskan kenyataan sosial. Penganut pandangan kedua, upayanya
terarah pada berbagai masalah masyarakat yang berbeda dan dipahami dengan cara
berbeda pula. Upayanya terpusat memahami cara seseorang menafsirkan, merubah
dan membentuk dunia dimana ia berada. Tekanannya pada pemahaman dan pengertian
khas dan unik setiap orang pada kenyataan yang umum. Menekankan sifat kenisbian
kenyataan sosial. Pendekatan ini sering dianggap “tidak ilmiah” oleh penganut
kaidah-kaidah ilmu pengetahuan alam.
Bagan
Asumsi-asumsi Dasar Ilmu Sosial
(Dimensi
Subyektif-Obyektif)
Nominalisme - Realisme: Debat
Ontologis
Kaum nominalis
beranggapan bahwa realitas sosial yang dianggap merupakan sesuatu yang berada
di luar diri seseorang hanyalah sekedar nama-nama (names), konsep atau label yang digunakan menjelaskan realitas
sosial. Mereka tidak menerima adanya kenyataan masyarakat di manapun yang
benar-benar dapat dijelaskan oleh konsep semacam itu. Penamaan itu hanyalah
rekaan saja untuk menjelaskan, memberi pengertian dam memahami realitas.
Nominalisme sering disejajarkan dengan paham konvensionalisme. Keduanya sulit
dibedakan.
Realisme beranggapan
bahwa realitas sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang, merupakan
kenyataan yang maujud, dapat dicerap, dan merupakan tatanan nisbi yang tetap.
Realitas itu ada, berwujud sebagai keutuhan yang dapat dialami (empirical entities). Mungkin kita saja
yang belum menyadari dan belum memiliki penamaan atau konsep untuk
menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah (independen) dari pemahaman
seseorang terhadapnya. Orang dilahirkan dan kenyataan sudah ada di luar
dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya. Realitas ada mendahului
keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.
Anti-positivisme - Positivisme: Debat Epistemologis
Sebutan “kaum positivis”
sama seperti “kaum borjuis” berkesan sentimen dari suatu pandangan tertentu.
Istilah itu digunakan di sini untuk mengidentifikasi sikap atau pendirian
epistemologis tertentu. Istilah positivisme sering dicampur-adukkan dengan
“empirisme”, ini mengeruhkan beberapa pengertian pokok dan bernada olok-olok.
Pendirian epistemologis
kaum positivis didasarkan pada pendekatan tradisional yang digunakan dalam ilmu
alam. Perbedaannya hanya dalam istilah yang digunakan. Hipotesa mengenai
tatanan sosial dapat dibuktikan kebenarannya melalui penelitian eksperimental;
tetapi sering juga hipotesa itu keliru dan tak pernah dapat dibuktikan
kebenarannya. Kaum verifikasionis (ingin membuktikan kebenaran) dan
falsifikasionis (ingin membuktikan kekeliruan) hipotesa tentang tatanan sosial
sependapat bahwa pengetahuan hakekatnya merupakan proses kumulatif dimana
pemahaman-pemahaman baru diperoleh sebagai tambahan atas kumpulan pengetahuan
atau penghapusan atas hipotesa salah yang pernah ada.
Pendirian epistemologis
kaum anti-positivis beragam jenisnya, yang semuanya tidak menerima berlakunya
kaidah-kaidah atau menegaskan tatanan sosial tertentu terhadap semua peristiwa
sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari pandangan
orang-per-orang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Mereka
menolak kedudukan sebagai “pengamat” seperti layaknya kedudukan kaum positivis.
Seseorang hanya bisa “mengerti” melalui kerangka pikir orang yang terlibat
langsung atau diri mereka sendiri sebagai peserta atau pelaku dalam tindakan.
Seseorang hanya mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial.
Karena itu, ilmu sosial bersifat subyektif dan menolak anggapan bahwa ilmu
pengetahuan dapat ditemukan sebagai pengetahuan obyektif tentang apa saja.
Volunterisme - Determinisme: Debat Hakekat Manusia
Kaum determinis
menganggap bahwa manusia ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitar dimana ia
berada. Kaum volunteris beranggapan manusia sepenuhnya pencipta dan berkemauan
bebas. Kedua anggapan ini merupakan unsur paling hakiki dalam teori ilmu
sosial.
Ideografis - Nomotetis: Debat
Metodologis
Pendekatan ideografis
mengatakan bahwa seseorang hanya dapat memahami kenyataan sosial melalui
pencapaian pengetahuan langsung dari pelaku atau orang yang terlibat dalam
peristiwa sosial. Pendekatan ini menekankan analisisnya secara subyektif dengan
cara masuk ke dalam keadaan dan melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari.
Hubungan langsung sedekat mungkin dengan memahami sejarah hidup dan latar
belakang para pelaku sangat penting dalam pendekatan ini. Masalah yang diteliti
dibiarkan muncul apa adanya.
Pendekatan nomotetis
mementingkan adanya seperangkat teknik dan tata cara sistematik dalam
penelitian, seperti metode ilmu alam dengan mengutamakan proses pengujian
hipotesa dengan dalil-dalil yang baku.
Cara ini juga menutamakan teknik-teknik kuantitatif untuk menganalisis data.
Survei, angket, tes kepribadian dan alat-alat baku yang sering digunakan dalam metodologi
nomotetis.
ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR
MENGENAI
SIFAT ILMU SOSIAL
|
Ada dua tradisi
pemikiran besar yang mewarnai perkembangan ilmu sosial selama lebih dua ratus
tahun terakhir. Pertama adalah sosiologi positivisme. Aliran ini mewakili
pandangan yang berusaha menerapkan cara dan bentuk penelitian ilmu alam ke
dalam pengkajian peristiwa sosial atau kemanusiaan. Realitas sosial disamakan
dengan realitas alam. Meniru kaum realis dalam ontologinya, kaum positivis
dalam epistemologinya, pandangan deterministik mengenai sifat manusia dan
nomotetis dalam metodologinya.
Tradisi kedua adalah
idealisme Jerman, berlawanan dengan yang pertama. Aliran ini menyatakan bahwa
realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat oleh indera, tetapi
“ruh” atau “gagasan”. Karena itu, ontologinya nominalis, epistemologinya
anti-positivis dimana sifat subyektifitas dari peristiwa kemanusiaan lebih
penting dan menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam, berpandangan
volunteris terhadap fitrah manusia, dan menggunakan pendekatan ideografis dalam
analisis sosialnya.
Sejak 70 tahun terakhir
telah mulai bersentuhan antara kedua tradisi besar terutama di bidang filsafat
sosial. Jalan tengah dari dua kutub memunculkan beberapa pemikiran baru seperti
fenomenologis, etnometodologi dan teori-teori aksi. Aliran tengah ini selain
menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi
positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami dengan baik dengan mengenali
perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya masing-masing.
ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR
TENTANG
HAKEKAT MASYARAKAT
|
|
Semua pendekatan dalam
mengkaji masyarakat didasarkan pada kerangka berpikir, pandangan dan
anggapan-anggapan dasar tertentu.
Debat Ketertiban - Pertentangan (Order-Conflict Debate)
Dahrendorf (1959) dan
Lockwood (1956) mengadakan pembedaan pendekatan sosiologi dalam dua pandangan:
pandangan tentang sifat keseimbangan dan ketertiban sosial dan pandangan
mengenai perubahan, pertentangan dan pemaksaan suatu tatanan masyarakat. Yang
pertama penganutnya jauh lebih banyak dari yang kedua. Menurut Dawe, yang
pertama merupakan teori sosial. Cohen (1968), Silverman (1970), Van den Bergh
(1969) menganggap perdebatan itu semu dan tidak ada gunanya. Coser (1956)
memandang pertentangan sosial berfungsi penting untuk menjelaskan ketertiban
sosial sehingga perlu dijadikan ragam dalam teori sosial.
Cohen (1968),
berdasarkan anggapan dasarnya mengenai corak sistem sosial, menyebutkan bahwa
corak sistem sosial yang tertib ditandai oleh: perjanjian bersama (commitment), kerapatan (cohesion), kesetiakawanan (solidarity), kesepakatan (consensus), imbal balik (reciprocity), kerjasama (cooperation), keterpaduan (integration), ketetapan (stability), dan kekukuhan (persistence). Corak pertentangan sosial
ditandai pemaksaan (coercion),
pemisahan (division), percekcokan (hostility), ketidaksepakatan (dissensus), pertentangan (conflict), ketidakpaduan (malintegration) dan perubahan (change).
Bagan Teori
Masyarakat:
Ketertiban dan
Pertentangan
Selanjutnya ia
mengatakan bahwa Dahrendorf keliru karena membuat pemisahan antara ketertiban
dan pertentangan, padahal sangat mungkin teori sosial menggabungkan unsur-unsur
kedua corak masyarakat, sehingga tidak perlu diperdebatkan.
Tahun 1960-an lahir
gerakan budaya penentang (counter-culture
movement). Tahun 1968, revolusi Perancis gagal, maka para sosiolog kemudian
beralih dari kajian-kajian tentang tatanan (struktur) masyarakat ke
kajian-kajian perseorangan. Gerakan kaum subyektivis dan teori aksi semakin
diminati sehingga perdebatan ketertiban dan pertentangan sosial terbenam kalah,
debat filsafat dan metode ilmu sosial kian marak. Dengan tenggelamnya
perdebatan itu maka para pakar sosial melupakan karya Marx dan cenderung
melirik Weber, Durkheim dan Pareto yang cenderung mengkaji satu sisi dari
masyarakat, yaitu ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan
kembali debat ketertiban dan pertentangan karena apa yang disebut “kesepakatan
sosial” bisa jadi hasil penggunaan kekuatan yang memaksa.
Wright Mills (1959)
menyatakan bahwa apa yang dikatakan Parson tentang “orientasi nilai” (value orientation) dan “tatanan nilai” (normative structure) hanyalah perlambang
untuk legitimasi kekuasaan. Dahrendorf menyebut kesepakatan sebagai sistem
mengesahkan tatanan kekuasaan, sedang Mills menyebut “penguasaan” (domination).
Analisa ketertiban
sosial diwakili oleh teori-teori fungsional yang cenderung meladeni kepentingan
kekuasaan, bersifat statis dalam arti ingin melanggengkan kemapanan (status quo). Teori pertentangan justru
bertujuan menjelaskan proses dan sifat perubahan struktural paling mendasar
dalam masyarakat. Yang ingin dituju adalah terjadinya transformasi masyarakat
secara radikal.
Banyak analisis tentang
ketertiban dan pertentangan ini sering salah tafsir, terjebak dan membuat
pengertian menjadi suram tentang perbedaan mendasar antara keduanya. Oleh
karena diusulkan adanya perubahan-perubahan tertentu yang lebih tegas dan
radikal dalam menganalisis keduanya, maka digantilah peristilahan yang lain
sama sekali yakni: keteraturan (regulation)
dan perubahan radikal (radical change).
KETERATURAN vs PERUBAHAN RADIKAL
|
|
||||
|
Istilah ini diusulkan
karena telah terjadi banyak ketidakjelasan dalam membedakan corak ketertiban
dan pertentangan sosial. Istilah keteraturan menunjuk pada teori sosial yang
menekankan pentingnya kesatuan (unity)
dan kerapatan (cohesiveness). Teori
ini mendambakan adanya keteraturan dalam peristiwa kemanusiaan. Istilah
perubahan radikal sarat dengan keinginan menjelaskan tentang
perubahan-perubahan radikal dalam masyarakat, pertentangan-pertentangan yang
mendasar dalam masyarakat, bentuk-bentuk penguasaan yang menandai masyarakat
modern. Pandangan ini bertujuan membebaskan manusia dari berbagai struktur
(tatanan) masyarakat yang membatasi dan menghalangi potensinya untuk
berkembang. Pertanyaan-pertanyaan dasarnya adalah masalah harkat manusia, baik
fisik maupun kejiwaan. Pandangan ini utopis, memandang ke depan, menanyakan apa
yang mungkin dan bukan sekadar apanya saja, melihat kemungkinan berbeda dari
sekadar kemapanan.
Skema Keteraturan ------------ Perubahan Radikal
DUA
DIMENSI, EMPAT PARADIGMA
|
Sejak 1960-an telah
terjadi banyak aliran pemikiran sosiologi bermunculan. Dalam perkembangannya
berbagai pemikiran dasar sosiologi justru menjadi kabur. Pada awal 1970-an
telah terjadi kebuntuan dalam perdebatan sosiologi baik mengenai sifat ilmu
sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada 1960-an. Untuk menembus
kebuntuan itu diusulkan untuk menampilkan kembali beberapa unsur penting dari
perdebatan yang terjadi pada 1960-an dan cara baru dalam menganalisis empat
paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: humanis radikal,
strukturalis radikal, interpretatif, fungsionalis.
Paradigma Teori Sosial
PERUBAHAN RADIKAL
SUBYEKTIF OBYEKTIF
KETERATURAN
Keempat paradigma tampak
berhampiran satu sama lain tetapi tetap pada pendirian masing-masing, karena
memang dasar pemikirannya berbeda secara mendasar.
Sifat dan Kegunaan Empat Paradigma
|
Paradigma diartikan
sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang paling mendasar yang menentukan
kerangka berpikir, cara mengandaikan dan cara bekerjanya para penganut teori
sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan pandangan yang
mengikat sekelompok penganut teori dalam cara pandang dan cara kerja yang sama
dalam batas-batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial telah
menggunakan paradigma tertentu, maka berarti memandang dunia dalam satu cara
yang tertentu pula. Sehingga di sini ada empat pandangan yang berbeda mengenai
sifat ilmu pengetahuan dan sifat masyarakat yang didasarkan pada
anggapan-anggapan meta-teoretis.
Empat paradigma itu merupakan
cara mengelompokkan cara berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan
merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori
tertentu dapat lebih menampilkan sentuhan pribadi dibanding yang lain. Demikian
juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap
persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan ini
revolusi yang sama bobotnya dengan pindah agama. Hal ini pernah terjadi pada
Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, perpindahan dari humanis radikal ke
strukturalis radikal. Ini disebut “perpecahan epistemologi” (epistemological break). Juga terjadi
pada diri Silverman, dari fungsionalis ke interpretatif.
Paradigma Fungsionalis
Paling banyak dianut di
dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan.
Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis.
Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan,
keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata
(empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan
nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial,
berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat
diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yakni langkah-langkah praktis
untuk pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial
untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan pentingnya cara-cara memelihara
dan mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam
dalam pengkajian masalah kemanusiaan.
Paradigma ini dimulai di Perancis pada
dasawarsa pertama abad ke-19 dibentuk karena pengaruh karya August Comte,
Herbert Spencer, Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan:
realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang hubungan semua
unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan menggunakan alat
seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanika dan biologi untuk
menjelaskan realitas sosial sangat biasa dalam aliran ini.
Sejak awal abad ke-20,
mulai dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti karya Max
Weber, Georg Simmel dan George Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis mulai
meninggalkan rumusan teoretis dari kaum obyektivitas dan memulai persentuhan
dengan paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser ke
pandangan para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada 1940-an,
pemikiran sosiologi perubahan radikal mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis
untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah terjadi
persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsionalis tetap saja secara
mendasar menekankan pemikiran obyektivis tentang realitas sosial untuk
menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu
maka sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda dalam paham
fungsionalis. Interaksi antar paradigma digambarkan sebagai berikut:
Pengaruh
Pemikiran yang Membentuk Paradigma Fungsionalis
|
DIKAL
PERUBAHAN
RADIKAL
SUBYEKTIF OBYEKTIF
KETERATURAN Sosiologi positivisme
Paradigma Interpretatif
Kubu ini sebenarnya
menganut ajaran-ajaran sosiologi keteraturan, tetapi mereka menggunakan
pendekatan subyektivitas dalam analisa sosialnya, sehingga hubungan mereka
dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan
sosial menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan
sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung
terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.
Pendekatannya cenderung
nominalis, anti-positivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena
dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya mereka berusaha
menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subyektivitas pribadi manusia untuk
menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.
Sungguhpun demikian,
anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan bahwa
manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan, kesepakatan,
kesetiakawanan. Pertentangan, penguasaan, benturan sama sekali tidak menjadi
agenda kerja mereka. Mereka ini terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial kaum
idealis Jerman, yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat
hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini antara lain
Dilthey, Weber, Husserl, dan Schutz.
Paradigma Humanis Radikal
Para
penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan
subyektifis. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif
yaitu nominalis, anti-positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda,
yaitu cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai
pembatasan tatanan sosial yang ada.
Pandangan dasarnya yang
penting adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh
suprastruktur ideologis yang ada di luar dirinya yang menciptakan pemisah
antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam
kesadaran palsu (false consciusness)
yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena
itu agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya
dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan manusia sebagai
manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial
dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah
bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam
pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun
demikian masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian
mereka.
Paradigma Strukturalis Radikal
Penganutnya juga
memperjuangkan sosiologi perubahan radikal tetapi dari sudut pandang
obyektivis. Pendekatan ilmiahnya memiliki beberapa persamaan dengan kaum
fungsionalis, namun mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisanya
lebih menekankan pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan
harkat kemanusiaan. Karenanya pendekatannya cenderung realis, positivis,
determinis dan nomotetis.
Kesadaran manusia
dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting adalah hubungan-hubungan
struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni
dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara
menyeluruh. Penganut paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih
tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan
antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial.
Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu
masyarakat. Paradigma ini diilhami oleh pemikiran Marx tua setelah terjadinya
perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, selain pengaruh Weber.
Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal.
Penganutnya antara lain Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut
kelompok kiri baru.
===========================
Diterjemahkan
secara bebas dari
Gibson
Burrell & Gareth Morgan, Sociological analysis & Organisational
Analysis : Elements of the Sociology of Corporate Life, Heinemann, Portsmouth, NH,
1979, H. 21-37
Khusus
sebagai bahan bacaan pelatihan kalangan sendiri. INSIST
Kalau
pening, lebih baik ingat saja petuah “Pak Jenggot”:
para filosof dan pemikir cuma manafsirkan
dunia ini dalam berbagai cara, tetapi yang paling penting sebenarnya adalah
bertindak merubah dunia ini”.
(Tesis
ke - 11 tentang Feuerbah)
|
0 komentar:
Posting Komentar
Guna Pengembangan Blog ini admin mohon komentarnya_terimakasih.